yang berkeadilan sosial melahirkan pendekatan baru yang berorientasi kepentingan masyarakat, yaitu new public service (NPS) (Denhardt & Denhardt, 2000, 2003). NPS dalam literatur administrasi publik dikenal juga dengan paradigma governance (Denhardt & Denhardt, 2003, 2007), public governance (Bovaired &
Loffler, 2009), atau collaborative governance (Ansell & Gash, 2007) untuk menggantikan istilah government dalam paradigma Old Public Administration (OPA) dan paradigma NPM.
Pergeseran government ke governance dimaksudkan untuk mendemokratisasi administrasi publik. Government menunjuk pada institusi pemerintah terutama dalam kaitannya dengan pembuatan kebijakan. Sementara itu, governance menunjuk pada keterlibatan Non Governmental Organization (NGO), kelompok- kelompok kepentingan, dan masyarakat, di samping institusi pemerintah dalam pengelolaan kepentingan umum, terutama dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Konsep governance memperhitungkan seluruh aktor dan area kebijakan yang berada di luar “pemerintah/eksekutif inti” yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan (Richard & Smith, 2002).
NPS menilai bahwa NPM dan OPA terlalu menekankan pada efisiensi dan melupakan serta mengabaikan masyarakat sebagai sasaran dari kebijakan publik. NPS memperbaiki kekurangan ini dengan konsep pelayanan kepada warga masyarakat bukan kepada pelanggan (delivery service to citizen not customer) dalam proses penyelenggaraan administrasi publik dan kebijakan publik.
Berbagai kebijakan dan program diarahkan untuk memenuhi kepentingan warga masyarakat dan dilakukan melalui tindakan kolektif dan proses kolaboratif. Dengan demikian, kepentingan publik merupakan hasil dari proses dialog tentang nilai-nilai yang disetujui bersama oleh masyarakat dan bukan agregasi kepentingan pribadi atau kelompok administrator publik. Kebijakan publik tidak hanya sekedar memenuhi tuntutan pasar, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai dan kepentingan masyarakat (Denhardt
& Denhardt, 2000, 2003).
Menurut pendekatan NPS, administrasi publik tidak bisa dijalankan seperti perusahaan swasta seperti dikehendaki dalam NPM karena administrasi negara harus mampu menciptakan suasana demokratis dalam keseluruhan proses kebijakan publik, yaitu dengan memperhatikan kepentingan dan nilai-nilai yang hidup di kalangan masyarakat. Pegawai pemerintah tidak melayani pelanggan, tetapi memberi pelayanan untuk kepentingan demokratis (Denhardt & Denhardt, 2003, 2007). Maknanya adalah NPS menaruh minat yang besar terhadap keadilan sosial, yaitu dengan melibatkan masyarakat secara langsung dalam setiap aktivitas proses kebijakan publik.
Istilah public governance menunjuk pada saling interaksi antara para stakeholders dengan tujuan mempengaruhi hasil kebijakan publik (Boivaird & Loffler, 2009). Stakeholders di atas meliputi antara lain adalah masyarakat (warga negara), organisasi masyarakat, lembaga publik, media massa. Politisi, organisasi nirlaba, kelompok kepentingan, dan sebagainya.
Public governance berisi lima untaian berikut (Osborne, 2010: 6-7).
1. Socio-political governance: menyangkut hubungan antarinstitusi dalam masyarakat. Kooiman (1999) mengatakan bahwa hubungan timbal balik dan interaksi antarinstitusi dalam masyarakat perlu dipahami secara totalitas dalam pembuatan kebijakan publik, tetapi
bergantung kepada keseluruhan elemen masyarakat (stakeholders).
2. Public policy governance: berkaitan dengan bagaimana elite pembuat kebijakan beserta jaringannya berinteraksi dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik.
3. Administrative governance: menyangkut efektivitas penerapan administrasi publik dan reposisinya untuk menangani masalah-masalah pemerintahan yang dewasa ini semakin kompleks.
4. Contract governance: berkaitan dengan penerapan NPM, dipandang perlu adanya kontrak perjanjian dalam penyelenggaraan pelayanan publik (perjanjian antara penyedia pelayanan publik dengan pihak penerima layanan). Organisasi/institusi publik pada negara-negara modern memiliki tanggung jawab untuk menyediakan sistem pelayanan publik yang baik (Kettl, 1993 & 2000).
5. Network governance merupakan jaringan kerjasama mandiri antarorganisasi pemerintah atau tanpa organisasi pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik (Rhodes, 1997; Kickert, 1993).
Sementara itu, istilah collaborative governance merupakan cara pengelolaan pemerintah yang melibatkan secara langsung stakeholder di luar negara, berorientasi konsensus, dan musyawarah dalam proses pengambilan keputusan kolektif, yang bertujuan untuk membuat atau melaksanakan kebijakan publik serta program-program publik (Ansell & Gash, 2007, dalam Setyoko, 2011: 15). Fokus collaborative governance adalah pada kebijakan dan masalah publik. Walaupun lembaga publik memiliki otoritas tertinggi dalam pembuatan kebijakan, tujuan dan proses kolaborasi adalah mencapai derajat konsensus di antara para stakeholders (bukan penekanan dari lembaga publik). Collaborative governance menghendaki terwujudnya keadilan sosial dalam memenuhi kepentingan publik (Setyoko, 2011: 16).
Kelahiran paradigma baru dalam administrasi publik secara teoretis tidak berarti menghilangkan paradigma lama. Dalam
praktik, ketiga paradigma tersebut dapat berlaku secara bersama- sama atau bersamaan dalam suatu negara. Pada organisasi yang menjunjung tinggi aspek hierarki, prosedural, kesatuan perintah, dan kepatuhan seperti organisasi militer, kepolisian, kehakiman (lembaga pemasyarakatan), ketika merumuskan dan melaksanakan kebijakan, akan lebih cocok menggunakan paradigma Old Public Administration (OPA) daripada paradigma NPM yang berorientasi bisnis atau NPS yang berorientasi pelayanan (citizen charter).
Bagi organisasi pemerintah yang berorientasi bisnis (mencari profit) seperti lembaga-lembaga keuangan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), industri- industri strategis negara, praktik administrasi dan kebijakan publiknya tentu lebih cocok menggunakan paradigma NPM.
Sementara itu, institusi yang berorientasi pada pelayanan publik dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial seperti kesehatan, pendidikan, pelayanan publik, dinas/institusi sosial, akan lebih cocok menggunakan pendekatan NPS atau governance (Setyoko, 2011: 16-17).
Perbandingan antara ketiga paradigma di atas secara umum digambarkan Osborne (2010: 10) sebagaimana pada tabel berikut:
Tabel 1. Perbandingan Public Administration (PA), New Public Management (NPM), dan New Public Governance (NPG) atau NPS
Paradigma Dasar Teoretis
Sifat Fokus Tekanan/
Perhatian
Mekanisme Alokasi Sumber daya
Sifat Sistem Pelayanan
Nilai Dasar
Publik Adminis- tration (PA)
Ilmu Politik dan Kebija- kan Publik
Kesera- gaman
Sistem politik
Pembua- tan kebijakan dan implemen- tasi kebijakan
Hierarki Tertutup Budaya Sektor Publik
New Publik Manage- ment (NPM)
Rasional/
teori pilihan publik dan studi mana- jemen
Penga- turan
Organi- sasi
Manaje- men sumber daya organisasi dan kinerja
Pasar dan Neo classical kontrak
Rasional terbuka
Keung- gulan dan Pangsa pasar
New Publik Governan- ce (NPG)
Teori institu- sional dan jaringan kerja
Jamak dan berbe- da- beda
Organi- sasi dan lingku- ngan- nya
Negosiasi nilai makna dan saling keterkai- tan (saling hubungan- nya)
Jaringan kerja dan kontrak hubungan relasional
Terbuka, tertutup
Mem- per- juang- kan
Sumber: Osborne (2010: 10)