• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Menyusui ASI

Dalam dokumen KESEHATAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR′AN (Halaman 158-162)

MENYUSUI DAN KESEHATAN

C. Aspek Hukum Menyusui ASI

Ditinjau dari aspek hukum Islam, perempuan tempat anak menyusui sebenarnya ada dua macam, yaitu ibu kandung dan perempuan lain. Ulama fikih sepakat bahwa seorang ibu, dilihat dari hukum ukhrawi (diyanatan), wajib menyusukan anaknya, karena menyusukan anak merupakan upaya pemeliharaan kelangsungan hidup anak, baik ibu ini masih berstatus istri ayah sang anak, maupun dalam masa ‘iddah atau habis masa ‘iddah- nya setelah dicerai suaminya (ayah sang anak).

Para ulama memang berbeda pendapat dalam menafsirkan al-walidat (para ibu) yang diperintahkan menyusukan anaknya dalam Surah al-Baqarah/2: 233. Al-Qurtubi membatasi kata al- walidat bagi ibu yang masih berstatus sebagai istri dari ayah sang anak (hal baqa’ an-nikah), ad-Dahhak dan as-Suddi membatasinya untuk para ibu yang telah bercerai (al- mutallaqat); sementara al-Alusi berpendapat bahwa karena tidak ada pembatasan (takhsis), maka kata tersebut berlaku umum, baik ibu yang masih berstatus istri maupun dalam masa ‘iddah (talaq

raj‘i) atau habis masa ‘iddah-nya (mutallaqah). Pendapat al- Alusi yang disebut terakhir ini mendapat dukungan dari ‘Abdul Karim Zaidan pakar hukum Islam asal Irak dan penulis Ensiklopedia Fikih Perempuan.

Jika Al-Qur'an sangat menganjurkan menyusukan anak dengan ASI, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah menyusui anak ini merupakan kewajiban ibu atau termasuk di antara hak-hak ibu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita lihat ulasan pakar-pakar tafsir dan hukum Islam berikut ini:

Pertama, para pakar tafsir menyatakan bahwa ayat 233 Surah al-Baqarah yang artinya, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya” meskipun menggunakan redaksi kalimat berita (sigah al-khabar), namun memiliki arti perintah (bi ma‘na al- amr). Ayat tersebut seakan-akan berarti bahwa para ibu hendaklah menyusukan anak-anak mereka karena ketentuan Allah subhanahu wa ta‘ala yang mewajibkannya (

).

Kedua, jika ayat tersebut bermakna perintah, para pakar tafsir berbeda pendapat dalam menentukan bentuk perintah itu apakah kewajiban yang mengikat (wajib) atau anjuran yang tidak mengikat (mandub). Az-Zamakhsyari, ar-Razi, dan al- Alusi berpendapat bahwa perintah tersebut bermakna anjuran (an-nadb); Ibnu al-‘Arabi dan al-Qurtubi mengatakan bahwa menyusukan anak menjadi kewajiban bagi ibu yang masih berstatus istri dari ayah sang anak; sementara

116 Menyusui dan Kesehatan

Rasyid Rida menyatakan bahwa perintah dalam ayat tersebut bersifat wajib bagi para ibu secara umum, tanpa memilah yang masih berstatus istri maupun telah bercerai (dari ayah sang anak yang disusukannya).

Meskipun adanya perbedaan pendapat dalam menentukan makna perintah menyusui ini dari yang mewajibkan sampai yang hanya sekadar bermakna dianjurkan, mayoritas ulama Islam sepakat bahwa para ibu berkewajiban—dan karenanya boleh dipaksa oleh hakim dari pengadilan yang berwenang—

untuk menyusukan anaknya dalam tiga kondisi:

1. Anak itu menolak menerima air susu selain dari ASI ibunya.

2. Tidak ada wanita lain yang bisa menyusui anak tersebut.

3. Ayah atau anak itu tidak memiliki harta untuk membayar upah wanita lain (az-zi‘r) yang menyusui anaknya.

Khusus bagi ulama mazhab Syafi‘i, selain dalam tiga hal di atas, ada hal lain yang membenarkan seorang hakim memaksa seorang ibu menyusui anaknya, yaitu pada tetesan pertama ASI (kolostrum atau al-lab’) yang keluar beberapa hari pasca persalinan.

Terkait dengan kewajiban memberikan susuan pertama dan pentingnya kolostrum bagi bayi di hari-hari pertama pasca kelahiran sebagaimana ditegaskan dalam mazhab Syafi‘i, para pakar kesehatan anak pun kini menyadari manfaat besar ASI dalam 1-5 hari pertama bagi bayi. Karena antara hari pertama dan hari kelima, bayi berpeluang mendapatkan kolostrum yang sangat dibutuhkan oleh bayi sehingga disebut sebagai “cairan

berstandar emas”. Kolostrum tersebut kaya akan sel-sel aktif kekebalan dan protein pertahanan tubuh lainnya. Kolostrum juga mengandung vitamin A yang melindungi mata dan infeksi, dan berperan melancarkan gerakan usus bayi sehingga mokoneum (isi usus sejak dalam kandungan) cepat keluar sehingga resiko terhinggap penyakit kuning (ikterus) dapat dikurangi. Pada bagian selanjutnya kita akan membicarakan secara khusus kandungan ASI dalam tinjauan ilmu gizi dan kesehatan.

Di samping menjadi keharusan seorang ibu untuk memberikan ASI kepada anaknya (wajibun ‘alaiha), para ulama berpendapat bahwa menyusui anak juga menjadi hak seorang ibu (haqqun laha), sehingga para suami tidak berhak melarang istri atau bekas istrinya yang ingin dan memiliki kelayakan menyusui anaknya. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta‘ala dalam penggalan Surah al-Baqarah/2:233:

Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah menderita karena anaknya. (al- Baqarah/2:233)

Pakar tafsir al-Qurtubi saat menafsirkan penggalan ayat di atas mengatakan “Seorang ibu hendaknya tidak menolak menyusui anaknya sehingga membuat sulit ayahnya atau meminta upah yang melewati batas kewajaran. Demikian pula seorang ayah tidak berhak melarang seorang ibu yang ingin menyusui anaknya. Ini merupakan pendapat mayoritas para pakar tafsir.”

118 Menyusui dan Kesehatan

Demikianlah, dari pembahasan tentang perintah menyusukan anak dengan ASI ini dapat kita simpulkan bahwa ajaran Islam sangat menekankan arti penting pemberian ASI bagi anak karena menjadi kewajiban dan hak seorang ibu, di samping menjadi hak anak. Arti penting ASI ini telah dinyatakan oleh Al- Qur'an lebih dari empat belas abad sebelum munculnya tema Peringatan Hari ASI Sedunia tahun 2007 yang berbunyi:

“Dengan menyusui bayi pada satu jam pertama kehidupannya sampai enam bulan usianya, akan menyelamatkan lebih dari satu juta bayi.”

Dalam dokumen KESEHATAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR′AN (Halaman 158-162)