• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inkonsistensi Pengaturan UUHC 2014 terhadap TIK dalam Mewujudkan Pelindungan dan Jaminan Kepastian Hukum

Dalam dokumen MONOGRAF DINAMIKA REFORMASI HUKUM DI INDONESIA (Halaman 108-123)

INKONSISTENSI PENGATURAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM

2. Inkonsistensi Pengaturan UUHC 2014 terhadap TIK dalam Mewujudkan Pelindungan dan Jaminan Kepastian Hukum

Setidaknya terdapat enam pasal yang terkait dengan TIK dalam UUHC 2014. Adapun pasal pertama yang akan ditinjau yaitu Pasal 43 huruf d UUHC 2014 yang menyebutkan, “Perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta meliputi: …d. pembuatan dan penyebarluasan konten Hak Cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan Pencipta atau pihak terkait, atau Pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut. Pasal ini masuk dalam bab VI tentang pembatasan hak cipta. Aturan tentang pembatasan hak cipta (limitations and exceptions) umumnya ditemukan di semua negara yang meratifikasi

3 Ibid.

4 Ibid.

5 Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat (Jakarta: CV Rajawali, 1987), hlm. 33.

Konvensi Berne. Dalam tradisi hukum civil law, ketentuan pembatasan hak cipta dirancang sedemikian rinci untuk mengantisipasi perbuatan- perbuatan yang dikecualikan dari pelanggaran hak cipta. Sedangkan dalam tradisi common law, ketentuan pembatasan hak cipta merupakan norma yang terbuka (open-ended norm) yang penerapannya berbasis kasus per kasus.6

Pasal 43 huruf d UUHC 2014 berpotensi memberikan ketidakpastian hukum karena akan semakin mempersulit pemilik hak cipta/hak terkait menegakkan haknya. Dalam pasal tersebut terdapat frasa “bersifat tidak komersial”. Dalam praktik sangat mungkin terjadi misalnya pada penjualan buku fisik yang hanya tersedia secara offline namun kemudian tersedia secara online karena ada pihak yang hanya ingin menyebarluaskan buku tersebut tapi tidak bertujuan untuk menjualnya. Apakah penyebarluasan tersebut termasuk penyebarluasan yang bersifat tidak komersial?

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 24 mendefinisikan penggunaan komersial adalah pemanfaatan ciptaan dan/atau produk hak terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar. Pasal ini mensyaratkan dalam penggunaan komersial harus ada unsur “keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar”, sedangkan penyebarluasan buku secara online dimaksudkan untuk tidak dijual. Padahal buku yang beredar secara online semakin lebih mudah digandakan dan dicetak oleh siapa saja yang memiliki berkas (file) digital dari buku tersebut.

Dampak dari penyebarluasan tersebut dapat berakibat turunnya omzet penjualan buku fisik yang akhirnya merugikan pemilik hak cipta.

Sehubungan dengan skenario kasus di atas, penegak hukum terutama hakim perlu mempertimbangkan apakah buku yang disebarluaskan secara online tersebut sedang dijual di pasaran oleh pemilik hak cipta/hak terkait atau sudah tidak dijual lagi. Jika buku tersebut sedang dijual, tentu penyebarluasan buku secara online-

6 Pamela Samuelson, Justifications for Copyright Limitations and Exceptions dalam Ruth Okediji (Ed.), Copyright Law in an Age of Limitations and Exceptions (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), hlm. 12-59.

DOI:10.1017/9781316450901.003

Konvensi Berne. Dalam tradisi hukum civil law, ketentuan pembatasan hak cipta dirancang sedemikian rinci untuk mengantisipasi perbuatan- perbuatan yang dikecualikan dari pelanggaran hak cipta. Sedangkan dalam tradisi common law, ketentuan pembatasan hak cipta merupakan norma yang terbuka (open-ended norm) yang penerapannya berbasis kasus per kasus.6

Pasal 43 huruf d UUHC 2014 berpotensi memberikan ketidakpastian hukum karena akan semakin mempersulit pemilik hak cipta/hak terkait menegakkan haknya. Dalam pasal tersebut terdapat frasa “bersifat tidak komersial”. Dalam praktik sangat mungkin terjadi misalnya pada penjualan buku fisik yang hanya tersedia secara offline namun kemudian tersedia secara online karena ada pihak yang hanya ingin menyebarluaskan buku tersebut tapi tidak bertujuan untuk menjualnya. Apakah penyebarluasan tersebut termasuk penyebarluasan yang bersifat tidak komersial?

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 24 mendefinisikan penggunaan komersial adalah pemanfaatan ciptaan dan/atau produk hak terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar. Pasal ini mensyaratkan dalam penggunaan komersial harus ada unsur “keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar”, sedangkan penyebarluasan buku secara online dimaksudkan untuk tidak dijual. Padahal buku yang beredar secara online semakin lebih mudah digandakan dan dicetak oleh siapa saja yang memiliki berkas (file) digital dari buku tersebut.

Dampak dari penyebarluasan tersebut dapat berakibat turunnya omzet penjualan buku fisik yang akhirnya merugikan pemilik hak cipta.

Sehubungan dengan skenario kasus di atas, penegak hukum terutama hakim perlu mempertimbangkan apakah buku yang disebarluaskan secara online tersebut sedang dijual di pasaran oleh pemilik hak cipta/hak terkait atau sudah tidak dijual lagi. Jika buku tersebut sedang dijual, tentu penyebarluasan buku secara online-

6 Pamela Samuelson, Justifications for Copyright Limitations and Exceptions dalam Ruth Okediji (Ed.), Copyright Law in an Age of Limitations and Exceptions (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), hlm. 12-59.

DOI:10.1017/9781316450901.003

meskipun tidak untuk dijual – akan merugikan kepentingan yang wajar dari pemilik hak cipta/hak terkait. Kepentingan yang wajar dalam penjelasan Pasal 44 Ayat (1) huruf a UU 28/2014 yaitu kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan. Penjelasan tentang kepentingan yang wajar ini sebenarnya masih belum menentukan batasan yang pasti perihal seberapa merugikannya konten yang tersebar terhadap potensi keuntungan yang seharusnya didapatkan.

Sebagai perbandingan, pengaturan yang lebih jelas dapat dilihat pada ketentuan fair use di Amerika Serikat yang menentukan apakah penggunaan ciptaan termasuk penggunaan yang wajar (fair) atau tidak, yaitu: 1) tujuan dan karakter penggunaan (the purpose and the character of the use); (2) kondisi asasi dari ciptaan (the nature of the copyrighted work); (3) jumlah dan porsi substansi karya yang digunakan (the amount and substantiality of the portion taken); (4) dampak dari penggunaan karya tersebut terhadap pasar potensial (the effect of the use upon the potential market).7 Apabila poin keempat ini diterapkan pada kasus penyebarluasan konten secara online dengan tujuan tidak dijual, maka harus ditelaah bagaimana dampak dari penyebarluasan itu terhadap potensi pasar atau keuntungan yang seharusnya didapat jika tidak disebarluaskan.

Selain itu, hakim juga perlu memeriksa apakah konten masih dilindungi atau sudah habis masa pelindungannya (public domain).

Kemudian dalam penerapan Pasal 43 huruf d UUHC 2014 juga harus dilihat apabila pemilik hak cipta sudah mengajukan keberatan namun pihak penyebar konten mengabaikan keberatan tersebut.

Pengabaian atas keberatan tersebut berakibat penyerbarluasan konten tersebut sudah bukan lagi dalam lingkup pengecualian pelanggaran hak cipta.

Pengaturan dalam UUHC 2014 selanjutnya mengenai TIK diatur pada Pasal 53 yang menyatakan: (1) Ciptaan atau produk Hak Terkait yang menggunakan sarana produksi dan/atau penyimpanan data berbasis teknologi informasi dan/atau teknologi tinggi, wajib 7

Rich Stim, “Measuring Fair Use: The Four Factors,” Stanford Copyright and Fair Use Center. https:// fairuse.stanford.edu/overview/fair-use/four-factors/ diakses pada 27 Juni 2022.

memenuhi aturan perizinan dan persyaratan produksi yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana produksi dan/atau penyimpanan data berbasis teknologi informasi dan/atau teknologi tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Adapun yang dimaksud dengan “sarana produksi dan/atau penyimpanan data berbasis teknologi informasi dan/ atau teknologi tinggi" dalam penjelasan pasal tersebut antara lain cakram optik, server, komputasi awan (cloud), kode rahasia, password, barcode, serial number, teknologi dekripsi (decryption), dan enkripsi (encryption) yang digunakan untuk melindungi ciptaan.

Pasal 53 pada dasarnya mengatur kewajiban perizinan terhadap ciptaan yang diproduksi pada server, komputasi awan (cloud), kode rahasia, password, barcode, serial number, teknologi dekripsi (decryption), dan enkripsi (encryption). Pada undang-undang hak cipta sebelumnya, lingkup pengaturannya hanya mengatur cakram optik yang tujuan pengaturannya adalah untuk mencegah peredaran cakram optik dari pembajakan hak cipta, penyelundupan yang merugikan keuangan negara dalam hal pemungutan cukai dan pajak impor, dan penyeragaman persyaratan produksi cakram optik. Pada UUHC 2014, lingkup pengaturannya diperluas yang seyogianya tujuan pengaturan dari perluasan tersebut sebanding dengan tujuan pengaturan pada cakram optik.

Menurut hemat kami, tujuan perluasan pengaturan subjek tidak memiliki urgensi yang sepadan dengan tujuan pengaturan pada cakram optik. Alih-alih dalam implementasinya cenderung kontraproduktif. Sebagai contoh, platform UGC (user generated content)8 seperti Youtube telah mengembangkan sistem Content ID yang didefinisikan sebagai “sistem sidik jari digital (digital

8 UGC adalah segala bentuk konten, seperti gambar, video, teks, dan audio, yang telah diposting oleh pengguna di platform daring seperti media sosial, apikasi pengiriman pesan, forum diskusi, e-commerce, dan wiki: Pierre Berthon, Leyland Pitt, Jan Kietzmann, Ian P. McCarthy, "CGIP: Managing Consumer-Generated Intellectual Property,

California Management Review 57, no. 4 (2015): 43–62, hlm. 44.

DOI:10.1525/cmr.2015.57.4.43

memenuhi aturan perizinan dan persyaratan produksi yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana produksi dan/atau penyimpanan data berbasis teknologi informasi dan/atau teknologi tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Adapun yang dimaksud dengan “sarana produksi dan/atau penyimpanan data berbasis teknologi informasi dan/ atau teknologi tinggi" dalam penjelasan pasal tersebut antara lain cakram optik, server, komputasi awan (cloud), kode rahasia, password, barcode, serial number, teknologi dekripsi (decryption), dan enkripsi (encryption) yang digunakan untuk melindungi ciptaan.

Pasal 53 pada dasarnya mengatur kewajiban perizinan terhadap ciptaan yang diproduksi pada server, komputasi awan (cloud), kode rahasia, password, barcode, serial number, teknologi dekripsi (decryption), dan enkripsi (encryption). Pada undang-undang hak cipta sebelumnya, lingkup pengaturannya hanya mengatur cakram optik yang tujuan pengaturannya adalah untuk mencegah peredaran cakram optik dari pembajakan hak cipta, penyelundupan yang merugikan keuangan negara dalam hal pemungutan cukai dan pajak impor, dan penyeragaman persyaratan produksi cakram optik. Pada UUHC 2014, lingkup pengaturannya diperluas yang seyogianya tujuan pengaturan dari perluasan tersebut sebanding dengan tujuan pengaturan pada cakram optik.

Menurut hemat kami, tujuan perluasan pengaturan subjek tidak memiliki urgensi yang sepadan dengan tujuan pengaturan pada cakram optik. Alih-alih dalam implementasinya cenderung kontraproduktif. Sebagai contoh, platform UGC (user generated content)8 seperti Youtube telah mengembangkan sistem Content ID yang didefinisikan sebagai “sistem sidik jari digital (digital

8 UGC adalah segala bentuk konten, seperti gambar, video, teks, dan audio, yang telah diposting oleh pengguna di platform daring seperti media sosial, apikasi pengiriman pesan, forum diskusi, e-commerce, dan wiki: Pierre Berthon, Leyland Pitt, Jan Kietzmann, Ian P. McCarthy, "CGIP: Managing Consumer-Generated Intellectual Property,

California Management Review 57, no. 4 (2015): 43–62, hlm. 44.

DOI:10.1525/cmr.2015.57.4.43

fingerprinting system).9 Setiap produksi video di youtube yang sudah masuk dalam sistem Content ID akan memiliki sidik jari digital yang kemungkinan Youtube menggunakan teknologi enkripsi dalam sistem tersebut. Persoalannya adalah apakah setiap video dari pengguna di Indonesia harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pemerintah Indonesia? Jika memang demikian, tentu pengaturan ini akan semakin mengurangi minat pemilik hak cipta/hak terkait untuk mengunggah video ke Youtube yang pada akhirnya menghalangi pemilik hak cipta/hak terkait untuk dapat langsung menikmati manfaat ekonomi dari videonya.

Pengaturan selanjutnya yang terkait TIK terdapat pada Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 56 yang saling berkaitan karena diatur dalam satu bab yang sama yaitu Bab VIII tentang Konten Hak Cipta dan Hak Terkait dalam TIK. Pasal 54 mengatur, “untuk mencegah pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait melalui sarana berbasis teknologi informasi, Pemerintah berwenang melakukan: a.

pengawasan terhadap pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait; b. kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri dalam pencegahan pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait; dan c. pengawasan terhadap tindakan perekaman dengan menggunakan media apapun terhadap Ciptaan dan produk Hak Terkait di tempat pertunjukan.”

Secara tersurat pasal ini menentukan bahwa pemerintah sebagai satu-satunya institusi yang berwenang melakukan pengawasan, kerja sama, dan koordinasi sebagai upaya preventif dalam mencegah pelanggaran hak cipta melalui sarana TIK.

Selain upaya preventif, diatur juga upaya represif pada Pasal 55 dan Pasal 56 yang berkenaan dengan prosedur dan penindakan untuk menanggulangi pelanggaran hak cipta dalam sistem elektronik. Pasal 55 Ayat (1) mengatur bahwa setiap orang yang mengetahui pelanggaran hak cipta/hak terkait melalui sistem elektronik untuk penggunaan secara komersial dapat melaporkan kepada menteri c.q. Direktorat Jenderal Kekayan Intelektual

9 Youtube, “Mempelajari Klaim Content ID,” Yotube Help.

https://support.google.com/youtube/answer/6013276 diakses pada 23 Juni 2022.

Kementerian Hukum dan HAM RI. Setelah terdapat laporan, menteri akan melakukan verifikasi. Apabila ditemukan bukti yang cukup, menteri merekomendasikan kepada kementerian komunikasi dan informatika (Kominfo) untuk melakukan penutupan konten atau pemutusan akses layanan sistem elektronik berdasarkan permintaan pelapor. Selanjutnya dalam Pasal 56 mengatur bahwa Kominfo berdasarkan rekomendasi dapat menutup konten atau hak akses pengguna dan menjadikan layanan sistem elektronik tidak dapat diakses.

Implementasi dari ketiga pasal di atas kemungkinan bisa berdampak pada dua hal: (1) pengawasan dan penindakan konten pelanggaran hak cipta oleh pemerintah yang tidak efektif; (2) rawan terjadi penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan penutupan konten dan akses layanan sistem elektronik sehingga bertentangan dengan hak asasi manusia khususnya hak kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat.

Pengawasan dan penindakan konten pelanggaran hak cipta oleh pemerintah dapat tidak efektif mengingat jumlah konten yang beredar dalam sistem elektronik sangat berlimpah. Sebagai contoh, jumlah pengunggahan konten di Youtube yang mencapai lebih dari 500 jam konten setiap menitnya di seluruh dunia.10 Untuk mengawasi konten sebanyak itu tentu tidak akan berjalan optimal jika hanya bertumpu pada peran pemerintah saja.

Lain halnya dari apa yang dilakukan oleh Youtube selaku pihak swasta yang menerapkan sistem Content ID untuk memonitori konten yang diunggah ke jaringan, yang mana sistem ini bekerja secara otomatis dengan melakukan pemindaian terhadap konten yang melanggar hak cipta. Praktik pengawasan yang dilakukan oleh Youtube menunjukkan pengawasan yang dilakukan oleh pihak swasta bisa jadi lebih efektif. Selain itu, beban pemerintah juga semakin berkurang terutama dari segi beban keuangan negara untuk melakukan pengadaan barang/jasa berbiaya tinggi terkait pengawasan konten pelangaran hak cipta. Maka idealnya, peran pengawasan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja, namun

10 Youtube, “Youtube By the Numbers,” Youtube Official Blog.

https://blog.youtube/press/ diakses pada 16 Juni 2022.

Kementerian Hukum dan HAM RI. Setelah terdapat laporan, menteri akan melakukan verifikasi. Apabila ditemukan bukti yang cukup, menteri merekomendasikan kepada kementerian komunikasi dan informatika (Kominfo) untuk melakukan penutupan konten atau pemutusan akses layanan sistem elektronik berdasarkan permintaan pelapor. Selanjutnya dalam Pasal 56 mengatur bahwa Kominfo berdasarkan rekomendasi dapat menutup konten atau hak akses pengguna dan menjadikan layanan sistem elektronik tidak dapat diakses.

Implementasi dari ketiga pasal di atas kemungkinan bisa berdampak pada dua hal: (1) pengawasan dan penindakan konten pelanggaran hak cipta oleh pemerintah yang tidak efektif; (2) rawan terjadi penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan penutupan konten dan akses layanan sistem elektronik sehingga bertentangan dengan hak asasi manusia khususnya hak kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat.

Pengawasan dan penindakan konten pelanggaran hak cipta oleh pemerintah dapat tidak efektif mengingat jumlah konten yang beredar dalam sistem elektronik sangat berlimpah. Sebagai contoh, jumlah pengunggahan konten di Youtube yang mencapai lebih dari 500 jam konten setiap menitnya di seluruh dunia.10 Untuk mengawasi konten sebanyak itu tentu tidak akan berjalan optimal jika hanya bertumpu pada peran pemerintah saja.

Lain halnya dari apa yang dilakukan oleh Youtube selaku pihak swasta yang menerapkan sistem Content ID untuk memonitori konten yang diunggah ke jaringan, yang mana sistem ini bekerja secara otomatis dengan melakukan pemindaian terhadap konten yang melanggar hak cipta. Praktik pengawasan yang dilakukan oleh Youtube menunjukkan pengawasan yang dilakukan oleh pihak swasta bisa jadi lebih efektif. Selain itu, beban pemerintah juga semakin berkurang terutama dari segi beban keuangan negara untuk melakukan pengadaan barang/jasa berbiaya tinggi terkait pengawasan konten pelangaran hak cipta. Maka idealnya, peran pengawasan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja, namun

10 Youtube, “Youtube By the Numbers,” Youtube Official Blog.

https://blog.youtube/press/ diakses pada 16 Juni 2022.

melibatkan juga pihak swasta.

Pengaturan bersama antara pemerintah-swasta sebaiknya dipertimbangkan. Melalui pengaturan bersama dapat meningkatkan transparansi, kualitas, dan efektivitas peraturan karena semua pemangku kepentingan secara langsung terlibat dalam formulasi kebijakan.11 Pengaturan bersama adalah pendekatan regulasi yang berfokus pada keterlibatan pemangku kepentingan secara luas dalam formulasi kebijakan melalui dialog pemerintah-swasta atau public-private dialogue (PPD) serta pembagian tanggung jawab antara pemerintah dan non-pemerintah secara luas. PPD memungkinkan pemerintah untuk mengeksplorasi praktik yang baik dan memastikan peraturan yang ada bisa membantu pengawasan konten yang efektif dan di sisi lain memungkinkan kebebasan berekspresi, dialog publik terbuka, dan pertumbuhan kreativitas.

Cara ini dilakukan berbasis pada kolaborasi dalam pembuatan, adopsi, pelaksanaan, dan evolusi regulasi. 12 Kolaborasi ini mempertimbangkan kepentingan sektor swasta dengan memberikan ruang dan dorongan untuk inovasi dan pertumbuhan.

Dalam perspektif pengaturan bersama, pemerintah dapat membuat aturan yang bersifat umum dan imperatif13 misalnya dengan mengatur standar minimal prosedur penanganan konten pelanggaran hak cipta. Pada saat yang sama, penyelenggara sistem elektronik akan memformulasikan ketentuan pelayanan atau perjanjian penggunaan layanan (terms and conditions) secara lebih rinci dan mengembangkan prosedur penutupan konten atau pemutusan layanan yang tepat. Pembagian tanggung jawab ini membuat pengaturan lebih fleksibel dalam merespons perkembangan TIK yang terus berubah seiring dengan tumbuhnya model bisnis yang baru. Pengaturan bersama dapat berdampak pada

11 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Public Private Dialogue in Developing Countries: Opportunities and Risk (Paris: Development Centre Studies, OECD Publishing, 2007), hlm. 1-10. DOI:

https://doi.org/10.1787/9789264028845-en.

12 Ira Aprilianti dan Siti Alifah Dina, “Pengaturan Bersama Ekonomi Digital Indonesia,” Center for Indonesian Policy Studies, (2021): 1-38, hlm. 12.

DOI:10.35497/333000.

13 Imperatif adalah kaidah hukum memaksa yang secara apriori harus ditaati:

Wahyu Sasongko, Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung, 2013), hlm. 18.

meningkatnya tingkat kepatuhan karena dilandasi dengan kerja sama pemerintah-swasta yang sama-sama bertujuan memperbaiki kinerja industri secara luas.14

Implementasi Pasal 54, 55, dan 56 UUHC 2014 juga berpotensi mengancam kebebasan berekspresi di Indonesia jika kewenangan pemerintah untuk melakukan penutupan konten dan pemutusan akses layanan sistem elektronik diterapkan secara berlebihan.

Berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, pembatasan kebebasan berekspresi oleh pemerintah hanya bisa dilakukan untuk tujuan keamanan nasional dan pelindungan harga diri manusia terhadap rasisme, hoaks, ujaran kebencian, dan penistaan melalui undang-undang.15 Pembatasan tersebut harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Untuk mencegah kesewenang-wenangan penutupan konten, pembatasan tanggung jawab platform UGC atas pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh pengguna layanannya perlu dipertimbangkan untuk reformasi undang-undang hak cipta ke depannya. Pembatasan tanggung jawab perlu dilakukan karena dari segi teknis dan biaya, tidak semua platform UGC semapan Youtube yang dapat membuat sistem pengawasan konten terotomatisasi untuk mengawasi secara aktif setiap konten yang diunggah ke jaringan. Seandainya pun mampu dibuat, sistem tersebut harus mampu mengidentifikasi apakah suatu konten dilindungi hak cipta atau sudah menjadi public domain, apakah konten telah dilisensikan atau tidak, dan apakah penggunaan konten termasuk tindakan yang tidak dianggap pelanggaran hak cipta atau sebaliknya. Sangat mungkin akan terjadi kekeliruan dalam proses identifikasi tersebut misalnya penggunaan yang seharusnya dikategorikan pelanggaran

14 Mathias Vermeulen, “Online Content: to Regulate or Not to Regulate– Is that the Question?” Association for Progressive Communication (APC) Issue Paper, 1 November 2019. https://www.apc.org/en/pubs/online-content- regulate-or-not-regulate- question

15 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966.

https://treaties.un.org/doc/publication/unts/volume%20999/volume-999-i-14668- english.pdf diakes pada 25 Juni 2022.

meningkatnya tingkat kepatuhan karena dilandasi dengan kerja sama pemerintah-swasta yang sama-sama bertujuan memperbaiki kinerja industri secara luas.14

Implementasi Pasal 54, 55, dan 56 UUHC 2014 juga berpotensi mengancam kebebasan berekspresi di Indonesia jika kewenangan pemerintah untuk melakukan penutupan konten dan pemutusan akses layanan sistem elektronik diterapkan secara berlebihan.

Berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, pembatasan kebebasan berekspresi oleh pemerintah hanya bisa dilakukan untuk tujuan keamanan nasional dan pelindungan harga diri manusia terhadap rasisme, hoaks, ujaran kebencian, dan penistaan melalui undang-undang.15 Pembatasan tersebut harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Untuk mencegah kesewenang-wenangan penutupan konten, pembatasan tanggung jawab platform UGC atas pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh pengguna layanannya perlu dipertimbangkan untuk reformasi undang-undang hak cipta ke depannya. Pembatasan tanggung jawab perlu dilakukan karena dari segi teknis dan biaya, tidak semua platform UGC semapan Youtube yang dapat membuat sistem pengawasan konten terotomatisasi untuk mengawasi secara aktif setiap konten yang diunggah ke jaringan. Seandainya pun mampu dibuat, sistem tersebut harus mampu mengidentifikasi apakah suatu konten dilindungi hak cipta atau sudah menjadi public domain, apakah konten telah dilisensikan atau tidak, dan apakah penggunaan konten termasuk tindakan yang tidak dianggap pelanggaran hak cipta atau sebaliknya. Sangat mungkin akan terjadi kekeliruan dalam proses identifikasi tersebut misalnya penggunaan yang seharusnya dikategorikan pelanggaran

14 Mathias Vermeulen, “Online Content: to Regulate or Not to Regulate– Is that the Question?” Association for Progressive Communication (APC) Issue Paper, 1 November 2019. https://www.apc.org/en/pubs/online-content- regulate-or-not-regulate- question

15 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966.

https://treaties.un.org/doc/publication/unts/volume%20999/volume-999-i-14668- english.pdf diakes pada 25 Juni 2022.

hak cipta namun oleh sistem dinyatakan bukan pelanggaran, dan vice versa. Tentu hal semacam ini juga semakin mengurangi kepastian hukum bagi pemilik hak cipta/hak terkait dalam hal konten yang diunggah tidak dikategorikan sebagai konten yang dilindungi hak cipta oleh sistem pengawasan konten yang terotomatisasi.

Dengan beratnya beban pengawasan yang dipikul, platform UGC juga dibayangi risiko hukum karena dinilai harus ikut bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh penggunanya. Khususnya dari aspek hukum pidana, platform UGC dapat dianggap turut serta melakukan tindak pidana bersama- sama (contributory infringement), apabila pasal pidana pelanggaran hak cipta yang dikenakan dihubungkan dengan Pasal 56 KUHP tentang penyertaan. Berdasarkan Pasal 56 KUHP, seseorang yang memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan dapat dianggap sebagai pelaku pidana.

Dari aspek hukum perdata, tindakan platform UGC yang keliru dalam melakukan identifikasi status hak cipta konten yang diunggah dapat menjadikan ia bertanggung jawab karena kelalaiannya tersebut. Unsur kesalahan yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata mencakup semua gradasi kesalahan dari “sengaja” sampai dengan “lalai”.16 Jika dihubungkan dengan Pasal 1366 KUH Perdata, maka Platform UGC yang lalai ini harus bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hati.

Sebenarnya Indonesia telah memiliki peraturan yang memberikan pembatasan tanggung jawab platform UGC yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika RI No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat (Permenkominfo 5/2020). Ruang lingkup konten dalam peraturan tersebut tidak spesifik mengatur konten pelanggaran hak cipta saja tapi termasuk semua konten (informasi/dokumen elektronik) yang dilarang oleh peraturan perundang- undangan.

Dalam Permenkominfo tersebut, platform UGC diberi istilah sebagai penyelenggara sistem elektronik user generated content

16 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 252-256.

Dalam dokumen MONOGRAF DINAMIKA REFORMASI HUKUM DI INDONESIA (Halaman 108-123)