• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika Institusional dan Budaya Etika

ETIKA PUBLIK DALAM KEBIJAKAN PUBLIK

E. Etika Institusional dan Budaya Etika

memahami faktor-faktor yang menyumbang keputusan dan tindakan yang sesuai dengan etika publik;

(iv) salah satu faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan etis adalah sanksi organisasi (imbalan atau hukuman);

(v) setiap orang menerima prinsip bahwa kebenaran selalu terbuka untuk didiskusikan untuk sampai pada persepsi tentang perilaku etika yang benar dan bagaimana masalah- masalah etika harus ditangani.

dijabarkan tanpa melalui mediasi atau tanpa harus melalui prosedur persetujuan orang lain. Sedangkan dalam etika sosial, hubungan antara visi dan tindakan tidak langsung, karena menyangkut tindakan kolektif dan berkaitan dengan struktur sosial. Maka dibutuhkan persetujuan melalui mediasi yang sering berupa simbol-simbol dan nilai-nilai agar sebanyak mungkin anggota kelompok menyetujui sebagai titik tolak atau tolak ukur dalam bertindak bersama, terutama dalam pilihan-pilihan sarana.

Etika publik dalam konteks ini lebih merupakan etika sosial, namun proses penalaran moralitas individual berkelindan dengan etika sosial seperti tercermin dalam tahap-tahap pengambilan keputusan moral yang ketiga dan keempat, tetapi terutama pada tahap kelima dan keenam karena prinsip moral sudah menjadi dasar prasarana sosial dan penataan sosial.

Dalam hidup pribadi, tindakan dan perilaku seseorang biasanya diarahkan oleh kesadaran moral untuk membedakan yang baik/jahat, benar/salah dengan tetap berusaha menghormati orang lain. Begitu masuk dalam ruang publik, sebagai pejabat publik, politisi, pemuka agama, pemimpin organisasi atau peran sosial lainnya, orang diarahkan juga oleh serangkaian aturan dan hukum yang sering belum tentu sesuai dengan prinsip-prinsip yang diyakinkan (J.S. Bowman, 2010: 84). Maka kalau dikatakan bahwa hubungan antara visi dan tindakan kolektif butuh mediasi untuk mendapat persetujuan dari sebanyak mungkin anggota masyarakat, berarti:

(i) dalam ruang publik pejabat publik bertindak bukan atas nama pribadi, tapi untuk kepentingan masyarakat;

(ii) kepentingan masyarakat tidak sama, padahal harus bertindak mengambil keputusan, berarti harus memilih salah satu;

(iii) bagaimana menjembatani keyakinannya dengan argumen pilihan masyarakat.

Proses pengambilan keputusan itu peran mediasi penting.

Mediasi yang berupa nilai, simbol, atau pemaknaan, berfungsi sebagai sarana persuasif agar mendukung atau menerima suatu

keputusan untuk suatu tindakan kolektif. Seorang pejabat publik atau politisi karena keyakinannya, tidak setuju dengan penggunaan kontrasepsi, tetapi ketika program KB dicanangkan oleh pemerintah dan disetujui DPR, sebagai pejabat yang mendapat mandat dari rakyat atau konstituen, dia tidak bisa menghalangi program tersebut. Pilihan bertindaknya ada tiga kemungkinan, yaitu:

(i) patuh pada undang-undang yang berlaku;

(ii) tidak setuju dengan undang-undang yang berlaku, lalu mengubah hukum melalui proses demokratis yang sudah berjalan;

(iii) tidak setuju dengan hukum yang berlaku, tidak bisa mengubahnya, lalu mengundurkan diri dari jabatan.

Akuntabilitas, bukan kesewenangan memberlakukan nilai pribadi, namun mengikuti hukum dan sistem politik yang disetujui bersama.

Kasus ini memperlihatkan bahwa tindakan seseorang sudah dikondisikan oleh suatu struktur sehingga akan membatasi manuver pilihannya. Keputusan untuk menerima atau menolak struktur sosial tertentu merupakan bagian dari keputusan etis.

Maka etika publik sebagai etika institusional tidak hanya menyangkut keputusan individual tetapi juga tindakan kolektif.

Ricoeur mendefinisikan “etika” sebagai” tujuan hidup baik bersama dan untuk orang lain dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi yang adil” (1990). Definisi ini sekaligus memperbaiki kekurangan tipe penalaran teleologi karena tujuan yang baik tidak bisa sewenang-wenang membenarkan pilihan sarana. Efektifitas pilihan sarana harus mempertimbangkan apakah semakin memperluas lingkup kebebasan. Upaya memperluas lingkup kebebasan mengandalkan hormat akan nilai- nilai solidaritas, toleransi, dan penerimaan pluralitas. Maka kesamaan kesempatan, kesetaraan di depan hukum, prinsip subsidiaritas, dan opsi untuk mengutamakan kelompok yang lemah menjadi nilai-nilai utama.

Terciptanya institusi-institusi sosial yang lebih adil menjadi tujuan etika institusional. Oleh karena itu etika institusional memperhitungkan pengaruh tempat kerja, organisasi, karena memang benar penilaian standar etika individual sangat berperan, tetapi institusi mendefinisikan dan mengontrol situasi di mana keputusan-keputusan itu diambil (J.S. Bowman, 2010: 85). Ilustrasi yang secara jernih menjelaskan mekanisme etika institusional ini ialah dualitas struktur A. Giddens yang didefinisikan sebagai

“pembentukan agen dan struktur bukan dua fenomena terpisah, tetapi merupakan dualitas, artinya bagian struktural sistem sosial adalah sekaligus sarana dan hasil interaksi yang berulang dan terpola yang diorganisir” (1984: 19, 25; 1994: 129).

Giddens melihat adanya dualitas struktur, artinya bahwa struktur sosial dibentuk oleh pelaku, namun sekaligus menjadi sarana pembentukan itu sendiri yang mempengaruhi tindakannya (J.S. Bowman, 2010: 129). Jadi, struktur sosial merupakan tujuan atau hasil dari interaksi yang berulang dan terpola, namun sekaligus menjadi sarana yang mengondisikan tindakan.

Dualitas struktural yang dielaborasi Giddens itu menjadi relevan dalam kerangka etika publik bila modalitas interaksi sosial disesuaikan dengan tuntutan dinamika etika publik. Elaborasi modalitas di ketiga interaksi sosial mengarahkan pada pembentukan budaya etika dalam organisasi pemerintahan. Maka skema dinamika etika publik yang mendasarkan pada dimensi dualitas struktur bisa digambarkan sebagai berikut ini.

INTERAKSI KOMUNIKASI KEKUASAAN

SANKSI [MORALITAS]

MODALITAS

KERANGKA PENAFSIRAN:

Prinsip Keadilan, subsidiaritas &

solidaritas

Deontologi, Teleologi, (teori-teori etika lain)

Enam Tahap Perkemba- ngan Kesadaran Moral (Kohlberg)

Hak untuk Menjadi Bagian Komunitas

FASILITAS:

Infrastruktur Etika

Akuntabilitas

Transparansi

Netralitas

Tiga Kompetensi (teknik, leadership, etika)

E-Governance

NORMA

Kode Etik,

Hukum untuk mencegah Korupsi dan Konflik Kepentingan

Integrasi Publik

Pelayanan Publik yang Relevan dan Responsif

Nilai-nilai Agama

STRUKTUR PEMAKNAAN DOMINASI LEGITIMASI

BUDAYA ETIKA DALAM ORGANISASI PELAYANAN PUBLIK

Gambar 5. Dinamika Etika Publik, Mendasarkan pada Dimensi Dualitas Struktur

Sintesis dari dua etika sosial, yaiktu etika politik (Sutor, 1991: 86) dan dimensi-dimensi dualitas struktural (Giddens, 1994:

129).

Ada tiga bentuk interaksi sosial yang dominan di dalam masyarakat, yaitu komunikasi, kekuasaan, dan moralitas.

Pemaknaan akan apa yang dilakukan dan dikatakan tidak bisa lepas dari kerangka penafsiran. Kerangka penafsiran ini tidak lepas dari

tatanan pengetahuan yang menjadi struktur pemaknaan suatu komunitas. Demikian pula sebaliknya, struktur pemaknaan suatu komunitas membentuk tatanan pengetahuan. Interaksi kekuasaan sangat ditentukan oleh fasilitas yang dimiliki. Semakin memiliki beragam fasilitas akan semakin meningkatkan kemampuan di dalam mempengaruhi perilaku pihak-pihak lain atau kemampuan dominasinya. Akhirnya, semua tindakan, terutama kekuasaan, selalu membutuhkan dasar pembenaran. Kerangka ini masuk di dalam interaksi moralitas. Dasar pembenaran tindakan atau kekuasaan itu diperoleh dengan mengacu pada norma (hukum, tradisi, agama, aturan, kebiasaan). Ketiga interaksi (komunikasi, kekuasaan, dan moralitas) dan struktur yang dibentuk (pemaknaan, dominasi, legitimasi) merupakan satu kesatuan, sedangkan pemisahan itu hanya pada tingkat analitis (A. Giddens, 1994: 129-130).

Prinsip-prinsip moral menjadi kerangka berpikir atau acuan bertindak suatu organisasi pelayanan publik karena memberi kerangka penafsiran di dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Perekrutan karyawan memperhitungkan kepedulian etika, syarat kenaikan jenjang kepangkatan harus lulus pelatihan etika publik, jabatan harus diisi oleh mereka yang, selain memiliki kompetensi teknis dan leadership, juga mempunyai kompetensi etika. Organisasi memberi rambu-rambu agar keputusan- keputusan kebijakan publik selalu mempertimbangkan standar etika, seperti memberi perhatian kepada yang lemah, memperlakukan semua warga negara setara.

Dalam modalitas komunikasi tersebut, tipe-tipe penalaran etika yang telah dijelaskan di atas berperan memberi kerangka penafsiran dalam interaksi di dalam organisasi. Kerangka penafisiran ini menentukan kriteria sejauhmana pelayanan publik berkualitas dan relevan. Interaksi komunikasi ini tidak bisa dipisahkan dari interaksi kekuasaan dan moralitas karena menyangkut legitimasi kekuasaan juga. Dalam interaksi moralitas ini yang dicari adalah legitimasi atau dasar pembenaran tindakan.

Untuk itu, tindakan harus ke norma, hukum, aturan atau

kebiasaan. Acuan ke norma itu bukan hanya alasan kepatuhan, aturan atau kebiasaan, tetapi hasil penalaran dan diskusi. Bila refleksi kritis seperti ini berjalan, budaya etika organisasi menjadi mungkin.

Tumbuhnya budaya etika dalam organisasi, menurut Bowman, mengandalkan kepada kemampuan (2010: 70), yaitu:

(i) kemampuan membangun konsensus moral di dalam lembaga yang bersangkutan;

(ii) kemampuan mendengarkan dengan baik dan mengkomunikasikan kepentingan, dukungan, empati kepada semua pihak yang terlibat;

(iii) kemampuan untuk mendidik semua pihak yang terlibat tentang dimensi-dimensi etika dari situasi tertentu;

(iv) kecerdasan untuk memberi visi moral bagi semua pihak yang terlibat;

(v) memahami bagaimana merepresentasikan gagasan- gagasan berbagai pihak kepada yang lain;

(vi) mampu mendorong setiap pihak untuk mengkomunikasikan secara efektif gagasan atau kepentingan sehingga didengar dan dipahami pihak lain;

(vii) kemampuan untuk mengenali dan menghadapi berbagai hambatan dalam komunikasi.

Menjadi jelas bahwa masalah etika publik tidak bisa dipisahkan dari kemampuan komunikasi. Sumbangan gagasan Giddens sangat berarti untuk memetakan posisi komunikasi ini dalam interaksi sosial atau perubahan sosial. Komunikasi yang efektif bisa menghindar dari dilema etika. Komunikasi yang tidak seimbang cenderung mengarah ke manipulasi, eksploitasi atau penyesatan karena pemaknaan atau penafsiran cenderung menyembunyikan kepentingan entah pribadi atau kelompok.

Penyembunyian kepentingan ini terkait dengan peran ideologi, dalam arti sebagai faktor integrasi dan pembenaran dominasi.

Maka etika juga bisa jatuh menjadi ideologi. Lalu apa yang ditafsirkan dan mendapat pembenaran dari etika adalah hubungan kekuasaan karena setiap tindakan dan setiap kekuasaan selalu

mencari legitimasi. Kekuasaan biasanya menuntut lebih dari keyakinan yang kita miliki. Untuk mengisi kekurangannya, etika bisa dijadikan alat atau sistem pembenaran dominasi. Maka etika juga bisa dijadikan alat pencitraan (ideologi). Namun akan ada resistensi terhadap mekanisme ideologi itu karena kuatnya transparansi sebagai tuntutan etika publik. Transparansi berarti mudah diakses sehingga topeng-topeng yang menyembunyikan kepentingan kekuasaan akan dibongkar.

Akuntabilitas dan transparansi bukan lagi masalah etika individual, tetapi berurusan dengan etika institusional. Maka pengetahuan tentang tipe-tipe penalaran etika belum cukup karena berhadapan dengan struktur sosial dan tindakan kolektif.

Contoh tipe penalaran etika yang memperhitungkan struktur sosial dan tindakan kolektif, selain teori keadilan Rawls, yang sudah disebut di atas, adalah gagasan Michael Walzer (1983).

Menurutnya, ada dua prinsip dasar dan tiga hak yang tidak dapat dipisahkan yang memiliki keberlakuan lintas budaya. Dua prinsip dasar ialah:

(i) prinsip bahwa dominasi cenderung salah; prinsip ini harus dipahami dari perspektif bahwa pihak yang didominasi selalu sudah dalam posisi lemah dan dominasi adalah bentuk ketidakadilan;

(ii) pribadi dan komunitas harus selalu dihormati.

Tiga hak yang bisa dipisahkan dari dua prinsip di atas:

(i) hak hidup;

(ii) hak kebebasan;

(iii) hak untuk menjadi anggota komunitas.

Hak hidup berarti hak untuk tidak dibunuh, ditelantarkan, disiksa, tanpa tempat tinggal atau pelayanan kesehatan. Hak ini mengacu perlindungan dan keamanan, terutama hak akan sumber daya untuk mengembangkan kemampuan, memperoleh kesempatan agar berguna dan kreatif, serta memperoleh kekayaan, makna hidup, dan kebahagiaan.

Hak kebebasan berarti setiap orang mempunyai hak untuk tidak dihalangi melaksanakan kebebasannya, terutama untuk ikut serta mengambil keputusan dan menciptakan nilai dalam suatu masyarakat. Sedangkan hak untuk menjadi anggota komunitas berarti hak untuk tidak dikeluarkan dari komunitas. Hak orang untuk membangun dan memelihara komunitas khas yang dihormati dan diakui oleh kelompok komunitas lain. Maka komunitas dengan sejarah khasnya mempunyai hak komunal untuk bisa memelihara gaya hidup mereka dan memiliki pola khusus pemahaman. Hak ini merupakan dasar martabat manusia dan penghargaan diri.

Prinsip keadilan model Walzer ini akan sangat membantu untuk memberi pendasaran teoritis bagi hak kelompok-kelompok yang sering dipinggirkan di dalam masyarakat plural. Tentu teori ini diperhitungkan dalam cakrawala kebijakan publik bila pemimpin dalam leadership-nya memiliki visi politik dan mampu menghadapi tekanan sosial.

Kompetensi leadership, terutama manajemen organisasi, harus dikuasai karena mekanisme organisasi pemerintah berbeda dengan swasta atau asosiasi nirlaba sehingga konteks institusional dalam arti budaya dan suasana yang terbentuk juga berbeda. Lalu integrasi norma-norma dan penalaran etika sangat ditentukan oleh tujuan organisasi. Oleh karena itu kode etik, perilaku profesional, dan arah akreditisasi organisasi harus relevan. Pakar etika harus bekerja sama dengan mereka yang memiliki kompetensi teknis dan leadership merumuskan masalah-masalah etika dan konsep- konsep etis yang khas muncul dari lingkungan pelayanan publik (Ibid: 70).

Agar keputusan yang berorientasi etika didukung sebanyak mungkin pihak yang terlibat, masih ada tiga pertimbangan yang perlu diperhitungkan, yaitu:

1. keyakinan dan perspektif pihak-pihak yang terlibat;

2. kebijakan-kebijakan institusi setempat harus relevan dengan pengambilan keputusan etis;

3. kode etika akan bermakna bila dirumuskan oleh kelompok kerja yang mewakili semua pihak agar berakar dari kebutuhan mereka dan menggunakan perbendaharaan kata yang saling dipahami dan mendorong partisipasi (Ibid: 87).

Jadi dalam etika institusional kemampuan persuasi berperan untuk meyakinkan penerimaan suatu nilai demi mendorong tindakan kolektif.