MENGAPA MANUSIA BISA BERMORAL?
2.2 ETIKA TIMUR (CHINA) .1 Konfusianisme
2.2.3 Taoisme: Manusia dapat Bermoral karena Kekosongan
sage-kings), teladan moral yang secara andal membedakan be- nar dan salah dengan benar dan yang Tao-nya kita coba ikuti;
“source” berbicara tentang pernyataan harus memiliki dasar empiris: mereka harus diperiksa terhadap “kenyataan” atau
“barang” (shí: 實) dari telinga dan mata orang, atau apa yang dapat dilihat dan didengar oleh orang; adapun “use” berbicara soal penerapan apabila dijadikan sebagai dasar pemidanaan dan penyelenggaraan pemerintahan, pernyataan itu harus meng- hasilkan manfaat (lì: 利) bagi negara, suku bangsa, maupun rak- yat. Artinya, roh itu benar-benar ada. Keberadaannya didasar- kan pada aspek “source” yang melibatkan indra mata dan te li nga manusia. Ba gaimana mungkin kita mengenal roh jika tidak melihat atau mendengarnya terlebih dahulu? Jika dilihat dari aspek “root”, maka keberadaan roh sendiri memiliki satu kecen derungan: membalas dendam kepada orang-orang yang ma sih hidup dalam kesalahannya. Kecenderungan ini bersesuai- an dengan kecenderungan para raja di masa kuno yang secara tegas membedakan benar dari salah. Kemudian dikaji dari aspek
“use”, di mana roh itu menghukum maupun memberi hadiah untuk alasan yang tepat terbukti berdampak pada ketertiban masyarakat karena senantiasa dituntun pada pengabdian pada roh leluhur. Mengenai ini dapat dilihat pada perayaan-perayaan masyarakat Cina seperti “Joss Paper” (kertas dupa dibakar un- tuk memastikan bahwa arwah orang yang meninggal memiliki kebutuhan yang cukup di akhirat) pada Hungry Ghost Festival (中元節) menanamkan paham akan penghormatan kepada roh leluhur mereka.
2.2.3 Taoisme: Manusia dapat Bermoral karena
Wúwéi (無為) atau effortless action, maka manusia yang berbuat baik (baca: aktif berbuat baik) itu tidak cukup. Seharusnya, fokus manusia adalah menjadi orang baik, bukan berbuat baik. Dalam kemenjadian ini, manusia perlu melakukan apa yang disebut sebagai self-fulfillment atau pemenuhan diri. Hal ini diibaratkan dengan sosok pemimpin yang baik, yaitu pemimpin yang dihormati orang dan yang instruksinya diikuti dengan sukarela.
Pemimpin yang baik mencapai ini dengan hidup berbudi luhur secara pribadi dan hidup di depan umum untuk memberi pe- ngaruh baik bagi orang-orang yang menyaksikannya. Artinya, pemimpin hendaknya tidak sibuk mengatur rakyat yang jus tru akan melahirkan atau bahkan memperparah kekacauan (se- bagaimana anggapannya bahwa intervensi manusia itu ber- dampak pada kerusakan). Seorang pemimpin semestinya fokus melakukan pemenuhan diri dengan self-cultivation (修身: Xiū
shēn).
Ada empat tingkatan self-realms dalam Taoisme berkaitan dengan self-cultivation:44
Sumber: https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyg.2020.5 40074/full.
44 Frontiers, “The Taiji Model of Self II: Developing Self Models and Self-Cultivation Theories Based on the Chinese Cultural Traditions of Taoism and Buddhism”, 2020, diakses melalui https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyg.2020.540074/full.
PRENADAMEDIA
Pertama, “Súrén” (俗人) atau “orang biasa” (ordinary people).
Orang dalam tahap ini belum “mengalami Tao”. Orang dalam tingkatan ini disinggung dalam Tao te Ching tepatnya Bab 20:
“Tidak belajar pun tidak ada kesulitannya. Seberapakah perbedaannya antara yang pintar dan yang bodoh? Apakah perbedaannya antara kebaikan dan keburukan? Yang disegani orang lain, tidak dapat untuk tidak disegani?
Sulit untuk mengetahui peristiwaperistiwa yang belum terjadi. Banyak orang terlena hanyut dalam arus kemewahan seperti tak hentihentinya berpesta daging lembu di atas paseban dan menikmati pemandangan musim semi.
Melainkan hanya aku sendiri dalam keadaan tenang, tiada keinginan, bagaikan anak kecil yang belum cukup setahu usianya. Bagaikan anak piatu yang bergelandangan tidak punya rumah untuk pulang.45
Banyak orang mempunyai harta berlebihan, adapun aku sendirian bagaikan kehilangan segalagalanya. Aku bagaikan seorang dungu yang tidak mempunyai pikiran suatu apa, dengan pakaian compang
camping tidak menentu.
Kebanyakan orang hidup mewah dan bergelimang harta, adapun aku sendiri tampak suram dan menjemukan. Umumnya orang bergembira dengan muka terang dan berseriseri, adapun aku sendiri dalam keadaan kusut, lesu dan sepi. Akan tetapi aku senantiasa tenang bagaikan lautan yang teduh senantiasa bertiup kian kemari bagai hembusan angin.
Banyak orang memiliki kemampuan, adapun aku sendiri hanya memiliki kebodohan. Hanya aku sendiri yang sangat berbeda dengan orang lain dan tidak dapat terpisah dari dukungan Tao, bagaikan bayi yang tidak dapat berpisah dari sang ibu).
Orang dalam tahap ini meskipun tampak berkelimpah- an, tetapi malang karena ketidaksatuannya dengan Tao akibat kurang berkultivasi diri sehingga pengaruh duniawi, meski me- moles tampak luarnya namun merusak tampak dalamnya.
Kedua, “Xiánrén” (賢人) atau orang yang berkeutamaan.
Orang pada tahap ini setingkat lebih baik dalam pengenalannya
45 Chinese Text Project, “《道德經 - Dao De Jing》”, diakses melalui https://ctext.
org/dao-de-jing.
PRENADAMEDIA
akan Tao. Namun demikian, pengenalannya terhadap Tao masih terbilang dangkal karena belum mampu menguasai “Wúwéi (無 為)” dalam praktik hidupnya.
Ketiga, “Shèngrén” (圣人). Orang-orang dalam kategori ini memiliki karakteristik makin menyerupai Tao di mana terjadi degradasi cukup kuat pada keinginan dan kuatnya dominasi Wúwéi (無為) yang ternampak pada kelembutannya (softness), kelemahannya (weakness), kesederhanaan (simplicity), keko- songannya (emptiness), dan keheningannya (silence). Hal itu ter nampak pada ketidakinginannya memengaruhi orang lain me lalui tindakan-tindakan yang sama sekali lain dari yang di- kehendaki Wúwéi (無為). Lebih jelasnya, tercatat pada Tao Te Ching Bab 64:
“...Siapa yang mengerjakan akan gagal, siapa yang menguasai akan kehilangan. Dari itu orang budiman tak berbuat apaapa, maka tak mengalami kegagalan, tidak menguasai apaapa, maka tak meng
alami kegagalan. Maka seorang budiman hanya menginginkan yang tak diingini oleh orang. Tidak menghargakan barang yang sukar didapatkan. Ia belajar apa yang orang tidak mempelajari dan guna membenarkan kesalahan orang banyak. Untuk membantu pada segala makhluk kembali pada sewajarnya dan tak berani berbuat anehaneh.”46 Keempat, Zhēnrén (真人). Ini adalah tingkatan tertinggi bagi seseorang dalam melakukan self-cultivation. Orang yang termasuk pada tingkatan ini adalah orang yang memiliki pe- mahaman radikal terhadap alam semesta dan kehidupan. Orang tersebut mencerminkan kemurnian, kesederhanaan, kenaifan.
Selain itu, orang semacam ini berada dalam “kebebasan tanpa batas” (unrestricted freedom), karena ikatan-ikatan keduniawian telah terlepaskan sehingga membuatnya bebas mengalami Tao.
Hal tersebutlah yang membuat orang tersebut superior secara moral dan dapat menguasai kultivasi kesehatan, menyelaraskan
46 Chinese Text Project, “《道德經 - Dao De Jing》” Op. Cit.
PRENADAMEDIA
Yin-Yang, menyesuaikan diri dengan empat musim, mening- galkan kepentingan duniawi, dan memusatkan semangat mereka, seolah-olah mereka dapat melakukan perjalanan antara langit dan bumi dan melihat atau mendengar melampaui delapan arah.
Sederhananya, manusia dapat bermoral karena ia memiliki kekosongan (無極: Wújí ). Jika tidak ada kekosongan yang menjadi permulaan, tidak akan ada keberlanjutan seperti Yin-Yang.
Namun, kekosongan dalam hal ini tidak hanya menjadi alasan manusia kemudian dapat bermoral, lebih dari itu kekosongan juga menjadi tujuan akhir atau dapat dikatakan menjadi puncak teratas kebermoralan manusia.