• Tidak ada hasil yang ditemukan

Surat dari Seberang Pulau

Dalam dokumen Syukur dan Terima Kasih (Halaman 114-121)

K

upanggil dia Randai, padahal namanya Raymond Jeffry.

Nama yang keren. Orang Minang selalu sangat percaya diri dan punya semangat global memberi nama anaknya. Mulai dari yang kearab­araban seperti Hamid, Zaki, Ahmad, ala eropa timur seperti Weldinov, Martinov, sampai yang terdengar kebarat­baratan seperti Goodwill, Charlie, Wildemer dan Ker­

man. Beberapa nama yang sepertinya serapan luar negeri itu ternyata sangat lokal sekali. Bahkan banyak yang sebetulnya itu merupakan kata sandi. Seringkali, sandi ini hanya orang tua dan anak itu saja yang tahu.

Contohnya, seorang pemuka agama di kampungku tidak memberi nama anak perempuannya Fatimah atau Zainab, tapi malah Suhasti. Ini bukan hanya sekadar nama. Di baliknya tersimpan makna yang dalam dan refleksi nasionalisme yang amat tinggi, sehingga dipatrikan pada nama anaknya. Suhasti kependekan dari Sukarno Hatta Simbol Rakyat Indonesia. Ada juga yang mengawetkan nama orangtua pada anak mereka.

Charlie misalnya. Kependekan dari Chakra dan Nelie, bapak dan emaknya anak ini.

Selain kependekan, ada juga yang terang­terangan mengambil nama­nama yang sudah paten. Misalnya kawan SD­ku bernama John Fitzgerald Kennedy——kami panggil dia si Ned. Guruku selalu patah lidah setiap mengabsen namanya di kelas. Sayang

setamat SD dia tidak terus sekolah dan ikut bapaknya berjualan pisang raja di Pasar Kamis. Seorang kerabat jauhku bernama Harley Davidson——akrab disebut si Son, karena Bapaknya begitu tergugah dengan potongan majalah yang memuat iklan motor besar itu.

Keunikan nama ini menghadirkan spekulasi bahwa bangsa Minang datang dari sejarah yang sangat tua. Qila waqala30, orang minang masih anak cucu dari Alexander Agung. Jadi nama agak keeropa­eropaan mungkin bawaan turun temurun dari zaman moyang Alexander itu. Benar tidaknya, hanya Tuhan yang tahu.

Wallahua’lam.

Menurutku, nama unik orang Minang akan bertambah gagah kalau dilekatkan dengan nama suku masing­masing. Ber­

beda dengan orang Batak, suku orang Minang tidak selalu dituliskan di belakang nama. Nama suku utama adalah Koto, Piliang, Bodi dan Chaniago. Lalu keempat suku ini beranak­

pinak menjadi puluhan nama suku lain yang sangat variatif.

Sebut saja misalnya Banuampu, Payobada atau Sungai Napa.

Ada yang terinspirasi nama barang seperti Guci dan Salayan ada yang diambil dari nama tumbuhan seperti Pisang, Dalimo dan Jambak. Aku sendiri kalau memasang nama suku akan berbunyi Alif Fikri Chaniago. Bayangkan bagaimana kerennya John Fitzgerald Kennedy Chaniago terdengar.

Di Minangkabau juga dikenal istilah ketek banamo, gadang ba- gala. Kecil diberi nama, dewasa diberi gelar. Begitu seorang laki­

laki menikah, maka dia mendapat gelar adat. Dan di kampung,

30Adalah ungkapan Arab yang dipakai untuk mengawali sesuatu yang belum jelas, rumor, legenda, dsb.

gelar inilah yang dipakai untuk memanggil laki­laki yang telah menikah. Gelar tertinggi adalah datuk, atau kepala suku. Siapa saja yang berani memanggil seorang datuk dengan nama aslinya bisa kena sangsi adat. Ayahku sendiri bernama Fikri Syafnir yang kemudian mendapat gelar Katik Parpatiah Nan Mudo.

Sejak itulah kemudian lebih populer dipanggil Katik Parpatiah, tidak pernah lagi ada yang memanggilnya Fikri.

Randai sebetulnya sebuah budaya Minang berupa seni ber­

cerita yang dicampur dengan dendangan lagu, tari dan silat Minangkabau. Dan Raymond adalah sedikit dari generasi muda yang masih tergila­gila menonton budaya randai yang semakin sepi penggemar. Raymond malah bangga aku panggil dia dengan julukan Randai, seperti hobinya.

Kawanku yang beralis tebal dan berbadan ramping tinggi ini adalah anak saudagar kaya yang tinggal di kampungku. Walau berlatar pedagang, orang tuanya ingin anaknya bisa mendalami ilmu agama dulu sebelum dipercaya jadi penerus usaha, mulai dari toko sampai perusahaan konveksi dan bordir yang produk­

nya sampai ke Tanah Abang.

Randai pun dikirim masuk sekolah agama di Madrasah Tsa­

nawiyah Negeri dan menjadi teman sekelasku. Kami selalu ber­

saing ketat dalam merebut ranking satu di kelas. Kalau semester ini dia juara satu, semester depan biasanya aku yang juara.

Aku selalu menyimpan iri dalam hal kepandaian matematika dan ilmu alam. Aku rasa, dia iri dengan Bahasa Inggris dan kemampuan menulis dan verbalku. Tapi kami tetap bersahabat dekat di tengah persaingan ini.

Hobi berkirim surat atau sahabat pena berada di puncak po­

pularitas. Kami berdua termasuk di antara penggemar berkirim­

kirim surat ini. Bahkan kami saling berkompetisi mendapat sa­

habat pena yang lebih banyak dan lebih jauh asalnya. Suatu hari, Randai menggebrak persaingan dengan membawa sebuah surat yang datang dari Hongkong. Dia bangga sekali mengibas­ngibas­

kan amplop berstempel karakter Cina itu di depan mukaku.

Hebat nian, pikirku panas. Demi mencoba menyamai Randai, aku memutar otak bermalam­malam. Dengan bantuan Pak Etek Gindo yang tinggal di Arab Saudi, sebulan kemudian aku de­

ngan bangga meletakkan sebuah amplop dari Jeddah di meja Randai. Sepanjang minggu itu kami bertengkar mempersoalkan siapa yang lebih hebat.

Dalam persahabatan yang kompetitif ini, kami kerap saling bercerita tentang cita­cita kalau nanti sudah besar. Dia bercita­

cita ingin jadi insinyur listrik yg bisa membikin pembangkit lis­

trik tenaga air seperti di Danau Maninjau. Tidak mau kalah, aku pun menyatakan ingin menjadi insinyur yang bisa membangun Waduk Jatiluhur. Dia lalu menimpali akan menjadi insinyur yang membangun Jakarta. Aku membalas ingin menjadi insinyur yang bisa membikin pesawat terbang seperti Habibie. Saat itu aku bahkan lupa kalau aku kesulitan pelajaran matematika. Be­

gitulah terus berjalan. Kami ingin terus saling membalas supaya terdengar lebih hebat. Tapi kami tetap dua sahabat yang tampak­

nya saling tahu bahwa kami membutuhkan satu sama lain . Kami juga sepakat, setamat MTsN, kami akan meneruskan ke SMA yang sama. Karena menurut kami ilmu dasar agama dari MTsN sudah cukup sebagai dasar untuk memasuki kancah ilmu pengetahuan umum. Beruntungnya Randai, orang tuanya sama sekali tidak keberatan. Dia telah punya pakta baru dengan orang tuanya untuk boleh keluar jalur setelah madrasah. Sa­

yangnya, aku dan Amak tidak punya pakta ini. Kami kemudian

dipisahkan oleh nasib. Dia kini terdaftar sebagai siswa SMA terbaik di Bukittinggi, tepat sesuai rencananya——yang juga dulu rencanaku. Sementara aku memutar arah secara radikal, me­

rantau ke pelosok Jawa Timur untuk menjadi murid di sebuah pondok yang didirikan untuk mendalami agama.

Hari ini sepucuk surat diantarkan seorang kakak bersepeda putih dari bagian administrasi. Aku balik surat itu, dan di belakangnya tertulis, dari Randai. Konco palangkin­ku. Teman akrabku. Di bawah namanya dia menuliskan ”siswa SMA Ter­

baik di Bukittinggi”. Aku tersenyum kesal, anak ini tetap me­

nyebalkan.

Di bawah sebatang kelapa yang tumbuh di depan asrama, tulisannya yang 30 derajat miring ke kanan aku baca dengan tidak sabar.

Kepada kawan ”sparring partner”-ku Alif Di sebuah desa di Jawa Timur

Ass Wr Wb

Apa kabar kawan? Bagaimana rasanya jadi pasukan bersarung dan berkopiah? Apakah pekerjaan kamu setiap hari adalah sha- lat dan mengaji? Ceritakanlah padaku di sini.

Alhamdulillah, sesuai cita-cita, aku diterima di SMA Bukit- tinggi. Sekarang aku sedang mapras——masa perkenalan siswa.

Kau tahu Lif, ternyata ”keindahan” SMA yang kita bayangkan dulu tidak ada apa-apanya dengan yang sebenarnya. SMA benar-benar tempat yang menyenangkan untuk belajar dan ber-

gaul. Guru-gurunya juga yang paling terkenal di Sumatera Ba- rat. Kamu ingat kan, buku pegangan fisika kita dulu itu ditulis oleh Drs. H.M Lutfhi, Msc? Nah Drs. Luthfi ini akan jadi sa- lah satu guruku di kelas satu nanti. Luar biasa kan? Aku akan minta tanda tangan dia di buku teks kita MTsN dulu.

Di acara mapras ini kita diperkenalkan dengan berbagai macam ekskul yang hebat-hebat. Kamu belum pernah lihat komputer kan? Nah disini semua murid ikut belajar komputer karena sekolahku baru membuat lab komputer yang paling mo- dern di kota kita. Senangnya. Ternyata komputer tidak hanya di film saja, ternyata di sekolahku pun ada.

Kawan-kawan pun datang dari berbagai tempat. Ada yang dari Agam, Padang Panjang, 0 Kota, Payakumbuh dan lain- nya. Pokoknya, banyak kawan baru Lif. Dan yang paling asyik, di akhir mapras nanti kita akan berdarmawisata ke pantai Muaro di Padang dan kampus universitas tertua di Sumatera, Universitas Andalas. Kata guru kami, supaya kami mulai bisa melihat apa prospek kami kuliah nanti.

Luar biasa kawan. Semoga keputusan kau ke Jawa itu be- nar. Kalau tidak, cepatlah kembali, mungkin kamu masih bisa dipertimbangkan diterima di SMA ini.

Aku tunggu jawaban surat ini Kawanmu selalu

Randai

Aku baca suratnya sekali lagi. Senang mendapat surat dari ka­

wan lama dan melihat kebahagiannya masuk sekolah baru. Tapi aku juga iri dan bercampur sedih. Rencana masuk SMA­nya

juga rencanaku dulu. Ketika Randai senang dengan maprasnya, aku malah kalut dijewer dan menjadi jasus. Dia bebas di luar jam sekolah, aku di sini didikte oleh bunyi lonceng. Dia akan mengejar mimpinya menjadi insinyur yang membangun pesawat atau proyek seperti PLTA Maninjau. Sementara aku di sini, mungkin menjadi ustad dan guru mengaji.

Aku menghela napas dan menatap kosong ke puncak pohon kelapa. Awan hitam bergumpal­gumpal siap mencurahkan hujan.

Lonceng besar bertalu­talu mengabarkan waktu ke masjid telah tiba. Aku tidak boleh terlambat lagi. Aku kapok jadi jasus. Aku jera menjadi drakula. Tyson pasti telah siap menyergap lagi.

S

udah beberapa hari ini aku merasa seperti ada batu yang me­

nekan dadaku. Awalnya aku tidak tahu apa penyebabnya.

Tapi tekanan di dada ini semakin terasa setiap aku melihat sampul surat Randai di atas lemariku. Surat ini mempengaruhi perasaanku lebih besar dari yang aku kira. Badanku terasa lesu dan aku jadi malas bicara.

Melihat aku lebih banyak diam, Said dan Raja mencoba me­

lucu memakai bahasa Arab mereka yang patah­patah. Sementara Dulmajid mengeluarkan simpanan cerita ”mati ketawa cara Ma­

dura”. Baso yang biasanya selalu sok serius kali ini mencoba melantunkan beberapa syair Arab yang katanya bisa mengobati kalbu yang resah. Sayang, bagiku mereka semua seperti sedang mengigau atau sakit pikiran.

Pikiranku tidak fokus kepada apa yang aku hadapi di PM, dan tetap terbang ke kilasan­kilasan film berisi Randai sedang mapras, jalan­jalan dan tertawa­tawa dalam seragam putih abu­

abunya. Padahal minggu ini aku punya banyak tugas: menulis teks pidato bahasa Arab, menghapal beberapa judul mahfuzhat sampai piket menyapu kelas dan kehabisan baju bersih sehingga perlu mencuci.

Yang agak menghibur adalah kelas tambahan malam yang se­

lalu didampingi wali kelas dalam suasana yang santai. Kelas ma­

lam biasanya digunakan untuk mengulang pelajaran tadi pagi

Dalam dokumen Syukur dan Terima Kasih (Halaman 114-121)