• Tidak ada hasil yang ditemukan

SARANA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Dalam dokumen BUKU PROFIL KESEHATAN INDONESIA TAHUN 2014 (Halaman 76-80)

BAB VII KESEHATAN LINGKUNGAN

C. SARANA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Rumah sakit juga dikelompokkan menurut kelas berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan menjadi kelas A, kelas B, kelas C, dan kelas D. Pada tahun 2014, terdapat 60 unit RS kelas A, 308 unit kelas B, 803 unit RS kelas C, 537 unit RS kelas D, dan sebanyak 700 unit RS lainnya belum ditetapkan kelas.

GAMBAR 2.13

PERSENTASE RUMAH SAKIT MENURUT KELAS DI INDONESIA TAHUN 2014

Sumber: Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI, 2015

Pada Gambar 2.13 dapat diketahui bahwa rumah sakit kelas C memiliki persentase tertinggi sebesar 33,35%. Sedangkan persentase terendah adalah rumah sakit kelas A sebesar 2,49%. Informasi lebih rinci tentang rumah sakit menurut provinsi terdapat pada Lampiran 2.5, 2.6, 2.7, 2.8, dan 2.9.

kesehatan serta menjamin keamanan/khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan. Hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penyalahgunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan atau penggunaan yang salah/tidak tepat serta tidak memenuhi mutu keamanan dan pemanfaatan yang dilakukan sejak proses produksi, distribusi hingga penggunaannya di masyarakat. Cakupan sarana produksi bidang kefarmasian dan alat kesehatan menggambarkan tingkat ketersediaan sarana pelayanan kesehatan yang melakukan upaya produksi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan. Sarana produksi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan antara lain Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional (IOT)/Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA), Industri Kosmetika, Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT)/Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT), Produksi Alat Kesehatan (Alkes) dan Produksi Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT).

Sarana produksi dan distribusi di Indonesia masih menunjukkan adanya ketimpangan dalam hal persebaran jumlah. Sebagian besar sarana produksi maupun distribusi berlokasi di Indonesia bagian barat yaitu Sumatera dan Jawa sebesar 94,7% sarana produksi dan 77,0%

sarana distribusi. Ketersediaan ini terkait dengan sumberdaya yang dimiliki dan kebutuhan pada wilayah setempat. Kondisi ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam kebijakan untuk mengembangkan jumlah sarana produksi dan distribusi kefarmasian dan alat kesehatan di Indonesia bagian tengah dan timur, sehingga terjadi pemerataan jumlah sarana tersebut di seluruh Indonesia. Selain itu, hal ini bertujuan untuk membuka akses keterjangkauan masyarakat terhadap sarana kesehatan di bidang kefarmasian dan alat kesehatan.

Jumlah sarana produksi pada tahun 2014 sebesar 2.817 sarana. Pada tahun 2014 terdapat 11 provinsi yang tidak memiliki seluruh jenis industri kefarmasian dan alat kesehatan yang disebutkan di atas. Provinsi dengan jumlah sarana produksi terbanyak adalah Jawa Barat sebesar 762 sarana.Hal ini dapat disebabkan karena Jawa Barat memiliki populasi yang besar dan wilayah yang luas. Jumlah sarana produksi kefarmasian dan alat kesehatan pada tahun 2014 terdapat pada gambar berikut.

GAMBAR 2.14

JUMLAH SARANA PRODUKSI KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DI INDONESIA TAHUN 2014

Sumber: Ditjen. Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI, 2015

Sarana distribusi kefarmasian dan alat kesehatan yang dipantau jumlahnya oleh Ditjen Binfar dan Alkes antara lain yaitu: Pedagang Besar Farmasi (PBF), Apotek, Toko Obat dan Penyalur Alat Kesehatan (PAK). Jumlah sarana distribusi kefarmasian dan alat kesehatan pada tahun 2014 sebesar 35.566 sarana. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar 33.731 sarana. Gambar berikut menyajikan jumlah sarana distribusi kefarmasian pada tahun 2014. Data lebih rinci menurut provinsi mengenai jumlah sarana produksi dan distrbusi kefarmasian terdapat pada Lampiran 2.18 dan Lampiran 2.19.

GAMBAR 2.15

JUMLAH SARANA DISTRIBUSI KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DI INDONESIA TAHUN 2014

Sumber: Ditjen. Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI, 2015

2. Ketersediaan Obat dan Vaksin

Dalam upaya pelayanan kesehatan, ketersediaan obat dengan jenis yang lengkap, jumlah yang cukup, terjamin khasiatnya, aman, efektif dan bermutu dengan harga terjangkau serta mudah diakses adalah sasaran yang harus dicapai. Kementerian Kesehatan telah menetapkan indikator rencana strategis tahun 2010-2014 terkait program kefarmasian dan alat kesehatan, yaitu meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran hasil tersebut padatahun 2014 yaitu persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%. Dalam rangka mencapai target tersebut, salah satu kegiatan yang dilakukan adalah peningkatan ketersediaan obat esensial generik di sarana pelayanan kesehatan dasar.

Pemantauan ketersediaan obat digunakan untuk mengetahui kondisi tingkat ketersediaan obat di berbagai unit sarana kesehatan seperti Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota (IFK) dan puskesmas. Kegiatan ini dilakukan untuk mendukung pemerintah pusat dan daerah dalam rangka menentukan langkah-langkah kebijakan yang akan diambil di masa yang akan datang. Di era otonomi daerah, pengelolaan obat merupakan salah satu kewenangan yang diserahkan ke kabupaten/kota, akibatnya sulit bagi pemerintah pusat untuk mengetahui kondisi ketersediaan obat di seluruh Indonesia. Dengan tidak adanya laporan secara periodik yang

dikirim oleh provinsi, maka relatif sulit bagi pemerintah pusat untuk menentukan langkah- langkah yang harus dilakukan. Adanya data ketersediaan obat di provinsi atau kabupaten/kota akan mempermudah penyusunan prioritas bantuan maupun intervensi program di masa yang akan datang.

Untuk mendapatkan gambaran ketersediaan obat dan vaksin di Indonesia, dilakukan pemantauan ketersediaan obat dan vaksin. Obat yang dipantau ketersediaannya merupakan obat indikator yang digunakan untuk pelayanan kesehatan dasar dan obat yang mendukung pelaksanaan program kesehatan. Jumlah item obat yang dipantau adalah 144 item obat dan vaksin yang terdiri dari 135 item obat untuk pelayanan kesehatan dasar dan 9 jenis vaksin untuk imunisasi dasar.

Indikator persentase ketersediaan obat dan vaksin tahun 2014 memiliki target sebesar 100%, dari data dan perhitungan yang dilakukan oleh Ditjen Binfar dan Alkes didapatkan persentase ketersediaan rata-rata nasional pada tahun 2014 sebesar 100,51%. Dengan demikian apabila dibandingkan dengan target tahun 2014, maka capaian kinerja indikator persentase ketersediaan obat dan vaksin tersebut adalah sebesar 100,51%. Data dan informasi lebih rinci mengenai ketersediaan obat dan vaksin 144 item terdapat pada Lampiran 2.20 dan 2.21.

3. Penggunaan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan juga memantau pemanfaatan obat generik melalui indikator persentase penggunaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan yaitu di puskesmas dan rumah sakit. Rata-rata penggunaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pada tahun 2014 sebesar 85,89%. Penggunaan tersebut telah memenuhi target tahun 2014 yaitu sebesar 80%.

GAMBAR 2.16

PERSENTASE RATA-RATA PENGGUNAAN OBAT GENERIK DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA TAHUN 2014

Sumber : Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI, 2015 Target Renstra2014 :

80%

Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar provinsi telah memenuhi target 80%, yaitu 28 provinsi (84,85%). Provinsi dengan rata-rata penggunaan tertinggi adalah Sulawesi Utara sebesar 97,48% diikuti oleh Sulawesi Barat sebesar 96,24% dan Kepulauan Riau sebesar 93,17%. Sedangkan provinsi dengan persentase terendah adalah Jawa Tengah sebesar 73,2% diikuti oleh Bali sebesar 73,9% dan Kalimantan Timur sebesar 77,3%. Data dan informasi lebih rinci menurut provinsi mengenai penggunaan obat generik terdapat pada Lampiran 2.22.

Dalam dokumen BUKU PROFIL KESEHATAN INDONESIA TAHUN 2014 (Halaman 76-80)