• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Etika dalam Organisasi untuk Integritas Publik

ETIKA PUBLIK DALAM KEBIJAKAN PUBLIK

G. Budaya Etika dalam Organisasi untuk Integritas Publik

OECD membantu mengidentifikasi beberapa situasi (tujuh) berbahaya yang bisa menyeret pejabat publik terjebak di dalam konflik kepentingan: pekerjaan tambahan di luar jabatan; informasi konfidensial yang diperoleh karena jabatan bisa disalahgunakan;

kontrak memerlukan persiapan, negosiasi, manajemen, bisa diarahkan untuk kepentingan pribadi; pemberian atau bentuk keuntungan lain; keluarga atau harapan komunitas; janji temu dengan pihak-pihak dari luar organisasi (organisasi profesi, agama, politik, perusahaan, sekolah) perlu terbuka terhadap pengawasan bila tidak godaan kepentingan diri kuat; aktivitas setelah selesai memegang jabatan (Ibid, 33).

Konflik kepentingan sangat sering terjadi dalam menentukan alokasi budget, pilihan proyek (kontrak pembangunan, outsourcing, penyewaan), mekanisme pengadaan barang/jasa. Konflik kepentingan yang mendorong korupsi selalu melibatkan transaksi yang bisa tidak langsung, misalnya, kebijakan menteri yang menguntungkan salah satu perusahaan di mana menteri mempunyai kepentingan (perusahaan milik keluarga, teman, asosiasi, komisaris). Bisa juga imbalannya tidak langsung diterima, tetapi perusahaan menanggung biaya pendidikan anak menteri yang sedang belajar di universitas di luar negeri. Bentuk konflik kepentingan yang juga biasa terjadi ialah menggunakan pengaruhnya selama masih memegang jabatan untuk mempersiapkan diri agar diterima bekerja di instansi lain atau perusahaan setelah jabatan berakhir dengan imbalan selama masih menjabat membantu memberi jasa tertentu.

Untuk memudahkan identifikasi kemungkinan risiko konflik kepentingan, pejabat publik, menurut OECD, pelu membuat pernyataan pada awal jabatan, ketika masih memegang jabatan dan pada akhir jabatan (OECD, 2008: 29, 30). Pernyataan tertulis itu berisi jumlah kekayaan perlu dilaporkan yang berbentuk aset, investasi, kegiatan-kegiatan di luar jabatan, keuntungan, pemberian dan pelayanan yang diterima. Menyerahkan dalam bentuk tertulis semua bentuk kepentingan (istri, anak, keluarga, mitra, asosiasi etnis/agama/profesi) yang mungkin bisa

mempengaruhi dalam menghadapi konflik kepentingan (OECD, 2008: 42-44).

Awal masa jabatan, membuat pernyataan tertulis mengenai informasi yang menunjukkan daftar kemungkinan-kemungkinan yang bisa menyeret ke konflik kepentingan. Pada saat masih menjabat juga dituntut untuk memberikan informasi yang relevan tentang konflik kepentingan karena situasi berkembang sejak pernyataan awal masa jabatan. Pada akhir masa jabatan, pelaporan tentang masalah-masalah konflik kepentingan yang cukup mendetail yang memungkinkan untuk menemukan jalan keluar. Kejujuran dalam pembuatan laporan ini akan diperiksa oleh pengawas internal organisasi. Jadi administrasi organisasi harus menjamin agar pelaporan tentang risiko konflik kepentingan itu dibuat secara berkala serta selalu diperbaharui dan akan dijadikan salah satu pertimbangan untuk penunjukan jabatan atau kenaikan karier (Ibid, 29-30). Akan lebih efektif bila semua pernyataan itu dipublikasikan sehingga pihak lain, klien, kontraktor, agen, lembaga-lembaga mitra kerja sama mengetahui aturan antikonflik kepentingan itu. Secara rutin didiskusikan dengan staf bagaimana bisa diterapkan untuk menjamin bahwa kebijakan itu dipahami dan diterima.

Ad.2. Membangun akuntabilitas baik secara internal atau dari luar organisasi agar terbuka terhadap pemeriksaan publik

Secara internal misalnya dengan menyederhanakan dan memodifikasi prosedur-prosedur, mendorong efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, memperkuat audit dan integritas internal masing-masing unit kerja, menggunakan teknologi informasi untuk menjamin netralitas serta anonimitas, dan meningkatkan intensitas komunikasi internal. Bila pejabat publik menghadapi situasi yang potensial menyeret ke masalah konflik kepentingan harus dikemukakan secara terbuka sehingga memungkinkan kontrol yang memadai dan menerapkan manajemen pemecahan masalah. Mekanisme akuntabilitas mengarahkan kegiatan pelayanan publik, mengecek hasil yang

telah dicapai dan mengawasi agar proses diikuti secara benar, termasuk prosedur-prosedur administrasi internal (harus ada laporan tertulis), audit, dan evaluasi terhadap kinerja atau penerapan prosedur baru yang mendorong keberanian whistle- blower (Public Sector Integrity, 2005: 69).

Perlindungan yang efektif terhadap whistle-blower akan mendorong keberanian pelayanan publik untuk melaporkan konflik kepentingan dan mengatakan “tidak” bila diminta melakukan tindakan yang secara etika keliru. Maka perlu mekanisme untuk menangani keluhan, tuduhan, atau kritik yang masuk. Mekanisme itu harus menjamin bahwa pelaporan pelanggaran yang sesuai prosedur dijamin tidak akan mendapat pembalasan atau sanksi.

Mekanisme itu sendiri tidak akan disalahgunakan. Akses terhadap laporan, audit dan evaluasi juga dilakukan oleh DPR, auditor independen, ombudsman, atau organisasi nirlaba.

Ad.3. Menerapkan pendekatan manajemen yang menjamin bahwa pejabat publik mengambil tanggung jawab pribadi

Bentuk tanggung jawab itu berupa kemampuan mengidentifikasi dan memecahkan masalah bila harus menghadapi konflik kepentingan (OECD, 2009: 26). Sebelum menerima jabatannya, memberi peta kepada atasan atau Komisi Etika hubungan-hubungan yang berisiko menyeret ke konflik kepentingan. Selain itu, mengungkap urusan-urusan atau kepentingan-kepentingan yang dipertaruhkan. Terhadap kedua potensi yang mengancam integritasnya itu, tindak pencegahan apa yang bisa dibuat? Komitmen apa yang menjamin bahwa ia tidak akan terseret ke konflik kepentingan?

Ad.4. Menciptakan budaya organisasi di mana tumbuh kepedulian untuk menolak atau menghindari setiap bentuk konflik kepentingan

Manajemen dalam kebijakan, proses dan praktik di lingkungan kerja harus dibuat agar ada kontrol efektif terhadap

konflik kepentingan. Caranya mendorong pejabat publik untuk mau terbuka dan mendiskusikan masalah-masalah konflik kepentingan dan mengusulkan tindakan-tindakan yang masuk akal untuk melindungi pelaporan agar tidak disalahgunakan oleh pihak lain (OECD, 2009: 27). Untuk itu organisasi publik harus menciptakan dan mendukung budaya komunikasi yang terbuka dan membiasakan diri untuk berdialog tentang integritas dan perjuangan untuk memajukan integritas (Ibid, 27). Budaya etika harus mendapat dukungan dari masyarakat karena sebagai konsumen pelayanan publik masyarakat merasakan langsung dampak baik/buruknya kualitas pelayanan publik. Maka perlu berbagai upaya konkret dalam pemberdayaan civil society untuk fungsi pengawasan.