• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memutuskan Pilihan Etis dalam Kebijakan Publik

ETIKA PUBLIK DALAM KEBIJAKAN PUBLIK

C. Memutuskan Pilihan Etis dalam Kebijakan Publik

dasar agama, etnis atau gender) atau mengistimewakan kelompok lain. Contoh karena kepemilikan pada agama atau etnis tertentu, orang tidak bisa memangku jabatan publik di pemerintah daerah;

pejabat publik memutuskan hanya memberi subsidi kepada sekolah swasta yang mempunyai afiliasi dengan organisasi keagamaan tertentu atau etnis tertentu. Sedangkan diskriminasi terselubung terjadi karena sebetulnya sudah cacat secara hukum atau politik, tetapi karena secara terselubung dibiarkan atau mendapat dukungan dari kelompok yang kuat, maka diskriminasi itu tetap berlangsung. Misalnya, penerimaan PNS, militer, polisi, dan jabatan-jabatan publik lain dengan memberi keistimewaan kepada kelompok (agama, etnis) tertentu (Haryatmoko, 2011: 61).

Meskipun secara moral kebijakan diskriminatif itu salah, tetapi tetap berjalan karena baik hukum maupun politik sudah tidak berdaya. Dalam konteks ini, P. Bourdieu dengan tajam melihat sebabnya, yaitu karena budaya yang berlaku adalah budaya kelompok yang dominan. Istilah Bourdieu yang relevan untuk menjelaskan situasi itu ialah doxa, artinya sudut pandang penguasa atau yang dominan yang menyatakan diri dan memberlakukan diri sebagai sudut pandang semua orang atau universal (P. Bourdieu, 1994: 29). Contoh doxa yang mengundang polemik adalah gagasan yang umum diterima bahwa sekolah membuka kesempatan sama bagi semua orang. Sudut pandang ini diterima oleh semua sebagai benar, meski dalam praktik sebetulnya lebih menguntungkan kelas menengah ke atas, bukan kelas miskin. Sebenarnya pernyataan tersebut diskriminatif terhadap kelas bawah. Mengapa?

Doxa menunjukkan bahwa ada orang yang gagasan- gagasannya mudah diterima, ada yang tidak memiliki pengaruh sama sekali dan harus menerima sebagai kebenaran apa yang merugikannya. Agar bisa menguasai bahasa untuk keperluan menulis dan berbicara demi keindahan, tuntutan ilmiah atau pantas diterbitkan membutuhkan perpustakaan, buku, keterampilan gramatika, khazanah kata yang kaya karena akan masuk dalam kategori bahasa resmi (P. Bourdieu, 1982: 46). Jadi

penguasaan bahasa bukan sekedar belajar dan melatih diri, tapi membutuhkan kelengkapan fasilitas. Maka kelas atas lebih siap bersaing dalam pendidikan karena sudah memiliki habitus bahasa dan kapital budaya. Kemampuan mereka untuk menyerap komunikasi pedagogi di sekolah lebih efektif dibandingkan peserta didik dari kelas bawah. Pejabat publik sering tidak peka dalam bentuk-bentuk diskriminasi yang terselubung seperti itu sehingga membiarkan model pedadogi yang diterapkan mengabaikan kebutuhan peserta didik dari kalangan bawah.

Kesenjangan kepemilikan kapital budaya, termasuk habitus bahasa dewasa ini, semakin terasa. Dalam perekrutan tenaga kerja di banyak perusahaan, salah satu syaratnya biasanya harus menguasai bahasa Inggris secara aktif, berarti sudah membuka peluang lebih besar kepada mereka yang pernah belajar di luar negeri atau setidaknya yang pernah belajar di international school, yang hanya terjangkau oleh kalangan tertentu saja. Kalangan yang lebih diuntungkan tentu saja yang berasal dari kelas atas. Dengan demikian seleksi tenaga kerja juga secara terselubung mendasarkan seleksi asal usul sosial. Bukan cara seleksi itu yang mau dikritik, tetapi sistem pendidikan harus memperhitungkan lemahnya kapital budaya kelas bawah agar kelompok sosial yang secara struktural sudah dalam posisi kalah ini, dimungkinkan mengejar ketinggalannya. Cara menyesuaikan komunikasi pedagogi yang memperhatikan kemampuan mereka.

Analisa ini menunjukkan mengapa etika publik tidak cukup hanya direduksi menjadi kode etik atau aturan perilaku. Kalau hanya puas dengan aturan perilaku tidak akan mampu membuka alternatif kebijakan, membongkar praktik-praktik ketidakadilan dan diskriminasi yang terselubung. Maka etika publik bukan hanya berfungsi sebagai “penjaga gawang”, “penambal ban” atau

“pemadam kebakaran”, artinya diperhitungkan hanya setelah terjadi masalah atau ada pelanggaran. Etika publik seharusnya mulai dipertimbangkan sejak awal proses kebijakan publik sehingga fungsi pencegahan terhadap korupsi, konflik kepentingan, kolusi atau bentuk pelanggaran-pelanggaran lain bisa efektif.

Etika dalam analisis kebijakan publik seharusnya diperhitungkan sebagai dimensi dari setiap langkahnya. Hanya dengan menjadi bagian integral dari kebijakan publik yang tercermin dalam lima langkah prosesnya, etika mampu meningkatkan kualitas pelayanan hidup dan mengembalikan kepercayaan masyarakat. Kelima langkah analisa kebijakan publik itu, menurut Munger, meliputi:

1. rumusan masalah, 2. seleksi kriteria,

3. pembandingan alternatif dan seleksi kebijakan, 4. pertimbangan terhadap aspek politik dan organisasi,

5. implementasi dan evaluasi program (Munger, 2000: 7-21 dalam Haryatmoko, 2011: 63-69).

(i) Merumuskan masalah dalam kebijakan publik harus menampilkan secara jelas hubungan sebab-akibat dan klasifikasi masalah, dan terutama harus sudah mengandung alternatif jalan keluar. Tidak jarang konteks yang mengandung analisa lebih luas daripada rumusan masalah. Misalnya, tingginya angka kegagalan pendidikan sekolah dari kelompok penduduk miskin (65%) di wilayah Yogyakarta. Rumusan ini masih terlalu kabur, maka perlu dibuat lebih spesifik. Berapa persen angka kegagalan di tingkat pendidikan dasar, pendidikan tingkat menengah, dan di perguruan tinggi, lalu dibandingkan dengan kegagalan kelompok menengah ke atas?

Mengapa dari kalangan menengah ke atas angka kegagalan relatif rendah? Rumusan masalah itu sudah mengisyaratkan adanya perbedaan latar belakang sosial, yang berarti juga perbedaan fasilitas dan modal budaya.

Pemecahan masalah akan memperhitungkan alternatif yang terkandung dalam rumusan masalah tersebut. Bukannya hanya masalah kurikulum atau bakat, tetapi rumusan masalah itu mengandung hipotesa sosiologi pendidikan, yaitu bahwa latar belakang sosial peserta didik mempengaruhi kemampuan dalam menyerap komunikasi pedadogi di sekolah, terutama sampai jenjang pendidikan menengah. Pada jenjang perguruan

tinggi, perbedaan fasilitas dan kapital budaya semakin memperlebar kesenjangan kesempatan untuk berhasil.

Jurusan-jurusan favorit (kedokteran, teknik, akuntansi, farmasi) mayoritas mahasiswa berasal dari kalangan menengah ke atas.

Dalam analisa kebijakan publik ini, ketajaman dalam merumuskan agar pertanyaan tampil kreatif sangat penting.

Pemecahan alternatif yang terkandung dalam rumusan masalah sarat dengan nilai-nilai etika karena sudah mengandung kewajiban atau tanggung jawab pejabat publik dan menyiratkan pilihan nilai. Mengubah sistem komunikasi pedagogi yang peduli kepada mereka yang lemah membutuhkan political-will dan perubahan mendasar yang tidak mudah. Affirmative action untuk membuka kesempatan lebih luas ke jurusan-jurusan favorit bagi kalangan sosial bawah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dari rumusan masalah itu, sudah terlihat kerangka pemikiran yang dipakai.

(ii) Seleksi kriteria. Cara memilih kerangka pemikiran untuk merumuskan masalah sudah mengarah ke alternatif pemecahan masalah yang diharapkan. Kriteria yang dipakai sudah mencerminkan hipotesa pemecahan karena tersirat alternatif itu lebih baik daripada yang lain. Kriteria itu merepresentasikan visi etika pejabat publik dan pandangan etis masyarakat yang dilayani (Munger, 2000: 8). Maka perlu diberi alasan mengapa kriteria itu dipilih. Menurut Munger, ada lima alasan, yaitu:

a. kriteria harus memfokuskan pada tujuan, bukan pada sarana. Alasan ini dipahami karena dalam logika tindakan, tujuan biasanya menentukan hubungannya dengan nilai.

Kalau tekanan pada sarana ada bahaya yang jatuh pada rasionalitas instrumental di mana sarana bisa berubah menjadi tujuan pada dirinya sendiri sehingga dilepaskan dari nilai atau makna;

b. setiap kriteria harus dirumuskan dalam pernyataan yang jelas dan tepat agar sebagai alat pengukur sungguh

berfungsi membantu mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah;

c. kriteria operasional, kalau juga memungkinkan mengukur secara kuantitatif;

d. rangkaian kriteria itu harus lengkap agar bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat;

e. kriteria harus menunjuk pada aspek-aspek masalah kebijakan yang berbeda sehingga kriteria yang satu melengkapi yang lain.

Contoh, tujuan kebijakan publik adalah meningkatkan keberhasilan peserta didik yang berasal dari kelas sosial bawah. Nilai keadilan menjadi keprihatinan utama karena budget pendidikan sangat tinggi. Jangan sampai ada sebagian besar kelompok masyarakat tidak bisa menikmati alokasi dana yang besar itu, sedangkan sebagian kecil penduduk yang sudah dalam posisi sosial-ekonomi kuat justru lebih diuntungkan.

Perbaikan model komunikasi pedagogi harus dengan mempertimbangkan hasil identifikasi masalah (bahasa, waktu belajar, pendampingan, metode belajar atau fasilitas) agar ketertinggalan peserta didik kelas sosial bawah dapat ditangani secara tepat. Contoh kebijakan dengan mengatur agar jumlah peserta didik dalam kelas kecil; tambahan jam belajar yang disertai pendampingan intensif; disediakan komputer, buku acuan/pegangan, tempat belajar yang memadai setelah jam sekolah; pembiasaan dan perbaikan metode belajar.

(iii) Perbandingan alternatif dan seleksi kebijakan. Makna

“alternatif” mengandalkan adanya pembandingan dengan bentuk pemecahan lain. Maka kemungkinan pemecahan lain ialah mengorganisir kelas penyesuaian di tahun pertama.

Pemecahan yang lebih mendasar lagi namun membutuhkan budget tinggi ialah program wilayah prioritas pendidikan, yaitu pada kurun waktu tertentu di wilayah yang sebagian besar penduduknya miskin secara khusus dibangun sekolah dengan fasilitas, tenaga pengajar, dan sistem pedagogi yang

berkualitas (P. Bourdieu). Tahap ini digunakan untuk mengevaluasi bobot alasan pro dan kontra terhadap masing- masing alternatif, kemudian diambil keputusan ke arah alternatif yang paling menjawab kebutuhan atau kepentingan publik.

Menjawab kebutuhan publik, selain memperhitungkan kualitas kebutuhan. Berarti juga semakin memperluas lingkup kebebasan warga negara serta membangun institusi yang lebih adil. Pendidikan yang baik menghasilkan warga negara yang lebih bebas karena dengan keterampilan dan pengetahuannya akan semakin memiliki banyak pilihan untuk masa depannya.

Dengan memperhatikan peserta didik yang lemah kapital budaya karena latar belakang sosialnya, berarti Pemerintah peduli untuk menciptakan intitusi yang lebih adil. Pembobotan alternatif ini mengandalkan prioritas pilihan kriteria yang berbeda dan komitmen pribadi serta organisasi tertentu. Bila komitmen pribadi lemah maka cenderung mencari alternatif yang paling mudah, yang lebih memberi keuntungan pribadi.

Jadi kerangka yang menentukan rumusan masalah, identifikasi alternatif, dan pilihan kriteria erat terkait dengan visi etika pejabat publik.

(iv) Pertimbangan aspek politik dan organisasi. Setelah alternatif dipilih dan diputuskan, pengambil kebijakan publik masih harus berhadapan dengan masalah diterima atau tidak kebijakan itu oleh pihak-pihak lain yang terlibat. Pertama, apakah secara politik dapat dijalankan, artinya wakil rakyat atau representasi publik apakah menyetujui dan mendukung sehingga menjadikannya undang-undang. Kedua, apakah secara organisasional bisa dijalankan, pejabat publik, keuangan, dan waktu memungkinkan implementasinya. Dalam tahap ini, persuasi menjadi berperan penting. Mediasi melalui nilai, makna atau simbol menjadi konkret untuk mendapatkan persetujuan sebanyak mungkin pihak yang terlibat. Dalam menggalang opini, kemampuan komunikasi melalui media berperan besar. Legitimasi kebijakan publik sangat tergantung

pada persetujuan publik, yang dalam demokrasi melalui representasinya. Dalam konteks ini, etika publik sebagai etika sosial tidak cukup hanya puas dengan premis norma- normanya yang sahih, tetapi harus bisa mendorong ke konsensus untuk menyetujui suatu kebijakan. Oleh karena itu, sejak awal proses kebijakan publik, politisi, birokrat, publik dan pihak-pihak lain harus sudah dilibatkan.

Godaan besar menjebak politisi dalam upaya mencari persetujuan sebanyak mungkin pihak karena bisa terobsesi oleh politik pencitraan. Apalagi dengan maraknya lembaga jajak pendapat yang semakin memacu kebutuhan untuk menampilkan citra. Citra yang ditampilkan di media bukan lagi representasi dari realitas, tetapi justru mau menyembunyikan bahwa tidak ada realitas (J. Baudrillard, 1981). Presiden makan ketela bersama petani di sawah bukan realita kehidupan presiden. Citra bermain menjadi penampakannya untuk memberi kesan kepedulian kepada petani. Tetapi kebijakan publiknya sama sekali tidak pernah memperhitungkan nasib petani. Seperti gambar surealis diletakkan di sebelah pintu.

Gambar di kanvas itu memberi kesan seakan itulah pemandangan di luar pintu. Lukisan itu berperan sebagai simulasi yang menomorduakan realita. Citra menutupi bahwa sebetulnya tidak ada realitas. Politik pencitraan selain membutuhkan biaya besar, juga menunjukkan bahwa politik hanya berorientasi ke kekuasaan. Maka keprihatinannya bukan pada pelayanan publik yang berkualitas dan relevan.

(v) Implementasi dan evaluasi program masuk ke dalam prosedur akuntabilitas, artinya evaluasi itu merupakan bentuk pertanggungjawaban pejabat publik atas kebijakan dalam menjalankan kekuasaan yang dipercayakan oleh warga negara untuk melakukan pelayanan publik. Menurut MacRae, seperti dikutip oleh Munger (2000: 17-18), dalam analisa kebijakan publik, akuntabilitas meliputi pasar, politik, dan analisa pakar.

(a) Akuntabilitas pasar sangat tergantung pada reaksi masyarakat apakah mereka puas dengan hasil kebijakan pemerintah atau kebijakan yang dilaksanakan dengan rekanan swasta, asosiasi nirlaba, LSM. Bila dianggap gagal karena ternyata kualitas pelayanan jelek, barang lebih rendah dari standar yang dituntut, atau biaya pelayanan terlalu mahal, maka akan diprotes atau perusahaan yang menjadi rekanan tidak akan lagi digunakan dan masuk ke daftar hitam. Akuntabilitas pasar merupakan evaluasi dari warga negara yang terorganisir dalam asosiasi atau LSM atau organisasi sosial-keagamaan. Evaluasi itu tentu saja akan berdampak pada kelangsungan kehidupan perusahaan rekanan, tetapi juga bisa menyeret pejabat publik ke pengadilan bila terbukti ada korupsi atau kolusi.

(b) Akuntabilitas politik berkaitan dengan persetujuan atau penolakan warga negara terhadap kebijakan publik atau aktivitas pemerintah. Bila warga negara tidak setuju maka bisa mengungkapkannya melalui wakil rakyat atau melalui pemilihan umum. Hanya saja mekanisme akuntabilitas yang disediakan sistem demokrasi ini tidak terlalu efektif karena warga negara kurang terorganisir dan calon anggota legislatif lebih mendompleng partai politik. Maka perlu kemampuan warga negara untuk mengorganisir diri.

Kemampuan warga negara untuk menghubungkan antara kepentingan publik dengan kinerja wakil rakyat akan membantu untuk membuat penilaian apakah akan memilih kembali incumbent atau memboikot untuk tidak memilihnya sebagai bentuk protes. Mengorganisir diri agar suaranya diperhitungkan di dalam pengambilan keputusan kebijakan publik adalah salah satu cara agar akuntabilitas politik lebih efektif karena meningkatkan kekuatan tawar warga negara. Akuntabilitas akan efektif bila konstituen memiliki informasi yang mencukupi untuk merumuskan kepentingan mereka di lingkup kebijakan publik dan bisa memberi sanksi yang efektif bila wakil

rakyat dianggap bertindak tidak sesuai dengan kepentingan publik.

(c) Analisa pakar biasanya mendasarkan pada pendekatan ilmiah dengan menentukan kriteria tertentu untuk memutuskan apakah suatu kebijakan publik dianggap berhasil atau gagal. Salah satu kriteria itu adalah kepuasan publik yang dilayani; apakah program tepat sasaran?

Apakah hasil program itu memuaskan kebutuhan publik?

Kedua, analisa biaya keuntungan, diukur apakah biaya yang dikeluarkan memberi dampak yang berarti atau apakah yang akan terjadi pada masyarakat seandainya tidak ada program tersebut. Ketiga, mengidentifikasi tujuan program sejauhmana pengukuran dan evaluasi dimungkinkan; mengembangkan disain penelitian yang bisa digunakan untuk membedakan apa yang diharapkan dari suatu program, apa yang secara nyata diamati, dan jangkauan hasil yang mungkin diamati yang sebetulnya bukan karena hasil kebijakan.

Penilaian harus sampai pada data yang dapat diamati dan dihitung. Apakah secara statistik ada perbedaan yang signifikan yang memang dihasilkan dari kebijakan tersebut atau hanya karena faktor kebetulan. Jadi pengumpulan data yang akurat melalui survei, wawancara, dan studi tentang aturan serta prosedur yang dipakai dalam program tersebut harus dilakukan. Dengan demikian bukan hanya hasil segera atau jangka pendek yang bisa diperoleh, tetapi juga dampak jangka panjang. Dampak jangka panjang berarti bukan hanya membereskan gejala, tetapi menangani sampai pada sebab atau akar masalahnya. Dalam kasus pendidikan, ketertinggalan peserta didik dari kelas bawah bukan hanya masalah metode pembelajaran, tetapi masalah lemahnya kapital budaya karena latar belakang sosial.

Penanganan masalah seperti itu membutuhkan waktu yang panjang dan biaya mahal. Contoh SMP khusus untuk siswa dari

keluarga tidak mampu di Washington DC (900 Varnum Street, NE): jam belajar lebih panjang (7.30-19.30), tahun ajaran berlangsung sebelas bulan, tenaga pengajar berkualitas, disediakan makanan bergizi tiga kali sehari, jumlah murid di kelas kecil. Selain mendapat subsidi pemerintah, juga mendapat sumbangan dari donatur tetap. Menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pembentukan habitus bahasa dan investasi kapital budaya butuh waktu panjang. Proyek kebijakan pemerintah daerah ini akan menciptakan institusi baru (lebih adil) yang peduli pada kesenjangan kemampuan di sekolah. Ternyata komunikasi pedagogi tidak netral, tapi sudah memihak.

Kebijakan publik seharusnya peka terhadap ketimpangan- ketimpangan yang sering dianggap sudah wajar seperti itu.

Untuk memiliki kepedulian itu, pejabat publik tidak bisa mengabaikan kompetensi etika. Jadi pendidikan atau pelatihan etika publik harus masuk ke dalam:

(i) pemahaman macam-macam tipe penalaran etika;

(ii) terjun langsung ke pengalaman untuk menghadapi kasus-kasus konkret pelayanan publik yang penuh dilema etika;

(iii) mengidentifikasi infrastruktur etika untuk diintegrasikan ke manajemen organisasi.

Ketiga materi itu akan membantu mengembangkan tingkat kesadaran moral pejabat publik sehingga etika publik selalu diperhitungkan. Lalu integrasi publik bisa berkembang.