• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEADAAN EKONOMI

Dalam dokumen BUKU PROFIL KESEHATAN INDONESIA TAHUN 2014 (Halaman 47-54)

BAB VII KESEHATAN LINGKUNGAN

B. KEADAAN EKONOMI

TABEL 1.2

PENDUDUK SASARAN PROGRAM PEMBANGUNAN KESEHATAN DI INDONESIA TAHUN 2014

No Sasaran Program Kelompok

Umur/Formula

Jenis Kelamin

Jumlah Laki-Laki Perempuan

1 Lahir Hidup - 2.47.130 2.339.174 4.809.304

2 Bayi 0 Tahun 2.396.024 2.269.001 4.665.025

3 Batita 0 – 2 Tahun 7.313.483 6.915.434 14.228.917

4 Anak Balita 1 4 Tahun 9.973.365 9.415.426 19.388.791

5 Balita 0 4 Tahun 12.369.408 11.684.408 24.053.816

6 Pra Sekolah 5 6 Tahun 4.983.345 4.696.136 9.679.481

7 Anak Usia Kelas 1 SD/Setingkat 7 Tahun 2.541.878 2.394.269 4.936.147 8 Anak Usia SD/Setingkat 7 – 12 Tahun 15.186.763 14.309.627 29.496.390 9 Penduduk Usia Muda < 15 Tahun 37.439.660 35.337.708 72.777.368 10 Penduduk Usia Produktif 15 64 Tahun 83.775.296 82.831.529 166.660.825

11 Penduduk Usia Lanjut ≥ 60 Tahun 8.795.184 10.347.677 19.142.861

12 Penduduk Usia Lanjut Risiko Tinggi ≥ 70 Tahun 3.329.069 4.406.341 7.735.410

13 Wanita Usia Subur 15 49 Tahun - 69.148.825 69.148.825

14 Wanita Usia Subur Imunisasi 15 – 39 Tahun - 53.017.364 53.017.364

15 Ibu Hamil 1,1 X lahir hidup - 5.290.235 5.290.235

16 Ibu Bersalin/Nifas 1,05 X lahir hidup - 5.049.771 5.049.771

Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2014, Hasil Estimasi

GAMBAR 1.5

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 2012 – 2014 (DALAM PERSEN)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015

Pada tahun 2014 beberapa kebijakan telah ditempuh pemerintah untuk memperbaiki fundamental perekonomian agar tercipta fondasi yang kokoh bagi pertumbuhan ekonomi. Ke depannya, perekonomian Indonesia diperkirakan akan semakin baik, dengan kondisi makroekonomi yang semakin kokoh, laju reformasi struktural yang semakin cepat, dan fundamental ekonomi yang semakin kuat. Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi domestik diperkirakan pada kisaran 5,4-5,8% dan tahun 2019 diperkirakan mencapai 6,5%. Namun perlu dicermati pemulihan ekonomi dunia yang diperkirakan masih akan berjalan lambat dan tidak merata serta tantangan baru di tingkat regional seiring dengan diberlakukannya Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA) pada akhir tahun 2015.

BPS melakukan pengukuran kemiskinan menggunakan konsep pemenuhan kebutuhan dasar (basic need approach). Kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak‐hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kemiskinan juga dipahami sebagai ketidakmampuan ekonomi penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan maupun non makanan yang diukur dari pengeluaran. Distribusi pendapatan merupakan ukuran kemiskinan relatif. Namun karena data pendapatan sulit diperoleh, pengukuran distribusi pendapatan menggunakan pendekatan data pengeluaran.

Pengukuran kemiskinan dilakukan dengan cara menetapkan nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan maupun untuk non makanan yang harus dipenuhi seseorang untuk hidup secara layak. Nilai standar kebutuhan minimum tersebut digunakan sebagai garis pembatas untuk memisahkan antara penduduk miskin dan tidak miskin. Garis pembatas tersebut yang sering disebut dengan garis kemiskinan. Penduduk dengan tingkat pengeluaran per kapita per bulan kurang dari atau di bawah garis kemiskinan dikategorikan miskin.

GAMBAR 1.6

GARIS KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2010 – 2014

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015

Gambar 1.6 menunjukkan peningkatan garis kemiskinan di Indonesia tahun 2010-2014.

Batas kemiskinan atau tingkat pengeluaran per kapita per bulan tahun 2014 sebesar Rp 312.328. BPS mengukur kemiskinan pada bulan Maret dan September. Kondisi September 2014 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 27,73 juta orang (10,96%) berkurang 0,55 juta orang dibandingkan kondisi Maret 2014 yang sebesar 28,28 juta orang (11,25%). Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi Maret-September 2014 yaitu laju inflasi umum cenderung rendah, secara nominal rata-rata upah buruh tani dan buruh bangunan meningkat, harga eceran beberapa komoditas bahan pokok mengalami penurunan serta pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,52%. Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang lebih banyak dibandingkan di daerah perkotaan.

Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, bertujuan untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan hingga 8-10% pada akhir tahun 2014. Angka kemiskinan sebesar 10,96% yang dicapai pada tahun 2014 belum mencapai target namun sudah mendekati. Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia yaitu perbedaan yang besar antara nilai kemiskinan relatif dan nilai kemiskinan absolut dalam hubungan dengan lokasi geografis. Jika dalam pengertian absolut lebih dari setengah jumlah total penduduk miskin berada di Pulau Jawa (54,6%). Namun dalam pengertian relatif, provinsi-provinsi di Indonesia Timur menunjukan nilai kemiskinan yang lebih tinggi, yaitu Provinsi Papua (27,80%), Papua Barat (26,26%), Nusa Tenggara Timur (19,60%), Maluku (18,44%), dan Gorontalo (17,41%).

GAMBAR 1.7

PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MENURUT PROVINSI TAHUN 2014

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015

TABEL 1.3

PERSEBARAN JUMLAH DAN PROPORSI PENDUDUK MISKIN MENURUT KELOMPOK BESAR PULAU DI INDONESIA TAHUN 2012 – 2014

No Kelompok Pulau

2012 2013 2014

Jumlah

(ribu) % Jumlah

(ribu) % Jumlah

(ribu) %

1 Sumatera 6.177,2 21,6 6.190,1 21,7 6.070,4 21,9

2 Jawa 15.882,6 55,3 15.546,9 54,4 15.143,8 54,6

3 Kalimantan 932,9 3,3 978,7 3,4 972,9 3,5

4 Bali dan Nusa Tenggara 1.989,6 7,0 1.998,1 7,0 2.004,5 7,2

5 Sulawesi 2.045,6 7,1 2.139,6 7,5 2.054,9 7,4

6 Maluku dan Papua 1.626,8 5,7 1.700,5 6,0 1.481,4 5,3

Indonesia 28.594,7 11,66 28.553,9 11,47 27.727,8 10,96

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015

Pada tabel 1.3 memperlihatkan persebaran jumlah dan proporsi penduduk miskin berdasarkan kelompok pulau tahun 2012-2014 dan Gambar 1.9 memperlihatkan persentase penduduk miskin menurut provinsi tahun 2014. Di Pulau Sumatera, persentase penduduk miskin terbesar terdapat di Provinsi Aceh (16,98%) dan terrendah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (4,97%). Di Pulau Jawa, persentase penduduk miskin terbesar terdapat di Provinsi DI Yogyakarta (14,55%) dan terrendah di Provinsi DKI Jakarta (4,09%). Penduduk

miskin di Pulau Kalimantan relatif kecil dan rata (6,07-8,07%). Secara lengkap jumlah dan persentase penduduk miskin tahun 2000-2014 terdapat pada Lampiran 1.9. dan rincian menurut provinsi tahun 2014 terdapat pada Lampiran 1.10.

Masalah kemiskinan juga perlu memperhatikan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Indeks Kedalaman Kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin besar nilai indeks semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan secara nasional tahun 2014 sebesar 1,75. Indeks Keparahan Kemiskinan memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Indeks keparahan kemiskinan secara nasional tahun 2014 sebesar 0,44. Rincian mengenai indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 1.11.

Ukuran yang dapat menggambarkan ketimpangan pendapatan yaitu koefisien Gini/Indeks Gini (Gini Ratio). Indeks Gini adalah suatu koefisien yang menunjukkan tingkat ketimpangan atau kemerataan distribusi pendapatan secara menyeluruh. Nilai indeks Gini ada diantara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai indeks Gini menunjukkan ketidakmerataan pendapatan yang semakin tinggi. Apabila nilai indeks Gini 0 artinya terdapat kemerataan sempurna pada distribusi pendapatan, sedangkan jika bernilai 1 berarti terjadi ketidakmerataan pendapatan yang sempurna. Rincian mengenai indeks Gini dapat dilihat pada Lampiran 1.12.

Pendapatan yang diterima rumah tangga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut. Namun informasi mengenai pendapatan rumah tangga yang akurat sulit diperoleh, sehingga dilakukan pendekatan melalui data pengeluaran rumah tangga. Data pengeluaran rumah tangga dibedakan menurut kelompok makanan dan bukan makanan, kedua kelompok tersebut dapat menggambarkan bagaimana rumah tangga mengalokasikan kebutuhan rumah tangganya. Menurut hukum ekonomi (Ernest Engel, 1857) bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk makanan akan menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan. Dengan demikian secara umum semakin meningkat pendapatan (kesejahteraan), semakin berkurang persentase pengeluaran untuk makanan.

Pada Gambar 1.8, berdasarkan hasi Susenas Maret 2014, persentase rata-rata pengeluaran per kapita sebulan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan (50,04%) masih lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran untuk non makanan (49,96%). Tiga pengeluaran terbesar yaitu untuk perumahan dan fasilitas rumah tangga (20,75%), makanan dan minuman jadi (13,37%) dan pengeluaran untuk barang dan jasa (12,35%). Sedangkan pengeluaran untuk kesehatan sebesar 3,29% dari total pengeluaran sebulan. Persentase rata- rata pengeluaran kesehatan tersebut masih lebih kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan terhadap pengeluaran untuk tembakau dan sirih sebesar 6,33%.

GAMBAR 1.8

PERSENTASE RATA-RATA PENGELUARAN PER KAPITA PER BULAN TAHUN 2014

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015

Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan kesempatan kerja di Indonesia. Penduduk dilihat dari sisi ketenagakerjaan merupakan suplai bagi pasar tenaga kerja, namun hanya penduduk usia kerja (usia 15 tahun ke atas) yang dapat menawarkan tenaganya di pasar kerja.

Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua kelompok yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Kelompok angkatan kerja terdiri dari penduduk yang bekerja (aktif bekerja atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja) dan pengangguran (penduduk yang sedang mencari pekerjaan, sedang mempersiapkan suatu usaha, sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja, merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan/putus asa). Sedangkan kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari penduduk sedang bersekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya.

Pada Tabel 1.4 menunjukkan keadaan ketenagakerjaan di Indonesia pada tahun 2012- 2014. Pada periode Agustus 2013 hingga Agustus 2014 terjadi peningkatan jumlah angkatan kerja, penduduk yang bekerja, serta terjadi penurunan jumlah pengangguran terbuka. Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2013 sebesar 120,2 juta orang, meningkat menjadi 121,9 juta orang pada Agustus 2014. Terjadi penurunan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dari 66,77% pada Agustus 2013 menjadi 66,60% pada Agustus 2014. TPAK merupakan persentase jumlah angkatan kerja terhadap jumlah penduduk usia kerja. Indikator ini mengindikasikan besarnya penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi di suatu wilayah dan menunjukkan besaran relatif suplai tenaga kerja yang tersedia untuk produksi barang dan jasa dalam suatu perekonomian.

TABEL 1.4

PERKEMBANGAN ANGKATAN KERJA, PENDUDUK YANG BEKERJA, DAN PENGANGGURAN TERBUKA TAHUN 2012– 2014

Angkatan Kerja

2012 2013 2014

Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus

Jumlah Angkatan Kerja 121.819.813 119.849.734 123.170.509 120.172.003 125.316.991 121.872.931

Tingkat Partisipasi

Angkatan Kerja (%) 69,59 67,76 69,15 66,77 69,17 66,60

Jumlah penduduk yang

bekerja 114.061.982 112.504.868 115.929.612 112.761.072 118.169.922 114.628.026

Jumlah pengangguran

terbuka 7.757.831 7.344.866 7.240.897 7.410.931 7.147.069 7.244.905

Tingkat Pengangguran

Terbuka (%) 6,37 6,13 5,88 6,17 5,70 5,94

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015

Keterangan : Data tahun 2012-2013 dihitung ulang dengan mempertimbangkan perubahan angka proyeksi penduduk tahun 2010-2035

Dalam kurun waktu setahun terakhir, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia berkurang sekitar 166 ribu orang, dari 7.410.931 pada Agustus 2013 turun menjadi 7.244.905 pada Agustus 2014. Sehingga Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurun dari 6,17% pada Agustus 2013 menjadi 5,94% pada Agustus 2014. TPT menggambarkan proporsi angkatan kerja yang tidak memiliki pekerjaan dan secara aktif mencari dan bersedia untuk bekerja, atau perbandingan antara jumlah pencari kerja dengan jumlah angkatan kerja. Angka pengangguran yang terus menurun hingga pada tahun 2014 berada di bawah 6% ini menunjukan bahwa target pengurangan angka pengangguran 5-6% pada tahun 2014 yang ditetapkan dalam RPJM 2010- 2014 telah terpenuhi.

GAMBAR 1.9

PERSENTASE TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA MENURUT PENDIDIKAN KONDISI AGUSTUS 2014

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015

Pengangguran dapat dilihat berdasarkan tingkat pendidikan. Indikator ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pencapaian pendidikan penduduk bekerja dan pengangguran yang memberikan gambaran perubahan permintaan tenaga kerja. Gambar 1.7 menunjukkan bahwa pada Agustus 2014 penduduk dengan pendidikan SMA/sederajat berkontribusi paling besar terhadap total pengangguran di Indonesia, yaitu sebesar 33,3%, atau bisa dikatakan bahwa satu dari tiga penganggur di Indonesia, berpendidikan SMA/sederajat. Pengangguran tertinggi kedua terdapat pada penduduk dengan tingkat pendidikan SMP/sederajat yaitu sebesar 23,4%. Sementara itu kontribusi penduduk yang tidak/belum pernah sekolah dan tidak tamat SD terhadap total penganggur justru paling kecil dibanding kelompok penduduk yang lebih tinggi tingkat pendidikannya, yaitu masing-masing sebesar 4,7% dan 7,9%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2014 pengangguran didominasi oleh penduduk yang berpendidikan relatif tinggi (SMA ke atas). Namun demikian, penduduk dengan latar belakang pendidikan yang relatif tinggi cenderung mencari pekerjaan secara aktif untuk memenuhi kriteria lowongan pekerjaan yang lebih baik. Rincian mengenai persentase tingkat pengangguran terbuka menurut pendidikan dan provinsi dapat dilihat pada Lampiran 1.15.

Dalam dokumen BUKU PROFIL KESEHATAN INDONESIA TAHUN 2014 (Halaman 47-54)