• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III BIOGRAFI SAYYID QUTHB DAN PROFIL KITAB

B. Pelaku Ghazw al-fikr

a. Setan dari Golongan Jin dan Manusia (QS. An-Nâs [114]: 4-6)

نيم

ۡيَ َش ۡ

ۡٱۡ

ل

ۡ سَو

ۡ يساَو

ۡٱ

َۡ

ل

ۡ يساَّن

ۡ٤ۡ

ٱ يي لَّ َّ

ۡ

ۡ سَوُي

ۡ ُسيو

ۡيف ۡ

ۡيروُد ُص ۡ

ۡٱ

ۡ يساَّل

ۡ٥ۡ

َۡنيم

ۡي ۡٱ ل

ۡيةَّن

ۡ

َۡوٱ

ۡ يساَّل

ۡ٦ۡ

ۡ

Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia.” (QS. An-Nâs [114]: 4-6)

81

Waswâsah berarti suara yang halus, khanûs berarti bersembunyi dan kembali lagi, dan khannâs adalah mempunyai tabiat sering bersembunyi dan kembali lagi.13

Pertama-tama nash ini menyebutkan secara mutlak tentang "al- waswâs al-khannâs". Lalu, dibatasi aktivitasnya dengan "al-ladzî yuwaswisu fî shudûrin-nâs" (yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia). Kemudian dibatasi esensinya dengan "minal jinnati wan-nâs" (dari golongan jin dan manusia). Urutan ini menimbulkan kesadaran dalam hati untuk mengetahui bisikan setan yang biasa bersembunyi. Juga untuk mengetahui cara kerjanya dalam mewujudkan kejahatannya, agar yang bersangkutan menolak atau mengawasinya.14

Bisikan jin itu tidak kita ketahui bagaimana terjadinya, tetapi dapat kita jumpai bekas-bekas dan pengaruhnya dalam realitas jiwa dan kehidupan nyata. Adapun mengenai manusia, kita mengetahui banyak tentang bisikan mereka. Kita mengetahui pula bahwa di antara bisikannya itu ada yang lebih berat daripada bisikan setan.

Kawan yang jahat, membisikkan kejahatan ke dalam hati dan pikiran kawannya tanpa perhitungan dan tanpa berhati-hati, karena dia adalah kawan terpercaya.15

Ajudan membisikkan kepada penguasa sehingga ia terus merajalela dan sewenang-wenang berbuat kerusakan di muka bumi.

Ia merusak tanaman dan keturunan, ekonomi, dan kaum wanita.

Provokator menghiasi perkataannya sedemikian rupa, sehingga

13 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 12, h. 383

14 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 12, h. 383-384

15 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 12, h. 384

tampak seolah-olah apa yang dikatakannya itu adalah kebenaran yang nyata, yang tidak perlu diragukan lagi. Penjaja syahwat menghembuskan bisikan lewat jendela insting untuk merayu. Hal ini tidak dapat ditolak kecuali dengan kesadaran hati dan pertolongan Allah. Juga berpuluh-puluh pembisik yang bersembunyi, yang memasang jaring dan perangkap dengan sembunyi-sembunyi, dan memasukkannya lewat jendela hati yang samar, yang mereka ketahui dan mereka rasakan. Mereka ini lebih jahat daripada golongan jin dan lebih samar merayapnya. Manusia tidak mampu menolak bisikan yang halus itu. Karena itu, Allah menunjukkan kepadanya persiapan, perisai, dan senjatanya di dalam melakukan peperangan yang sengit ini. Dia menjadikan iman sebagai perisai, zikir sebagai perbekalan, dan isti’âdzah (permohonan perlindungan) sebagai senjata.16

Terdapat sesuatu yang perlu diperhatikan yang memiliki tujuan tertentu, ketika menerangkan bahwa setan pembisik itu memiliki sifat khannâs (biasa bersembunyi). Sehingga apabila mendapatkan kesempatan yang tepat, ia pun beraksi dan menyampaikan bisikan.

Dari satu sisi menunjukkan kelemahan setan menghadapi orang yang menyadari tipu dayanya dan menjaga jalan-jalan masuknya ke dadanya. Maka, apabila mereka dihadapi, akan mundur dan kembali ke mana dia tadi datang, terengah-engah dan bersembunyi. Atau, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw.

melukiskannya dengan gambaran yang halus,

16 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 12, h. 384

83

اَذِإَو ،َسَنَخ َلَاَعَ ت ُالله َرَكَذ اَذِإَف ،َمَدآ ِنْبا ِبْلَ ق ىَلَع ٌمِئاَج ُناَطْيَّشلَا َسَوْسَو َلَفَغ

"Setan itu tetap berada di hati anak Adam. Apabila dia mengingat Allah Ta'ala, setan itu bersembunyi. Dan, apabila dia lalai, setan itu membisikinya." (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu'allaq/tanpa menyebutkan rentetan sanadnya)17

Keterangan ini akan menguatkan hati dan menyemangatkannya di dalam menghadapi bisikan setan. Maka, setan itu bersembunyi dan lemah menghadapi persiapan orang mukmin di dalam peperangan dengannya. Akan tetapi, dari sisi lain, peperangan itu berkepanjangan dan tak pernah berakhir. Maka, selamanya ia bersembunyi dan mengintai kelengahan manusia. Karena itu, manusia harus selalu menyadari bukan cuma sekali dan sesaat saja.

Peperangan akan berlangsung hingga hari kiamat, sebagaimana dilukiskan Al-Qur'an dalam beberapa tempat.18

Ini adalah peperangan yang padanya terkumpul semua kekuatan jahat dalam semesta ini, yaitu setan-setan manusia dan jin. Semua kekuatan itu berkumpul dalam kerja sama dan sejalan dalam melaksanakan suatu rencana yang telah mereka gariskan. Yaitu, memusuhi kebenaran yang tercermin dalam risalah-risalah para nabi serta memeranginya. Ini adalah rencana yang telah mereka canangkan beserta segala perangkatnya.

ۡ ...

ۡ يحوُي

ۡ

ۡ عَب

ۡ مُه ُض

ۡ

ۡ َ ليإ

ۡ

ۡ عَب

ۡ ض

ۡ

ۡ خُز

ۡ َفُر

ۡٱۡ ل

ۡ وَق

ۡيلۡ

ۡ روُرُغ

ۡراۡ

ۡ١١٢ ....

17 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 12, h. 384

18 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 12, h. 384

"...Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)..." (QS.

Al-An'âm [6]: 112)

Mereka saling membisikkan perangkat untuk menipu dan menyimpangkan manusia. Pada waktu yang sama mereka saling menyesatkan. Ini adalah fenomena yang jelas terlihat dalam setiap perkumpulan kesesatan dalam memerangi kebenaran dan para pembela kebenaran itu. Setan-setan saling menolong di antara sesamanya, dan saling membantu dalam kesesatan juga. Mereka sama sekali tidak saling menunjukkan kepada kebenaran. Namun, masing-masing saling mendorong untuk memusuhi kebenaran, memeranginya, dan melakukan peperangan terhadap kebenaran itu secara terus-menerus.19

Lukisan tentang tabiat peperangan dan dorongan-dorongan kejahatan padanya, baik lewat setan secara langsung maupun lewat pegawai-pegawainya yang berupa manusia, dapat menyadarkan manusia bahwa dia tidak akan dikalahkan oleh setan dalam peperangan ini, karena Rabb-nya, Malik-nya, dan Ilah-nya itu Mahakuasa atas semua makhluk. Apabila Dia yang memberi izin kepada iblis untuk melancarkan peperangan, maka Dia juga yang memegang ubun-ubunnya. Dia tidak akan memberi kekuasaan kepada iblis kecuali terhadap orang-orang yang lupa kepada Rabb- nya, Malik-nya, dan Ilah-nya. Adapun orang-orang yang selalu ingat kepada-Nya, maka mereka akan selamat dari kejahatan dan ajakan- ajakannya yang halus.20

19 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 4, h. 193

20 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 12, h. 385

85

Surat an-Nâs ayat 4-6 di atas membahas tentang pelaku ghazw al-fikr, yaitu setan dari jenis jin dan manusia, serta cara kerjanya dalam mewujudkan bisikan kejahatan. Menurut Hamka, jin menyerang dengan cara yang halus. Dia masuk ke dalam dada manusia dengan halus sekali, menumpang dalam aliran darah, berpusat ke jantung, yang di balik benteng dada tersebut akan terpengaruh dengan bisikan itu. Bisikan dalam hati menghasilkan perasaan ragu-ragu yang disebut ayat sebagai waswas. Sedangkan manusia dengan cara kasar (terang-terangan).21 Sayyid Quthb berpendapat bahwa bisikan manusia lebih berat dibandingkan setan itu sendiri karena ia lebih samar, dan karena mereka adalah orang yang biasa dipercaya, baik dari kalangan kawan, perwira, penguasa, atau provokator, dengan tujuan untuk menyimpang dan menyesatkan sesamanya.

Manusia tidak mampu menolak bisikan setan yang sembunyi- sembunyi merayap ke dalam hati secara samar. Namun di sisi lain bisikan mereka juga memiliki kelemahan. Ibnu Katsîr dalam tafsirnya menukil riwayat dari Ibnu ‘Abbâs, “Setan selalu bercokol di dalam hati manusia, di mana jika manusia lengah dan lalai, maka dia akan memberikan bisikan, dan jika manusia berzikir kepada Allah maka setan itu akan bersembunyi.”22 Manusia harus selalu waspada karena setan tak akan pernah menghentikan peperangan ini sampai pada hari kiamat. Mereka selalu bekerja sama memusuhi dan memerangi kebenaran secara terus-menerus. Jadi, satu-satunya cara untuk menolak kejahatan bisikan setan adalah dengan selalu

21 Hamka, Juz ‘Amma Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 333-335

22 Ibnu Katsîr, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Lubâbut Tafsîr min Ibnu Katsîr oleh M. Abdul Ghoffar, dkk., h. 582

meminta perlindungan kepada Rabbnya, Maliknya, dan llahnya, karena Allah Yang Mahakuasa atas segala makhluk.

b. Ahli Kitab (QS. Al-Mâ’idah [5]: 59)

ۡ لُق

ۡۡ َي

ۡ ه َ أ

َۡل

ۡٱۡ ل

ۡ َتيك

ۡيب

ۡ

ۡ لَه

َۡنوُميقنَت ۡ

ۡ

ۡااَّنيم

ۡ

ۡا َّ

لّيإ

ۡ

ۡ ن َ أ

ۡ اَّنَماَء

ۡۡيبٱ

ۡي َّللّ

ۡ

ۡااَمَو

َۡليزن ُ ۡ أ

ۡ

ۡ َلِيإ اَن

ۡ

ۡااَمَو

َۡليزن ُ ۡ أ

ۡ نيم

ۡ

ۡ بَق

ُۡل

ۡ

َّۡن َ أَو

ۡ

ۡ ك َ أ

ۡ مُكَ َثَ

ۡۡ َف

َۡنوُقيس

ۡ٥٩

“Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik’” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 59-60)

Kaum Ahli Kitab tidak menjelek-jelekkan terbitnya kebangkitan Islam sekarang kecuali karena kaum muslimin beriman kepada Allah dan kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepada mereka.

Yakni, Al-Qur’an yang membenarkan kitab-kitab suci (sebelum diubah) terdahulu yang diturunkan kepada Ahli Kitab.23

Kaum Ahli Kitab memusuhi kaum muslimin karena mereka beragama Islam. Karena mereka bukan orang Yahudi dan Nasrani.

Juga karena Ahli Kitab itu fasik, menyimpang dari apa yang diturunkan Allah kepada mereka, dan tidak mau beriman kepada risalah terakhir. Padahal risalah ini membenarkan apa yang ada di hadapan mereka, bukan yang mereka ada-adakan dan mereka ganti.

Mereka juga tidak beriman kepada rasul terakhir, padahal rasul ini

23 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 3, h. 266

87

membenarkan apa yang ada di hadapan mereka, dan tidak menghormati semua rasul Allah.24

Allah menegaskan dalam firman-Nya yang lain tentang permusuhan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik,

َّۡنَديجَ َلت ۞

ۡ

َّۡدَش َ أ

ۡٱ

ۡ يساَّل

ۡ

ۡ َدَع

ۡ ةَو

ۡ

َۡنيي َّلَّيَل

ۡ

ۡ اوُنَماَء

ۡٱ

َۡ

لِ

َۡدوُه

َۡۡو ٱ

َۡنيي َّ

لَّ

ۡ

َۡ ش َ أ

ۡ اوُك

ۡ

ۡ٨٢ …

ۡ

ۡ

Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang- orang Yahudi dan orang-orang musyrik...” (QS. Al-Mâ`idah [5]: 82) Perlu diperhatikan dalam struktur kalimat ini, yaitu didahulukannya penyebutan kaum Yahudi daripada kaum musyrikin dalam kapasitasnya sebagai manusia yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman. Sikap permusuhan mereka yang keras ini begitu jelas dan transparan.25

Sebenarnya penghubungan dengan huruf wawu (dan) di dalam struktur bahasa Arab menunjukkan penghimpunan dua hal dan tidak menunjukkan per-urutan. Tetapi, didahulukannya penyebutan kaum Yahudi di sini, di mana terdapat dugaan bahwa tingkat permusuhan mereka terhadap orang mukmin lebih kecil daripada kaum musyrikin (karena mereka pada asalnya adalah Ahli Kitab) menjadikan didahulukannya penyebutan mereka ini memiliki nuansa khusus yang berbeda dengan kebiasaan penggunaan athaf

24 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 3, h. 266

25 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 3, h. 306

(penghubungan kata/kalimat) dengan huruf wawu dalam struktur bahasa Arab.26

Disebutkannya mereka lebih dahulu ini menggiring kesan bahwa keberadaan mereka sebagai Ahli Kitab seperti orang-orang musyrik yang sangat keras memusuhi orang-orang yang beriman.

Didahulukannya penyebutan mereka itu juga dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa memang mereka berada di garis depan atau lebih keras di dalam memusuhi umat Islam daripada sikap orang- orang musyrik yang juga sangat keras memusuhi umat Islam itu.27

Orang yang memprovokasi tentara-tentara sekutu (al-ahzâb) untuk menentang Daulah Islam yang baru tumbuh di Madinah, dan menghimpun orang-orang Yahudi Bani Quraizhah dan lainnya, dengan orang-orang Quraisy Mekah, dan kabilah-kabilah lain, adalah orang Yahudi. Yang memprovokasi orang-orang awam dan golongan kecil serta menghembuskan berbagai macam fitnah untuk membunuh Utsman dan peristiwa-peristiwa tragis selanjutnya adalah orang Yahudi.28

Orang yang memandu tindakan membuat hadis-hadis palsu dan dusta mengenai berbagai riwayat dan biografi Rasulullah saw adalah Yahudi. Kemudian, yang membangkitkan rasa kebangsaan yang kelewat batas di dalam pemerintahan khilafah terakhir di balik perubahan yang dimulai dengan menjauhkan syariah dari pemerintahan dan mengganti "undang-undang dasar" dengan syariah pada masa pemerintahan Sultan Abu Hamid, yang kemudian

26 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 3, h. 306

27 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 3, h. 306

28 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 3, h. 307

89

berlanjut dengan dihapuskannya kekhalifahan secara total melalui tangan "sang pahlawan", juga orang Yahudi.29

Peperangan yang dikobarkan kaum Yahudi terhadap Islam sangat panjang masanya dan lebih luas medannya daripada yang dikobarkan kaum musyrikin dan para penyembah berhala tempo dulu dan sekarang. Perang dengan kaum musyrikin Arab secara keseluruhan tidak lebih dari dua puluh tahun. Demikian pula perang dengan bangsa Persi pada masa pertama. Adapun pada zaman sekarang, maka kerasnya peperangan antara para penyembah dewa- dewa di India sangat sengit dan transparan, tetapi masih kalah sengit dari zionis internasional (yang mana Marxisme dianggap sebagai cabang dari Zionisme). Tidak ada yang menyamai peperangan Yahudi terhadap Islam mengenai panjangnya waktunya dan luasnya medannya kecuali Perang Salib.30

Kaum Ahli Kitab senantiasa memerangi kaum muslimin demikian sengit karena kaum muslimin adalah orang yang beragama Islam. Tidak mungkin mereka mau memadamkan serangannya yang sengit ini kecuali setelah berhasil memurtadkan kaum muslimin dari agamanya dan menjadi orang non-muslim. Hal ini karena kebanyakan Ahli Kitab adalah orang-orang yang fasik. Oleh karena itu, mereka tidak senang kepada orang-orang muslim yang konsisten dan komitmen pada agamanya.31

Ahli Kitab sekarang ingin menipu warga negara Islam (atau negara yang islami (menerapkan syariat Islam) meskipun tidak

29 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 3, h. 307-308

30 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 3, h. 305

31 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 3, h. 266

bernama negara Islam) dan hendak meracuni pikiran yang telah dihembuskan ke dalamnya ruh Islam dengan manhaj Rabbani-nya yang lurus. Hal itu mereka lakukan karena apabila pikiran itu lurus, maka imperialisme salib tidak dapat menghentikan laju perkembangan Islam, apalagi untuk menjajah negara Islam.32

Karena itu pula, sesudah kegagalannya dalam Perang Salib tempo dulu dan dalam perang misinya, mereka menggunakan metode penipuan dan peracunan pikiran. Mereka melakukan dan menyebarkan peracunan pikiran itu pada para pewaris Islam, dengan asumsi bahwa persoalan agama dan perang agama sudah selesai, dan tinggal sejarah gelapnya yang telah dilalui oleh semua bangsa.

Kemudian dunia tercerahkan dan mengalami kemajuan. Sehingga, tidak boleh dan tidak layak lagi ada peperangan yang dilakukan atas dasar akidah. Peperangan yang ada sekarang hanyalah karena materi. Karena rebutan sumber ekonomi, pasar, dan produksi. Kalau begitu, kaum muslimin atau para pewarisnya tidak boleh lagi memikirkan agama dan berperang secara agama.33

Ketika Ahli Kitab (yang menjajah negara-negara Islam) merasa tenang karena berhasil meninabobokan kaum muslimin dengan penyebaran racun pemikiran dan ketika persoalan ini sudah luntur dalam hati mereka, maka penjajah itu merasa aman dari kemarahan kaum muslimin karena Allah dan karena akidahnya. Pasalnya, ini merupakan kemarahan yang tidak dapat mereka bendung pada suatu hari. Dengan tidak adanya kemarahan itu, persoalan ini menjadi

32 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 3, h. 267

33 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 3, h. 267

91

mudah bagi mereka sesudah kaum muslimin tertidur dan teracuni pikirannya.34

Dengan demikian, mereka tidak hanya melakukan peperangan akidah. Tetapi, di balik itu mereka berusaha mendapatkan rampasan, rempah-rempah dan bahan-bahan mentah. Mereka mendapatkan kemenangan di dalam perang “materi” ini setelah menang di dalam perang “akidah”. Semua itu mereka dapatkan dalam waktu yang berdekatan.35

Orang yang fasik dan menyimpang dari jalan kebenaran tentu tidak tahan melihat orang yang istiqomah di atas jalan yang lurus, karena keberadaan orang ini dirasakan mengusik kefasikan dan penyelewengannya. Oleh karena itu, dia membenci dan menyakitinya. Ia membenci keistiqomahannya dan mempersalahkannya karena konsistensinya. Ia berusaha keras untuk menyeret yang bersangkutan supaya mengikuti jalannya, atau menghukumnya kalau tidak mau mengikuti pimpinannya.36

Allah sudah mengetahui bahwa kebaikan itu akan menghadapi gangguan dari manusia, kebenaran pasti akan berhadapan dengan kebatilan, istiqomah akan menimbulkan kebencian orang-orang fasik, dan komitmen pada kebenaran itu harus dibela. Juga pasti akan berperang dengan kejahatan, kebatilan, kefasikan, dan penyelewengan. Peperangan ini tidak dapat dihindari. Kebenaran arus berperang melawan kebatilan, karena kebatilan itu akan

34 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 3, h. 267

35 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 3, h. 267

36 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 3, h. 268

menggempurnya. Kebaikan tidak boleh menjauhi peperangan ini karena keburukan dan kejahatan akan berusaha melibasnya.37

Kelengahan, apa pun bentuknya, misalnya para pendukung kebenaran, kebaikan, istiqomah, dan konsistensi, mengira bahwa mereka terlepas dari incaran kebatilan, kejahatan, kefasikan, dan penyelewengan. Mereka mengira dapat menjauhi peperangan dan dapat mengadakan perdamaian dan kompromi. Lebih baik bagi mereka mempersiapkan ide-ide dan pemikiran serta segala macam persiapan dalam menghadapi peperangan yang pasti, daripada menyerah kepada ilusi dan tipu daya. Karena, kalau tidak siap, mereka akan ‘dimakan’ oleh musuh.38

Hamka dalam kitab tafsinya menyatakan, sebab kebencian orang-orang Yahudi adalah karena Islam memercayai segala kitab yang pernah turun dan tidak membeda-bedakan Nabi Allah, termasuk Nabi Isa, seorang Rasul yang mereka tidak percayai kerasulannya. Mereka dikatakan fasik atau durhaka karena benci kepada Rasulullah saw., agama Islam yang dibawanya, dan Nabi Isa.39 Ibnu Katsir menegaskan bahwa mayoritas kaum Ahli Kitab adalah fasik, yaitu keluar dari jalan yang lurus.40 Sedangkan menurut Sayyid Quthb, Ahli Kitab (terutama Yahudi yang lebih besar kebenciannya terhadap Islam) setelah kalah dari perang Salib, mereka menggunakan metode penipuan dan peracunan pikiran untuk

‘menidurkan’ kebangkitan kaum muslimin, salah satunya dengan cara memisahkan perang dari persoalan agama/akidah. Ahli Kitab

37 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 3, h. 268

38 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), terj. As’ad Yasin, dkk., jilid 3, h. 269

39 Hamka, Tafsir Al Azhar Juzu’ VI, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 301

40 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2003), jilid 3, h.

114-115

93

tidak akan senang terhadap seorang muslim yang konsisten dan istiqomah menjalankan agama dengan manhaj Rabbani-nya karena ia tidak akan pernah bisa dilawan dan dijajah. Ahli Kitab merasa tenang jika umat muslim mengalami kemunduran, karena akan sangat berbahaya bagi mereka jika umat muslim bangkit. Sayyid Quthb juga menyarankan umat muslim untuk membuat persiapan dalam menghadapi peperangan pemikiran ini, karena jika tidak, maka kita akan selamanya degradasi dan kalah.