• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMATIAN ATAU MASA DEPAN ETIKA PROFESI HUKUM?

Dalam dokumen Etika Profesi Hukum (Widodo (Z-Library) (Halaman 166-178)

Pada sebuah cerita tentang “The Vinegar Tasters” (三酸图), yang mana Sang Buddha, Konfusius, dan Lao Tzu masing-masing mencicipi cuka dalam sebuah wadah yang mereka kitari. Sang Buddha, Konfusius, dan Lao Tzu memiliki kesan dan anggapan yang berbeda terkait rasa cuka dalam wadah yang sama itu. Sang Buddha menganggap rasa cuka itu pahit; Konfusius menganggap rasa cuka itu masam; adapun, Lao Tzu justru tersenyum puas dan mengatakan rasa cuka itu manis adanya.

Pada Konfusius, rasa masam menggambarkan ekspresi ke- ras (stern) sekaligus kecewa terhadap kemerosotan moral ma- nusia. Untuk itu, ia memandang perlunya aturan-aturan yang selaras dengan alam semesta untuk memperbaiki kemerosotan tersebut.156

156 Bing Yang, “The Response of Confucianism to the Spiritual Crisis of Modernity and Its Comparison with Western Philosophy,” International Conference on Culture, Literature, Arts & Humanities, (2018), hlm. 336.

PRENADAMEDIA

Sumber: https://learninglab.si.edu/collections/the­three­vinegar­tasters­and­daoism/

vRERgAk93DAG38Rg.

ILUSTRASI “THE VINEGAR TASTERS”

Adapun Sang Buddha dengan anggapan pahitnya terhadap rasa cuka selaras dengan pandangan Shidarta Gautama ten- tang kehidupan. Dalam paham Buddha, kehidupan ini memiliki rasa pahit yang kuat. Karenanya, pelepasan dari keterikatan hidup harus menjadi pilar utama dalam menghidupi “dharma”—

sebagaimana direpresentasikan oleh keputusan Shidarta Gau- tama keluar dari kemewahan istana untuk mencari pencerahan usai ia menyadari penderitaan dunia. Dalam pandangan Buddha, cuka memang pahit adanya. Itulah rasa sebenarnya, bukannya rasa manis yang terkesan “dipoles”.157 Berbeda dengan Konfu-

157 Kelahiran adalah kepedihan, penyakit adalah kepedihan, kematian adalah kepe- dihan; penyesalan, dukacita, dan kegelisahan pun merupakan kepedihan. Bersinggungan dengan hal yang tidak menyenangkan adalah kepedihan. Berpisah dari yang menye- nangkan adalah kepedihan. Tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah kepedih- an. Pelepasan dari keterikatan hidup itu mengarah pada satu destinasi yang oleh para pemeluk Buddha sebut sebagai “Nibbana”. Dalam Nibbana, seseorang dianggap telah bebas dari penderitaan dan menyatu dengan alam semesta melalui “pemadaman” atau

“pengendalian” terhadap segala keinginan, seperti keserakahan, kebencian, dan ke- bo dohan. Baca Theravada, “The Four Noble Truths”, diakses melalui https://www.

theravada.gr/en/about-buddhism/the-four-noble-truths/, 12 Oktober 2021.

PRENADAMEDIA

sius dan Sang Buddha, Lao Tzu justru merasainya lain, karena ia menyahabati masam-pahitnya rasa sehingga tidak ada yang absolut.158

Meminjam ilustrasi “The Vinegar Tasters” , cita rasa “masam”,

“pahit”, “manis” itu juga mewarnai dalam dalam profesi hukum.

Orang-orang yang berurusan dengan hukum, sering kali me- nelan “asam-pahit”-nya berperkara, yang menang jadi “arang”

yang kalah jadi “abu”. Profesi hukum semakin menjauh dari spirit dasarnya “professus” atau “profiteri”, yakni “menyatakan secara terbuka, bersaksi secara sukarela, mengakui, membuat pernyataan publik”.159 Makna professus atau profiteri adalah suatu panggilan untuk mengabdi secara sukarela pada kepentingan masyarakat sesuai dengan keilmuan dan keahlian yang dimiliki.

Kini spirit profesi itu makin memudar, atau mungkin sudah menghilang. Apakah kapitalisme modern sebagai “terdakwa”

utama yang berperan merusak spirit profesi dan mengganti- kannya dengan spirit individualistis-materialistis, serta meng- konstruksi destinasi perjalanan profesi ke arah yang makin ko- mersialistik?

Bantuan hukum, misalnya, sudah menjadi sebuah industri hukum mendorong para profesi hukum lebih mengelola bisnis dengan menjajakan jasa berorientasi profit dibanding melaku- kan advokasi hukum kepada para pencari keadilan. Perubahan tersebut memiliki akibat yang sangat luas dan mendalam, hu- kum bergeser dari sebuah institusi moral bagi para pencari ke adilan menjadi industri bisnis. Dalam praktik hukum, batas an tara profesi hukum dengan komersialisasi hukum menjadi ka bur. Praktik hukum oleh profesi hukum menjadi sedemikian rupa, sehingga tidak murni advokasi hukum dan menolong klien,

158 Taoisme melihat suatu bencana adalah sandaran dari keberuntungan, sebaliknya keberuntungan adalah tempat bersembunyi sekaligus bencana. Baca Wang Taijia, “A Philosophical Analysis of the Concept of Crisis,” Front Philos 9, no. 2 (2014), hlm. 259.

159 Lihat: Online Etymology Dictionary, https://www.etymonline.com/word/profess, Op. cit.

PRENADAMEDIA

melainkan sebagian bisnis dan sebagian lagi hukum. Masalahnya, bisnis tidak selalu sejalan dengan spirit profesi yang altruis. Bisnis pelit berbicara tentang keadilan, ia hanya akan memperjuang- kan “keadilan” apabila itu menghasilkan profit. “Apakah bisnis jasa firma hukum ini menguntungkan?” atau “Apakah kebijakan hukum itu efisien?”, bukan lagi menyoal dengan “Apakah itu benar?”, “Apakah itu baik?”, atau “Apakah itu adil?”.

Ketika profesi hukum mengalami disorientasi, di sinilah tan- tangan etika profesi berusaha merefleksikan agar jangan sam- pai profesi hukum berjalan terlalu jauh ke arah komersialisasi hukum sehingga kehilangan orientasi nilai. Etika di masa depan harus mampu ‘merevitalisasi’ spirit profesi sebagai orientasi nilai dasar, yang mana nilai-nilai dasar profesi yang tidak boleh berubah dan mana nilai-nilai yang boleh dan dapat berubah.

Jika etika profesi gagal merevitalisasi spirit dasar profesi, dan profesi itu semakin komersial, atau dengan kata lain, semakin kuat motif memperdagangkan jasa hukum, apakah masih layak menyandang profesi yang mulia? Atau, kita akan berhenti meng- anggap sebagai profesi, melainkan sama dengan menjalankan pekerjaan atau bisnis?

Ketika tidak ada lagi yang benar-benar murni yang bisa dibangun oleh prinsip, jika semua telah terkontaminasi oleh unsur-unsur di luar dirinya misalnya, dunia transenden telah terkontaminasi oleh dunia imanen, dunia sollen tercemar oleh dunia sein, apakah orisinalitas itu utopia? Apakah spirit “profes- sus” atau “profiteri” seperti merangkai mimpi di atas awan?

Ketika profesi kehilangan spirit dasarnya, apakah sesung- guhnya ia telah tak bernyawa? Lantas, apakah kita harus me- nyemprotkan wewangian etika pada mayat profesi secara te rus- menerus agar tidak menebar bau busuk dan tetap menarik?

Dasawarsa terakhir orang-orang memperbincangkan ten-

PRENADAMEDIA

tang kematian atau akhir (the end) seperti akhir ideologi,160 akhir modernitas, matinya kebenaran, dan sekarang matinya etika pro fesi. Klaim kematian etika profesi itu seolah menggambar kan dunia profesi telah ditandai dengan ditancapkannya batu nisan.

Akan tetapi, apa itu “kematian”? Apa itu “akhir”? Apakah “mati”

adalah tanda krisis yang tak teratasi hingga pada keberakhiran dari suatu kehidupan?

Atau, kematian etika profesi adalah permulaan baru, bahkan awal dari kelahiran yakni meninggalkan dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya? Apakah kematian merupakan diting gal- kannya prinsip-prinsip lama ke prinsip-prinsip baru?

Masyarakat terus berkembang, ada masalah-masalah baru yang muncul. Ketika suatu paradigma tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah baru, paradigma pada periode waktu tertentu akan mengalami anomali, atau dalam konteks ini disebut disrupsi.

Anomali diilustrasikan sebagai situasi pada saat paradigma yang sedang dominan pada saat tertentu, mengalami kesulitan atau kegagalan untuk menjelaskan berbagai fakta baru yang muncul dalam situasi nyata.161 Paradigma lama (P1) dianggap sudah tidak sanggup untuk memberikan kontribusi nyata dalam pemecahan berbagai masalah, sehingga ketika anomali (An) itu terus semakin melebar, orang mulai meragukan kebenaran paradigma lama, hingga terjadilah krisis, kepercayaan terhadap paradigma yang sebelumnya dominan menjadi terkikis.162

Profesi hukum, terutama advokat dan notaris yang seka- rang menjadi bisnis, menghadapi tantangan dan kondisi baru.

160 Baca, Daniel Bell, The End of Ideology, (t.tp.: Harvard University Press, 1988), hlm.

393-447.

161 Ibid., hlm. 52.

162 Pada fase ini terjadi perselisihan paradigma (the battle of paradigm) dan apabila tawaran paradigma baru memenangkan kompetisi maka paradigma tersebut akan mendapat legitimasi dari komunitas keilmuan yang pada gilirannya akan mendorong lahirnya paradigma baru yang sama sekali berbeda dengan paradigma sebelumnya (P2).

Baca, Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, (t.tp.: The University of Chicago Press, 1962), hlm. 10. 66, dan 111.

PRENADAMEDIA

Tantangan baru itu, disrupsi yang dimatangkan oleh kebangkitan Artificial Intelligence (AI). Di era disrupsi, teknologi menggilas siapa saja yang tidak adaptif dan efisien dalam mengelola bisnis, termasuk dunia advokat dan notaris yang telah menjadi industri- bisnis.

Di ranah hukum, misalnya, jika sebelumnya, pendapat dan nasihat hukum terasa rumit bagi banyak orang awam sehingga kehadiran konsultan hukum sangat dibutuhkan bagi mereka yang berurusan dengan hukum. Kini, telah tersedia kecerdasan buatan yang menyediakan segala data, regulasi, yurisprudensi, sehingga orang yang berperkara tidak perlu konsultasi dengan datang ke kantor firma hukum. Cukup “klik”, artificial intelligen- ce akan memberikan informasi dan opini atas masalah hukum dengan tingkat kecepatan dan akurasi tinggi. Tersedia pula ke- cerdasan buatan yang mampu menyusun rancangan kontrak lengkap cukup dengan memproses input data-data, syarat dan ketentuan, para pihak dapat menyusun secara mandiri.163

Pengguna jasa hukum tentu akan mencari biaya yang le- bih efisien, sehingga tidak lagi tertarik menggunakan jasa kan- tor hukum jika kecerdasan buatan sudah cukup menolong dan menjawab masalah hukumnya dengan akurat, cepat, praktis, dan murah.

Perkembangan teknologi virtual dan artificial intelligence, bukankah bisa juga dimaknai matinya sebuah kondisi diganti dengan kondisi yang lain? Ketika realitas melampaui sifat ala- miahnya dan diambil alih oleh artifisial seperti relasi tatap muka diganti dengan relasi yang dimediasi komputer, sehingga mengubah pola dan tatanan korporeal sejak dulu mapan telah terganti dengan ruang virtual.

Revolusi Industri 4.0 telah mengubah profesi hukum. Fir- ma-firma hukum dan pengadilan, akan semakin tergantung

163 Widodo Dwi Putro, “Disrupsi dan Masa Depan Profesi Hukum”, Jurnal Mimbar Hukum, 32, No. 1 (2020), hlm. 19-29, doi:10.22146/jmh.42928.

PRENADAMEDIA

dan membutuhkan robot kecerdasan buatan. Robot kecerdas- an buat an akan dikolaborasikan atau bekerja sama dengan para pro fesi hukum. Tujuannya, agar kedua kecerdasan anta- ra manu sia dengan kecerdasan buatan dapat dipadukan untuk mencapai hasil yang jauh lebih akurat, lebih cepat, dan lebih baik. Perkembangan robot kecerdasan buatan yang melampaui kecerdasan manusia, apakah kelak akan menggantikan peran profesi hukum?164

Satu hal yang mempercepat ide mengganti profesi hukum dengan robot kecerdasan adalah masalah krisis integritas. Su- dah menjadi pengetahuan umum, profesi hukum di Indonesia mengalami degradasi moral yang luar biasa. Indikasinya, mo- ral profesi dilanggar secara terang-terangan hingga tidak jelas lagi mana yang boleh dan dilarang secara etis. Profesi hukum mengalami disorientasi moral di mana nilai baik-buruk berada di ranah “abu-abu”. Apabila moral profesi didiagnosis, ia sedang sekarat dan sedang dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU).

Merosotnya moral profesi merupakan tantangan bagi etika un- tuk merefleksikan mengapa moral profesi kita mengalami di- sorientasi dan makin memburuk? Merosotnya moral profesi ini, apakah akan mempercepat pergantian profesi hukum manusia dengan robot kecerdasan buatan yang tidak bisa disuap?

Robot-robot kecerdasan itu didesain layaknya ma nusia.

Robot Humanoid Asimo, misalnya, mempunyai kecerdas an otak dengan prosesor canggih. Sementara baru-baru ini robot ke cer dasan Law Geex mengalahkan advokat manusia baik tingkat akurasi maupun kecepatan dalam menganalisis sejum- lah perkara.165 Artificial Intelligence bernama Ross dipakai law- firm Baker Hostetler di Washington untuk menangani perkara

164 Richard Susskind, et. al., The Future of The Professions: How Technology Will Transform the Work of Human Experts, (Oxford: Oxford University Press, 2015), hlm. 279.

165 Lihat Lawgeex, “AI vs. Lawyer: The Ultimate Showdown”, diakses melalui https://

www.lawgeex.com/AIvsLawyer/. 21 Juli 2020

PRENADAMEDIA

kepailitan. Ross adalah avokat kecerdasan buatan pertama di dunia. Namun, Bob Craig dan Andrew Arruda selaku Chief Infor- mation Officer dan Chief Executive Ross Inteligence berusaha

“menenangkan” para advokat bahwa Ross tidak dimaksudkan un tuk menggantikan advokat, hanya untuk mempercepat ad- vokat dalam menganalisis perkara dan membuat gugatan hukum ketimbang berjam-jam membuka link internet, membaca be- ratus-ratus halaman kasus tanpa hasil maksimal.166

Orang bisa mengatakan hari ini mesin kecerdasan bukan- lah kompetitor bagi notaris karena hukum mengatur absahnya suatu perjanjian mensyaratkan akta notaris misalnya pendiri- an Perseroan Terbatas, perjanjian fidusia, dan sebagainya. Bisa dibayangkan, bagaimana profesi notaris jika masa depan hukum tidak menentukan absahnya perjanjian tertentu harus melalui notaris, maka pekerjaan hukum yang bersifat teknis seperti me- nyusun perjanjian atau kontrak akan mudah digantikan mesin kecerdasan buatan. Para pihak yang berkontrak cukup dengan bantuan mesin kecerdasan buatan, dapat menyusun kontrak bisnis secara mandiri dalam aplikasi internet di depan komputer cukup dengan memproses input data syarat dan ketentuan dari para pihak.

Perkembangan digitalisasi mungkin juga akan menggilas jasa konsultan hukum karena perusahaan tidak lagi membu- tuhkannya setelah peran itu digantikan mesin kecerdasan buat- an. Dalam konteks Indonesia, regulasi saat ini hanya me ngakui konsultan hukum pasar modal yang tergabung dalam Himpun an Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM).167 Akankah peratur-

166 Lihat Karen Turner, “Meet Ross” The Newly Legal Robot”, The Washington Post, 16 Mei 2016.

167 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 66/POJK.04/2017 tentang Konsultan Hukum yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 287, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6155.

Lihat juga, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6663.

PRENADAMEDIA

an yang berlaku sekarang dapat bertahan atau adap tif dengan era disrupsi yang tidak dapat dilawan? Regulasi ini “mungkin”

kelak mengandung persoalan karena bagaimana mungkin re- gulasi tersebut mengatur mesin kecerdasan sebagai subjek hu- kum dan hanya mengakui apabila ia “bekerja” untuk konsultan HKHPM. Bukankah kehadiran mesin kecerdasan juga merupakan ancaman bagi profesi konsultan pasar modal?

Uni Eropa telah mengembangkan platform Online Dispute Resolution sebagai titik masuk tunggal yang memungkinkan konsumen dan pelaku usaha menyelesaikan perselisihan mereka untuk pembelian online domestik dan lintas batas. Mekanis- me ODR disediakan oleh Komisi Eropa untuk memungkinkan konsumen dan pedagang di Uni Eropa atau Norwegia, Islandia, dan Liechtenstein untuk menyelesaikan perselisihan terkait pem belian barang dan jasa secara online tanpa pergi ke peng- adilan.168 Berkembangnya ODR di Uni Eropa, tentu ke depan akan memengaruhi pengadilan di negara-negara ASEAN. Artinya, lam bat laun atau cepat, peran para hakim juga akan dikurangi, bahkan diganti, dengan mesin kecerdasan buatan.

Di samping kecerdasannya melampaui profesi hukum ma- nusia, robot dijamin tidak mudah “masuk angin” dengan godaan suap para pihak yang berperkara. Robot tidak mempunyai nafsu atau keinginan untuk menggendutkan rekeningnya.

Tetapi, sama halnya dengan mesin lain yang telah dibuat oleh manusia, robot mempunyai satu hal yang tidak terdapat pada manusia, yaitu hati nurani, meski para peneliti terus berusa- ha mengembangkan “perasaan” pada robot. Robot kecerdasan buat an itu hanya mampu merespons perasaan manusia dengan alat-alat pendeteksi seperti kamera, alat perekam suara, dan sensor dengan kecanggihan algoritma.

Di tengah kebangkitan kecerdasan buatan, kontras penan-

168 European Commission, “Online Dispute Resolution”, https://ec.europa.eu/

consumers/odr/main/?event=main.home2.show (diakses 12 September 2022)

PRENADAMEDIA

da yang membedakan antara manusia dengan robot kecerdasan buatan, adalah manusia mempunyai hati nurani yang hingga sekarang belum mampu digantikan oleh mesin kecerdasan buat- an. Rupanya, hati nurani adalah barang mewah yang hingga se- karang belum bisa tergantikan oleh mesin.

Saya tidak boleh meremehkan imajinasi. Imajinasilah yang memungkinkan manusia mendarat di bulan. Imajinasi mem per- pendek jarak manusia sedunia dengan pesawat, satelit, i-pod, i-pad, i-phone, Twitter, Instagram, Facebook dan Google. Semua berawal dari imajinasi. Mungkin kelak proyek pengembangan mesin kecerdasan mendekati ciri-ciri manusia, yakni mempunyai hati nurani.

Mesin kecerdasan membuat keputusan secara objektif, tidak tersangkut dengan preferensi-preferensi subjektivitas, apalagi syahwat. Bayangkan, apabila keputusan moral diambil oleh me- sin kecerdasan berdasarkan program supercomputer. Program supercomputer itu berisi perintah-perintah objektif untuk me- lakukan yang baik, memerintahkan kepada kita untuk jujur, untuk adil, untuk berbela rasa, dan dalam sengketa hukum akan memenangkan yang berhak secara hukum. Jadi tanpa diasah dan diasuh, juga tanpa bimbingan wahyu, tanpa suara hati nura ni, program supercomputer dan algoritma itu bisa “mengetahui”

mana yang baik dan mana yang buruk karena sudah diprogram untuk itu.

Coba bayangkan, bagaimana jika kelak AI ini mampu meng-“upgrade” dirinya menjadi artificialsuperintelligence, sehingga mampu melakukan “autopoiesis”,169 apakah kedaulat-

169 Baca, Humberto Maturana, & Fransisco Varela, Autopoiesis and Cognition: The Realization of the Living. Boston: Reidel, 1980. Dua ahli biologi, Humberto Maturana dan Francisco Varela menemukan sistem autopoiesis dalam sel. Autopoiesis (dari ba ha sa Yunani αὐτo- (auto-), artinya “diri”, dan ποίησις (poiesis) artinya “pembuatan, pro duksi”) merujuk pada sistem yang mampu memproduksi dan merawat dirinya sendiri dengan membuat bagian penyusunnya sendiri. Maturana dan Varela memang mengembangkan gagasan “autopoiesis” sebagai ciri utama yang membedakan makhluk hidup dari makh- luk tak hidup. Tapi, mungkinkah AI mampu mereproduksi dirinya sendiri sebagaimana

PRENADAMEDIA

an manusia tidak otonom lagi, karena dominasi bergeser di ba wah kedaulatan AI? Profesi hukum tidak lagi dijalankan oleh sekumpulan “manusia hidup yang sebenarnya”, melainkan oleh robot yang menyerupai manusia dan mempunyai kewe nangan memutus, baik keputusan hukum maupun moral. Apabila masa depan profesi hukum sepenuhnya digantikan robot kecerdasan buatan, apakah etika (pemikiran kritis tentang moral) masih diperlukan? Jika masih diperlukan, etika baru yang bagaimana?

Salah satunya karena keputusan hukum dan moral yang dibuat robot kecerdasan bukan dari kehendak “bebas”, termasuk untuk memilih yang jahat. Dari sini kita melihat, jika kemam- puan robot kecerdasan membuat keputusan hukum dan moral diasalkan hanya dari program supercomputer dan algoritma, membuat keputusan moral tanpa gairah, juga tanpa motivasi.

Apakah hal itu akan membuat keputusan hukum dan moral men- jadi “kerontang” sehingga kurang bermakna? Keputusan hukum dan moral yang diambil bukan berdasarkan kehendak bebas itu, melainkan program supercomputer dan algoritma, apakah masih bisa disebut keputusan hukum dan moral?

Kembali pada cerita “The Vinegar Tasters” di atas, cuka yang dapat kita ibaratkan sebagai “krisis”, nyatanya direspons dengan pembacaan dan kesan yang berlainan satu sama lain. Makna

“krisis” itu sendiri beragam, menyesuaikan penangkapan si perasa atau pencicip serta pengalaman hidup si pencicip itu sendiri.

Apakah “krisis” merupakan situasi yang menuntut solusi? Atau, kita tidak perlu buru-buru mencari solusi, melainkan dengan memperbincangkan, merefleksikan, dan menjadikannya sebagai kondisi yang mematangkan kesadaran, atau menyahabatinya sebagai “kawan”?

Krisis, satu kata yang dalam berbagai wacana hampir selalu diperlihatkan sebagai sesuatu yang buruk, hingga dianggap se-

kimiawi dalam sel hidup yang menjaga keberlanjutannya?

PRENADAMEDIA

bagai situasi yang tidak stabil sehingga mengarah pada benca- na. Banyak upaya dikerahkan untuk sedapat mungkin menjau- hi nya atau jika dimungkinkan, meniadakannya. Disrupsi yang me nyebabkan krisis memaksa orang mempertanyakan kem bali secara radikal dasar-dasar ontologis, epistemologis, aksiologi atau nilai-nilai yang selama ini dianutnya hingga pada persoal- an metodologis.170 Bukankah krisis tidak selalu bermakna nega- tif, justru memaksa kita untuk mempertanyakan kembali secara radikal klaim kebenaran dan kebaikan perspektif etika “lama”

yang mungkin tidak lagi memadai?

170 Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Op. cit., hlm. 77.

PRENADAMEDIA

Dalam dokumen Etika Profesi Hukum (Widodo (Z-Library) (Halaman 166-178)