• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN PUBLIK

C. Peranan Kebijakan Publik

Sumber: Mazmanian dan Sebatier dalam Solichin, 2001, hal. 82.

Gambar 3. Variabel-variabel proses implementasi kebijakan

untuk mencapai tujuan (misi dan visi) bersama yang telah disepakati.

Gambar 4. Kebijakan publik

Gambar di atas menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah jalan mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Jika cita-cita bangsa Indonesia adalah mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan) dan UUD 1945 (Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan hukum dan tidak semata-mata kekuasaan), kebijakan publik adalah seluruh prasarana (jalan, jembatan, dan sebagainya) dan sarana (mobil, bahan bakar, dan sebagainya) untuk mencapai “tempat tujuan”

tersebut.

Dari sini kita bisa meletakkan peran atau fungsi “kebijakan publik” sebagai “manajemen pencapaian tujuan nasional”. Dapat disimpulkan bahwa:

1. Kebijakan publik mudah dipahami karena maknanya adalah

“hal-hal yang dikerjakan untuk mencapai tujuan nasional”.

Public Policy

Masyarakat pada masa

awal

Masyarakat pada masa

transisi

Masyarakat yang dicita-

citakan

2. Kebijakan publik mudah diukur karena ukurannya jelas, yakni sejauhmana kemajuan pencapaian cita-cita sudah ditempuh.

Namun, bukan berarti kebijakan publik mudah dibuat, mudah dilaksanakan, dan mudah dikendalikan karena kebijakan publik menyangkut faktor politik.

Kita mengetahui, politik adalah art of the possibility atau seni membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Secara ideal, politik adalah cara untuk memperebutkan kekuasaan memimpin pencapaian tujuan bangsa tersebut. Tujuan bangsa Indonesia adalah sudah jelas! Masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Akan tetapi, paradigma atau cara memandang dunia yang dipergunakan oleh Presiden Soekarno berbeda dengan Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo.

Setiap Negara di dalamnya pasti ada kelompok-kelompok yang berbeda pemikiran tentang arah mana yang dipilih untuk mencapai tujuan bersama tadi. Taruh kata, ada tiga orang yang berada di Yogyakarta, dan ketiganya hendak ke Jakarta. Ada yang berpendapat “naik bis saja karena toh harganya murah dan waktunya hanya 10 jam”. Orang kedua memilih untuk naik kereta api, “toh harganya tidak banyak selisih, namun lebih aman, dan waktunya lebih cepat, hanya 8 jam”. Orang ketiga memilih untuk naik pesawat terbang, “memang lebih mahal, tetapi kita lebih cepat mencapai tujuan”. Mari kita buat matriks pilihan ketiganya.

No Pilihan Kekuatan Kelemahan Kondisi

“Kita”

1 Bus Murah Tidak aman,

lama

Keterbatasan uang dan waktu;

namun harus sampai dengan segera dan selamat.

2 Kereta Api Aman, Lebih cepat dari bus

Agak mahal, agak lama 3 Pesawat

Terbang

Cepat Mahal, tidak aman

Jika kondisinya serba baik – terutama kondisi keuangan – pilihan yang terbaik adalah naik pesawat terbang. Akan tetapi, jika uangnya terbatas, apa yang harus dilakukan? Naik bus? Kereta Api?

Apalagi jika masalahnya adalah keterbatasan uang, tetapi harus segera sampai ke Jakarta karena masalah keselamatan jiwa.

Ini juga masalah bagi negara berkembang. Kita terkebelakang jauh dibandingkan dengan negara maju, tidak cukup dukungan dan infrastruktur, sumber daya manusia, teknologi, namun harus mengejar ketertinggalan dengan segera agar tidak semakin tertinggal karena makna “tertinggal” tidak saja sekadar

“tertinggal”, namun juga “dijajah” oleh mereka yang jauh di depan kita.

Soekarno memilih jalan populis-politik, dan dapat dikatakan hasilnya masih jauh dari target, dan jauh karena krisis politik.

Soeharto memilih jalan pragmatis-elitis-ekonomi, dan dapat mencapai keberhasilan, namun keberhasilan yang “rapuh di dalam” dan akhirnya jatuh ketika ada krisis ekonomi. Habibie hanya melakukan stabilisasi agar “pesawat yang sudah meluncur ke bawah tidak jatuh dan terhempas”. Ia berhasil, namun tidak dapat melanjutkan karena krisis kepercayaan. Abdurrahman Wahid memilih jalan “super-demokratis” karena membiarkan semua orang mengerjakan apa saja yang dianggap baik. Hasilnya, Indonesia belajar untuk berdemokrasi secara absolut, meskipun

biaya yang harus dibayar cukup mahal. Megawati berusaha belajar dari kegagalan pendahulunya, namun belum menemukan dan menentukan pilihan sehingga ada kesan perjalanan pembangunan Indonesia ambigu-penuh keragu-raguan. Presiden Yudhoyono memulai langkah dengan ekstra hati-hati. Presiden Joko Widodo mencoba membangun bangsa dengan konsep “Nawa Cita” nya.

Masing-masing Kepala Negara mempunyai pilihan sendiri sesuai dengan kondisi riil yang dihadapi dan kondisi objektif yang ada. Tidak ada yang lebih benar daripada yang lain, hanya lebih baik. Hal yang sama terjadi di tingkat pemerintahan di daerah- daerah. Perbedaan pemimpin akan menyebabkan perbedaan paradigma dan akhirnya perbedaan cara dan langkah, serta akhirnya perbedaan kebijakan publik yang diambil. Di sini kita bersua dengan nilai-nilai yang berbeda dari setiap leader dalam pemerintahan.

Pertanyaan adalah, apakah data satu benang merah untuk acuan bersama mengembangkan kebijakan publik yang unggul?

Kebijakan adalah kompas atau pedoman untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Kebijakan sebagai sebuah pedoman terdiri atas dua nilai luhur, yaitu kebijakan harus cerdas (intelligent), yang secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu cara yang mampu menyelesaikan masalah sesuai dengan masalahnya sehingga sebuah kebijakan harus disusun setelah meneliti data dan menyusunnya dengan cara-cara yang ilmiah, dan kebijakan haruslah bijaksana, “bijaksana” sebenarnya didapat dari mengikuti kredo Perum Pegadaian, yaitu menyelesaikan masalah tanpa masalah (baru). Di sini kita sepakat bahwa kebijakan bukanlah kebijaksanaan. (Ke) bijaksana (an) adalah salah satu value kebijakan. Istilah ini belum lagi jika kita plesetkan dalam bentuk pernyataan “Mohon kebijakan dari Bapak”, yang berarti, minta dibuat penyimpangan otoritas dari pelaksana kebijakan, kebijaksanaan bukanlah hal yang bijaksana, bukan?

Pertanyaan yang selalu harus kita tarik ulang adalah, apakah setiap kebijakan publik yang kita buat mempunyai dua nilai

luhur tersebut: cerdas dan bijaksana? Oleh karena pada akhirnya, apa pun strategi yang kita pilih, apa pun reinvensi yang kita pilih - termasuk reinvensi itu sendiri. Faktor kunci kemudian adalah kualitas keprofesionalan pemerintahan. Arti penting ini saya kaitkan dengan konsep yang diikonkan oleh Sidney Low (dikutip Soedarsono, 2002) sebagai government amateurs, pemerintahan yang diselenggarakan oleh para amatir. Low memahami sebagai sebuah fenomena – terdapat kesenjangan antara perkembangan yang dahsyat di lapangan politik dan kemasyarakatan dengan kapasitas lembaga pembuat UUD (atau peraturan perundangan – red). Manifestasi dari government by amateurs ini adalah diperkuat kekuasaan eksekutif (verseking van de axecutive), serta perundangan dari arah terbalik atau langkah surut pembentuk undang-undang (wetgeving in amgekeerde richting). Konsep government by amateurs ini mengacu pada kondisi kesenjangan kompetensi antara kemajuan di dalam masyarakat yang mengakibatkan peningkatan tuntutan di satu sisi, dan di sisi lain pemerintah (atau negara) tidak mengalami peningkatan kapasitas serta kompetensi yang memadai untuk merespons kemajuan masyarakat dan peningkatan tantangan – di sini pemerintah kemudian mengambil kebijakan publik (sebagai mekanisme respons tuntutan masyarakat) yang tidak sesuai dengan tuntutan yang muncul tersebut.

Birokrasi pemerintah sangat rentang terhadap “penyakit”

ini. Oleh karena ukurannya yang raksasa, birokrasi sangat sulit untuk belajar, berubah, dan mengembangkan diri birokrasi yang sesungguhnya adalah sebuah mesin yang sangat ampuh untuk mengelola kehidupan publik berkembang menjadi mesin yang hebat yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak cakap.

David Osborne dan Peter Plastrik dalam Banishing Bureaucracy (1997), mengatakan bahwa bureucracies have described as systems designed by a genius to be run by idiots.

Tantangannya adalah bagaimana mengembangkan kelembagaan birokrasi dan aparat birokrasi yang profesional untuk membangun government by professionals. Kebijakan publik adalah ukuran dari

kinerja pemerintahan. Pemerintah yang unggul atau bodoh, amatiran atau profesional, dicerminkan dari kualitas kebijakan publik yang dibuat – dan dilaksanakannya.

Penekanan di dalam Reinventing Government, adalah pemerintah yang mempunyai kecakapan membuat kebijakan yang unggul baik dari segi materi kebijakan, proses perumusan – implementasi – evaluasi, maupun dari segi kemampuan kebijakan tersebut menjangkau masalah-masalah yang muncul di masa depan. Inilah inti dari reiventing government untuk nasional negara-negara berkembang tersebut. Jadi, isu kita masih belum masuk ke “steering rather than rowing”, namun baru sampai pada how competent kita dalam hal kebijakan publik.

Kebijakan publik yang baik tidak lain adalah kebijakan publik yang memberikan harapan bagi rakyat. Sebagaimana diceritakan pada mitologi Dewi Pandora, setelah Kotak Pandora dibuka, seluruh sifat dan tabiat keluar merasuki seluruh manusia.

Mulai sifat yang baik hingga yang jahat. Satu yang tersisa dalam kotak itu, harapan.

Kebijakan publik harus mampu memberikan harapan kepada seluruh warga bahwa mereka dapat memasuki hari esok lebih baik dari hari ini. Tidak lain! Di dalamnya kita berbicara tentang kebijakan yang memberdayakan hingga good governance.

Namun, inti dari kesemuanya adalah apakah kebijakan ini memberikan kita harapan untuk masuk ke hari esok? Jika tidak, gagallah kita semua – para pihak yang terkait dengan kebijakan publik. Ini adalah dosa yang akan kita tanggung secara teknis, politis, dan spiritual. Kita berdosa kepada kebijakan itu sendiri, kepada rakyat yang menjadi pemilik saham, dan kepada Tuhan yang memberikan kita amanah untuk memimpin bangsa dan negara untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik manusiawi, dan memuliakan nama-Nya.

Namun, lagi-lagi, cukuplah kebijakan yang unggul? Tidak, karena kita harus meletakkannya pada kondisi yang turbulen, atau

senantiasa berubah. Sering kali, kita mempunyai tiga kriteria dari kebijakan tersebut unggul untuk zamannya. Padahal, seperti dinasihatkan Drucker dalam Managing in the Turbulent Times (1991), bahwa the great danger in times of turbulence is not the turbulence (it self).... it is to act with yesterday logic. Jadi, dapat kita tarik benang merah, dalam rangka membangun setiap negara- bangsa, diperlukan negara kuat dan rakyat kuat – kriteria negara kuat di era rakyat yang kuat adalah terimplementasikannya nilai- nilai dan praktik good governance di satu sisi, dan berkembangnya kebijakan publik yang unggul, termasuk untuk hadir dalam waktu yang penuh perubahan.

Akhirnya, ada pertanyaan akhir: apakah ada key actor bagi kebijakan publik yang unggul? Keunggulan kebijakan publik pada akhirnya ditentukan oleh PEMIMPIN yang mempunyai KEPEMIMPINAN. Pemimpin dengan kepemimpinan adalah pemimpin profesional, yang tidak sekadar mengandalkan legitimasi formal, intuisi, atau kharisma. Pemimpin profesional adalah pemimpin yang mempunyai ilmu dan pengetahuan tentang kepemimpinan, mampu mentransformasikan ilmu dan pengetahuan tentang kepemimpinan menjadi keterampilan (skill), dan pada waktu melaksanakan praktik kepemimpinan, mengikatkan diri pada etika.

Bagi negara, pemimpin adalah pemimpin lembaga eksekutif, yaitu Presiden atau Perdana Menteri. Oleh karena, bagaimanapun, pemimpin eksekutif adalah leader of the nation yang membangun vision of the nation, mengeksekusi dan memimpin perjalanan negara-bangsa. Oleh karena itu berarti kita memerlukan pemimpin yang cakap atau capable. Tanpa pemimpin yang cakap, bukan saja kebijakan publik yang unggul sulit dibuat, bahkan seandainya pun dibuat, sulit untuk dapat diimplementasikan. Pemimpin yang diperlukan tidak harus pemimpin yang pandai, tetapi pribadi yang mempunyai kemampuan untuk melihat jauh ke depan dan mengajak setiap orang menuju ke masa depan yang dilihatnya. Pemimpin yang hebat bukanlah pemimpin yang membuat pengikutnya

mengatakan, “Memang pemimpin kita ini hebat, ya”. Melainkan pemimpin yang membuat pengikutnya berkata, “Ternyata kita ini hebat, ya”. Itulah pemimpin yang memampukan dan memberdayakan pengikutnya. Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang mampu membangun kebijakan-kebijakan publik yang memberdayakan seluruh pengikutnya – seluruh warga negara.

BAB V