• Tidak ada hasil yang ditemukan

Man Jadda Wajada

Dalam dokumen Syukur dan Terima Kasih (Halaman 57-65)

sangat besar dan meletup­letup. Kami tersengat menikmatinya.

Seperti sumbu kecil terpercik api, mulai terbakar, membesar, dan terang!

Dengan wajah berseri­seri dan senyum sepuluh senti menyi­

lang di wajahnya, laki­laki ini hilir mudik di antara bangku­bang­

ku murid baru, mengulang­ulang mantera ajaib ini di depan kami bertiga puluh. Setiap dia berteriak, kami menyalak balik dengan kata yang sama, man jadda wajada. Mantera ajaib berba­

hasa Arab ini bermakna tegas: ”Siapa yang bersungguh­sungguh, akan berhasil!”

Laki­laki ramping ini adalah Ustad7 Salman, wali kelasku.

Wajahnya lonjong kurus, sebagian besar dikuasai keningnya yang lebar. Bola matanya yang lincah memancarkan sinar kecer­

dasan. Pas sekali dengan gerak kaki dan tangannya yang gesit ke setiap sudut kelas. Sebuah dasi berwarna merah tua terikat rapi di leher kemeja putihnya yang licin. Lipatan celana hitamnya berujung tajam seperti baru saja disetrika. Sepatu hitamnya ber­

sol tebal dan berdekak­dekak setiap dia berjalan di ubin kelas kami.

Selain kelas kami, puluhan kelas lain juga demikian.

Masing­masing dikomandoi seorang kondaktur yang energik, menyalakkan ”man jadda wajada”. Hampir satu jam non stop, kalimat ini bersahut­sahutan dan bertalu­talu. Koor ini berge­

lombang seperti guruh di musim hujan, menyesaki udara pagi di sebuah desa terpencil di udik Ponorogo.

Inilah pelajaran hari pertama kami di PM. Kata mutiara sederhana tapi kuat. Yang menjadi kompas kehidupan kami kelak.

7Ustad berarti guru atau pengajar

Sejam yang lalu, kami berkerumun dengan tidak sabar di de­

pan sebuah pintu kelas. Di daun pintu itu selembar kertas putih bertuliskan Kelas A tertempel rapi. Di antara kerumunan ini, hanya Raja dan Dul yang aku kenal. Lamat­lamat, bunyi ketuk­

an sepatu cepat dan penuh semangat terdengar dari balik ruang kelas kami. Makin lama makin dekat. Tiba­tiba dari balik tem­

bok, muncul laki­laki muda berwajah ramah menyapa dengan nyaring,

Shabahul khair. Selamat pagi. Silakan masuk!”

Tangan kanannya mengibas­ngibas mengisyaratkan kami masuk. Setiap kami disodori senyum sepuluh senti yang membentang di wajahnya. Laki­laki periang ini adalah Ustad Salman.

Ijlisuu1, silakan pilih tempat duduk yang paling nyaman buat kalian.”

Aku bergegas memilih dua baris dari depan ke arah bela­

kang. Ini posisi aman menurutku. Tidak terlalu menantang tatapan guru di kursi depan, tapi juga tidak tersuruk di bagian terbelakang.

Di sebelahku duduk seorang anak jangkung berambut pen­

dek tegak. Tadi dia datang paling pagi. Sebuah kacamata tebal membebani batang hidungnya. Wajahnya yang putih tampak serius dan agak tegang. Beberapa helai janggut kasar mencuat di dagunya. Dia mengangguk, sambil menyorongkan tangannya.

”Eh, kenalkan nama saya Atang,” katanya singkat. Kacamata­

Silakan duduk semua (Arab)

nya melorot turun ketika mengangguk. Secepat itu pula tangan­

nya mengembalikan ke posisi semula.

Buru­buru kemudian dia menambahkan, ”Saya dari Bandung.

Urang sunda19,” katanya kali ini nyengir. Aku terpesona dengan irama Atang berbicara. Setiap akhir kalimatnya diberi ayunan yang asing di kupingku.

Aku genggam jemari tangannya yang panjang kurus­kurus.

”Saya Alif Fikri dari Maninjau, Bukittinggi, Sumatera Ba­

rat.”

Untuk pertama kalinya dalam hidup aku berjabat tangan dengan orang non Minangkabau. Nun di kampungku, mulai dari pegawai kecamatan, guru, tukang pos, penjual martabak, supir bus, sampai kenek adalah urang awak, orang Minang as­

li. Dulu, sebetulnya aku nyaris menjabat tangan seorang Jawa.

Ketika duduk di SD, guruku menyuruh kami sekelas meng­

ibarkan bendera merah putih dari kertas minyak di pinggir jalan kampungku. Balasan kibasan benderaku adalah lambaian tangan yang menyembul dari jendela mobil hitam setengah ter­

buka. Ingin aku jabat tangan itu, tapi mobilnya terlalu cepat ber­

lalu. Yang punya tangan adalah Presiden Soeharto yang datang meresmikan PLTA Maninjau tahun 3.

Sengaja aku tambahkan Sumatera Barat kalau­kalau dia ti­

dak tahu Bukittinggi di mana. Menyebutkan Bukittinggi juga sebetulnya kurang tepat, bahkan Maninjau pun sebuah kebo­

hongan kecil. Sebenarnya, aku lahir dan berasal dari kampung liliput di pinggir Danau Maninjau, Bayur namanya. Maninjau le­

bih dikenal orang luar karena lumayan populer sebagai kota asal Buya Hamka, ulama sastrawan karismatik yang tersohor itu.

Orang Sunda asli

pustaka-indo.blogspot.com

Setelah memperkenalkan diri, Ustad Salman meminta setiap orang maju ke depan kelas dan memperkenalkan nama, asal, alasan ke pondok dan cita­cita. Raja Lubis yang duduk di meja paling depan maju dengan penuh percaya diri.

Sejenak dia menarik napas dalam, dagunya sedikit terangkat, kepalanya berputar setengah lingkaran menyapu kelas. Setelah mendehem, dia memperkenalkan diri dengan suara lantang dan berat. Iramanya lebih mirip pidato daripada perkenalan. Raja yang berasal dari pinggir Kota Medan ini tahun lalu gagal ma­

suk PM karena terlambat mendaftar. Sambil menunggu tahun ajaran baru, dia menghabiskan satu tahun belajar di sebuah pondok tidak jauh dari sini.

”Kenapa sampai mau dua kali mencoba ikut tes masuk PM?”

tanya Ustad Salman.

Dengan gagah dia berkata, ”Aku ingin menjadi ulama yang intelek, Ustad. Dari sepuluh orang bersaudara, aku sendirilah yang diberi amanat Ibu dan Bapak untuk belajar agama.”

Sebetulnya dari tadi aku sangat heran melihat kelakuannya.

Ketika kami sekelas membawa beberapa buku tulis dan Al Quran, dia malah membawa beberapa buku tebal sekaligus. Sa­

lah satunya buku paling tebal yang pernah aku lihat.

”Buku apa ini?” tanyaku polos.

Cak kau lihat ini bos, judulnya Advanced Learner’s Oxford Dictionary, kamus Bahasa Inggris yang hebat. Cocok buat kita yang belajar bahasa Inggris. Kalau ingin pandai seperti Habibie, macam buku inilah yang harus kau baca,” ujarnya serius sambil mengangkat kitab tebal ini pas di mukaku.

”Mulai hari ini aku akan membaca kamus ini halaman per halaman,” kata Raja sambil mengepalkan tangan. Hobi utama­

nya membaca buku, atau tepatnya kamus tebal ini. Di kemudi­

an hari, hobi ini terbayar tunai. Dia paling lancar menjawab pertanyaan­pertanyaan guru Bahasa Inggris. Kalau bicara Ing­

gris, suaranya sengau­sengau seperti orang selesma.

Makhluk paling raksasa di kelas adalah Said Jufri yang ber­

asal dari Surabaya. Lengannya yang legam sebesar tiang telepon dan berbuku­buku oleh otot keras serta ditumbuhi bulu­bulu panjang keriting. Bajunya yang berbahan jatuh mencetak dada dan bahunya yang kekar. Rambut hitam ikal, alis tebal, kumis melintang, fitur hidung dan tulang pipinya tegas melengkapi wa­

jah Arabnya. Dia memang keturunan kelima dari saudagar Arab yang mendarat dan menetap di kawasan Ampel, Surabaya. Wa­

lau berwajah Arab, tapi medok suroboyoan. Walau umurnya baru tahun, wajahnya seperti bapak­bapak berumur 0 tahun.

”Waktu SMA, aku anak nakal, sekarang aku insyaf dan ingin belajar agama,” katanya sambil tersenyum lebar. Matanya yang dilingkupi bulu yang lentik berkejap­kejap. Wah, ini dia yang disebut Pak Sutan yang ada bus kemarin. Anak nakal dise­

kolahkan di pondok, batinku.

”Mari kita dekap penderitaan dan berjuang keras menuntut ilmu, supaya kita semakin kuat lahir dan batin,” katanya membe­

ri motivasi di depan kelas tanpa ada yang meminta. Antara me­

ngerti dan tidak kami mengangguk­angguk takzim. Dia mantan anak nakal yang aneh.

Tidak salah kalau dia yang paling dewasa di antara kami. Ka­

rena itu kami secara aklamasi memilihnya jadi ketua kelas. Sela­

ma setahun ke depan, dia selalu menjawab keluh kesah kami dengan senyum dan cerita yang mengobarkan semangat.

”Saya berasal dari Sulawesi,” kata Baso Salahuddin yang berlayar dari Gowa. Wajahnya seperti nenek moyangnya yang pelaut ulung, rambut landak, kulit gelap, kalau berjalan seperti terombang­ambing di atas perahu, mengambang dan kurang lu­

rus. Bajunya adalah seragam pramuka yang sudah luntur cokelat­

nya. Emblem­emblemnya sudah dilucuti, menyisakan warna yang lebih gelap di saku dan lengan.

Sambil mengerlingkan matanya ke kiri atas, dia bicara di de­

pan kelas. ”Alasan saya… alasan saya ke sini apa ya? O iya, saya ingin mendalami agama Islam dan menjadi hafiz­­penghapal Al­Quran.”

Kawanku yang lain adalah Dulmajid dari Madura. Dia juga satu bus denganku ketika sampai di PM. Kulitnya gelap dan wa­

jahnya keras tidak menjanjikan. Untunglah dia berkacamata fra­

me tebal sehingga tampak terpelajar. Animo belajarnya memang maut. Di kemudian hari, aku menyadari dia orang paling jujur, paling keras, tapi juga paling setia kawan yang aku kenal.

Kawan yang duduk di belakangku adalah Teuku. Anak yang berkulit keling ini berasal dari Banda Aceh. Ketika Ustad Te­

guh membaca namanya, serta merta dia berdiri tegap dengan setengah berteriak menjawab ”Teuku hadir, Ustad”. Seisi kelas, tidak terkecuali ustad kaget dengan gerakan berdiri tiba­tiba dan teriakan nyaring anak Aceh ini. Dia suka berbicara dengan suara keras dan tergesa­gesa, sehingga bahasa Indonesianya ter­

dengar lucu.

Tapi di antara semua teman baru ini yang membuatku paling kagum adalah Saleh. Dia tinggi kurus, atletis, dan buku­bukunya banyak stiker bertuliskan Lakers, Bulls, dan gambar orang­orang hitam berkepala botak, bercelana pendek goyor­goyor.

”Gue dari Jakarte, anak Betawi asli. Tahu Monas, kan? Nah, rumah gue gak jauh dari sana, di Karbela,” katanya dengan bangga.

Beruntung sekali dia tinggal di ibukota, pikirku iri. Di umur­

ku yang ke­ ini, belum sekalipun aku menjejakkan kaki di ibu­

kota negara sendiri. Dalam perjalananku dari Padang ke Jawa Timur, aku sempat sekilas melewati Jakarta jam tiga dini hari.

Bus hanya berhenti untuk menurunkan Pak Sutan yang akan ke Tanah Abang. Dari jendela bus kulihat gedung­gedung tinggi, jalan­jalan silang gemilang yang semuanya bermandikan cahaya.

Modern. Makanya, Jakarta adalah kota yang paling ingin aku kunjungi, setelah Mekkah.

S

ehabis Isya, murid­murid berbondong­bondong memenuhi aula. Ratusan kursi disusun sampai ke teras untuk menampung tiga ribu orang. Semua orang mengobrol seperti dengungan ribuan tawon transmigrasi. Di panggung duduk berjejer beberapa ustad senior dan kiai. Sebuah tulisan besar menggantung sebagai latar: Pekan Perkenalan Siswa PM.

Seorang laki­laki separo baya yang berbaju koko putih maju ke podium. Rambutnya yang setengah memutih menyembul dari balik kopiah hitamnya. Janggutnya pendek rapi tumbuh dari dagu bundarnya. Laki ­laki ramping ini mempunyai wajah seorang bapak penyabar.

Matanya berbinar­binar dan tersenyum kepada lautan murid baru dan lama. Senyumnya begitu lebar, seakan­akan tidak ada yang lebih membesarkan hatinya selain melihat ribuan murid bersesak­sesakkan di ruangan ini.

Dia mendehem tiga kali di depan mik. Tiba­tiba suara tawon tadi langsung diam dan senyap. Murid­murid yang duduk di belakang tampak meninggikan lehernya untuk melihat lebih jelas ke depan. Penampilan laki­laki ini boleh bersahaja, tapi aura wibawa yang membuat dia terlihat lebih besar dari fisiknya.

Aku mencolek Raja yang duduk di sebelah kiriku.

”Siapa bapak ini?” tanyaku penasaran.

Raja memandangku dengan tidak percaya. Dia melotot,

Dalam dokumen Syukur dan Terima Kasih (Halaman 57-65)