ةرجاىف
C. Kedudukan Aset Tidak Berwujud Sebagai Objek Akad Transaksi Jual beli dan Sewa Menyewa Tanah Virtual di Metaverse
135
C. Kedudukan Aset Tidak Berwujud Sebagai Objek Akad Transaksi Jual beli
berkaitan dengan definisi manfaat tersebut, secara redaksi tidak ada perbedaan yang signifikan.208
Musthafa Ahmad Al-Zarqa membedakan kedudukan manfaat dengan haq al- Intifa’> berdasarkan perspektif peristiwa hukum dalam bentuk umum dan khusus.
Apabila ditinjau dari kuat atau lemahnya hak, maka dapat dipahami bahwa itu adalah kepemilikan manfaat karena bersumber dari akad seperti waqaf, ija>rah, a>riyah dan wasiat suatu manfaat. Sedangkan haq al-intifa>’ bersifat umum karena selain mencakup kepemilikan manfaat juga termasuk hak memanfaatkan itu sebagai sesuatu manfaat yang diperbolehkan atas izin dari pemilik harta tanpa harus memiliki secara penuh atas harta tersebut. Hal ini, manfaat dimaknai sebagai kegunaan atau faedah dari suatu kepemilikan yang bersifat naqis} (tidak sempurna).
Berdasarkan definisi tersebut, para ulama hanya memaparkan manfaat yang dihasilkan dari suatu benda yang nampak dan berwujud, belum memaparkan manfaat dari sesuatu benda atau aset yang tidak berwujud (intangible assets). Adapun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kedudukan dari manfaat yang dihasilkan dari benda atau aset tidak berwujud? Apakah manfaat seperti itu dapat dijadikan sebagai objek akad, seperti pada transaksi jual beli dan sewa menyewa tanah virtual di metaverse.
Transaksi jual beli dan sewa menyewa tanah virtual di metaverse, menjadikan tanah virtual sebagai barang yang dijual (mus|man) pada akad jual beli dan manfaat
208 Armiadi Musa, Kepemilikan dan Penguasaan manfaat dalam Perspektif Fuqaha… 48.
137
tanah virtual sebagai mah}a>l al-manfaat/tempat terjadinya manfaat berupa tempat pengembangan bisnis virtual pada akad sewa menyewa. Sedangkan kripto sebagai harga (s|aman) pada akad jual beli dan ujrah pada akad sewa menyewa.
Bagi tanah virtual sebagaimana penjelasan di atas, bahwa kedudukannya sebagai NFT yang merupakan bagian dari kompilasi data yang dapat dibaca oleh program komputer. Sedangkan kompilasi data tersebut bagian dari hak cipta yang merupakan benda bergerak tidak berwujud. Menurut pasal 499 KUHPerdata menyatakan bahwa benda dimaknai sebagai setiap barang dan hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.209 Sedangkan menurut PP 80 Tahun 2019, barang dimaknai sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Sehingga setiap benda atau aset tidak berwujud dapat menjadi objek jual beli dan objek sewa menyewa, termasuk tanah virtual sebagai barang digital. Adapun untuk sewa menyewa ditegaskan dalam Pasal 1549 KUHPerdata, bahwa semua jenis barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dapat disewakan.210
Selain itu juga, apabila merujuk kepada pasal 3 UU Hak Cipta menyatakan bahwa hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Adapun berkaitan dengan hak ekonomi, menurut pasal 9 UU Hak Cipta dinyatakan sebagai hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk
209 Pasal 499 KUHPerdata
210 Pasal 1549 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaannya. Adapun salah satu hak ekonomi dari hak cipta berkaitan dengan jual beli dan penyewaan adalah pasal 9 ayat 1 huruf e dan huruf i bahwa pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak untuk melakukan pendistribusian dan penyewaan hak cipta. Pendistribusian yang dimaksud menurut Pasal 1 (17) UU Hak cipta, salah satunya adalah melalui penjualan. Sehingga setiap orang yang akan melakukan hak ekonomi atas suatu ciptaan maka harus mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta.211
Berkaitan dengan hak cipta, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Surat Keputusan MUI Nomor 1 tahun 2005 tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) menyatakan bahwa: Pertama, HKI dalam hukum Islam dipandang sebagai salah satu dari huqu>q ma>liyyah (hak kekayaan) yang mendapat perlindungan hukum (mashun) sebagai ma>l (kekayaan) selama tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Kedua, HKI dapat dijadikan sebagai objek akad (al-ma’qu>d ‘alaih), baik dalam akad mu’a>wad}at (komersil), maupun akad tabarru’a>t (nonkomersil) serta dapat diwaqafkan dan diwariskan. Ketiga, setiap bentuk pelanggaran HKI merupakan kezaliman dan hukumnya haram.212
Adapun yang perlu di telaah adalah poin kedua, ketika HKI dapat dijadikan sebagai objek akad, baik untuk akad yang bersifat komersil (mu’a>wad}at) maupun untuk akad yang bersifat non komersil (tabarru’a>t). Maka yang menjadi pertanyaan
211 Pasal 9 Ayat 1 Huruf I Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
212 Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
139
adalah apakah HKI dapat dijadikan sebagai objek akad itu berlaku untuk semua jenis akad dari kedua sifat dan tujuan akad tersebut. Sedangkan untuk akad yang bersifat komersil (mu’a>wad}at) dapat dikategorikan kepada dua bagian yaitu akad pertukaran dan akad percampuran.213 Sedangkan akad yang bersifat non komersil terbagi menjadi tiga bagian yaitu meminjamkan harta, meminjamkan jasa dan memberikan sesuatu.214
Bagi akad pertukaran terdiri dari jual beli dan ija>rah yaitu pertukaran antara harta dengan harta, harta yang dipertukarkan berupa barang (barang yang dijual/mus|man) dengan barang harga/(s|aman) dalam jual beli dan pertukaran manfaat barang (mah}a>l al-manfa’ah dan al-manfa’ah) dengan barang (ujrah) dalam akad ija>rah. Ada juga pertukaran harta dengan prestasi (ju’a>lah). Bagi akad percampuran terdiri dari musyarakah dan mud}a>rabah yaitu percampuran antara harta dengan harta bagi akad musyarakah dan juga harta dengan tenaga bagi akad mud}a>rabah.
Adapun bagi akad non komersil/sosial (tabarru’at) dalam kategori terdiri dari:
Pertama, akad meminjamkan harta berupa uang (qard}), meminjamkan harta berupa barang (‘a>riyyah), meminjamkan harta agunan (rahn) dan meminjamkan harta untuk mengambil alih pinjaman dari pihak lain (hiwa>lah). Kedua, akad meminjamkan jasa yaitu akad meminjamkan jasa pada saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain (waka>lah), waka>lah dengan tugas tertentu yaitu memberikan sesuatu jasa
213 Muhamad Izazi Nurjaman, Doli Witro dan Sofian Al-Hakim. Akad Murabahah di Lembaga Keuangan Syariah Perspektif Regulasi… 25.
214 Adiwarman A. Karim. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan…67.
pemeliharaan (wadi>’ah) dan waka>lah kontijensi yaitu mempersiapkan diri untuk melakukan sesuatu apabila terjadi sesuatu (kafa>lah). Ketiga, akad memberikan sesuatu yaitu memberikan harta seperti zakat, infak, sedekah, hibah, hadiah, wakaf, wasiat dan lain sebagainya.215
Adapun berkaitan dengan landasan yuridis yang dijadikan bahan pertimbangan MUI dalam keputusannya dapat ditentukan melalui analisis metode yang tertuang dalam tiga pendekatan yaitu: Pertama, pendekatan nas} qat}’i. Pendekatan ini dimaknai sebagai sebuah pendekatan yang dilakukan MUI dengan berpegang teguh kepada nas}
Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Adapun nas} Al-Qur’an yang dijadikan rujukan MUI dalam keputusan fatwa ini adalah 1). QS. Al-Nissa’: 29 dan QS. Al-Baqarah: 188 mengenai larangan memakan harta orang lain secara batil, apalagi membawa kepada hakim untuk mendapat keputusan bahwa dapat memakannya kecuali dengan jalan perniagaan yang didasari suka sama suka diantara kalian.216 2). QS. Al-Syu’ara: 183 dan QS. Al-Baqarah: 279 mengenai larangan merugikan hak-hak orang lain.217 Sedangkan nas} Al-Hadits yang dijadikan rujukan MUI dalam keputusannya terdapat dalam dua kategori yaitu 1). Hadits berkaitan dengan harta kekayaan, seperti dalam Hadits Riwayat imam Bukhari, imam Al-Timidzi dan Imam Ahmad. 2). Hadits tentang larangan berbuat zalim, seperti hadits riwayat imam Muslim, Sunan Ibnu Majah.
215 Adiwarman A. Karim. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan… 68-69.
216 Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya… 108 dan 36.
217 Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya… 576 dan 59.
141
Kedua, pendekatan qauli. Pendekatan ini dimaknai sebagai sebuah pendekatan yang dilakukan DSN-MUI dengan mendasarkan berbagai persoalan melalui pendapat para imam mazhab yang ditulis dalam kitab-kitab fiqih terkemuka mereka (al-kutu>b al-mu’tabarah). Adapun pendapat para ulama yang dijadikan bahan pertimbangan MUI dalam keputusan ini adalah Pertama, Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami mengenai al-huqu>q al-ma’nawiyyah, yaitu: 1). Nama dagang, alamat dan mereknya, serta hasil ciptaan (karang-mengarang) dan hasil kreasi adalah hak-hak khusus yang dimiliki oleh pemiliknya, yang dalam abad modern hak-hak seperti itu mempunyai nilai ekonomis yang diakui orang sebagai kekayaan. Oleh karena itu, hak-hak seperti itu tidak boleh dilanggar. 2). Pemilik hak-hak non-material seperti nama dagang, alamat dan mereknya, dan hak cipta mempunyai kewenangan terhadap haknya itu, dan bisa ditransaksikan dengan sejumlah uang dengan syarat terhindar dari berbagai ketidakpastian dan tipuan, seperti halnya dengan kewenangan seseorang terhadap hak-hak yang bersifat material. 3). Hak cipta, karang-mengarang dan hak cipta lainnya dilindungi oleh syara’. Pemiliknya mempunyai kewenangan terhadapnya dan tidak boleh dilanggar.218
Kedua, pendapat para ulama tentang HKI, seperti pendapat jumhur ulama dari kalangan mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali yang berpendapat bahwa hak cipta atas
218 Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami Nomor 43 Tahun 1988 Tentang al-Huquq al- Ma’nawiyyah
ciptaan yang orsinal dan manfaat tergolong harta berharga sebagaimana benda jika boleh dimanfaatkan secara syara’ (hukum Islam).219
Ketiga, pendekatan manhaji. Pendekatan ini dimaknai sebagai ketika jawaban dalam bentuk fatwa dianggap belum memiliki argumen atau dasar hukum yang kuat dari nas} qat}’I maupun pendapat para ulama dalam kitab monumentalnya. Pendekatan ini merupakan penggunaan kaidah-kaidah pokok (al-qawa>id al-ushu>liyyah) dalam proses penetapan fatwa. Kaidah tersebut menjadi salah satu metodologi yang dirumuskan para imam mazhab dalam mempermudah menyelesaikan sebuah persoalan. Salah satu kaidah yang dijadikan rujukan MUI dalam keputusannya adalah tidak boleh melakukan perbuatan hukum atas hak milik orang lain tanpa seizinnya.
Sehingga tidak boleh mengambil hak ekonomi atas manfaat dari hak cipta orang lain tanpa seizinnya.
Sedangkan berkaitan dengan kripto, sebagaimana penjelasan di atas bahwa menurut Peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka, aset kripto (Crypto Asset) didefinisikan sebagai komoditas tidak berwujud yang berbentuk digital aset, menggunakan kriptografi, jaringan peer to peer, dan buku besar yang terdistribusi untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain.220
219 Fathi al-Duraini. Haq al-Ibtika>r fi al-Fiqh al-Islami al-Muqa>ran. (Beirut: Dar al-Mu’assasah al-Risalah, 1984), 20.
220 Peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar
Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka
143
Kedudukannya sebagai komoditas bukan sebagai mata uang yang memiliki fungsi sebagai alat pembayaran transaksi digital. Penggunaan kripto di Indonesia tidak dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah. Sedangkan alat pembayaran yang sah hanya dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia berupa Rupiah sebagaimana diatur dalam UU Mata uang yaitu UU Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang.
Hal itu juga ditegaskan dalam Ijtima Ulama MUI yang menyatakan bahwa cryptocurrency yang dijadikan sebagai mata uang hukumnya haram, karena mengandung unsur g}ara>r (ketidakjelasan), d{ara>r (kemudharatan) dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (UU Mata Uang) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu juga, cryptocurrency sebagai komoditas berupa aset digital tidak sah dijadikan objek jual beli, karena mengandung unsur g}ara>r (ketidakjelasan), d}ara>r (kemudharatan), qimar (ketidakjelasan pada akad taruhan permainan/perlombaan) dan tidak memenuhi syarat sil’ah (barang) secara syara’ yaitu terdapatnya wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik dan dapat diserahterimakan kepada pembeli. Adapun sebaliknya cryptocurrency sebagai komoditas yang memenuhi syarat sebagai sil’ah (barang) dan memiliki underlying serta memiliki manfaat yang jelas, maka boleh dijadikan objek yang dapat diperjualbelikan.221
221 Ijtima Ulama MUI Tentang Hukum Cryptocurrency.
Tabel 8 Tanah Virtual dan Kripto Sebagai objek Akad
No Ketentuan Tanah Virtual Kripto
1. Jenis Barang Benda Bergerak Tidak Berwujud Benda Bergerak Tidak Berwujud
2. Aset Digital Digital
3. Jual Beli Barang yang Dijual (Mus|man) Harga (S|aman)
4. Sewa
Menyewa
Mah}a>l al-Manfa’ah/Tempat Terjadinya Manfaat +
Manfa’ah/Manfaat
Ujrah (Harga Sewa)
Berdasarkan berbagai pemaparan di atas, aset tidak berwujud (intangible assets) dapat menjadi objek akad sebagaimana dalam Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Terkhusus yang menjadi objek akad adalah tanah virtual dan kripto. Baik tanah virtual sebagai objek akad (barang yang dijual (mus|man) bagi akad jual beli dan sebagai mah}a>l al-manfaat/tempat terjadinya manfaat beserta manfaatnya bagi akad sewa menyewa) dan kripto sebagai objek akad (harga (s|aman) bagi akad jual beli dan ujrah bagi akad sewa menyewa).
Tanah virtual termasuk benda bergerak tidak berwujud dalam kategori barang digital yang dibuktikan melalui NFT sebagai bukti kepemilikan aset yaitu berupa kode unik yang berisi data informasi elektronik. Adapun kemanfaatan tanah virtual dalam diakses melalui program komputer, yaitu perpaduan antara hardware dan software. Kompilasi data yang dapat dibaca dengan program komputer tersebut termasuk bagian dari Hak Cipta yang merupakan benda bergerak tidak berwujud atau aset tidak berwujud (intangible assets) berupa aset digital. Sedangkan hak cipta menurut keputusan fatwa MUI dapat dijadikan sebagai objek akad, baik objek akad
145
yang bersifat mu’a>wad}at (komersil) maupun objek akad yang bersifat tabarru’at (non-komersil). Sedangkan akad jual beli dan sewa menyewa barang (ija>rah ‘ala> al- a’ya>n) masuk dalam kategori akad yang bersifat mu’a>wad}at yaitu akad dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan atau komersil. Adapun kripto sebagai komoditas dalam bentuk benda bergerak tidak berwujud atau aset tidak berwujud (intangible assets) dalam bentuk aset digital. Selama kedudukannya dapat dikategorikan sebagai sil’ah maka dapat dijadikan objek jual beli maupun objek sewa menyewa.
D. Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Kedudukan Transaksi Jual