• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakangdan Perkembangan Ghazw al-fikr

BAB II SEKILAS TENTANG GHAZW AL-FIKR DAN DAMPAKNYA

B. Latar Belakangdan Perkembangan Ghazw al-fikr

Gladstone, seorang mantan Perdana Menteri Inggris dalam menyikapi agenda ghazw al-fikr melawan umat Islam pernah berkata,

“Percuma kita memerangi umat Islam, dan tidak akan mampu menguasainya selama di dada pemuda-pemuda Islam ini bertengger Al- Qur’an. Tugas kita sekarang adalah mencabut Al-Qur’an dari hati-hati mereka, baru kita akan menang dan menguasai mereka.” Gladstone tampaknya menyadari bahwa militansi pemuda-pemuda Muslim menjadi mustahil untuk digoyang selama Al-Qur’an tertancap di hati mereka. Al-

10 Hamka, Ghirah Cemburu karena Allah, (Jakarta: Gema Insani, 2016), h. 47

Qur’an bagi umat Islam jauh berbeda layaknya Injil bagi agama Kristen saat ini, karena Al-Qur’an adalah kitab suci yang langsung turun dari Allah dan dijaga kesuciannya hingga akhir zaman. Sedangkan Injil tidak.

Ia telah terdistorsi.11

Sejarah telah membuktikan kekuatan umat Islam ini. Perang Salib contohnya, yang dicanangkan oleh Paus Urbanus di Roma untuk menggerakkan umat Kristen di Eropa menyerbu negeri kaum muslimin dengan tujuan utamanya adalah menduduki kota Yerusalem khususnya dan negeri Syam umumnya, yang berjalan selama dua abad dari tahun 1092 sampai 1291 Masehi. Ribuan orang Islam dibunuh secara bengis dan ratusan ribu kitab-kitab agama Islam dibakar dan dibuang. Namun dengan kegigihan pahlawan Islam yaitu Shalahuddin al-Ayyubi, akhirnya perang Salib dimenangkan oleh kaum muslimin dan mereka dapat merebut kembali kota Yerusalem.12 Kehebatan pasukan Muslim pimpinan para petinggi militer itu terbukti dapat membuat pasukan salib Eropa tak berkutik ketika di medan perang. Setiap kali kaum muslimin memperoleh kemenangan, kemenangan lain didapatkan secara bergiliran.

Demikian juga setiap kali mereka melakukan penaklukan, penaklukan lain berikutnya berhasil dilakukan tanpa merasa letih dan jenuh.13

Salah seorang Kristiani, Louis XI, Raja Perancis, setelah kekalahan bala tentaranya pada masa Perang Salib II, menulis sebuah catatan penting yang berbahaya. Ia menyinggung bahwa mereka tidak akan bisa menguasai kaum Muslimin melalui perang dan kekuatan. Sebabnya adalah karena kaum Muslimin memiliki faktor jihad fî sabîlillâh. Maka

11 Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, Zionis & Syiah Bersatu Hantam Islam, (Solo:

Aqwam Media Profetika, 2014), h. 363

12 A. Munir dan Sudarsono, Aliran Modern dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 120

13 Periode Perang Salib VII, Kemenangan Telak Pasukan Muslim, https://kumparan.com/potongan-nostalgia/periode-perang-salib-vii-kemenangan-telak- pasukan-muslim, diakses pada tanggal 25 Juli 2018

26

tidaklah mungkin kaum Muslimin diperbudak selama mereka tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an, mengamalkannya dan menetapkan hukum-hukumnya. Islam adalah agama kekuatan dan agama perjuangan.

Maka kaum Muslimin tidak akan pernah bertekuk lutut kepada siapapun selama mereka menyadari hal tersebut.14 Peperangan melawan kaum Muslimin harus dimulai dengan merusak akidah mereka yang sudah mengakar sehingga membentuk kekuatan jihad dan perlawanan. Harus segera dipisahkan antara akidah dengan syariat. Dari situ mulailah program ghazw al-fikr berkembang dalam bentuk Kristenisasi, Orientalisme, Westernisasi, dan perang budaya.15

Fenomena ghazw al-fikr ini sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Khalifah ‘Utsmân bin ‘Affân ra., yang dilakukan oleh seorang tokoh Yahudi dalam beberapa referensi dipanggil Ibnu as-Sauda’ ‘Abdullâh bin Saba’ al-Yahudi. Meski mengaku sebagai muslim, akan tetapi dia kemudian menyembunyikan pengkhianatannya, lalu secara diam-diam berusaha memengaruhi orang-orang Arab Baduwi dan orang-orang yang baru masuk Islam dari berbagai daerah, dan pengkhianatan ini tidak jauh dari pemikiran jahiliyyah yang kental. Mulai dari menjelek-jelekkan para pemimpin muslim hingga melakukan makar untuk menurunkan para gubernur. Sejak masa kekhalifahan ‘Utsmân bin ‘Affân, Ibnu Saba’ dan para pengikutnya kerap melakukan makar.16

Ibnu Saba’ mencuci otak orang-orang Arab Baduwi dan orang-orang yang baru masuk Islam tersebut secara besar-besaran, memperdayakan kebodohan dan ketidakpahaman mereka terhadap nilai-nilai Al-Qur’an,

14 Abdul Aziz Al-Khayyath, Islam dalam Berbagai Ancaman, terj. oleh Anwar Wahdi Hasi, (Jakarta: Bonafida Cipta Pratama, 1993), h. 23-25

15 Muhammad Hamid an-Nashir, Mengupas Hakikat Gerakan Modernisasi, Liberalisasi, dan Westernisasi Ajaran Islam, terj. Al-Ashrâniyyûn Baina Mazâ’im at-Tajdîd wa Mayâdîn at-Taghrîb oleh Abu Umar Basyir, (Jakarta: Darul Haq, 2016), h. 92-93

16 Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, Zionis & Syiah Bersatu Hantam Islam, h. 15

dan kecondongan mereka terhadap berbagai bentuk penyimpangan. Dia lalu membuat fitnah dan melakukan berbagai bentuk kejahatan di sekitar mereka hingga terbunuhnya ‘Utsmân bin ‘Affân di tangan sekelompok pengkhianat yang mengikuti jejak Ibnu Saba’ dan dilatih olehnya untuk memusuhi Islam dan kaum muslimin.17

Di Mesir dan Irak, Ibnu Saba’ juga menyebarkan fitnah dengan mengembangkan ajaran ar-Raj’ah (reinkarnasi)18 dan mengatakan,

“Tidakkah kamu tahu bahwa Isa bin Maryam akan kembali ke dunia ini?” Mereka lalu menjawab, “Iya.” Dia kemudian berkata kepada mereka, “Rasulullah Muhammad lebih utama dari Isa, tetapi mengapa kalian mengingkari bahwa Muhammad akan kembali ke dunia ini, sedangkan dia lebih utama dari Isa dan lebih mulia darinya? Memang mengherankan orang yang mengklaim bahwa Isa akan kembali dan Muhammad tidak akan kembali. Allah swt. berfirman,

َّ نِإ

َّٱ يِ لَّ

َّ

َّ َضَرَف

َّ

َّ يَلَع

ََّك

َّٱَّ ل

َّ رُق

ََّناَء

َّ

َّ اَرَل

ََّكُّد

َّ

َّى َ لِإ

َّ داَعَم َّ

َّ

٨٥ ...

Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali...” (QS. Al-Qashash [28]: 85)

Jadi, menurut Ibnu Saba’, Muhammad lebih berhak untuk kembali daripada Isa.”19

Ibnu Saba’ kemudian berkata kepada mereka, “Sesungguhnya dia adalah nabi dan setiap nabi memiliki wasiat. Muhammad adalah penutup para nabi dan ‘Ali adalah orang yang paling terakhir diberi wasiat, maka dia lebih berhak memimpin daripada ‘Utsmân. Karena itu, bangkitlah kalian untuk urusan ini. Maka bergeraklah dan mulai menyerang para

17 Sa’ad Karim al-Fiqi, Pengkhianat-pengkhianat dalam Sejarah Islam, terj. Khiyanât Hazzat al-Tarikh al-Islâmi oleh Muhyiddin Mas Rida, (Jakarta: Al-Kautsar, 2009), h. 26 18 Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, Zionis & Syiah Bersatu Hantam Islam, h. 16 19 Sa’ad Karim al-Fiqi, Pengkhianat-pengkhianat dalam Sejarah Islam, h. 26

28

pemimpin kalian.” Dia memengaruhi orang-orang untuk berkhianat kepada Utsman dan mengobarkan pemberontakan dan fitnah.20 Ghazw al-fikr oleh Ibnu Saba’ ini sifatnya terselubung dan fitnah yang ditimbulkannya sangat berpengaruh sekaligus berbahaya.

Sedangkan pada masa modern, fenomena ghazw al-fikr ini pertama kali masuk ke dunia Arab melalui Mesir (1798) pada serbuan imperialisme21 Barat modern oleh Napoleon Bonaparte. Serbuan ini berbeda dengan serbuan sebelumnya dalam perang salib, serbuan ini salah satu tujuannya adalah menjajah akal, mengganti pola pikir dan identitas bersamaan dengan pendudukan negeri, eksploitasi sumber alam dan pembudakan manusia. Sekularisme adalah satu misi yang dibawa oleh kehadiran Barat. Di semua negeri Muslim yang dijajah oleh Barat, kebijakan pemerintahannya sedikit demi sedikit menempatkan sekularisme dalam urusan negara, sosial dan kebudayaan untuk menggeser identitas Islam.22

Perkembangan pembaruan atas jasa Napoleon tersebut menjadi semakin kuat menguasai Mesir, terutama setelah diangkatnya Muhammad Ali Pasha sebagai gubernur Mesir. Muhammad Ali adalah tokoh pertama yang menerima kehadiran modernisasi Mesir. Usaha modernisasi yang dilakukan oleh Ali Pasha diawali dengan kebijakannya untuk memperbaiki Mesir hampir di segala aspek kehidupan. Seperti pertanian, administrasi, pendidikan, kemiliteran dan industri.

Modernisasi ini telah menjadi sebab Mesir memasuki masa liberal

20 Sa’ad Karim al-Fiqi, Pengkhianat-pengkhianat dalam Sejarah Islam, h. 26-27

21 Imperialisme adalah sistem politik yang bertujuan menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar (lihat KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat oleh Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 528)

22 Muhammad ‘Imarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat, terj. Ma’rakatul Musthalahât baina al-Gharbi wa al-Islâmî oleh Musthalah Maufur, (Jakarta: Robbani Press, 1998), h. 47

(liberal age). Paham liberalisme tumbuh mekar yang mengakibatkan munculnya sejumlah gagasan tentang pemisahan antara agama, kebudayaan dan politik. 23

Pada masa kekuasaan kaum kolonialis24 Barat yang sangat panjang, mereka terus berusaha menerapkan metode pendidikan dan pengajaran yang bersumber dari pemikiran mereka, dengan tujuan untuk mencetak generasi-generasi yang tunduk, patuh, dan tidak memusuhi kaum kolonialis, bahkan mereka harus merasa bangga. Metode-metode yang diterapkan kaum kolonialis tersebut bertujuan untuk menghancurkan sendi-sendi pemikiran Islam dan kebudayaan Arab di berbagai bidang;

politik, sosial, ekonomi, hukum, dan pendidikan. Juga untuk mengangkat dan menghidupkan pemahaman-pemahaman pemikiran Barat, memuliakan para pahlawan, penguasa, dan sejarah Barat. Mereka juga menyebarkan syubhat pada nilai-nilai Arab-Islam, dan merusaknya.

Kemudian, mereka menciptakan suasana baru yang penuh keraguan, kehinaan, dan kemunafikan.25