MENGAPA MANUSIA BISA BERMORAL?
2.2 ETIKA TIMUR (CHINA) .1 Konfusianisme
2.2.2 Mohisme: Manusia dapat Bermoral karena Manusia Berada dalam Lingkaran
Konsekuensialisme
Moralitas manusia dalam Mohisme oleh Mozi (墨子) berco- rak konsekuensialisme. Artinya, semakin besar kapasitas yang dimiliki seseorang untuk meningkatkan kesejahteraan banyak orang, semakin seseorang itu terikat untuk melakukannya.
Sementara harapan akan kesejahteraan (sebagai bagian dari kebahagiaan) merupakan satu hal yang paling banyak meng- ge rakkan roda kehidupan dunia maupun manusia itu secara pribadi dalam kesehariannya, termasuk tatkala berelasi dengan sesamanya. Berelasi secara bermoral dalam pandangan Mohisme ini menjadikan moralitas ada dalam lingkaran kebutuhan yang sedikit-banyak diukur dengan untung-rugi. Pemaknaan morali- tas dalam hal ini adalah orang-orang harus saling menguntung- kan dan tidak merugikan satu sama lain. Namun, akan menja- di masalah apabila dalam realita, manusia satu dengan lainnya bersandar pada pengertiannya sendiri tentang apa yang benar, termasuk tindakan yang benar. Sebab, manusia dengan kepu- tusannya itu cenderung berupaya sebesar-besarnya mengun- tungkan dirinya dan tak jarang kurang memberi perhatian pada
39 Standford Encyclopedia of Philosophy, “Chinese Ethics”, Op. cit.
PRENADAMEDIA
kerugian yang mungkin timbul pada orang lain akibat kepu- tusannya tersebut.
Konsep “Jian Ai (兼愛)”40 yang diterjemahkan dalam baha- sa Inggris sebagai “universal love” atau “impartial care” diusung untuk memberikan satu tawaran hidup bermoral yang men- garah pada kebajikan relasional seperti filiality (relasi antara anak dengan orang tua). Karenanya, hierarki otoritas yang ke- tat memainkan peranan penting di sini, agar setiap unit sosial memiliki atasannya yang mana kata-katanya tentang apa yang benar bersifat final bagi bawahannya. Keketatan dan kefinalan semacam itulah yang seiras dengan Kehendak Surga (Will of Heaven). Inti dari Kehendak Surga itu sederhana namun ketat lagi tegas: memberi hukuman kepada yang berbuat salah;
memberi hadiah kepada yang berbudi luhur. Imparsialitas Surga diibaratkan dengan iluminasi yang diberikan matahari maupun bulan. Selain itu, Kehendak Surga atau Tian itu memberi tolak ukur bagi hidup yang bijaksana dan mulia, yaitu mempromosikan manfaat bagi orang lain dan menghindari bahaya bagi orang lain.
Hal itu harus didahului oleh pemahaman yang juga merupakan bagian dari konsep “Jian Ai (兼愛)”, yaitu mempedulikan orang lain sebagaimana mempedulikan diri sendiri. Dengan demikian, jika diri sendiri tidak ingin disakiti, semestinya di saat yang sama menahan diri untuk tidak menyakiti orang lain; jika diri sendiri ingin dibantu di masa sulit, maka semestinya di saat yang sama juga mengusahakan diri membantu orang lain dalam kesulitannya.
Tawaran dalam konsep “Jian Ai (兼愛)” mencoba member- lakukan kerja moral yang cocok untuk kebanyakan orang atau mayoritas orang, namun perhatian khusus diberikan kepada mereka yang berada dalam kondisi paling kurang beruntung menurut mayoritas orang. Dalam hal ini harus ada perbedaan
40 Stanford Encyclopedia of Philosophy, Loc. cit.
PRENADAMEDIA
perlakuan, namun tetap menyetiai semangat asal yaitu membawa keuntungan kepada mayoritas dan meminimalisasi bahaya di kemudian masa.
Sebagai penutup, menarik menilik pada teks Mozi spesifik- nya pada Buku 8 “明鬼下”—On Ghosts III 31: 1:41
“Dengan meninggalnya rajaraja bijak dari Tiga Dinasti, dunia kehi
langan kebenarannya dan penguasa feodal mengambil alih ke kuasaan.
Atasan dan bawahan tidak lagi ramah dan setia; ayah dan anak, kakak dan adik tidak lagi sayang dan berbakti, ikhwan dan hormat, berbudi luhur dan baik. Para penguasa tidak rajin mengurus pemerintahan dan para peng rajin tidak memperhatikan pekerjaan mereka dengan sungguhsunggu h. Orangorang mempraktikkan amoralitas dan keja
hatan dan menjadikannya pemberontak. Pencuri dan bandit dengan senjata, racun, air, dan api menahan para pelancong yang tidak bersalah di jalan raya dan jalan kecil, merampok kereta dan kuda mereka, jubah dan mantel bulu, untuk memperkaya diri mereka sendiri. Semua ini dimulai dengannya (dengan meninggalnya rajaraja bijak). Dan dunia jatuh ke dalam ke kacauan. Sekarang apa alasan kebingungan ini? Itu semua karena keraguan akan keberadaan hantu dan roh, dan ketidaktahuan akan kemampuan mereka untuk menghargai kebajikan dan menghukum kejahatan. Jika semua orang di dunia percaya bahwa arwah mampu memberi penghargaan pada kebajikan dan menghukum kejahatan, bagaimana dunia bisa berada dalam kekacauan?!).42 Melalui kutipan teks tersebut, Mozi hendak memberi pene- kanan pada pentingnya memiliki kesadaran akan keberadaan roh dengan menyokongnya pada tiga fa (三法) yang memuat tiga standar, yaitu “root” (běn: 本), “source” (yuán: 原), dan “use” (yòng:
用),43 di mana “root” berbicara tentang preseden sejarah dan buk ti yang diberikan oleh perbuatan raja-raja bijak kuno (ancient
41 Chinese Text Project, “《明鬼下 - On Ghosts III》”, diakses melalui https://ctext.
org/mozi/on-ghosts-iii.
42 Terjemahan bahasa Indonesia ini didasarkan pada terjemahan bahasa Inggris oleh W.P. Mei dalam Chinese Text Project, Loc. cit.
43 Chris Fraser, “The Mohist Conception of Reality”, diakses melalui http://cjfraser.
net/images/2013/08/Fraser_Mohist_Reality-August2013_web.pdf, hlm. 8.
PRENADAMEDIA
sage-kings), teladan moral yang secara andal membedakan be- nar dan salah dengan benar dan yang Tao-nya kita coba ikuti;
“source” berbicara tentang pernyataan harus memiliki dasar empiris: mereka harus diperiksa terhadap “kenyataan” atau
“barang” (shí: 實) dari telinga dan mata orang, atau apa yang dapat dilihat dan didengar oleh orang; adapun “use” berbicara soal penerapan apabila dijadikan sebagai dasar pemidanaan dan penyelenggaraan pemerintahan, pernyataan itu harus meng- hasilkan manfaat (lì: 利) bagi negara, suku bangsa, maupun rak- yat. Artinya, roh itu benar-benar ada. Keberadaannya didasar- kan pada aspek “source” yang melibatkan indra mata dan te li nga manusia. Ba gaimana mungkin kita mengenal roh jika tidak melihat atau mendengarnya terlebih dahulu? Jika dilihat dari aspek “root”, maka keberadaan roh sendiri memiliki satu kecen derungan: membalas dendam kepada orang-orang yang ma sih hidup dalam kesalahannya. Kecenderungan ini bersesuai- an dengan kecenderungan para raja di masa kuno yang secara tegas membedakan benar dari salah. Kemudian dikaji dari aspek
“use”, di mana roh itu menghukum maupun memberi hadiah untuk alasan yang tepat terbukti berdampak pada ketertiban masyarakat karena senantiasa dituntun pada pengabdian pada roh leluhur. Mengenai ini dapat dilihat pada perayaan-perayaan masyarakat Cina seperti “Joss Paper” (kertas dupa dibakar un- tuk memastikan bahwa arwah orang yang meninggal memiliki kebutuhan yang cukup di akhirat) pada Hungry Ghost Festival (中元節) menanamkan paham akan penghormatan kepada roh leluhur mereka.
2.2.3 Taoisme: Manusia dapat Bermoral karena