• Tidak ada hasil yang ditemukan

JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

Dalam dokumen BUKU PROFIL KESEHATAN INDONESIA TAHUN 2014 (Halaman 115-126)

BAB VII KESEHATAN LINGKUNGAN

D. JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

POLRI, dan anggota keluarganya, peserta asuransi kesehatan sosial dari PT. Askes (Persero) beserta anggota keluarganya, peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) dari PT. (Persero) Jamsostek dan anggota keluarganya, peserta Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang telah berintegrasi dan peserta mandiri (pekerja bukan penerima upah dan pekerja penerima upah).

Tahap selanjutnya sampai dengan tahun 2019 seluruh penduduk menjadi peserta JKN.

Sampai dengan Desember 2014 kepersertaan program JKN berjumlah 133.423.653 peserta yang terdiri dari peserta PBI yang berjumlah 95.167.229 dan peserta non PBI berjumlah 38.256.424 peserta. Peserta PBI terdiri dari peserta dengan iuran bersumber dari APBN berjumlah 86.400.000 peserta dan yang bersumber dari ABPD berjumlah 8.767.229 peserta. Sedangkan peserta non PBI terdiri atas pekerja penerima upah berjumlah 24.327.149 peserta, pekerja bukan penerima upah berjumlah 9.052.859 peserta, dan bukan pekerja berjumlah 4.876.416 peserta.

GAMBAR 4.5

CAKUPAN KEPESERTAAN BPJS KESEHATAN PER 31 DESEMBER 2014

Sumber : BPJS Kesehatan, 2015

Dari gambar diatas diketahui cakupan kepersertaan JKN adalah sebesar 52,5%. Provinsi dengan cakupan kepesertaan tertinggi adalah Papua Barat dengan 91,5%. Sedangkan provinsi dengan cakupan kepesertaan terendah adalah Kalimantan Utara dengan 31,4%. Data dan informasi rinci mengenai cakupan kepesertaan BPJS Kesehatan pada tahun 2014 terdapat pada lampiran 4.8.

Setiap peserta JKN mempunyai hak mendapat pelayanan kesehatan meliputi: pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) dan Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP), pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL), Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL);

pelayanan gawat darurat; dan pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh menteri.

Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari

pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama, kecuali pada keadaan gawat darurat, kekhususan permasalahan kesehatan pasien, pertimbangan geografis, dan pertimbangan ketersediaan fasilitas. Gambar berikut ini menyajikan jumlah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

GAMBAR 4.6

JUMLAH FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA (FKTP) YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN

PER DESEMBER 2014

Sumber : BPJS Kesehatan, 2015

Dari gambar diatas diketahui jumlah FKTP yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan tertinggi ada pada Provinsi Jawa Barat dengan jumlah 2157. Sedangkan jumlah FKTP yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan terendah berada di provinsi Kalimantan Utara dengan jumlah 91. Data dan informasi mengenai FKTP yang bekerja sama dengan BPJS pada tahun 2014 terdapat pada Lampiran 4.9.

GAMBAR 4.7

JUMLAH FKTP DAN JUMLAH FKRTL YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN PER DESEMBER 2014

Sumber : BPJS Kesehatan, 2015

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa jumlah FKTP yang bekerja sama dengan FKTP sebesar 17.427, sedangkan jumlah Fasilitas Kesehatan Rujukan Tindak Lanjut (FKRTL) yang bekerja sama dengan BPJS sebesar 1.613.

GAMBAR 4.8

PERSENTASE JENIS FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA (FKTP) YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN

PER DESEMBER 2014

Sumber : BPJS Kesehatan, 2015

Dari gambar di atas diketahui jenis FKTP yang paling banyak bekerja sama dengan BPJS per Desember 2015 adalah Puskesmas yakni berjumlah 9.731, kemudian diikuti oleh Dokter

Praktik Perorangan (DPP) sebanyak 3.984. Lalu klinik TNI sejumlah 755, dan yang terendah adalah klinik TNI sejumlah 569.

FKRTL penerima rujukan wajib merujuk kembali peserta JKN disertai jawaban dan tindak lanjut yang harus dilakukan jika secara medis peserta sudah dapat dilayani di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang merujuk. Jumlah fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut yang bekerja sama dengan BPJS di Indonesia disajikan pada gambar berikut.

GAMBAR 4.9

JUMLAH FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUTAN (FKRTL) YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN

PER DESEMBER 2014

Sumber : BPJS Kesehatan, 2015

Dari gambar diatas diketahui jumlah FKRTL yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan tertinggi ada pada Provinsi Jawa Timur dengan jumlah 206. Sedangkan jumlah FKRTL yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan yang terendah berada di provinsi Kalimantan Utara dengan jumlah 6. Data dan informasi mengenai FKRTL yang bekerja sama dengan BPJS pada tahun 2014 terdapat pada Lampiran 4.10.

Dari gambar diatas diketahui FKRTL yang paling banyak bekerja sama dengan BPJS per Desember 2015 adalah rumah sakit swasta yakni berjumlah 46,44%, sedangkan jenis FKRTL yang paling sedikit bekerja sama dengan BPJS adalah rumah sakit Tipe A.

GAMBAR 4.10

PERSENTASE JENIS FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUTAN (FKRTL) YANG BEKERJA SAMA DENGAN BPJS KESEHATAN

PER DESEMBER 2014

Sumber : BPJS Kesehatan, 2015

Manfaat JKN mencakup pelayanan pencegahan dan pengobatan termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis. Seperti misalnya untuk pelayanan pencegahan (promotif dan preventif), peserta JKN akan mendapatkan pelayanan:

penyuluhan kesehatan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat; imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), difteri pertusis tetanus dan Hepatitis B (DPT-HB), Polio dan Campak; keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi dan tubektomi; skrining kesehatan diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu, jenis penyakit kanker, bedah jantung, hingga dialisis (gagal ginjal).

E. BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN

Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) merupakan bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk percepatan pencapaian MDGs bidang kesehatan tahun 2015, melalui peningkatan kinerja Puskesmas dan jaringannya serta Poskesdes/Polindes, Posyandu dan UKBM lainnya dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif.

Dana BOK adalah dana APBN Kementerian Kesehatan yang disalurkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota melalui mekanisme Tugas Pembantuan. Selain itu diharapkan dengan bantuan ini dapat meningkatkan kualitas manajemen puskesmas, terutama dalam perencanaan tingkat puskesmas dan lokakarya mini puskesmas, meningkatkan upaya untuk menggerakkan potensi masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatannya, dan meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif yang dilakukan oleh puskesmas dan jaringannya serta poskesdes dan posyandu.

Pemanfaatan dana BOK difokuskan pada beberapa upaya kesehatan promotif dan preventif meliputi KIA, KB, imunisasi, perbaikan gizi masyarakat, promosi kesehatan, kesehatan lingkungan dan pengendalian penyakit, dan upaya kesehatan lain sesuai risiko dan masalah utama kesehatan di wilayah setempat dengan tetap mengacu pada pencapaian target Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan serta target MDGs Bidang Kesehatan tahun 2015.

Pada proses pelaksanaan, penyaluran dana BOK melalui Tugas Pembantuan telah dilakukan berbagai upaya penyempurnaan. Realisasi pemanfaatan dana BOK pada tahun 2014 sebesar Rp 1.147.963.867.391 dari alokasi sebesar Rp 1.171.688.390.000 dengan persentase realisasi 97,98%. Realisasi tersebut lebih rendah dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 98,45%.

GAMBAR 4.11

PERSENTASE PENYERAPAN DANA BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN (BOK) MENURUT PROVINSI TAHUN 2014

Sumber : Ditjen. Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Dari gambar grafik diatas dapat diketahui provinsi yang memiliki penyerapan dana BOK tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Tenggara dengan angka 99,76% dan Provinsi Kalimantan Timur memiliki penyerapan terendah sebesar 91,09%. Pada tahun 2014, terdapat 8 provinsi dengan realisasi lebih rendah dari persentase penyerapan nasional. Data dan informasi mengenai alokasi serta realisasi dana BOK menurut provinsi tahun 2013 terdapat pada Lampiran 4.7.

Tahun 2014 merupakan tahun kelima atau tahun terakhir pelaksanaan RPJMN 2010 – 2014 dimana BOK merupakan salah satu indikator Kementerian Kesehatan untuk penilaian pembangunan kesehatan. BOK sebagai suplemen pembiayaan operasional puskesmas diharapkan mampu berkontribusi dalam pencapaian indikator pembangunan kesehatan secara nasional melalui berbagai kegiatan yang dilakukan oleh puskesmas. Dinas kesehatan provinsi sebagai perpanjangan tangan Kementerian Kesehatan juga memiliki peran serta yaitu melakukan pembinaan dan evaluasi pelaksanaan BOK di kabupaten/kota. Dengan kehadiran BOK diharapkan petugas kesehatan/kader kesehatan tidak lagi mengalami kendala dalam melakukan kegiatan untuk mendekatkan akses kesehatan pada masyarakat.

BOK tidak merupakan dana utama dalam penyelenggaraan upaya kesehatan di puskesmas dan jaringannya, namun hanya dana tambahan yang bersifat bantuan. Pemerintah daerah tetap berkewajiban mengalokasikan dana operasional untuk puskesmas.

BOK tahun 2014 dialokasikan sebesar Rp. 1.171.688.390.000 untuk 9655 Puskesmas, 500 kabupaten/kota (495 satuan kerja). Mekanisme penyaluran dana BOK tahun 2014 masih tetap menggunakan mekanisme Tugas Pembantuan.

Dana APBN Kementerian Kesehatan, termasuk Dana BOK, baru bisa digunakan setelah tanggal 13 Februari 2014, karena DIPA Kementerian Kesehatan baru disetujui DPR pada tanggal tersebut, sehingga pencairan dana BOK baru dilakukan setelah itu. Pencairan dana BOK pada bulan Februari baru sebesar 0,15%. Pencairan dana BOK meningkat mulai bulan April sebesar 11,58% dan terus meningkat cukup hingga Desember. Namun sampai dengan triwulan 3 masih terdapat 6 satker yang belum menyerap dana BOK. Berdasarkan data SAI per 18 Februari 2015, penyerapan dana BOK Tahun 2014 sebesar 97,98 % (Rp. 1.147.963.867.391).

BOK berkontribusi dalam peningkatan kinerja petugas kesehatan di Puskesmas dalam pelaksanaan program bersifat promotif dan preventif terutama kegiatan operasional di lapangan. Sebagian besar dana BOK di puskesmas digunakan untuk mendukung program KIA, diikuti dengan program Gizi, Promosi Kesehatan, Imunisasi dan Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan. Sesuai dengan Petunjuk Teknis BOK Tahun 2014, dana BOK minimal 60% digunakan untuk mendukung program kesehatan prioritas nasional khususnya target MDGs. Hasil evaluasi tahun 2014 secara umum terjadi peningkatan capaian target indikator program, khususnya untuk Kesehatan Ibu dan Anak, Gizi, Pengendalian Penyakit (HIV AIDS,TB dan Malaria) serta Kesehatan Lingkungan (khususnya sanitasi). Hasil evaluasi di beberapa kabupaten juga menunjukkan adanya peningkatan cakupan program dibandingkan tahun sebelumnya.

Permasalahan utama dalam pelaksanaan BOK adalah kurangnya jumlah tenaga keuangan dan kemampuan petugas puskesmas dalam menyusun pertanggung jawaban keuangan, kurangnya motivasi tim pengelola Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, kurangnya koordinasi antar program di Dinkes dalam melakukan verifikasi POA dan pertanggung jawaban keuangan, kualitas POA yang disusun Puskesmas masih belum optimal. Permasalahan program terutama adalah jumlah, distribusi dan kualitas SDM kesehatan; dan kurangnya sarana prasarana serta alat kesehatan untuk mendukung pelaksanaan program. Selain itu yang harus menjadi perhatian adalah kurangnya komitmen pemerintah daerah dalam mendukung penyediaan dana operasional program kesehatan di puskesmas. Umumnya puskesmas, mengalami pengurangan dana operasional sejak adanya BOK.

Pengaruh dana BOK terhadap cakupan program peningkatan kesehatan dapat dilihat berdasarkan data capaian program yang diberikan dinas kesehatan kab/kota dari tahun 2013 sampai 2014. Tampak peningkatan setelah adanya kontribusi dana BOK, terutama program pelayanan kesehatan dasar, misalnya Kota Cirebon. Berdasarkan data capaian program untuk indikator cakupan KN Lengkap 90,21% menjadi 93,83%; kunjungan bumil (K4) mengalami peningkatan dari 89,38% (tahun 2013) menjadi 90,51% (tahun 2014). Kabupaten Lampung Utara capaian K4 pada tahun 80,25% menjadi 84,33%. Kab Lampung Tengah KN Lengkap capaian 88,67% pada tahun 2013 menjadi 95,33% pada tahun 2014.

Berdasarkan masukan daerah pada saat monitoring evaluasi permasalahan dalam pelaksanaan BOK dapat diatasi dengan 3 kata kunci yaitu : PROAKTIF, VERIFIKASI lebih cepat, KOORDINASI antara KPPN, dinas kesehatan, puskesmas baik dari segi program maupun keuangan.

***

.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga, yang dimaksud dengan keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri, dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, Dan Sistem Informasi Keluarga, pembangunan keluarga dilakukan dalam upaya untuk mewujudkan keluarga berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Selain lingkungan yang sehat, masih menurut peraturan pemerintah tersebut, kondisi kesehatan dari tiap anggota keluarga sendiri juga merupakan salah satu syarat dari keluarga yang berkualitas.

Keluarga memiliki fungsi yang sangat strategis dalam mempengaruhi status kesehatan anggotanya. Diantara fungsi keluarga dalam tatanan masyarakat yaitu memenuhi kebutuhan gizi dan merawat serta melindungi kesehatan para anggotanya. Hal itu dilakukan dalam upaya untuk mengoptimalkan pertumbuhan, perkembangan, dan produktivitas seluruh anggotanya, oleh karena keadaan kondisi kesehatan salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi anggota keluarga lainnya.

Ibu dan anak merupakan anggota keluarga yang perlu mendapatkan prioritas dalam penyelenggaraan upaya kesehatan, karena ibu dan anak merupakan kelompok rentan terhadap keadaan keluarga dan sekitarnya secara umum. Sehingga penilaian terhadap status kesehatan dan kinerja upaya kesehatan ibu dan anak penting untuk dilakukan.

Dalam dokumen BUKU PROFIL KESEHATAN INDONESIA TAHUN 2014 (Halaman 115-126)