sangat besar dan meletupletup. Kami tersengat menikmatinya.
Seperti sumbu kecil terpercik api, mulai terbakar, membesar, dan terang!
Dengan wajah berseriseri dan senyum sepuluh senti menyi
lang di wajahnya, lakilaki ini hilir mudik di antara bangkubang
ku murid baru, mengulangulang mantera ajaib ini di depan kami bertiga puluh. Setiap dia berteriak, kami menyalak balik dengan kata yang sama, man jadda wajada. Mantera ajaib berba
hasa Arab ini bermakna tegas: ”Siapa yang bersungguhsungguh, akan berhasil!”
Lakilaki ramping ini adalah Ustad7 Salman, wali kelasku.
Wajahnya lonjong kurus, sebagian besar dikuasai keningnya yang lebar. Bola matanya yang lincah memancarkan sinar kecer
dasan. Pas sekali dengan gerak kaki dan tangannya yang gesit ke setiap sudut kelas. Sebuah dasi berwarna merah tua terikat rapi di leher kemeja putihnya yang licin. Lipatan celana hitamnya berujung tajam seperti baru saja disetrika. Sepatu hitamnya ber
sol tebal dan berdekakdekak setiap dia berjalan di ubin kelas kami.
Selain kelas kami, puluhan kelas lain juga demikian.
Masingmasing dikomandoi seorang kondaktur yang energik, menyalakkan ”man jadda wajada”. Hampir satu jam non stop, kalimat ini bersahutsahutan dan bertalutalu. Koor ini berge
lombang seperti guruh di musim hujan, menyesaki udara pagi di sebuah desa terpencil di udik Ponorogo.
Inilah pelajaran hari pertama kami di PM. Kata mutiara sederhana tapi kuat. Yang menjadi kompas kehidupan kami kelak.
7Ustad berarti guru atau pengajar
Sejam yang lalu, kami berkerumun dengan tidak sabar di de
pan sebuah pintu kelas. Di daun pintu itu selembar kertas putih bertuliskan Kelas A tertempel rapi. Di antara kerumunan ini, hanya Raja dan Dul yang aku kenal. Lamatlamat, bunyi ketuk
an sepatu cepat dan penuh semangat terdengar dari balik ruang kelas kami. Makin lama makin dekat. Tibatiba dari balik tem
bok, muncul lakilaki muda berwajah ramah menyapa dengan nyaring,
”Shabahul khair. Selamat pagi. Silakan masuk!”
Tangan kanannya mengibasngibas mengisyaratkan kami masuk. Setiap kami disodori senyum sepuluh senti yang membentang di wajahnya. Lakilaki periang ini adalah Ustad Salman.
”Ijlisuu1, silakan pilih tempat duduk yang paling nyaman buat kalian.”
Aku bergegas memilih dua baris dari depan ke arah bela
kang. Ini posisi aman menurutku. Tidak terlalu menantang tatapan guru di kursi depan, tapi juga tidak tersuruk di bagian terbelakang.
Di sebelahku duduk seorang anak jangkung berambut pen
dek tegak. Tadi dia datang paling pagi. Sebuah kacamata tebal membebani batang hidungnya. Wajahnya yang putih tampak serius dan agak tegang. Beberapa helai janggut kasar mencuat di dagunya. Dia mengangguk, sambil menyorongkan tangannya.
”Eh, kenalkan nama saya Atang,” katanya singkat. Kacamata
Silakan duduk semua (Arab)
nya melorot turun ketika mengangguk. Secepat itu pula tangan
nya mengembalikan ke posisi semula.
Buruburu kemudian dia menambahkan, ”Saya dari Bandung.
Urang sunda19,” katanya kali ini nyengir. Aku terpesona dengan irama Atang berbicara. Setiap akhir kalimatnya diberi ayunan yang asing di kupingku.
Aku genggam jemari tangannya yang panjang kuruskurus.
”Saya Alif Fikri dari Maninjau, Bukittinggi, Sumatera Ba
rat.”
Untuk pertama kalinya dalam hidup aku berjabat tangan dengan orang non Minangkabau. Nun di kampungku, mulai dari pegawai kecamatan, guru, tukang pos, penjual martabak, supir bus, sampai kenek adalah urang awak, orang Minang as
li. Dulu, sebetulnya aku nyaris menjabat tangan seorang Jawa.
Ketika duduk di SD, guruku menyuruh kami sekelas meng
ibarkan bendera merah putih dari kertas minyak di pinggir jalan kampungku. Balasan kibasan benderaku adalah lambaian tangan yang menyembul dari jendela mobil hitam setengah ter
buka. Ingin aku jabat tangan itu, tapi mobilnya terlalu cepat ber
lalu. Yang punya tangan adalah Presiden Soeharto yang datang meresmikan PLTA Maninjau tahun 3.
Sengaja aku tambahkan Sumatera Barat kalaukalau dia ti
dak tahu Bukittinggi di mana. Menyebutkan Bukittinggi juga sebetulnya kurang tepat, bahkan Maninjau pun sebuah kebo
hongan kecil. Sebenarnya, aku lahir dan berasal dari kampung liliput di pinggir Danau Maninjau, Bayur namanya. Maninjau le
bih dikenal orang luar karena lumayan populer sebagai kota asal Buya Hamka, ulama sastrawan karismatik yang tersohor itu.
Orang Sunda asli
pustaka-indo.blogspot.com
Setelah memperkenalkan diri, Ustad Salman meminta setiap orang maju ke depan kelas dan memperkenalkan nama, asal, alasan ke pondok dan citacita. Raja Lubis yang duduk di meja paling depan maju dengan penuh percaya diri.
Sejenak dia menarik napas dalam, dagunya sedikit terangkat, kepalanya berputar setengah lingkaran menyapu kelas. Setelah mendehem, dia memperkenalkan diri dengan suara lantang dan berat. Iramanya lebih mirip pidato daripada perkenalan. Raja yang berasal dari pinggir Kota Medan ini tahun lalu gagal ma
suk PM karena terlambat mendaftar. Sambil menunggu tahun ajaran baru, dia menghabiskan satu tahun belajar di sebuah pondok tidak jauh dari sini.
”Kenapa sampai mau dua kali mencoba ikut tes masuk PM?”
tanya Ustad Salman.
Dengan gagah dia berkata, ”Aku ingin menjadi ulama yang intelek, Ustad. Dari sepuluh orang bersaudara, aku sendirilah yang diberi amanat Ibu dan Bapak untuk belajar agama.”
Sebetulnya dari tadi aku sangat heran melihat kelakuannya.
Ketika kami sekelas membawa beberapa buku tulis dan Al Quran, dia malah membawa beberapa buku tebal sekaligus. Sa
lah satunya buku paling tebal yang pernah aku lihat.
”Buku apa ini?” tanyaku polos.
”Cak kau lihat ini bos, judulnya Advanced Learner’s Oxford Dictionary, kamus Bahasa Inggris yang hebat. Cocok buat kita yang belajar bahasa Inggris. Kalau ingin pandai seperti Habibie, macam buku inilah yang harus kau baca,” ujarnya serius sambil mengangkat kitab tebal ini pas di mukaku.
”Mulai hari ini aku akan membaca kamus ini halaman per halaman,” kata Raja sambil mengepalkan tangan. Hobi utama
nya membaca buku, atau tepatnya kamus tebal ini. Di kemudi
an hari, hobi ini terbayar tunai. Dia paling lancar menjawab pertanyaanpertanyaan guru Bahasa Inggris. Kalau bicara Ing
gris, suaranya sengausengau seperti orang selesma.
Makhluk paling raksasa di kelas adalah Said Jufri yang ber
asal dari Surabaya. Lengannya yang legam sebesar tiang telepon dan berbukubuku oleh otot keras serta ditumbuhi bulubulu panjang keriting. Bajunya yang berbahan jatuh mencetak dada dan bahunya yang kekar. Rambut hitam ikal, alis tebal, kumis melintang, fitur hidung dan tulang pipinya tegas melengkapi wa
jah Arabnya. Dia memang keturunan kelima dari saudagar Arab yang mendarat dan menetap di kawasan Ampel, Surabaya. Wa
lau berwajah Arab, tapi medok suroboyoan. Walau umurnya baru tahun, wajahnya seperti bapakbapak berumur 0 tahun.
”Waktu SMA, aku anak nakal, sekarang aku insyaf dan ingin belajar agama,” katanya sambil tersenyum lebar. Matanya yang dilingkupi bulu yang lentik berkejapkejap. Wah, ini dia yang disebut Pak Sutan yang ada bus kemarin. Anak nakal dise
kolahkan di pondok, batinku.
”Mari kita dekap penderitaan dan berjuang keras menuntut ilmu, supaya kita semakin kuat lahir dan batin,” katanya membe
ri motivasi di depan kelas tanpa ada yang meminta. Antara me
ngerti dan tidak kami menganggukangguk takzim. Dia mantan anak nakal yang aneh.
Tidak salah kalau dia yang paling dewasa di antara kami. Ka
rena itu kami secara aklamasi memilihnya jadi ketua kelas. Sela
ma setahun ke depan, dia selalu menjawab keluh kesah kami dengan senyum dan cerita yang mengobarkan semangat.
”Saya berasal dari Sulawesi,” kata Baso Salahuddin yang berlayar dari Gowa. Wajahnya seperti nenek moyangnya yang pelaut ulung, rambut landak, kulit gelap, kalau berjalan seperti terombangambing di atas perahu, mengambang dan kurang lu
rus. Bajunya adalah seragam pramuka yang sudah luntur cokelat
nya. Emblememblemnya sudah dilucuti, menyisakan warna yang lebih gelap di saku dan lengan.
Sambil mengerlingkan matanya ke kiri atas, dia bicara di de
pan kelas. ”Alasan saya… alasan saya ke sini apa ya? O iya, saya ingin mendalami agama Islam dan menjadi hafizpenghapal AlQuran.”
Kawanku yang lain adalah Dulmajid dari Madura. Dia juga satu bus denganku ketika sampai di PM. Kulitnya gelap dan wa
jahnya keras tidak menjanjikan. Untunglah dia berkacamata fra
me tebal sehingga tampak terpelajar. Animo belajarnya memang maut. Di kemudian hari, aku menyadari dia orang paling jujur, paling keras, tapi juga paling setia kawan yang aku kenal.
Kawan yang duduk di belakangku adalah Teuku. Anak yang berkulit keling ini berasal dari Banda Aceh. Ketika Ustad Te
guh membaca namanya, serta merta dia berdiri tegap dengan setengah berteriak menjawab ”Teuku hadir, Ustad”. Seisi kelas, tidak terkecuali ustad kaget dengan gerakan berdiri tibatiba dan teriakan nyaring anak Aceh ini. Dia suka berbicara dengan suara keras dan tergesagesa, sehingga bahasa Indonesianya ter
dengar lucu.
Tapi di antara semua teman baru ini yang membuatku paling kagum adalah Saleh. Dia tinggi kurus, atletis, dan bukubukunya banyak stiker bertuliskan Lakers, Bulls, dan gambar orangorang hitam berkepala botak, bercelana pendek goyorgoyor.
”Gue dari Jakarte, anak Betawi asli. Tahu Monas, kan? Nah, rumah gue gak jauh dari sana, di Karbela,” katanya dengan bangga.
Beruntung sekali dia tinggal di ibukota, pikirku iri. Di umur
ku yang ke ini, belum sekalipun aku menjejakkan kaki di ibu
kota negara sendiri. Dalam perjalananku dari Padang ke Jawa Timur, aku sempat sekilas melewati Jakarta jam tiga dini hari.
Bus hanya berhenti untuk menurunkan Pak Sutan yang akan ke Tanah Abang. Dari jendela bus kulihat gedunggedung tinggi, jalanjalan silang gemilang yang semuanya bermandikan cahaya.
Modern. Makanya, Jakarta adalah kota yang paling ingin aku kunjungi, setelah Mekkah.
S
ehabis Isya, muridmurid berbondongbondong memenuhi aula. Ratusan kursi disusun sampai ke teras untuk menampung tiga ribu orang. Semua orang mengobrol seperti dengungan ribuan tawon transmigrasi. Di panggung duduk berjejer beberapa ustad senior dan kiai. Sebuah tulisan besar menggantung sebagai latar: Pekan Perkenalan Siswa PM.Seorang lakilaki separo baya yang berbaju koko putih maju ke podium. Rambutnya yang setengah memutih menyembul dari balik kopiah hitamnya. Janggutnya pendek rapi tumbuh dari dagu bundarnya. Laki laki ramping ini mempunyai wajah seorang bapak penyabar.
Matanya berbinarbinar dan tersenyum kepada lautan murid baru dan lama. Senyumnya begitu lebar, seakanakan tidak ada yang lebih membesarkan hatinya selain melihat ribuan murid bersesaksesakkan di ruangan ini.
Dia mendehem tiga kali di depan mik. Tibatiba suara tawon tadi langsung diam dan senyap. Muridmurid yang duduk di belakang tampak meninggikan lehernya untuk melihat lebih jelas ke depan. Penampilan lakilaki ini boleh bersahaja, tapi aura wibawa yang membuat dia terlihat lebih besar dari fisiknya.
Aku mencolek Raja yang duduk di sebelah kiriku.
”Siapa bapak ini?” tanyaku penasaran.
Raja memandangku dengan tidak percaya. Dia melotot,