• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profesi Hakim

Dalam dokumen Etika Profesi Hukum (Widodo (Z-Library) (Halaman 136-143)

PROFESI

6.3 TANGGUNG JAWAB PROFESI

6.3.1 Profesi Hakim

Penegakan terhadap kode etik profesi hakim menjadi do- mainnya Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah Agung sebagai pengawas internal dalam melakukan penegakan terhadap kode etik profesi hakim dapat dilihat da- lam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Pasal 39 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, “Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Peng- awasan internal dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang dalam pelaksanaannya dijalankan oleh Badan Pengawasan (Ba- was) Mahkamah Agung.106

Sementara kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan penegakan terhadap kode etik profesi dan perilaku hakim dapat dilihat melalui ketentuan Pasal ayat (1) UU Kekuasaan Kehakim- an. “Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, kelu-

106 Suparman Marzuki, Etika dan Kode Etik Profesi Hukum, (Yogyakarta: FH UII Press, 2017), hlm. 220.

PRENADAMEDIA

huran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eks ternal oleh Komisi Yudisial”.

Dari ketentuan di atas dapat dipahami, meskipun Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sama-sama berwenang menjalankan fungsi pengawasan hakim di badan peradilan, bentuk pengawasan yang dilakukan keduanya berbeda. Mahkamah Agung berwenang menjalankan fungsi pengawasan internal, adapun Komisi Yudisial menjalankan fungsi pengawasan eksternal.

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sesungguhnya men do rong ke dua lembaga untuk bekerja sama menangani duga an pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), terma suk me nyusun KEPPH-nya. Dalam praktik, Ma- jelis Kehormatan Hakim (MKH) diselenggarakan oleh Komisi Yudisial dan Mah kamah Agung sebagai forum untuk mengadili dan memutus dugaan pelanggaran KEPPH oleh hakim.107

Meski di bawah pengawasan eksternal dan internal, salah satu lembaga hukum yang mendapat sorotan tajam adalah lem- baga pengadilan. Dalam banyak media dapat ditemui tulisan yang bersifat “menghakimi” lembaga pengadilan tersebut. Kritik hingga kecaman itu memang tidak dapat ditepis begitu saja, karena bukti-bukti suap-menyuap dan sejenisnya memang ma- sih ada di sana-sini yang terungkap. Padahal karena nila setitik saja, susu sebelanga bisa rusak, terlebih lagi kalau lebih dari itu.108

Ketika KPK menangkap Kajari Praya, Subri, ternyata dalam pemeriksaan pengadilan Tipikor, terungkap getahnya ke mana- mana, termasuk anggota majelis hakim. Pengusaha, jaksa, dan hakim diduga berkonspirasi mengatur putusan yang mengkri- minalisasi seseorang yang dianggap lawan pengusaha dalam sengketa tanah.

107Erizka Permatasari, “Beda Wewenang KY dan MA dalam Pengawasan Hakim”, 2022, diakses melalui https://www.hukumonline.com/klinik/a/beda-wewenang-ky- dan-ma-dalam-pengawasan-hakim-lt580fd463233f4.

108Widodo Dwi Putro, Hukum dan Moral dalam Perspektif Filsafat Hukum dalam Menggagas Peradilan Etik di Indonesia, (Jakarta: Komisi Yudisial, 2015), hlm. 60-61.

PRENADAMEDIA

Peristiwa suap terjadi sekitar akhir tahun 2013. Artinya, kasus suap-menyuap di PN Praya waktu itu justru terjadi sete- lah kesejahteraan hakim dinaikkan berlipat-lipat yakni, setelah diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 ten- tang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di bawah Mahkamah Agung.109

Tahun 2022, untuk pertama kali dalam sejarah kelam per- adilan di Indonesia, dua orang hakim agung menjadi tersangka suap. Hakim agung yang menjadi penjaga final pengadilan harus berurusan dengan lembaga antikorupsi itu. Padahal putusan hakim agung final dan mengikat.

Hakim merupakan satu-satunya profesi di dunia yang men dapat sebutan: ‘Wakil Tuhan’ atau ’Yang Mulia’.110 Dalam ba hasa akademik sering disebut sebagai officium nobile (pro- fesi luhur). Di sisi lain, hakim juga manusia biasa. Ia bukanlah sebuah entitas yang tunggal, steril dan mekanis. Bukan juga manusia yang bebas nilai dan terhindar dari segala yang bersifat manusiawi. Sebagai manusia, hakim tidak lepas dari asal-usul sosialnya, pendidikan, gender, psikologi, agama, status dan kelas sosialnya, tradisi, atau ideologi keilmuannya. Menyadari bahwa hakim adalah juga manusia mendorong kita untuk melihatnya dalam kualitas kemanusiaannya secara penuh. Meminjam istilah Satjipto Rahardjo, hakim harus dilihat dalam ketelanjangannya yang tuntas. Dengan dua sisi itu, hakim dalam memutus perkara akan mengalami ‘pergulatan kemanusiaan’.111

Hakim pada dasarnya memiliki peran dan posisi yang sangat sentral dalam penegakan hukum dan keadilan. Begitu

109 Widodo Dwi Putro, Hukum dan Moral dalam Perspektif Filsafat Hukum dalam Menggagas Peradilan Etik di Indonesia, Op. cit., hlm. 60-61.

110 Ana Fauzia, Fathul Hamdani, & Deva Gama Rizky Octavia, “The Revitalization of the Indonesian Legal System in the Order of Realizing the Ideal State Law,” Progressive Law Review 3, no. 1 (2021), hlm. 19.

111 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Problematika Hakim dalam Ranah Hukum, Pengadilan, dan Masyarakat di Indonesia: Studi Sosio­Legal, (Jakarta: Sekretariat Jen- deral Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017), hlm. vii.

PRENADAMEDIA

sentralnya peran hakim, oleh Sydney Smith digambarkan de- ngan Nation Fall When Judges Are Unjust. Sementara itu, B.M.

Taverne, menggambarkan hakim dengan pernyataan, “berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik maka aku akan berantas kejahatan meskipun tanpa secarik undang-undang pun.” Penggambaran hakim oleh kedua pakar di atas ternyata dianggap sangat bertolak belakang dengan kondisi kekinian.

Jika kita cermati dengan baik, hakim-hakim tidak lagi dianggap sebagai sosok yang bisa memberikan keadilan. Bahkan, hampir setiap forum yang khusus membahas dunia peradilan dan hakim, yang kita temukan adalah keluhan maupun kritikan. Salah satu keluhuran yang sering kita dengar dan temukan adalah mengenai kualitas putusan yang dianggap selalu tidak adil bagi masyarakat kecil.112

Bicara soal putusan yang diberikan oleh hakim, di sinilah integritas dan kejujuran seorang hakim diuji. Sebab baik-bu- ruknya hukum, ditentukan manusia-manusia yang menjalan- kan hukum, khususnya seorang hakim, apakah penuh integritas dan kejujuran, atau sebaliknya. Dalam konteks ini, etika hen dak mempertanyakan mengapa seorang hakim harus menjunjung integritas dan kejujuran, serta harus menjalankan profesinya dengan penuh tanggung jawab.

Terkait integritas, Stephen L. Carter menjelaskan tiga lang- kah untuk mengujinya: a) membedakan apa yang benar dan apa yang salah, b) melaksanakan apa yang telah Anda kaji itu, bahkan bila menderita rugi, c) mengatakan secara terbuka bahwa Anda sedang melaksanakan berdasarkan pemahaman Anda menge- nai apa yang benar dan apa yang salah.”113 Kriteria yang pertama menangkap gagasan integritas sebagai sesuatu yang menuntut

112 Danang Wijayanto melalui sambutannya dalam buku yang ditulis oleh Komisi Yu- disial Republik Indonesia, Op. cit., hlm. ix.

113 Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Cet. ke-2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 41-42.

PRENADAMEDIA

suatu derajad perenungan moral. Tahap yang kedua membawa masuk cita-cita seorang hakim yang memiliki integritas sebagai orang yang teguh, yang mencakup perasaan memenuhi janji- janji. Tahap yang ketiga mengingatkan kita bahwa seorang hakim yang memiliki integritas itu tidak malu-malu melakukan hal yang benar.

Tidak semua pengemban profesi hakim pasti buruk. Ada beberapa hakim yang memegang teguh sumpah profesi dengan menjaga integritas hingga pensiun di antaranya Asikin Kusuma- atmadja, Bismar Siregar, Benjamin Mangkudilaga, Artidjo Alkos- tar, dan yang lain.

Saya pernah bertemu dengan seorang hakim sewaktu riset di Pengadilan Negeri Purwokerto. Menurut sejumlah advokat, jangan coba-coba menyuap hakim tersebut jika tidak ingin di- nasihati. Hidupnya sederhana. Ia memilih naik sepeda pancal ke pengadilan.

Ternyata hakim itu tidak tinggal di rumah dinas, melainkan kos bersama istri dan anak. Kamar kos itu berukuran sekitar 4 x 3 dengan tarif sewa kamar Rp 300 ribu per bulan. Saat itu ia tidak mendapat rumah dinas karena jatah rumah dinasnya masih digunakan anak seorang hakim yang dimutasi menjadi KPN di luar Jawa.114

Untuk mencari tambahan, istri hakim tersebut membuat dan menjual roti. Dari usaha roti itu kemudian keluarga hakim ini mampu membeli mobil tua untuk mengantar roti ke toko-toko.

Coba dengarkan baik-baik suara mobil itu ‘roti-roti’ bukan suara palu hakim ‘tok-tok’,” hakim itu menjelaskan sambil berkelakar.115

114 Wawancara dengan hakim Muslih Bambang Lukmono, keluarga, kolega, aktivis LSM di Purwokerto, 28 Februari – 6 Maret 2010. Setelah riset itu, saya tidak pernah bersua lagi. Saya membaca koran jika hakim Muslih Bambang Lukmono mengikuti seleksi hakim agung tahun 2014. Seleksi di KY calon hakim agung itu diluluskan, tetapi gagal proses di DPR. Terakhir, saya mendapat kabar Hakim Yang Mulia itu meninggal dengan tugas terakhir sebagai hakim tinggi Tipikor di Papua.

115 Wawancara dengan hakim Muslih Bambang Lukmono, keluarga, kolega, aktivis LSM di Purwokerto, 28 Februari – 6 Maret 2010.

PRENADAMEDIA

Hakim dalam menjalankan tugas kadang menghadapi ‘risiko’.

Terlebih lagi jika harus menangani perkara yang melibatkan

“orang besar”. Misalnya hakim PTUN, Teguh Satya Bhakti yang menangani perkara gugatan Keppres pengangkatan Patria- lis Akbar. Usianya waktu menangani perkara itu masih terbilang muda, jalan kariernya belum begitu panjang. Teguh sesuai de- ngan namanya tetap teguh. Dia bersama hakim Anggota Tri Cahya Indra Permana-salah seorang hakim anggota Elizabeth Tobing, membatalkan Keppres itu.

Ada juga hakim lain yang menceritakan pengalamannya.

Profesi hakim setiap tiga atau empat tahun dimutasi dari satu tempat ke tempat lain. Ketika anak-anak masih kecil keluarga- nya selalu mengikuti. Hingga pada suatu saat, ketika hakim itu dimutasi, keluarganya tidak bisa ikut pindah karena alasan anak- anak tidak mungkin selalu pindah sekolah. Untuk melepaskan rindu, hakim itu dua minggu sekali terbang pulang mengunjungi keluarganya. Secara ekonomi, rasanya berat juga jika rutinitas menjenguk keluarga dengan transportasi pesawat itu berjalan bertahun-tahun. Terlebih harga tiket pesawat cenderung naik.

Lalu, seorang advokat memberikan hadiah tiket pesawat (PP) menjelang akhir pekan. Meski saat itu hakim tersebut sangat membutuhkannya, ia dengan tegas menolaknya. Keteguhannya memegang prinsip kejujuran membuat pihak-pihak yang ber- perkara segan untuk coba-coba melobinya.116

Katakanlah data tersebut benar. Artinya, masih ada hakim yang berperang mempertahankan integritas di balik toganya.

Itu menandakan bahwa masih ada harapan. Tidak semua hakim pernah menerima suap, meski para pihak yang berperkara ber- usaha memengaruhinya.

Di tangan hakim-hakim yang bermoral, dengan aturan hu- kum yang jelek sekalipun, masih ada harapan lahirnya putus-

116 Wawancara dengan hakim yang tidak mau disebut namanya, 2 Desember 2022.

PRENADAMEDIA

an yang mendekatkan hukum pada keadilan. Menurut Bismar, pada hakikatnya faktor penentu kemandirian hakim bukan- lah terletak pada faktor sistem politik, sistem hukum dan per- undang-undangan, melainkan terletak pada dimensi pribadi ha kim, keterampilan, moral dan integritas pribadinya. Betapa pun baiknya suatu sistem dan perundang-undangan tetapi jikalau tidak didukung oleh sumber daya manusianya, dalam hal ini hakimnya yang baik maka kemandirian hakim tidak dapat terlaksana dengan baik.117

Hakim yang dipersonifikasikan dalam sosok manusia ter- pilih yang disebut “kadi” sering juga digambarkan sebagai Dewi Themis dengan mata tertutup sebagai simbol kenetralan dan imparsialitas; tidak akan menengok ke kanan atau kiri atau ber- main mata dengan salah satu pihak yang berperkara. Dalam ajaran filsafat hukum klasik, hakim itu harus lurus mengikuti

“kewajiban tak bersyarat” tanpa boleh ada niat untuk berpikiran culas.118

Menurut hakim Bismar Siregar, pertama, seorang Sarjana Hukum harus mampu menyelami perasaan hukum dan nilai-nilai keadilan yang ada di lubuk hati setiap pencari keadilan. Untuk itu tidak cukup apabila seorang sarjana hukum hanya menguasai ilmu hukum tetapi juga harus memiliki kepekaan hati nurani.

Kedua, seorang sarjana hukum harus mampu menjunjung ting- gi kebenaran dan keadilan. Tetapi kebenaran dan keadilan itu bukan menurut bunyi perkataan undang-undang semata-mata, melainkan juga berdasarkan hati nurani yang jujur”. 119

Dari apa yang disampaikan oleh Bismar di atas menunjukkan bahwa hati nurani memiliki tempat yang begitu penting bagi

117 Bismar Siregar dalam Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 193.

118 Mahkamah Konstitusi, “Pengawasan terhadap Integritas Hakim Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia”, Laporan Penelitian, Kerjasama antara Mahkamah Konstitusi dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2018, hlm. 8.

119 Bismar Siregar dalam Antonius Sudirman, Loc. cit., hlm. 118.

PRENADAMEDIA

seorang hakim dalam menjalankan profesinya. Dari hati nurani seorang hakim merupakan sandaran dan harapan terakhir bagi pencari keadilan.

Untuk mendekatkan hukum pada keadilan diperlukan hakim manusia yang memutus tidak hanya berdasarkan peraturan dan logika hukum semata melainkan juga kepekaan nurani.

Hipotesisnya, berhukum dengan nurani akan menghasilkan kualitas putusan hukum yang berbeda dibandingkan yang be- kerja hanya berdasarkan bunyi teks peraturan semata. Dalam kasus-kasus yang dilematis (hard cases), seperti kasus Prita dan Baiq Nuril (kasus ITE), jika perkara itu ditangani dengan hati nurani atau tanpa nurani, mempunyai derajat kualitas keadilan yang berbeda dalam putusannya.

Dalam dokumen Etika Profesi Hukum (Widodo (Z-Library) (Halaman 136-143)