• Tidak ada hasil yang ditemukan

KODE ETIK PROFESI

Dalam dokumen Etika Profesi Hukum (Widodo (Z-Library) (Halaman 125-130)

PROFESI

6.2 KODE ETIK PROFESI

teknis dan kualitas moral—harus menundukkan diri pada sebuah me ka nisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan di sepakati bersama didalam sebuah organisasi profesi. Dengan keahlian saja dari pendidikan, belum cukup menyatakan suatu pekerjaan disebut profesi. Itulah mengapa seorang profesional itu diwajibkan berikrar atau bersumpah untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti.

Itu pula mengapa tidak semua orang tiba-tiba bisa menjadi advokat, hakim, jaksa, notaris. Seorang sarjana hukum, meski telah melewati masa pendidikan dan magang yang cukup pan- jang hingga mempunyai keahlian hukum, masih belum boleh beracara di pengadilan sebelum disumpah atau berikrar. Seorang calon hakim, calon jaksa penuntut umum, calon advokat, calon notaris masih harus melewati satu tahap yang paling sakral, yakni sumpah. Perlu ditekankan bahwa sumpah profesi itu bukan prosedur atau tahapan yang harus dipenuhi agar bisa berpraktik, melainkan ia adalah spirit dasar profesi yang harus dipegang teguh oleh setiap profesi hukum dalam menjalankan praktiknya.

terhadap profesi.94 Yang lain berpendapat, kode etik untuk men- cegah penyimpangan. Penyimpangan perilaku dalam pengem- banan profesi dapat membawa akibat terhadap klien atau pasien, sehingga standar perilaku profesi hukum perlu diatur dalam kode etik.

Kode etik untuk melindungi masyarakat entah karena ke- lalaian atau kesengajaan dari praktik profesi. Kode etik berupa- ya menjamin bahwa masyarakat yang telah memercayakan perkara, sengketa, barang milik, bahkan hidupnya kepada kaum profesional tidak dirugikan.

Jaksa Penuntut Umum diberikan kewenangan untuk me- nun tut seseorang yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum ke muka pengadilan. Hakim mendapat kekuasaan yang luar biasa memutus nasib seseorang atas nama hukum dan keadilan. Kewenangan yang besar itu perlu diatur oleh kode etik.

Kaum profesi disatukan oleh latar belakang pendidikan dan keahlian yang dan tidak dimiliki oleh setiap orang. Mere- ka mempunyai keilmuan dan keahlian bidang tertentu yang dibutuhkan oleh warga masyarakat. Pasien dan klien menghu- bungi atau meminta bantuan pelayanan profesi, karena ia sen- diri tidak mempunyai keahlian menyelesaikan masalahnya, se hingga memercayakan kepada pengemban profesi. Di sini tang gung jawab khusus kaum profesi memberikan pelayanan ke pada masyarakat.

Klien mendatangi advokat meminta bantuan pelayanan jasa profesional. Klien tidak mempunyai keahlian hukum, sehingga dengan kepercayaan penuh menyerahkan perkaranya kepada advokat untuk menyelesaikan masalah hukumnya. Masyarakat pada umumnya, bukan pengemban profesi hukum, tidak memi-

94 Orang yang bekerja dalam bidang tertentu atau berprofesi ini memerlukan suatu kepercayaan dari masyarakat pada umumnya, dan khususnya klien/pasien, karena tanpa kepercayaan ini mereka tidak dapat bekerja. Suatu kode diperlukan sebagai jaminan agar orang awam percaya bahwa mereka tidak dirugikan atau ditipu.

PRENADAMEDIA

liki keahlian untuk dapat menilai dan melakukan pengawas- an yang efektif terhadap pengembanan profesi. Bahkan, biro- krasi pemerintahan tidak mungkin melaksanakan pengawasan terhadap pelayanan profesi hukum. Itulah salah satu alasan mengapa advokat juga perlu mengatur dirinya dengan kode etik.

Penjelasan-penjelasan tentang perlunya kode etik bagi kaum profesional itu benar, tapi kita masih harus mencari argumen yang lebih mendasar. Kita perlu menelusuri makna historis dan filosofisnya.

Kata kode dari bahasa Latin “codex” yang berarti “batang pohon”, “ikatan buku”95 yang apabila diterjemahan secara flek- sibel berarti suatu kumpulan peraturan. Kode etik kumpulan peraturan dari, oleh dan untuk suatu kelompok orang yang berprofesi dalam bidang tertentu.

Kode profesi menguraikan peraturan-peraturan dasar pe- rilaku yang dianggap perlu bagi anggota profesinya untuk me- laksanakan fungsinya dengan menjaga integritas dan profe sio- nalisme.

Kode etik suatu aturan yang mengikat bagi anggotanya yang berisi norma ‘petunjuk-petunjuk’ kepada para anggota organisasinya, tentang perintah-perintah dan larangan-larang- an, apa saja yang wajib dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam menjalankan tugas profesinya, misalnya, seorang hakim bisa diperiksa di Majelis Kehormatan Hakim apabila diduga menerima suap.

Kode etik mempunyai akar sejarah yang panjang. Kalangan profesi sudah lama mengusahakan standar moral positif bagi kelompok profesi khusus berupa prinsip-prinsip moral dan perilaku yang dirumuskan dalam kode etik sebagai standar yang diidealkan bagi para anggota suatu komunitas profesi atau jabatan tertentu.

95 Latin Is Simple, “codex, codicis [m.] C”, https://www.latin-is-simple.com/en/

vocabulary/noun/5628/ (diakses 12 Januari 2020)

PRENADAMEDIA

Bidang profesi yang pertama kali memperkenalkan sistem kode etik ini adalah di dunia kedokteran (medical ethics). Pada akhir abad ke-18, adalah physician Inggris, Thomas Percival, yang merancang “code of medical ethics” yang pertama kali dalam pengertian modern. Ia menulis kode etik itu pertama kali pada tahun 1794 dan memperluas isinya pada tahun 1803 dengan memperkenalkan istilah “medical ethics”.96

Profesi kedua yang tercatat membangun sistem etika pro- fesi ini adalah profesi akuntan. Kemudian, profesi ketiga yang membentuk kode etik profesi ini adalah profesi hukum. Pada tahun 1854, Hakim George Sharswood menulis esai tentang

Professional Ethics”.97 Buku George Sharswood ini menginspirasi kalangan advokat untuk menyusun kode etik hukum di pelbagai negara bagian, misalnya Alabama’s Code of Ethics.98

Selama abad ke-20, ide tentang kode etik ini berkembang pesat di semua bidang profesi, bahkan di lingkungan cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun judikatif, serta di lem- baga-lembaga yang bersifat independen.

Pada garis besarnya, kode etik itu bukan hukum. Kode etik idealnya tidak dibuat oleh pemerintah dan kemudian diber- lakukan untuk mengatur profesi tertentu. Kode etik merupa- kan “self-regulation” dibuat dan disepakati oleh internal profe- si sebagai perwujudan niat kaum profesi itu mengatur dirinya sendiri.

Di Indonesia, hukum mengakui dan melindungi otonomi

96 Patuzzo Sara, et. al., “Thomas Percival: Discussing the foundation of Medical Ethics”, Acta Biomed, 2018, hlm. 343-348, diakses melalui https://www.ncbi.nlm.nih.

gov/pmc/articles/PMC6502118/.

97 Lihat, George Sharswood, “An Essay on Professional Ethics”, The Project Gutenberg eBook, diakses melalui http://www.gutenberg.org/files/22359/22359-h/22359-h.

htm#PROFESSIONAL_ETHICS. Menurut testimoni George Sharswood dalam Kata Pengantar, naskah ini awalnya diterbitkan dengan judul “A Compend of Lectures on the Aims and Duties of the Profession of the Law”, disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Pennsylvania, 2 Oktober 1854.

98 Kent D. Kauffman, Legal Ethics, Edisi Ketiga, (Delmar: Cengage Learning, 2014), hlm.

8.

PRENADAMEDIA

keberadaan profesi tertentu dengan kode etiknya. Beberapa di antaranya, yakni pengakuan terhadap otonomi profesi tersebut, sudah dirumuskan secara eksplisit dalam perundang-undang an, misalnya Undang-Undang tentang Advokat, Undang-Undang tentang Notaris, Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang tentang Rumah Sakit, dan sebagainya.

Pada umumnya, kode etik memuat sanksi. Sanksi itu di- ke nakan bagi rekan profesi sejawat yang melanggar kode etik.

Meski kode etik memuat sanksi sebagaimana hukum, ia tidak mempunyai daya laku sebagaimana hukum. Kasus-kasus pe- lang garan kode etik dinilai dan ditindak oleh suatu badan ke- hormatan, dewan etik, komisi etik, atau apa saja namanya yang khusus dibentuk untuk menegakkan kode etik.

Artinya, selain adanya “rule of law”, juga berkembang tentang

rule of ethics”. “Rule of law” mencakup adanya elemen prosedural (rule by law, state actions are subject to law, formal legality, democracy), elemen subtantif (subordination of all law and its interpretations to fundamental principles of justice, protection of individual rights and liberties, protection of group rights), elemen mekanisme pengawasan (there exists an independent judiciary), there are other institutions charged with safeguarding elements of the rule of law).99 Adapun dalam konsepsi “rule of ethics” ter- cakup pula adanya spirit moral profesi (sumpah/ikrar), kode etik, dan dalam perkembangannya ada peradilan etik (court of ethics) misalnya, Majelis Kehormatan Hakim (MKH), Dewan Ke- hormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), Dewan Ke- hormatan Advokat (DKA), dan sebagainya.

Jika hukum diumpamakan sebagai kapal, maka moral profe si dan kode etik itulah samudranya. Kapal hukum (the rule of law) tidak mungkin dapat berlayar mencapai pulau keadilan, apabila air samudranya (the rule of ethics) kering sebagaimana ungkapan

99 Adriaan Bedner, “An Elementary Approach to the Rule of Law,” Hague Journal on Rule of Law 2, (2010), hlm. 48-74.

PRENADAMEDIA

Earl Warren (Ketua MA AS, 1953-1969), “In a civilized world, law floats in a sea of ethics”.100

Kode etik bersumber dari nilai atau prinsip moral, tetapi kode etik tidak identik dengan moral. Nilai atau prinsip moral diandaikan berlaku universal karena prinsip-prinsip itu tidak berubah. Misalnya, nilai kejujuran, sejak zaman dahulu hingga se karang tetap relevan meski zaman berubah. Sementara kode etik tidak demikian.

Meski kode etik termasuk kelompok kaidah moral positif sebagai pedoman internal profesi, ia dapat diubah atau diperbai- ki sewaktu-waktu oleh kesepakatan organisasi internal profesi jika dianggap perlu karena ada masalah baru yang sebelumnya tidak diatur dalam kode etik. Misalnya, bagaimana jika advokat yang sebelumnya membela klien, lalu klien itu mencabut kuasa khususnya, dan advokat itu kemudian diminta menjadi pembela oleh lawan dari mantan klien dalam perkara yang masih sama?

Orang mengira kode etik sama dengan etika karena per- samaan nama. Ini yang perlu dijernihkan bahwa antara etika dan kode etik berbeda. Meski kode etik merupakan produk dari etika terapan, ia bukan filsafat atau ilmu seperti etika. Se- telah kode etik dirumuskan, ia tidak menggantikan pemikiran etis (etika). Sebagai filsafat dan ilmu, etika tetap diperlukan un tuk merefleksikan relevansi kode etik. Misalnya, jika terjadi beragam pandangan dalam rumusan kode etik, maka etika da- pat membantu membedakan mana moral profesi yang prinsipil, sehingga tidak boleh diubah dan mana yang teknis sehingga boleh diubah atau disimpangi.

Dalam dokumen Etika Profesi Hukum (Widodo (Z-Library) (Halaman 125-130)