DAN PROSES KELAHIRAN
G. Aspek Hukum Bagi Perempuan Hamil
manusia. Artinya, melalui redaksi tersebut manusia didorong untuk melakukan penelitian ilmiah agar kelahiran bayi cacat bisa diatas, atau paling tidak bisa diminimalisir.
Kehamilan dan Proses Kelahiran 89
siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya. (at-Talaq/65: 4
Ayat di atas menjelaskan tentang masa ‘iddah bagi perempuan yang sudah menopause (tidak haid lagi) yaitu 3 bulan, anak perempuan yang belum haid, masa ‘iddah- nya juga 3 bulan. Sedangkan perempuan hamil, masa
‘iddah-nya sampai ia melahirkan.
Ayat ini dilatarbelakangi oleh pertanyaan salah seorang sahabat, setelah turunnya ayat pada Surah al-Baqarah/2, tentang masa ‘iddah perempuan yang dicerai hidup, yakni 3 kali haid/suci, yaitu perempuan yang menopause, perempuan yang belum pernah haid, dan perempuan hamil. Lalu, turunlah ayat ini. Artinya, ayat ini ingin menegaskan bahwa masa ‘iddah perempuan hamil adalah sampai ia melahirkan.
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
Sesungguhnya Subai‘ah al-Aslamiyah telah ditinggal mati suaminya, sementara ia dalam keadaan hamil yang sebentar lagi akan melahirkan. Maka tatkala nifasnya
sudah habis, ia dilamar (oleh seseorang). Lalu ia meminta izin kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikah. Ternyata beliau mengizinkan untuk menikah, akhirnya ia dinikahkan. (Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Hanya saja, para ulama mempersyaratkan bahwa janin yang dikandungnya itu terlahir dengan sempurna bukan berupa mudgah (segumpal daging), apalagi masih berupa
‘alaqah (segumpal darah). Dan, tidak ada bedanya apakah ia cerai mati atau cerai hidup.
Kenapa ‘iddah perempuan hamil sampai ia melahirkan?
Sebab dengan melahirkan berarti rahimnya telah bersih atau kosong. Inilah bentuk kehati-hatian Islam, agar tidak terjadi ketidakjelasan nasab. Makanya, seorang perempuan yang dicerai, jika dirinya hamil, ia tidak boleh menyembunyikannya, sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat...” (al-Baqarah/2: 228)
Yang dimaksudkan dengan “apa yang diciptakan Allah subhanahu wa ta‘ala dalam rahimnya”, para ulama berbeda pendapat. Satu versi mengartikan “haid”, sedangkan yang lain
Kehamilan dan Proses Kelahiran 91
mengartikan “janin yang ada di kandungan”, sementara yang lain lagi mengartikan “haid dan kehamilan”. Alasan pelarangan ini adalah demi menghindarkan si mantan suaminya, jika cerai hidup, dari sikap idrar (tersakiti). Sebab pada masa Jahiliah, apabila ada perempuan yang dicerai oleh suaminya, ia sengaja menyembunyikan kehamilannya, ketika ada orang lain melamarnya. Demikian ini, karena ia sangat menginginkan jika anak yang terlahir tersebut memiliki garis nasab dengan lelaki yang baru saja menikahi, sekaligus ia tidak kehilangan haknya untuk mendapatkan biaya perawatan (nafkah) dari mantan suaminya.
Di samping itu, jika seorang perempuan menyembunyikan kehamilannya karena zina, maka konsekuensi hukumnya akan menjadi berat. Misalnya, ketika ia menikah dengan lelaki lain, tiba-tiba si perempuan itu terbukti telah hamil sebelum dinikahi, maka ia akan mendapat hukuman zina, sebagaimana dalam riwayat Abu Dawud berikut ini:
Dari Sa‘id bin al-Musayyab, dari seorang laki-laki dari sahabat Ansar, menurut Ibn Abi as-Sarriyy, salah saorang sahabat Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa tidak ada kalimat minal-ansar. Akan tetapi, mereka bersepakat bahwa yang dimaksud dengan ”laki-laki” di sini adalah Basrah ia berkata, “Aku telah menikahi seorang perempuan, yang keperawanannya dirahasiakan, lalu aku menggaulinya, ternyata ia dalam keadaan hamil.” Lalu Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ia tetap berhak atas maskawin tersebut sebab ia sudah digauli, akan tetapi, anak yang terlahir akan menjadi budakmu. Maka apabila ia sudah melahirkan, menurut al-Hasan dan Ibn Abi as- Sarriy, cambuklah ia!” atau ia berkata, “kenakan had zina kepadanya”. (Riwayat Abu Dawud)
2. Kewajiban nafkah dan tempat tinggal
Dalam firman Allah subhanahu wa ta‘ala dinyatakan:
Kehamilan dan Proses Kelahiran 93
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungannya, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (at-Talaq/65: 6)
Ayat ini menerangkan bahwa seorang perempuan yang ditalak ba’in berhak memperoleh tempat tinggal yang layak selama masa ‘iddah. Bahkan, tempat tinggal tersebut harus berdekatan dengan tempat tinggal mantan suaminya, atau paling tidak memungkinkan untuk mendapat pengawasan dan terpenuhi kebutuhannya.
Akan tetapi, jika perempuan yang ditalak ba’in itu dalam keadaan hamil, maka ia berhak memperoleh nafkah sampai melahirkan. Sebab, bagi perempuan yang telah ditalak ba’in tetapi tidak hamil, maka tidak ada kewajiban bagi mantan suaminya untuk menafkahinya kecuali memberi tempat tinggal sampai masa ‘iddah-nya habis. Pendapat ini diikuti oleh mazhab Maliki dan Syafi‘i.
Sementara menurut al-Hasan dan Hammad, wanita yang telah ditalak ba’in tidak berhak mendapatkan apa saja dari mantan suaminya, baik tempat tinggal maupun
nafkah, kecuali ia hamil. Hanya saja, menurut Ibnu
‘Asyur, pendapat yang kedua ini didasarkan pada hadis garib yang tidak jelas sumbernya. Sementara pendapat yang pertama didasarkan pada hadis sahih,
“Sesungguhnya bagi perempuan yang ditalak ba’in berhak memperoleh tempat tinggal.