• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Publik dan Implementasi Kebijakan Publik

KEBIJAKAN PUBLIK

B. Kebijakan Publik dan Implementasi Kebijakan Publik

Dewasa ini, para ahli administrasi publik tidak hanya secara tradisional mengartikan “public administration”, semata-mata hanya bersifat kelembagaan, misalnya negara, tetapi hanya bersifat kelembagaan, misalnya negara, tetapi telah meluas dalam dimensi hubungan antara lembaga dalam arti lembaga dengan kepentingan publik (public interest). Dengan demikian, dalam konsep demokrasi modern, menurut pemahaman Islamy (2001:

10), kebijakan negara tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini publik (public opinion) juga mempunyai porsi yang sama besarnya untuk diisikan tercermin dalam kebijakan-kebijakan negara. Oleh karena itulah, maka kebijakan negara harus selalu berorientasi kepada kepentingan publik.

tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu (a purposeive cource of action followed by an actor on set at actors in dealing with a problem or matter of concern).

Lebih lanjut Anderson (dalam Miftah Toha, 1999: 3) menyebutkan bahwa terdapat implikasi-implikasi dari adanya pengertian kebijakan negara tersebut, yaitu:

1. Bahwa kebijakan publik itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi kepada tujuan.

2. Bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.

3. Bahwa kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar- benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu.

4. Bahwa kebijakan publik itu bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.

5. Bahwa kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang penting didasarkan atau selalu dilandaskan pada peraturan-peraturan perundangan yang bersifat memaksa.

Kebijakan publik, paling tidak dalam bentuknya yang positif, pada umumnya dibuat berlandaskan hukum dan kewenangan tertentu. Dengan demikian, kebijakan publik memiliki daya ikat yang kuat terhadap masyarakat secara keseluruhan (community as a whole) dan memiliki daya paksa tertentu yang tidak memiliki kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh organisasi-organisasi swasta (Solichin, 2001: 17).

Menurut pemahaman Jones (1991: 46) kebijakan sering digunakan dan dipertukarkan dengan tujuan (goal), program (program), keputusan (decision), hukum (law), proposal (proposal)

dan maksud besar tertentu (the large certain goal). Heinz, Eulau dan Kenneth, Prewitt (dalam Jones, 1991: 47) mendefinisikan kebijakan sebagai keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan (repetitiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut.

Secara teoritis, harus dibedakan antara kebijakan (policy) dan keputusan (decision). Namun demikian dalam tingkat praktek, antara kedua konsep tersebut, cenderung untuk dicampuradukkan, padahal antara keduanya terdapat perbedaan yang cukup mencolok.

Tjokroamidjojo (1997: 5) membedakan pengertian pembuatan keputusan dan pembuatan kebijakan, dengan menyatakan, “pembentukan kebijakan atau policy formulation sering pula disebut policy making dan ini berbeda dengan pengambilan keputusan (decision making)”. Lebih lanjut ia menyebutkan, bahwa “pengambilan keputusan adalah pengambilan pilihan suatu alternatif dan berbagai alternatif, sedangkan pembuatan kebijakan (policy making) meliputi banyak pengambilan keputusan”.

Nigro dan Nigro (1980: 95) membedakan antara pembuatan keputusan (decision making) dan pembuatan kebijakan (policy making), dengan menyatakan bahwa, “Tidak ada perbedaan yang mutlak dapat dibuat antara pembuatan keputusan dan pembuatan kebijakan, karena setting penentuan kebijakan adalah merupakan suatu keputusan (no absolute distinction can be made, between policy making and decision making, because every policy determination is a decision. Policies, however, establish courses of action that guide the numerous decision made in implementhing the objective chosen)”.

Jika demikian halnya, maka pembuatan keputusan itu, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses perumusan kebijakan. Solichin (2001: 23) menyebutkan, bahwa kebijakan, ruang lingkupnya jauh lebih besar daripada keputusan. Kebijakan

pada umumnya terdiri dari serangkaian keputusan-keputusan yang saling terkait. Lebih lanjut Solichin (2001: 28) menjelaskan bahwa pengambilan keputusan mengandung arti pemilihan alternatif yang tersedia, sedangkan kebijakan merupakan tindakan yang mengarah kepada tujuan tertentu yang dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan suatu masalah atau persoalan tertentu.

Guna kepentingan analisis terhadap suatu kebijakan, Eulau dan Prewitt (dalam Jones, 1991: 48) membedakan kebijakan dari komponen umum kebijakan sebagai berikut:

a. Niat (intentions): tujuan-tujuan sebenarnya dari sebuah tindakan.

b. Tujuan (goal): keadaan akhir yang hendak dicapai.

c. Rencana atau usulan (plans or proposal): cara yang ditetapkan untuk mencapai tujuan.

d. Program: cara yang disahkan untuk mencapai tujuan.

e. Keputusan atau pilihan (decision or choices): tindakan- tindakan yang diambil untuk mencapai tujuan, mengembangkan rencana, melaksanakan dan mengevaluasikan program.

f. Pengaruh (effects): dampak program yang dapat diambil yang diharapkan dan tidak diharapkan, yang bersifat primer atau yang bersifat sekunder.

Kebijakan bisa dilihat pula dari aspek lembaga sebagai peraturan-peraturan dan konveksi-konveksi (institution as rules and conventions) sebagaimana dikemukakan Bromley (1989: 32) bahwa untuk mendefinisikan lembaga sebagai peraturan atau konvensi, masih membuka pertanyaan bagaimana mengonseptualisasikan peranan lembaga secara baik dan memahami tekanan-tekanan yang mendorong timbulnya perubahan kelembagaan. Lebih lanjut Bromley (1989: 32) menjelaskan bahwa, “Perubahan kelembagaan ini, merupakan alasan utama dalam menentukan kebijakan publik (an institutional change is the reason for public policy)”. Oleh karena itu, pengamatan proses kebijakan secara menyeluruh akan dapat

mengetahui peranan lembaga dan proses perubahan kelembagaan yang mendorong adanya suatu kebijakan publik.

Menurut Bromley (1989: 32) terdapat tiga (3) level sehubungan dengan proses perubahan kelembagaan tersebut yaitu: level kebijakan (a policy level), level organisasional (an organizational level) dan level operasional (an operational level).

Dalam suatu negara demokrasi, adanya level kebijakan ini, selalu ditandai dengan adanya badan legislatif dan badan hukum, sementara adanya level organisasional, ditandai dengan adanya badan eksekutif. Pada level ini, biasanya keputusan-keputusan mengenai tata kehidupan yang diinginkan, dimusyawarahkan dan dirumuskan. Pada tahap implementasinya, aspirasi semacam ini akan tercapai sejalan dengan perkembangan lembaga dan perkembangan peraturan dari perundangan itu sendiri.

Peraturan perundangan itu sendiri, merupakan bentuk konkrit dari kebijakan publik. Kebijakan publik inilah yang dapat dikategorikan sebagai barang-barang publik (public goods). Ciri peraturan perundangan (rule) sebagai barang-barang publik (public goods) menurut Sudarsono (1994: 16) diantaranya adalah sebagai berikut:

Bahwa rule atau peraturan perundang-undangan ini bertingkat sesuai hierarki proses kebijakan. Proses kebijakan pada policy level akan menghasilkan institutional arrangements (rule) misalnya Undang-Undang. Rule ini akan diterjemahkan oleh proses kebijakan pada organizational level, yang hasilnya adalah institutional arrangements yang tingkatannya lebih rendah dari undang-undang. Selanjutnya arrangements ini akan diterjemahkan oleh kebijakan di operasional level, seterusnya sampai mempengaruhi pattern of instruction out come dari kebijakan tertentu.

Saking besarnya implikasi kebijakan level di atas, terhadap pola interaksi di tingkat bawah, maka kebijakan publik, dianggap sebagai salah satu sumber perubahan kelembagaan (institutional change) dalam masyarakat (Sudarsono, 1994: 18).

Jika demikian halnya, maka definisi kebijakan itu tidaklah semata-mata dilihat dari sesuatu yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah, karena dalam perkembangan lebih lanjut, pemahaman terhadap kebijakan publik itu, tidak diartikan secara tradisional, menyangkut tindakan-tindakan pemerintah, akan tetapi kebijakan publik dalam wujud peraturan perundang- undangan (rule) telah dipandang sebagai barang-barang publik (public goods). Operasional “rule” sebagai barang publik, adalah fungsinya sebagai kompensasi atas kegagalan berbagai mekanisme koordinasi mekanisme pasar dan mekanisme sosial (Sudarsono, 1994: 17).

Adanya suatu kebijakan publik yang pada gilirannya menghasilkan peraturan perundangan (rule) sebagai barang- barang publik (public goods), dalam pengertian lain bahwa kebijakan publik dalam bentuk yang konkrit sebagai “Peraturan perundangan”, telah dipandang sebagai suatu hal yang menyangkut kepentingan publik, walaupun dalam banyak hal pemerintah seringkali gagal menghasilkan hasil yang diinginkan, jika dilihat dari kacamata kepentingan publik (Barzeley, 1992: 119).

Kondisi demikian menurut Sudarsono (1994: 18) disebabkan oleh ciri lain dari rule yang sifatnya tidak lengkap (income pleteness), hal ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan manusia dalam mengantisipasi problem kepentingan masa mendatang, itulah sebabnya rule harus diperbaiki. Apabila

“rule” sebagai barang publik sudah dipandang kurang sesuai dengan kepentingan publik (public interest), sesuai dengan hirarki proses kebijakan tersebut, jelas rule harus senantiasa direvisi, diperbaharui dan diserasikan dengan perkembangan lingkungan global (Sudarsono, 1994: 18). Sesuai tidaknya sesuatu kebijakan publik dalam bentuk peraturan perundang-undangan (rule) dengan kepentingan publik, hal ini sangat tergantung kepada penilaian hasil masyarakat (result citizens value).

Konstruksi retoris semacam ini, sebagaimana disebutkan Barzeley (1992: 119) adalah berhubungan dengan ide organisasi

yang berfokus pelanggan, menekankan hasil daripada input dan proses dan mengisyaratkan bahwa apa yang dinilai masyarakat, tidak bisa ditentukan oleh kelompok profesional di pemerintah.

Walaupun Harmon (dalam Islamy, 2001: 14) pernah mengatakan, bahwa tugas administrator publik, mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kepentingan publik.

Keterkaitan administrator publik sebagai “policy framer

dengan kepentingan publik, dapat dilihat dari responsivitas administrator publik terhadap masalah-masalah, kebutuhan- kebutuhan dan tuntutan-tuntutan yang ada di lingkungannya.

Dengan demikian, administrator yang mempunyai tingkat responsivitas yang tinggi terhadap masalah, kebutuhan dan tuntutan publik serta selalu berupaya secara efektif untuk meningkatkan mutu kebijakan yang dibuatnya sesuai dengan kepentingan publik, maka administrator itu, bisa disebut sebagai administrator publik yang selalu berorientasi kepada kepentingan publik (Islamy, 2001: 15).

Dalam tingkat operasional, seringkali beranggapan bahwa jika suatu ketika pemerintah membuat kebijakan tertentu, maka kebijakan tersebut dengan sendirinya akan dapat dilaksanakan dan hasil-hasilnya pun akan mendekati seperti yang diharapkan oleh pembuat kebijakan tersebut. Pandangan demikian ternyata tidak seluruhnya betul, sebab di negara-negara dunia ketiga menurut Smith (dalam Solichin, 2001: 100), implementasi kebijakan publik, justru merupakan batu sandungan terberat dan serius bagi efektivitas pelaksanaan kebijakan pembangunan di bidang sosial dan ekonomi.

Pemerintah boleh jadi mempunyai sejumlah kebijakan, beserta tujuan pembangunannya yang layak dipuji, misalnya yang bersangkut paut dengan pertumbuhan ekonomi, pangkat, keadilan, pemerataan pendapatan atau kepedulian terhadap kebutuhan orang miskin. Sayangnya, dalam menterjemahkan kebijakan-kebijakan tersebut ke dalam bentuk program-program

dan proyek-proyek, pada saat tingkat implementasi terdapat sandungan yang berat.

Ada sejumlah alasan yang dapat diberikan mengapa implementasi kebijakan merupakan batu sandungan dalam mewujudkan efektivitas organisasi birokrasi, yang salah satu penyebabnya adalah birokrasi pemerintah belum merupakan kesatuan yang efektif, efisien dan berorientasi kepada tujuan (Solichin, 1990: 150).

Permasalahan yang menyangkut implementasi (pelaksanaan) kebijakan publik (publik policy) sekalipun sering dibicarakan, tetapi amat jarang dipelajari dan diteliti. Pembahasan terhadap implementasi kebijakan publik (public policy implementation) sesungguhnya berusaha untuk memahami, apa yang sedang terjadi. Sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan publik, baik itu menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa (Mazmanian dan Sabastier, dalam Solichin, 1986: 4).

Oleh karena itu, untuk memperoleh pemahaman tentang implementasi kebijakan publik, kita seharusnya tidak hanya menyoroti perilaku dari lembaga administrasi publik atau benda- benda publik yang bertanggung jawab atas sesuatu program berkat pelaksanaannya, akan tetapi juga perlu mencermati berbagai jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku, yang terlibat dalam suatu program dari keluarnya suatu kebijakan publik.

Menurut Cleaves (dalam Solichin, 1980: 281) implementasi kebijakan dianggap sebagai suatu proses tindakan administrasi dan politik (a proces of moving to ward a policy objective by mean administrative and political steps). Grindle (dalam Solichin, 2001:

59) menyebutkan bahwa implementasi kebijakan sesungguhnya

bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dari siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan.

Lebih lanjut Mazmanian dan Sabatier (dalam Solichin, 2001:

68) menyebutkan bahwa:

Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan- keputusan eksekutif yang penting atau badan peradilan lainnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dengan berbagai cara untuk menstruktur atau mengatur proses implementasinya.

Hal penting esensial dalam membahas kebijakan publik, adalah usaha untuk melaksanakan kebijakan publik itu sendiri (Silalahi, 1992: 148). Implementasi kebijakan, merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu pelaksanaan, maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan itu, akan sia-sia belaka. Oleh karena itulah, pelaksanaan kebijakan mempunyai kedudukan yang penting di dalam pembahasan kebijakan publik (public policy).

Menurut Jones (dalam Silalahi, 1992: 150) dalam membahas implementasi kebijakan terdapat 2 (dua) aktor yang terlibat, yaitu:

1. Beberapa orang di luar birokrat-birokrat yang mungkin terlibat dalam aktivitas-aktivitas implementasi seperti legislater, hakim, dan lain-lain

2. Birokrat-birokrat itu sendiri yang terlibat dalam aktivitas fungsional, di samping implementasi.

Sedangkan menurut Mazmanian dan Sabastier (dalam Solichin, 2001: 81) bahwa peran penting dari analisis implementasi

kebijakan publik, adalah mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi antara lain meliputi:

a. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan.

b. Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasi.

c. Pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang memuat dalam keputusan kebijakan tersebut.

Secara garis besar, kita dapat mengatakan bahwa fungsi implementasi itu, adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran kebijakan publik diwujudkan, sebagai hasil akhir (outcome) kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah (Solichin, 1990: 123). Dengan demikian, implementasi kebijakan merupakan terjemahan kebijakan publik yang pada umumnya masih berupa pertanyaan- pertanyaan umum yang berisikan tujuan, sasaran ke dalam program-program yang lebih operasional (program aksi) yang kesemuanya dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran yang telah dinyatakan dalam kebijakan tersebut.

Lain halnya dengan pandangan Islamy (2001: 99) bahwa sekali usulan kebijakan telah diterima dan disahkan oleh pihak yang berwenang, maka keputusan kebijakan itu telah siap untuk diimplementasikan.

Terdapat beberapa kebijakan yang bersifat “self executing

artinya dengan dirumuskannya kebijakan itu sekaligus (dengan sendirinya) kebijakan itu terimplementasikan (Islamy, 2001: 102).

Gambaran mengenai kerangka konseptual proses implementasi kebijakan publik itu terdapat dilihat secara jelas pada Gambar 3 berikut ini:

Sumber: Mazmanian dan Sebatier dalam Solichin, 2001, hal. 82.

Gambar 3. Variabel-variabel proses implementasi kebijakan