• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program Membangun Budaya Etika Publik

ETIKA PUBLIK DALAM KEBIJAKAN PUBLIK

H. Program Membangun Budaya Etika Publik

konflik kepentingan. Caranya mendorong pejabat publik untuk mau terbuka dan mendiskusikan masalah-masalah konflik kepentingan dan mengusulkan tindakan-tindakan yang masuk akal untuk melindungi pelaporan agar tidak disalahgunakan oleh pihak lain (OECD, 2009: 27). Untuk itu organisasi publik harus menciptakan dan mendukung budaya komunikasi yang terbuka dan membiasakan diri untuk berdialog tentang integritas dan perjuangan untuk memajukan integritas (Ibid, 27). Budaya etika harus mendapat dukungan dari masyarakat karena sebagai konsumen pelayanan publik masyarakat merasakan langsung dampak baik/buruknya kualitas pelayanan publik. Maka perlu berbagai upaya konkret dalam pemberdayaan civil society untuk fungsi pengawasan.

3. Memberdayakan civil society dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhadap pelayanan publik melalui kartu pelaporan oleh warga negara;

4. Pembentukan jaringan dan pendidikan/pelatihan dalam rangka pemberantasan korupsi;

5. Ikut serta dalam pengawasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

Karena sifatnya mengawasi dan mencegah, akuntabilitas dan transparansi itu berfungsi menyadarkan, menumbuhkan kepekaan terhadap nilai-nilai moral serta memberi orientasi tindakan atau keputusan kebijakan publik ke arah standar etika.

Kuatnya kontrol yang dilembagakan dalam manajemen dan orientasi pada nilai itu diharapkan membantu mencegah konflik kepentingan, sehingga membuat pejabat lebih responsif terhadap kebutuhan publik. Jadi arah etika publik difokuskan pada upaya menciptakan budaya etika dalam organisasi, untuk menggerakkan ke arah budaya etika ini, dalam setiap instansi pemerintah, perlu dibentuk Komisi Etika. Komisi Etika Pemerintahan ditunjuk oleh Presiden dengan mendapat persetujuan dari DPR. Komisi Etika Pemerintahan bukan instansi yang melakukan investigasi atau penuntutan perkara pelanggaran.

Tugas utama Komisi Etika meliputi tiga hal:

1. Merumuskan etika pelayanan publik untuk membangun standar etika yang tinggi dan menumbuhkan kepercayaan publik terhadap pemerintah;

2. Mencegah terjadinya konflik kepentingan dan memecahkan masalah bila terjadi konflik kepentingan. Maka perlu menentukan prinsip-prinsip pengaturan konflik kepentingan dan menafsirkan hukum yang mengatur konflik kepentingan;

3. Melakukan pendampingan dan penyadaran terhadap pejabat publik maupun calon pejabat publik untuk peka terhadap dimensi nilai etika dalam keputusan-keputusan yang menyangkut kebijakan publik.

Untuk bisa menjalankan ketiga tugas itu, dua syarat harus dipenuhi, yaitu:

1. Komisi Etika Pemerintah harus diberi kesempatan untuk mengadakan pelatihan pembangunan keterampilan dalam menganalisa masalah-masalah etika dan nilai pelayanan publik. Pelatihan etika dilakukan ketika perekrutan karyawan baru, setiap kali ada kenaikan jenjang jabatan dan isu-isu aktual etika.

2. Komisi Etika harus dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan staf untuk merumuskan dampak etika sebelum keputusan diambil.

Ketiga macam tugas tersebut dijadikan titik tolak Komisi Etika untuk mengerakkan upaya menciptakan budaya etika organisasi. Dinamika ini akan semakin efektif bila manajemen organisasi memperhitungkan dua pilar pembangunan budaya etika. Pertama, peran pemimpin dengan kompetensi komunikasinya, dan kedua, integrasi infrastruktur etika ke dalam manajemen pelayan publik. Peran pemimpin selain sebagai teladan (jujur, kompeten, fair), juga memfasilitasi berkembangnya kemampuan-kemampuan yang diperlukan budaya etika (Bowman, 2010: 70): (i) kemampuan membangun konsensus moral di dalam lembaga; (ii) kemampuan mendengarkan dengan baik dan mengkomunikasikan kepentingan, dukungan, empati kepada pihak; (iii) kecerdasan dalam mensosialisasikan visi moral; (iv) memahami bagaimana merepresentasikan gagasan-gagasan berbagai pihak kepada orang lain; (v) mendorong untuk mengkomunikasikan secara efektif gagasan atau kepentingan sehingga didengar dan dipahami pihak lain; (vi) kemampuan untuk mengenali dan menghadapi berbagai hambatan dalam komunikasi.

Semua kemampuan komunikasi itu hanya memberi gema dalam dinamika organisasi pemerintahan bila ditopang oleh infrastruktur etika karena membuka pola baru dalam interaksi dalam organisasi.

Ada lima bentuk infrastruktur etika yang perlu diintegrasikan ke dalam manajemen organisasi pemerintah (Ibid., 88), yaitu (i) mekanisme konsultasi etika (komisi penasihat etika

yang independen). Komisi etika ini berperan meningkatkan kesadaran akan masalah-masalah etika dalam pertemuan- pertemuan staf dan dalam merumuskan dampak etika sebelum keputusan diambil. (ii) saluran pelaporan, yaitu prosedur penyampaian keluhan, hotlines, informasi konfidensial, ombudsman, mekanisme whistle-blower dengan perlindungannya;

(iii) perubahan sistem personalia: rotasi jabatan secara periodik dilakukan supaya pejabat pengganti bisa mengevaluasi kebijakan pejabat sebelumnya untuk mendeteksi adanya penyelewengan atau konflik kepentingan; merevisi sistem perekrutan, training, description; (iv) Audit etika secara berkala: merevisi dokumen, kerentanan di dalam penaksiran, survei dan wawancara dengan karyawan, evaluasi terhadap sistem untuk memudahkan dalam menilai efektivitas program; (v) pengambilan keputusan kunci harus setidaknya dua orang untuk mengurangi kesenangan dan hasrat korupsi. Infrastruktur etika semacam itu membantu menjamin integrasi publik, memungkinkan mengukur kemampuan diri sehingga fair dan menciptakan suasana keterbukaan.

Budaya etika organisasi itu akan mendorong pejabat publik mau terbuka dan mendiskusikan masalah-masalah konflik kepentingan dan mengusulkan tindakan-tindakan yang akan masuk untuk melindungi pelaporan agar tidak disalahgunakan oleh pihak lain. (OECD, 2008: 27). Untuk itu, sebelum menerima jabatan, calon member pada jabatannya atau Komisi Etika peta hubungan- hubungan yang berisi yang potensial menyeret ke konflik kepentingan dan gambaran kepentingan-kepentingan yang dipertaruhkan. Menghadapi risiko itu, pejabat publik diminta mengusulkan tindak pencegahan yang mungkin dan ditantang memberi komitmen untuk menjamin bahwa ia tidak akan terseret ke konflik kepentingan.

Pengembangan budaya organisasi semacam itu juga dibuat di setiap lembaga dengan melibatkan karyawan melalui wakil mereka serta pihak-pihak yang terkait untuk ikut merevisi kebijakan menghadapi konflik kepentingan. Salah satu bentuk pelibatan ialah mengkonsultasikan ke pihak-pihak tersebut

tindakan-tindakan pencegahan dari aspek praktisnya agar terbangun pengamanan bersama. Harus membangun mekanisme untuk menopang para manager dalam merevisi dan meningkatkan keterampilan di dalam mengidentifikasi serta mencari pemecahan konflik kepentingan di dalam keseharian tugas mereka. Maka pelatihan etika secara berkala atau setiap kenaikan jenjang merupakan kesempatan untuk sosialisasi budaya etika mencegah konflik kepentingan. Maka identifikasi terhadap kegiatan yang rentan konflik kepentingan perlu dilakukan.

Perhatian khusus transparansi harus diarahkan pada konflik kepentingan dalam pengadaan barang/jasa publik. Transparansi membutuhkan pejabat publik yang kompeten. Mereka harus secara khusus mempelajari masalah pengadaan barang/jasa dan meniti karier di bidang ini. Maka pemerintah harus menjamin agar pejabat publik memenuhi tuntutan kompetensi, yaitu menguasai seluk beluk pengadaan barang/jasa, memiliki integrasi pribadi.

Perlu dijamin insentif dan kondisi yang baik dalam hal gaji, bonus, jenjang karier serta pengembangan diri. Dengan jaminan seperti itu dimaksudkan agar ada seorang profesional yang mengembangkan jabatan itu. Pengadaan barang/jasa membutuhkan tenaga profesional yang kompeten baik secara baik secara teknik, leadership, maupun etis. Untuk itu sebaiknya ditunjuk pejabat khusus yang memang meniti karier di bidang pengadaan barang/jasa publik.

Mekanisme pengawasan internal memang merupakan unsur utama budaya etika, namun cenderung mudah kompromi, maka pengawasan dari masyarakat sebagai konsumen pelayanan publik diperlukan karena biasanya lebih kritis. Mekanisme pengawasan internal itu dimaksudkan untuk ciptaan transparansi sehingga publik bisa mempunyai akses ke informasi tentang apa yang telah dilakukan pemerintah. Jadi harus ada laporan terbuka terhadap pihak luar atau organisasi mandiri (legislator, auditor, publik) yang dipublikasikan. Lalu warga negara bisa menuntut organisasi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan. Masyarakat berkepentingan bahwa integrasi

publik ditegakkan. Maka perlu berbagai upaya konkret dalam pemberdayaan civil society untuk fungsi pengawasan.

Untuk memberdayakan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan akuntabilitas, dengan meniru gagasan Samuel Paul, akan sangat berguna membuat program Kartu Pelaporan oleh Warga Negara (Citizen Report Card) sebagai alat umpan balik terhadap pejabat publik (dalam C. Sampford, 2006: 235). KWP itu berisi laporan tentang akses kepelayanan publik, kualitasnya, bisa dipercaya/tidaknya, masalah yang dihadapi konsumen, responsif/

tidaknya pelayan publik. Dari kartu pelaporan itu akan tersingkap standar kualitas pelayanan publik, norma-normanya, biaya yang harus dibayar, termasuk ongkos yang disembunyikan seperti suap (Improving Local Governance and Pro-Poor Service Delivery, Citizen Report Card Learning Toolkit).

Tujuan pembuatan Kartu Pelaporan oleh Warga Negara adalah untuk memperoleh beberapa masukan: (i) penilaian tentang akses, kelengkapan dan kualitas pelayanan publik sejauh dialami atau dirasakan oleh masyarakat serta membandingkan dengan pelayanan-pelayanan publik yang lain sehingga bisa dibuat rating, (ii) ukuran kepuasan warga negara dengan memberi prioritas pada perbaikan. Dalam kartu tersebut secara sederhana dan jelas ditunjukan tingkat kepuasan atau ketidakpuasan; (iii) indikator lingkup masalah di dalam pelaksanaan pelayanan publik, misal memberi penjelasan segi khusus interaksi antara warga negara dan petugas pelayanan publik (ketidakpuasan berakibat kepada pasokan air atau listrik, ketersediaan obat di rumah sakit, pelayanan kepolisian), kesulitan-kesulitan yang dihadapi (nota lebih tinggi, dipersulit dalam urusan); (iv) memberi prakiraan adanya korupsi dan ongkos lain yang mungkin disembunyikan; (v) membantu warga negara mengeksplorasi kemungkinan memperbaiki pelayanan publik karena KWP juga untuk menjajaki berbagai pilihan yang diharapkan masyarakat dalam mengatasi beragam masalah. Lalu akan diketahui apakah masyarakat bersedia membayar lebih mahal pelayanan yang bisa lebih baik (C.

Sampford, 2006: 236).

Dari sisi pendidikan politik dan pemberdayaan, KPW itu membuka tiga kesempatan penting, yaitu (i) membantu pelayanan publik, memfasilitasi diskusi tentang kinerjanya; (ii) memberdayakan warga negara melakukan pengawasan dan monitoring terhadap badan pemerintah atau pemerintah daerah;

(iii) investasi kapital sosial karena KPW mempertemukan berbagai komunitas melalui masalah-masalah yang mereka hadapi dan menjadi keprihatinan bersama (Sumber: Improving Local Governance and Pro-Poor Service Delivery, Citizen Report Card Learning Toolkit).

Bentuk partisipasi masyarakat dalam mendorong akuntabilitas pejabat publik ini multi-guna dan menjadi pola pendidikan politik yang efektif. Melalui kartu Pelaporan Warga Negara tersebut ada masukan tentang tingkat kepuasan pelayanan publik di berbagai sektor dan sekaligus bisa digunakan sebagai alat untuk mendeteksi atau mengukur tingkat korupsi. KPW itu juga berfungsi sebagai alat diagnotik bagi pejabat publik, peneliti sebagai bahan untuk analisa dan mencari pemecahan masalah.

Praktik KWP ini membiasakan warga negara untuk mengambil sikap dan menuntut hak-hak untuk meminta akuntabilitas, akses, dan respons dari pejabat publik. Sebaliknya, bagi pejabat publik adanya KWP mendorong untuk lebih terbuka, menentukan standar kinerja, dan meningkatkan transparansi (Ibid., 235). Jadi pemberdayaan civil society menentukan bentuk konkretnya di dalam praktek KWP. Kalau evaluasi akuntabilitas melalui KWP ini menekankan kepuasan/ketidakpuasan konsumen terhadap pelayanan publik, ada pola lain yang memberdayakan civil society untuk memberantas korupsi, yaitu melalui pembentukan jaringan.

Pembentukan jaringan ini melibatkan berbagai kalangan:

organisasi massa, organisasi keagamaan, asosiasi profesi, asosiasi nirlaba, LSM, dan semua kelompok yang mempunyai kepribadian terhadap good governance. Dalam hal ini, kita belajar dari komisi pemberantasan korupsi di Hongkong (Independent Commission Against Corruption, A. Lee dalam C., Sampford, 2006: 228-229).

Struktur organisasi KPK di Indonesia, mungkin baik kalau selain

memiliki Divisi Operasi atau Investigasi, juga dikembangkan Divisi Hubungan dengan Komunitas dan Divisi Pencegah Korupsi, Pendidikan dan Riset. Dua divisi ini sangat dibutuhkan dalam kerangka menciptakan budaya etika dalam organisasi atau pelayanan publik. Organisasi-organisasi yang peduli pada good governance dan sudah punya pengalaman dalam masalah pemberantasan korupsi perlu membantu sosialisasi dan pelatihan tentang permasalahan korupsi. Pelatihan atau penjelasan yang diberikan difokuskan pada pemahaman dan perkembangan aturan- aturan untuk mencegah konflik kepentingan dan bagaimana praktik serta penerapan di dalam lingkungan pekerjaan. Materi dasar tentu perlu seperti apa itu praktik korupsi, tanda-tanda korupsi, situasi-situasi yang mendorong korupsi, jabatan-jabatan yang riskan korupsi.

Model pelibatan dikembangkan melalui jaringan cabang- cabang di daerah-daerah. Dengan mengajak masyarakat mendiskusikan masalah korupsi (sebab, mekanisme, jaringan, akibat, korban, kerugian) dalam pelatihan, seminar, workshop, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dalam jangka waktu satu tahun diharapkan sudah ada sejumlah warga negara yang menyadari pentingnya pemberantasan korupsi. Lalu dibentuk berbagai jaringan yang mendasarkan pada keyakinan akan visi masyarakat yang bersih baik di organisasi lokal, keagamaan, asosiasi profesional maupun kelompok perdagangan dan orang bisnis. Para anggota jaringan tersebut menjadi sumber informasi bagi KPK.

Diharapkan para anggota jaringan bersedia menjadi relawan bagi KPK, bahkan diharapkan kelompok-kelompok profesi ikut membantu jaringan pencegahan korupsi. Di setiap daerah, jaringan masyarakat ini diorganisi oleh komisi penasihat yang ditunjuk dari pemimpin kelompok oleh ketua pelaksana KPK. Komisi Independen juga dibentuk untuk mengawal dan mengawasi investigasi terhadap laporan-laporan korupsi. Setiap tahun ketiga komisi itu mengadakan pertemuan untuk membuat laporan, evaluasi, dan perkembangan strategi. Lalu menerbitkan laporan tahunan yang bisa diakses dan diperiksa oleh publik.

Model lain pemberdayaan civil society ialah ikut mengontrol perencanaan anggaran belanja pemerintah daerah dan pelaksanaannya. Perhatian difokuskan pada alokasi anggaran, memperbaiki prosedur audit dan bagaimana membangun mekanisme untuk mengontrol serta menuntut akuntabilitas pejabat publik. Dengan hadirnya civil society dalam perencanaan anggaran, terbuka akses informasi tentang apa yang akan dilakukan pemerintah. Pada saat evaluasi pertanggungjawaban, meski wakil rakyat sudah melakukan pengawasan, tidak menuntut kemungkinan bahwa masyarakat menagih atau menuntut proyek- proyek yang tidak dilaksanakan dengan baik atau bila ada penyelewengan. Bentuk partisipasi pengawasan semacam ini mencegah terjadinya kolusi pemerintah dengan wakil rakyat.

Civil society diharapkan bisa memfokuskan pada pengadaan barang/jasa publik. Terutama proyek-proyek besar pemerintah infrastruktur (jalan, jembatan, gedung, pabrik, universitas, instalasi listrik, telekomunikasi, universitas, sekolah dll), pembelian barang dan perlengkapan (transportasi, kebutuhan kantor, perlengkapan).

Kalau dilihat sebagai bentuk kerja sama, sebetulnya partisipasi masyarakat semacam itu meningkatkan efektivitas kerja wakil rakyat dengan tidak membiarkan kedaulatan rakyat disita seluruhnya.

Siapa saja yang dilibatkan dalam kelima program pembangunan etika publik ini?

(i) LSM diharapkan akan menggerakkan program-program tersebut berkat pengalaman, pengetahuan, dan organisasi yang sudah terstruktur. Sudah terbiasa dalam hal advokasi;

jaringan yang luas dan komitmen yang jelas untuk pelayanan publik. Jadi kemampuan LSM untuk menjangkau beragam lapisan masyarakat, dan kuatnya bela rasa serta komitmen bisa membantu menggerakkan masyarakat.

Kemampuan melihat masalah secara menyeluruh dan kemampuan menumbuhkan kepercayaan masyarakat sangat dibutuhkan.

(ii) Lembaga-lembaga keagamaan harus melibatkan diri supaya pesan profetik mereka semakin berbobot karena didasarkan atas data dan pengalaman. Maka setiap organisasi keagamaan perlu mempunyai divisi khusus untuk pembangunan budaya etika dan pemberantasan korupsi.

Letak kekuatan lembaga-lembaga agama ialah memiliki kapital sosial (jaringan dan pengikut) dan kapital simbolik (pengakuan sosial dan kepercayaan masyarakat) sehingga menjadi harapan kekuatan moral bisa terwujud.

Keuntungan lembaga keagamaan adalah tidak langsung terkait dengan political society. Tujuannya bukan kekuasaan, tapi terwujud etika politik. Sebagai organisasi non politik, lembaga-lembaga keagamaan diharapkan lebih peduli pada pelayanan publik dan menjauhkan dari kepentingan kekuasaan atau mengadopsi politik partisan membela kelompok tertentu. Lalu fungsi pengawasan bukan hanya mengkritik dan mengingatkan, tetapi juga menyediakan modalitas pencegahan dengan terlibat mengawasi dan memverifikasi penyelenggaraan negara, dengan semboyannya: “Trust, but verify” (M.C. Munger, 2000)

(iii) Jaringan asosiasi-asosiasi profesi seperti akuntan, hukum, dokter, insinyur sipil, arsitek. Sumbangan kelompok- kelompok ini akan sangat berarti untuk analisa, investigasi, audit, evaluasi suatu proyek atau advokasi hukum. Sudah saatnya inisiatif ambil bagian dari para profesional ini untuk pelayanan masyarakat atau pemberdayaan civil society dengan ikut dalam pengawasan penyelenggaraan negara.

Praktik pro bono (lengkapnya pro bono public artinya untuk kebaikan/kepentingan publik) sebaiknya mulai diterapkan untuk kaum profesional di Indonesia. Pro bono maksudnya ialah kerja sukarela dari kaum profesional yang tidak dibayar sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat.

Bedanya dengan relawan biasa ialah Pro bono mengandalkan pada keahlian/profesi untuk memberi pelayanan cuma-cuma bagi mereka yang tidak bisa membayar, sebagai bentuk pangabdian masyarakat

(sumber: The Free Encyclopedia). Mungkin salah satu caranya ialah dengan mulai memberlakukan jumlah jam bekerja Pro bono per bulan bagi profesional. Jumlah jam kerja ini dipakai sebagai salah satu syarat bagi seseorang untuk bisa menduduki jabatan, calon legislatif, atau jabatan-jabatan struktural lainnya baik pemerintah maupun swasta. kriterium Pro bono ini berfungsi mengingatkan bahwa jabatan publik dan profesi mengandung nilai etis atau kewajiban moral, yaitu sebagai panggilan untuk pengabdian masyarakat.

(iv) Organisasi-organisasi mahasiswa sangat dibutuhkan. Dari pengalaman, organisasi mahasiswa banyak berperan di dalam perubahan. Maka keterlibatan mereka di dalam pembangunan budaya etika dan pemberantasan korupsi ini selain memberi orientasi kegiatan mereka, juga sebagai bentuk penyadaran kepekaan etis. Dengan pelibatan organisasi mahasiswa ini, sejak awal keterlibatan dalam organisasi masyarakat, mereka sudah dibiasakan dengan tuntutan akuntabilitas dan transparansi. Dengan demikian, keterlibatan juga merupakan pelatihan kemudian untuk responsif terhadap kebutuhan publik. Demonstrasi atau mobilisasi massa pada saat tertentu perlu agar aspirasi didengarkan, tetapi bobot organisasi mahasiswa kelihatan di dalam sumbangan intelektual yang nyata. Kelima program di atas menjadi tantangan bagaimana organisasi mahasiswa responsif terhadap keprihatinan masyarakat dan situasi politik.

(v) Sebaiknya semua universitas memberikan pilihan, kalau perlu mewajibkan, kepada mahasiswa di semester akhir, dalam rangka KKN (Kuliah Kerja Nyata), untuk terlibat dalam program kegiatan pemberantasan korupsi dan pembangunan budaya etika ini. Supaya ada kesinambungan program, universitas harus mengorganisir dan membuat disain pokoknya untuk menempatkan mahasiswa sesuai dengan bidang kompetensi dan ketersediaan waktu mahasiswa, selain tugas resmi ini, perguruan tinggi perlu mendorong keterlibatan sukarela dari mahasiswa untuk

ikut menunjang program pembangunan budaya etika dan pemberantasan korupsi, sebagai insentif, keterlibatan aktif itu memperoleh kredit SKS. Sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan, praktik keterlibatan semacam itu sebaiknya bukan hanya berhenti untuk kelima program tersebut itu di atas, tetapi juga bentuk kerja relawan di bidang pengabdian masyarakat lainnya.

Untuk pendidikan kewarganegaraan, bentuk-bentuk kerja sosial sukarela atau pengabdian masyarakat, baik bagi mahasiswa maupun pelajar SMU perlu diorganisir dan diintegrasikan kedalam kurikulum pendidikan karakter.

Bentuk-bentuk kerja relawan lain bisa beragam: untuk kepentingan umum (bangunan publik, taman publik, lapangan, sekolah, hutan); demi pendidikan pluralitas (aktivitas lintas agama, rumah ibadah, kegiatan dialog, membantu kegiatan agama lain); untuk solidaritas dan peduli lingkungan: bekerja untuk orang miskin, rumah jompo, bencada alam, keanggotaan dalam kegiatan pramuka, olahraga, organisasi-organisasi kemasyarakatan.

(vi) Unsur pokok pengawasan dan perubahan yang utama adalah media. Media melalui penyebaran pesan dan pengungkapan kasus-kasus hasil penelitian atau investigasinya merupakan kekuatan tawar politik yang menentukan. Dampak sosial dalam membentuk opini publik dan mengungkap konflik kepentingan dan korupsi sangat besar.

Pendanaan kelima program pembangunan budaya etika publik ini dicari dari berbagai sumber: (i) perusahaan swasta, organisasi atau kelompok/individu yang memiliki kepedulian untuk good governance dan integrasi publik. Perusahaan-perusahaan yang memegang etika bisnis juga berkepentingan terhadap akuntabilitas pemerintahan. (ii) sebagai dana Corporate Social Responsibility perusahaan-perusahaan itu sebaiknya secara tetap dialokasikan untuk pendanaan program pemberantasan korupsi dan pembangunan budaya etika dalam organisasi. (iii) donasi pribadi, iuran atau sumbangan sukarela; (iv) donasi perusahaan-

perusahaan yang diberikan khusus untuk tujuan pemberantasan korupsi, atau bantuan finansial organisasi lain. Semua bantuan ini perlu mendapat insentif untuk pengurangan pajak; (v) lembaga- lembaga agama yang memperoleh dana, pemberian atau zakat penyisihan sebagian untuk program-program pembangunan budaya etika dalam organisasi dan pemberantasan korupsi; (vi) setiap siswa sekolah dan mahasiswa diminta memberi sumbangan Rp1000,-per bulan untuk memberantas korupsi. Tentu saja kalau ada yang mau membayar lebih akan sangat membantu. Cara pembayaran sumbangan ini supaya dipisahkan dari pembayaran- pembayaran yang lain. Tujuannya supaya selain sebagai bantuan finansial, juga merupakan bentuk penyadaran sosial akan mendesak masalah korupsi dan perlunya partisipasi nyata dalam pemberantasan korupsi daerah bertanggung jawab atas pengumpulan dan penggunaan dana tersebut.

Dengan melibatkan beragam kalangan masyarakat, kelompok profesional terutama kaum muda (milenial) dalam menghadapi masalah-masalah sosial, pemberantasan korupsi, pengangguran, kemiskinan, bencana, sebelumnya membuat etika publik bukan lagi sekedar teori, tetapi sungguh suatu pengalaman dan perjumpaan dengan kebutuhan dan penderitaan liyan (orang lain).

Etika bukan sekedar pemikiran, namun pengalaman. Pengamanan etika muncul dalam gerak kepedulian menuju ke yang lain, menuju alterias, yaitu kebaikan. Perjumpaan dengan liyan atau

“penampakan wajah” (Levinas) merupakan bentuk hubungan yang yang ditandai kepedulian dan nirkepentingan. Hubungan ini menyapa seseorang untuk bertanggung jawab terhadap liyan, tanpa menuntut pihak lain melakukan yang sama. Tiadanya tuntutan timbal balik membuat hakikat hubungan bukan mengobjekkan atau dominasi. Pihak lain adalah mutlak lain, yang sama sekali lepas dari semua bentuk cukupan yang diukur dari diriku. Keterbatasanku mengingatkan bahwa fair bila mengobjekkan atau menamai liyan dengan mendasarkan pada identitas.