• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sepuluh Pentung

Dalam dokumen Syukur dan Terima Kasih (Halaman 121-127)

S

udah beberapa hari ini aku merasa seperti ada batu yang me­

nekan dadaku. Awalnya aku tidak tahu apa penyebabnya.

Tapi tekanan di dada ini semakin terasa setiap aku melihat sampul surat Randai di atas lemariku. Surat ini mempengaruhi perasaanku lebih besar dari yang aku kira. Badanku terasa lesu dan aku jadi malas bicara.

Melihat aku lebih banyak diam, Said dan Raja mencoba me­

lucu memakai bahasa Arab mereka yang patah­patah. Sementara Dulmajid mengeluarkan simpanan cerita ”mati ketawa cara Ma­

dura”. Baso yang biasanya selalu sok serius kali ini mencoba melantunkan beberapa syair Arab yang katanya bisa mengobati kalbu yang resah. Sayang, bagiku mereka semua seperti sedang mengigau atau sakit pikiran.

Pikiranku tidak fokus kepada apa yang aku hadapi di PM, dan tetap terbang ke kilasan­kilasan film berisi Randai sedang mapras, jalan­jalan dan tertawa­tawa dalam seragam putih abu­

abunya. Padahal minggu ini aku punya banyak tugas: menulis teks pidato bahasa Arab, menghapal beberapa judul mahfuzhat sampai piket menyapu kelas dan kehabisan baju bersih sehingga perlu mencuci.

Yang agak menghibur adalah kelas tambahan malam yang se­

lalu didampingi wali kelas dalam suasana yang santai. Kelas ma­

lam biasanya digunakan untuk mengulang pelajaran tadi pagi

dan mempersiapkan untuk besok. Kami membahas pelajaran bersama, saling berdiskusi dan kalau bosan, kami berbagi cerita ngalor ngidul. Ustad Salman biasanya duduk di meja guru dan asyik dengan buku bacaannya—bahkan kadang­kadang novel, Ing­

gris dan Arab. Kalau kami punya pertanyaan, kami tinggal maju ke depan dan Ustad Salman akan meletakkan bacaannya dan dengan senang hati menjawab pertanyaan kami. Biasanya dia menggunakan seperempat jam terakhir sebagai ajang memberi tasyji’ atau motivasi yang membakar semangat kami.

Ustad Salman masuk kelas suatu malam dengan membawa setumpuk buku tebal. ”Malam ini kita akan habiskan waktu un­

tuk keliling dunia,” katanya dengan senyum lebar 0 sentinya.

”Malam ini tidak ada yang baca buku pelajaran. Tapi saya akan bacakan kepada kalian potongan mutiara kehidupan tokoh­tokoh ini,” katanya sambil memamerkan buku ”Mandela:

The Biography”, ”BJ Habibie, Mutiara dari Timur”, ”Bung Hatta, Pri- badinya dalam Kenangan”, ”Marthin Luther King, Jr: Stride Toward Freedom”, dan ”Mohammed, the Man of Allah”.

Kami bersorak gembira. Hanya Baso yang aku lihat tidak be­

gitu antusias karena sedang asyik dengan buku Durusul Lughoh31­ nya. Sedangkan bagi kebanyakan kami, setiap tawaran untuk tidak membaca buku pelajaran selalu menyenangkan.

Selama sejam dia membuka buku­buku ini di halaman yang sudah dilipat, membacakan potongan berbagai kisah penuh in­

spirasi dari para tokoh, dan mengulasnya untuk mencocokkan dengan konteks kami. Hasilnya, malam ini kami kehilangan kantuk dan hanyut dengan semangat yang meletup­letup. Itulah

3Pelajaran bahasa Arab

gaya unik Ustad Salman, selalu mencari jalan kreatif untuk te­

rus memantik api potensi dan semangat kami.

Di saat kami merasa dihantui kakak keamanan, tegang karena belum mengisi karcis jasus, pusing dengan banyak hapalan, dan berbagai urusan lainnya­­dia membebaskan kami. Dia membawa kami ke ranah berpikir masa depan. Menuntun kami untuk berani mengeksplorasi cita­cita setinggi langit. Sehingga kami sejenak bisa melupakan tekanan hari itu.

Man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung.

Jangan risaukan penderitaan hari ini, jalani saja dan lihatlah apa yang akan terjadi di depan. Karena yang kita tuju bukan se­

karang, tapi ada yang lebih besar dan prinsipil, yaitu menjadi ma­

nusia yang telah menemukan misinya dalam hidup,” pidatonya dengan semangat berapi­api.

Kalau sudah begini, Said yang juara ngantuk di kelas kami menjelma menjadi seperti seekor singa yang siaga dan siap menerkam. Kepalanya digeleng­gelengkan berkali­kali. Jari­jari yang kekar mencengkeram kopiahnya sampai remuk. Dia telah terbawa arus.

”Misi yang dimaksud adalah ketika kalian melakukan sesuatu hal positif dengan kualitas sangat tinggi dan di saat yang sama menikmati prosesnya. Bila kalian merasakan sangat baik mela­

kukan suatu hal dengan usaha yang minimum, mungkin itu adalah misi hidup yang diberikan Tuhan. Carilah misi kalian masing­masing. Mungkin misi kalian adalah belajar Al­Quran, mungkin menjadi orator, mungkin membaca puisi, mungkin menulis, mungkin apa saja. Temukan dan semoga kalian menja­

di orang yang berbahagia,” katanya berfilsafat.

Akhi, tahukah kalian apa yang membuat orang sukses ber­

beda dengan orang yang biasa?” tanya Ustad Salman bertanya retoris.

”Menurut buku yang sedang saya baca, ada dua hal yang paling penting dalam mempersiapkan diri untuk sukses, yaitu going the extra miles. Tidak menyerah dengan rata­rata. Kalau orang belajar jam, dia akan belajar jam, kalau orang berlari kilo, dia akan berlari 3 kilo. Kalau orang menyerah di detik ke 0, dia tidak akan menyerah sampai detik 0. Selalu berusaha meningkatkan diri lebih dari orang biasa. Karena itu mari kita budayakan going the extra miles, lebihkan usaha, waktu, upaya, te­

kad dan sebagainya dari orang lain. Maka kalian akan sukses,”

katanya sambil menjentikkan jari.

”Resep lainnya adalah tidak pernah mengizinkan diri kalian dipengaruhi oleh unsur di luar diri kalian. Oleh siapa pun, apa pun, dan suasana bagaimana pun. Artinya, jangan mau sedih, marah, kecewa dan takut karena ada faktor luar. Kalianlah yang berkuasa terhadap diri kalian sendiri, jangan serahkan ke­

kuasaan kepada orang lain. Orang boleh menodong senapan, tapi kalian punya pilihan, untuk takut atau tetap tegar. Kalian punya pilihan di lapisan diri kalian paling dalam, dan itu tidak ada hubungannya dengan pengaruh luar,” katanya lebih berse­

mangat lagi.

”Pernah masuk mahkamah dan dapat hukuman?” tanya Ustad Salman. Banyak yang angkat tangan, termasuk aku.

”Nah, apakah kalian marah, takut, kesal, benci atau malah semakin kuat?”

Banyak yang menjawab takut dan kesal. Ustad Salman mengangguk­angguk sebelum meneruskan.

”Jangan biarkan bagian keamanan menghancurkan mental

terdalam kalian. Jangan biarkan diri kalian kesal dan marah, hanya merugi dan menghabiskan energi. Hadapi dengan lapang dada, dan belajar darinya. Bahkan kalian bisa tertawa, karena ini hanya gangguan sementara.”

”Jadi pilihlah suasana hati kalian, dalam situasi paling kacau sekalipun. Karena kalianlah master dan penguasa hati kalian.

Dan hati yang selalu bisa dikuasai pemiliknya, adalah hati orang sukses,” tandasnya dengan mata berkilat­kilat.

Kami sekelas dibakar oleh semangat hidup yang menggelegak.

Raja yang paling ekspresif, tampak mengayun­ayunkan tinjunya di udara sambil berteriak ”Allahu Akbar!”. Mukanya seperti kepiting rebus dan keringat memercik di keningnya yang lebar.

Dulmajid mengerjap­ngerjapkan matanya, giginya gemeletuk, mungkin dia ingin mengubah nasib keluarganya dan terbang mengejar mimpinya. Atang berkali­kali bongkar pasang kacamata dari hidungnya, tanda dia sedang excited. Said yang tadi heboh, sekarang duduk tegak lurus di bangkunya, matanya terpejam, tampaknya sedang memasukkan inti pembicaraan ke dalam ke­

pala. Baso malah berkali­kali menggeleng­gelengkan kepala. Bu­

kan tidak setuju dengan Ustad Salman, tapi dia sedang berusaha menyamai kecepatan bicara Ustad Salman dengan keligatannya mencatat kata­kata itu. Malam ini adalah salah satu dari malam­

malam inspiratif yang digubah oleh Ustad Salman.

Menjelang tidur, aku menulis sebuah tekad di dalam diariku.

Apa pun yang terjadi, jangankan sebuah surat dari Randai, ser­

buan dari Tyson, bahkan langit yang runtuh, tidak akan aku izinkan menggoyahkan tekad dan cita­citaku. Aku ingin mene­

mukan misi hidupku yang telah disediakan Tuhan.

Aku tulis tanda pentung sepuluh kali untuk menegaskan

tekad ini, dan aku tulis Amin sebagai doa untuk memulai tekad ini. Pelan­pelan beban berat di hatiku hilang, dadaku lapang dan bibirku tersenyum menang. Sebuah purnama menggantung di langit. Bilah­bilah sinar peraknya menyelinap di sela­sela jen­

dela dan jatuh berbaris­baris di samping kasur tipisku.

P

elajaran wajib yang selalu ada setiap hari, enam kali seminggu adalah Lughah Arabiah. Bahasa Arab. Pelajaran ini bagai obat ajaib yang bila kami telan setiap hari selama ti­

ga bulan. Khasiat yang dijanjikan: lidah kami fasih berbicara Arab.

Aku masih ingat pelajaran pertama dimulai dengan kalimat sangat sederhana.

Dalam dokumen Syukur dan Terima Kasih (Halaman 121-127)