• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencegahan Kecemasan

Dalam dokumen PSIKOLOGI OLAHRAGA (Halaman 126-130)

BAB 8 KECEMASAN DALAM OLAHRAGA

F. Pencegahan Kecemasan

Kecemasan, seperti banyak kondisi kesehatan mental lainnya, bisa lebih sulit diobati jika kita tidak segera memeriksakan diri dan memeriksakan diri untuk gangguan kecemasan. Karena itu, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter atau psikolog ketika kita mengalami kecemasan yang tidak biasa. Kebanyakan orang berpikir bahwa orang yang pergi ke dokter atau psikolog adalah orang yang "gila". Namun, ini tentu saja tidak benar. Siapapun bisa berkonsultasi dengan

psikolog untuk menjaga kesehatan mentalnya. Penting untuk dipahami bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Jadi, tidak perlu didiagnosa mengalami gangguan jiwa untuk pergi ke psikolog. Sebenarnya ada beberapa faktor risiko untuk setiap jenis gangguan kecemasan bisa berbeda-beda, beberapa faktor risiko umum yang bisa memicu penyebab semua jenis gangguan kecemasan antara lain:

a. Trauma

Anak-anak yang mengalami pelecehan, intimidasi, korban bullying atau menyaksikan peristiwa traumatis di masa kecil berisiko lebih tinggi mengalami anxiety disorder (gangguan kecemasan) ketika dewasa. Tak hanya anak-anak, orang dewasa juga demikian.

b. Riwayat genetic

Memiliki kerabat sedarah, terutama orangtua dan saudara kandung, dapat meningkatkan risiko Anda terkena gangguan kecemasan.

c. Kepribadian tertentu

Orang dengan tipe kepribadian tertentu lebih rentan terhadap gangguan kecemasan daripada yang lain. Seperti halnya sesorang yang memiliki iklim mood yang berubah- ubah.

d. Gangguan mental

Orang dengan gangguan mental, seperti depresi, sering kali juga mengalami gangguan kecemasan.

e. Penggunaan obat-obatan atau alkohol

Penyalahgunaan alkohol dan narkoba dapat menyebabkan atau bahkan memperburuk gangguan kecemasan yang anda alami.

f. Stres karena suatu penyakit

Memiliki kondisi kesehatan atau penyakit serius dapat memicu perasaan takut dan cemas berlebih. Terutama perihal biaya pengobatan, peluang kesembuhan, hingga bagaimana Anda menghadapi masa depan nantinya. Selain karena penyakit, Anda juga bisa mengalami anxiety disorder karena

masalah pekerjaan, kehilangan orang yang terkasih, atau bahkan impitan ekonomi.

BAB

9

Pandemi COVID-19 menyebabkan hampir semua event olahraga di dunia ditunda atau bahkan dibatalkan, seperti halnya liga Indonesia yang belum dimulai akibat pandemi virus corona.

Olahraga itu seperti mati suri, atlet seolah lumpuh. Atlet menghadapi risiko kesehatan mental akibat perubahan gaya hidup yang mengharuskan mereka tetap efektif dalam isolasi diri akibat regulasi pemerintah terkait social distancing. Ribuan atlet yang biasanya rutin berlatih bersama tim kali ini harus menggelar latihan dan hanya terpantau melalui video call. Tanpa arahan pelatih, atlet bisa saja mengalami kesalahan atau mungkin tidak sesuai dengan apa yang diinginkan pelatih.

Stres adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang tampaknya berbahaya atau sulit, stres membuat tubuh memproduksi hormon adrenalin yang berfungsi untuk mempertahankan diri. Stres adalah bagian dari kehidupan manusia. Ketegangan atau bisa juga disebut stres, yaitu tekanan atau sesuatu yang terasa menekan dalam diri seseorang. Perasaan tertekan ini disebabkan oleh banyak faktor yang datang dari dalam maupun dari luar. Stres merupakan ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan untuk memenuhi tuntutan tersebut (Maksum, 2008). Kejadian ini merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh ketidaksesuaian antara situasi yang diinginkan dengan keadaan biologis psikologis atau sistem sosial individu (Sarafino, 2006).

Sejalan dengan pendapat di atas, Fletcher (2009) menjelaskan bahwa stres merupakan respon terhadap tuntutan, baik dari lingkungan maupun diri sendiri, terkait dengan performa atlet

STRES DALAM

OLAHRAGA

dalam bertanding. Mahendrawati (2016) menambahkan bahwa bentuk respon tersebut berupa ketegangan fisik, fisiologis dan mental.

Stres sering disalahartikan sebagai sesuatu yang merugikan karena diidentikkan dengan emosi negatif atlet sehingga mengganggu kinerjanya. Namun, ini tidak terjadi. Stres tidak selalu negatif dan merugikan (Gustafsson, 2007). Di sisi lain, stres dapat bersifat positif dan bermanfaat karena dapat memfasilitasi kinerja atlet dan membantunya beradaptasi dengan tantangan yang ada dalam kompetisi (Lazarus, 2000). Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa ada dua jenis stres. Pertama, stres positif bermanfaat. Sedangkan jenis yang kedua adalah stres yang merugikan.

A. Jenis-jenis Stres

Stres sering dipelajari dalam psikologi olahraga, terutama dalam kaitannya dengan kinerja atlet dalam situasi tertentu.

Menurut Mellaleu et al (2009), stres merupakan faktor yang mempengaruhi kondisi emosional dan fisik atlet, baik dari luar maupun dari dalam diri atlet itu sendiri. Dan selanjutnya stres merupakan bentuk respon yang dirasakan oleh atlet karena dihadapkan pada berbagai tantangan yang ada dalam upaya mencapai prestasi.

Seperti halnya definisi stres, istilah yang digunakan untuk menyebut kedua jenis stres tersebut berbeda. Selye (dalam Lazarus, 2000) menyebutnya eustress dan distres. Sedangkan Lazarus dan Folkman (1984) menggunakan istilah treat dan challenge untuk merujuk pada tipe yang sama. Lazarus (2000) menjelaskan bahwa pembagian jenis stres menurut Selye didasarkan pada pengaruh stres terhadap kesehatan, kemampuan beradaptasi, dan kesejahteraan, sedangkan fokus Lazarus dan Folkman dalam menjelaskan stres lebih spesifik pada pengaruh aspek psikologis tersebut terhadap kinerja atlet dalam situasi tertentu, seperti kompetisi. . Terlepas dari perbedaannya, sebenarnya ada kesamaan antara jenis stres menurut Selye dan Lazarus dan Folkman. Kesamaan ini

membuat kedua jenis divisi tersebut memiliki “hubungan” juga, yaitu penjelasan tentang jenis-jenis stres yang menguntungkan dan merugikan atlet.

1. Stres yang positif disebut eustress maupun challenge menguntungkan bagi atlet karena membuat atlet mampu mempertahankan motivasi dan daya juangnya untuk menghadapi tuntutan-tuntutan yang menghadangnya dalam mencapai prestasi olahraga. Atlet memandang stresor yang ada bukan sebagai sesuatu yang mengancam usahanya dalam meraih prestasi, melainkan sebagai suatu hal yang menantang yang jika dia mampu taklukkan maka akan memfasilitasi kemajuan dalam kemampuan dan performanya.

2. Bentuk stres yang bersifat negatif disebut distress zatlet meningkat sementara emosi positifnya menurun. Kondisi ini menyebabkan performa atlet menjadi terganggu dan atlet mengalami kesulitan dalam meraih prestasi. Kebalikan dari bentuk stres yang pertama, pada bentuk stres ini, atlet memandang stresor, misalnya situasi kompetisi, sebagai sesuatu yang mengancam dirinya dan berpotensi membuat performanya tidak sebagus yang diharapkan. Oleh karena itu, atlet mengalami peningkatan emosi negatif, seperti kecemasan, marah, dan agresi.

Selain dibagi menjadi dua jenis berdasarkan efeknya;

menguntungkan atau merugikan, stres juga dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan lamanya kondisi yang dialami oleh atlet (Payne & Hahn, 2010; Bali, 2015). Ketiga jenis tersebut adalah stres akut, stres episodik, dan stres kronis. Stres akut adalah stres yang terjadi dalam waktu singkat dan biasanya terjadi beberapa saat setelah seorang atlet terkena stres. Namun stres akut dapat berubah menjadi stres episodik atau stres kronis dan mempengaruhi kinerja seorang atlet, terutama ketika atlet tersebut berulang kali terkena stres yang sama dalam jangka waktu yang lama sehingga sering mengalami stres akut. Stres episodik adalah stres yang berlangsung lebih lama dari stres akut, yaitu sebelum dan sesudah suatu peristiwa atau peristiwa

terjadi, seperti pertandingan atau kompetisi tertentu. Stres kronis adalah stres dengan durasi paling lama dari dua jenis stres lainnya dan tentunya memiliki efek merusak dan mengganggu yang lebih besar pada atlet.

B. Sumber Stres

Peran olahraga dalam meningkatkan kesehatan fisik, mental dan pembangunan karakter semakin memegang peranan penting. Dengan olahraga, harum nama bangsa bisa meningkat.

Olahraga merupakan salah satu bidang kegiatan yang memiliki kontribusi besar dalam mengharumkan nama bangsa Indonesia di mata dunia. Oleh karena itu, atlet yang dikirim untuk bertanding harus memiliki mental yang kuat agar dapat mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan atletnya.

Dalam mempersiapkan atlet atau pemain untuk pertandingan, arah perbaikannya adalah meningkatkan faktor fisik yang meliputi kondisi fisiologis, teknis dan psikologis. Dengan kata lain, seorang atlet harus dibekali dengan keterampilan motorik, kondisi fisiologis dan kesiapan psikologis yang maksimal.

Sumber stres seperti tuntutan fisik, sosial, psikologis dan endemik. Sedangkan strategi koping adalah cara yang dilakukan individu dalam memecahkan masalah, beradaptasi dengan perubahan, menanggapi situasi yang mengancam.

Stresor adalah keadaan, situasi, obyek atau individu yang dapat menimbulkan stres. Secara umum, stresor dapat dibagi menjadi tiga yaitu, stressor fisik, sosial dan psikologis.

1. Stressor fisik-biologi yaitu Penyakit yang sulit disembuhkan, cacat fisik atau kurang berfungsinya salah satu anggota tubuh, dan postur tubuh yang dipersepsi tidak ideal.

2. Stressor Sosial

a. Iklim kehidupan keluarga: hubungan antar anggota keluarga yang tidak hummanis, perceraian, suami atau istri selingkuh, suami atau istri meninggal, anak yang nakal sikap dan perlakuan orang tua yang keras salah seorang anggota keluarga mengidap gangguan jiwa, dan tingkat ekonomi keluarga yang rendah.

b. Faktor pekerjaan: kesulitan mencari pekerjaan, pengangguran, perselisihan dengan atasan, jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kemampuan, dan penghasilan tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan sehari-hari.

c. Iklim lingkungan: maraknya kriminalitas, tawuran antar kelompok harga kebutuhan pokok yang mahal, kurang tersedia fasilitas air bersih yang memadai, kemarau panjang, udara yang sangat panas dingin, suara bising, polusi udara, lingkungan yang kotor kemacetan lalu lintas, bertempat tinggal di daerah banjir atau rentan longsor dan kehidupan politik dan ekonomi yang tidak stabil.

3. Stressor Psikologi. Berburuk sangka, frustrasi, hasud (iri hati atau dendam), sikap permusuhan, perasaan cemburu, konflik pribadi, dan keinginan yang di luar kemampuan. Dalam konteks olahraga, menurut Martens (1987), ada dua situasi yang menjadi sumber stress.

a. Pentingnya event

Semakin penting suatu event atau semakin besar gengsi di dalam sebuah event tersebut, semakin menjadi sumber stres bagi atlet karena dengan merasakan atmosfer dalam sebuah pertandingan tentu lebih stresful dibanding latihan biasa.

b. Ketidakpastian

Dalam pertandingan penting, tentu akan jadi pertimbangan besar siapa saja yang akan diturunkan dalam starting line-ups Baik pelatih maupun seorang atlet bisa jadi stresful, mengingat penentuan pemain menjadi bagian penting dari sebuah strategi keberhasilan.

Semua gejala emosional seperti: ketakutan, kemarahan, kecemasan, stres, harapan, kesenangan dan sebagainya, dapat mempengaruhi perubahan kondisi fisik seseorang. Perasaan atau emosi dapat memberikan efek fisiologis seperti ketegangan otot, detak jantung, peredaran darah, pernapasan, berfungsinya kelenjar hormon tertentu.

Berkaitan dengan itu semua, jelas tidak hanya faktor fisik saja, tetapi juga faktor psikis akan mempengaruhi penampilan dan prestasi atlet. Dalam kaitan ini pengaruh gangguan emosi perlu diperhatikan, karena gangguan emosi dapat mempengaruhi “stabilitas psikologis” atau keseimbangan psikis secara keseluruhan, dan hal ini berdampak besar terhadap prestasi atlet.

C. Dampak Negatif Stres

Untuk mencapai prestasi yang maksimal, seorang atlet membutuhkan kesiapan fisik, teknis, dan taktis, selain itu kesiapan psikologis juga diperlukan untuk dapat mencapai kemampuan bermain yang terbaik. Baik buruknya kemampuan seorang atlet di lapangan akan mempengaruhi keadaan psikologis atlet tersebut, terutama pada perasaan-perasaan seperti khawatir yang berlebihan hingga menjadi stres.

Masalah kecemasan yang dialami oleh atlet bermacam- macam, seperti masalah yang disebabkan oleh faktor eksternal yaitu masalah yang berasal dari luar atlet, misalnya keberadaan lawan, wasit, penonton, dan lingkungan. Masalah yang timbul karena faktor internal yaitu masalah yang berasal dari dalam diri atlet itu sendiri, misalnya masalah emosional, motivasi, kecerdasan, kecemasan yang tinggi, stres yang berlebihan.

Semua permasalahan tersebut tentunya akan mempengaruhi prestasi atlet, namun pada kesempatan kali ini peneliti hanya akan mengambil salah satu permasalahan yang disebabkan oleh faktor internal yaitu kecemasan. Kecemasan ini akan menyertai dalam setiap kehidupan manusia, terutama ketika menghadapi hal-hal baru atau adanya konflik. Sebenarnya stres merupakan suatu kondisi yang pernah dialami oleh hampir semua orang, hanya saja kadarnya berbeda-beda. Menurut Chaplin (Ghazalba, 2009), kecemasan adalah perasaan campur aduk yang mengandung ketakutan dan kekhawatiran tentang masa depan tanpa penyebab spesifik dari ketakutan tersebut.

Stres yang tidak bisa diatasi dapat menimbulkan gangguan-gangguan seperti kesehatan fisik, produktivitas menurun, dan tingkat laku yang tidak sesuai. Dampak stres dapat digolongkan menjadi dampak terhadap fisik, psikologis dan perilaku.

a. Dampak terhadap fisik

Stres mempunyai efek yang besar terhadap fisik misalnya tekanan darah tinggi, penyakit jantung, tukak lamburg radang sendi dan lain-lain. Gangguan fisik juga bisa berupa sakit kepala, muka pucat, tangan berkeringat, sulit tidur, sakit perut, dan gangguan sistem kardiovaskuler.

Menurunnya konsentrasi, banyak melakukan kesalahan, mudah penat, dan cepat lupa.

b. Dampak terhadap psikologis

Stres yang berat biasanya diikuti oleh rasa marah, cemas, depresi, gelisah, mudah tersinggung dan tegang, Akibat psikologis dari stres dapat pula menyebabkan penurunan harga ketidakmampuan untuk konsentrasi, ketidakmampuan membuat keputusan, banyak melakukan kesalahan, mudah penat, cepat lupa dan menyebabkan rasa tidak puas. Semua ini dapat membuat prestasi jadi buruk.

c. Dampak terhadap perilaku

Stres yang berlangsung dalam jangka panjang, dapat memengaruhi perilaku seseorang Perubahan tingkah laku bisa berubah cepat marah, mudah emosional, gelisah, depresi, perasaan kehampaan, gangguan makan (sulit makan atau makan berlebihan), gangguan tidur, merokok, minum alkohol, dan lain-lain.

Pernyataan di atas, stres dapat diartikan sebagai suatu reaksi emosi seseorang. Stres dapat didefinisikan sebagai manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan dan pertentangan. Hal ini muncul karena beberapa situasi yang mengancam diri manusia sebagai mahluk sosial. Ancaman ini berasal dari adanya konflik, kegagalan, dan adanya tekanan yang melebihi kemampuan (Ghazalba, 2009). Menurut Weekes

(Ghazalba, 2009) secara emosional seseorang yang mengalami keletihan dalam menghadapi konflik akan merasakan ketakutan dan akhirnya menjadi apatis, tidak begitu menaruh minat terhadap sekelilingnya atau bahkan berpengaruh terhadap kondisi fisiknya.

D. Mengelola Stres

Selama masih hidup, setiap individu tidak akan lepas dari masalah. Masalah adalah bagian penting dari kehidupan itu sendiri. Masalah yang terus datang dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan stres. Karena manusia selalu dihadapkan pada masalah, maka stres akan selalu menjadi musuh dalam diri setiap individu. Jadi, masalahnya bukan bagaimana kita menghindari stres, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengelola stres. Ada beberapa langkah yang bisa Anda lakukan untuk mengelola stres.

1. Sadar adanya stres. Pemahaman terhadap kondisi diri menjadi awal yang penting untuk menyelesaikan masalah.

Pengingkaran terhadap realitas justru akan menyulitkan.

2. Analisis apa yang menjadi stresor dan tindakan yang mungkin dilakukan.

E. Latihan Mental untuk Manajemen Stres

Ketika stress coping tidak lagi dapat digunakan untuk mengatasi stres atlet, manajemen stres dapat diajarkan kepada atlet. Manajemen stres merupakan keterampilan yang membuat atlet mampu mengelola stres yang dirasakannya (Smith dalam Marhendrawati, 2016). Keterampilan tersebut tidak serta merta dimiliki oleh atlet sebagai bakat yang diwariskan, tetapi merupakan kemampuan yang diajarkan atau dilatih.

Manajemen stres dapat berupa latihan fisik, teknis, taktis, atau kognitif. Namun, teknik pelatihan mental juga penting, terutama pada saat atlet cenderung menggunakan jenis stress coping berupa emotional-focused coping. Alih-alih menghindari stresor sehingga ia tidak merasakan emosi negatif dan/atau emosi positifnya berkurang, dengan melatih atlet beberapa teknik

latihan mental, ia dapat mengelola emosinya dengan cara yang lebih baik. Di sini dia tidak serta merta menghindari perasaan lebih baik, tetapi dia menghadapinya dengan meningkatkan emosi positif dan mengelola emosi negatif ini.

Terdapat beberapa teknik latihan mental yang dapat digunakan untuk memanajemen stres yang dirasakan oleh atlet (Rumbold, Fletcher, Daniels, 2012; Jarvis, 2006). Di antaranya sebagai berikut:

1. Relaksasi

Latihan relaksasi memiliki manfaat untuk mengurangi ketegangan fisiologis dan fisik atlet yang pada akhirnya turut meminimalkan ketegangan mental yang atlet rasakan. Pada dasarnya, sebelum memulai melakukan jenis-jenis latihan mental lainnya, atlet terlebih dahulu harus melakukan relaksasi agar tubuh dan pikirannya dapat tenang dan fokus untuk menjalankan prosedur latihan mental tersebut dengan baik. Setidaknya terdapat dua jenis teknik latihan relaksasi yang sering digunakan dalam latihan mental, khususnya untuk manajemen stres. Pertama adalah progressive muscle relaxation, sedangkan yang kedua adalah autogenic training (Jannah, 2016).

Stres mempengaruhi kondisi fisik dan fisiologis atlet, yakni otot-otot atlet menjadi tegang. Sementara itu, ketegangan otot-otot tersebut dapat membuat atlet merasa semakin stres dan cemas (Davis, Eshelman & McKay, 2008).

Jannah (2016) menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena mental tidak hanya mempengaruhi kondisi fisik dan fisiologis atlet, namun sebaliknya fisik dan fisiologis atlet juga turut mempengaruhi kondisi mental atlet. Berangkat dari asumsi itulah, maka prosedur progressive muscle relaxation dibuat.

Progressive Muscle Relaxation merupakan teknik latihan mental yang dilakukan dengan cara membuat otot menjadi tegang dan kemudian menjadikannya rileks (Komarudin, 2013). Dari definisi tersebut, terangkum dua komponen utama dalam prosedur progressive muscle relaxation.

Komponen pertama adalah membuat otot menjadi tegang yang disebut dengan systematic tensing dan komponen kedua ialah merilekskan otot yang tadi dibuat tegang yang disebut dengan relaxing of various muscle group (Komarudin, 2013; Jannah, 2016).

Autogenic training adalah teknik latihan mental yang juga termasuk dalam latihan relaksasi. Oleh karena itu, autogenic training memiliki kesamaan dengan progressive muscle relaxation. Di antaranya dalam prosedur keduanya terdapat teknik visualisasi, relaksasi, dan verbalisasi (Jannah, 2016; Suter, 2014, Kogler, 1993). Selain itu, autogenic training juga memiliki persamaan dengan teknik latihan mental lain, yakni self-hypnosis yang sama-sama menggunakan relaksasi untuk mencapai kondisi alfa (Takaishi, 2000). Meskipun begitu, dalam prosedur autogenic training tidak menggunakan pemberian sugesti (Welz, 1991) melainkan autosuggestion yang dikembangkan dari Mantra Yoga (Kogler, 1993) untuk enam komponen dalam prosedurnya.

Keenam komponen dalam prosedur autogenic training, yakni heaviness in the extremities, warmth in the extremities, regulation of cardiac activity, regulation of breathing, abdominal warmth, dan cooling of the forehead (Bhambri dan Dhillon, 2008; Suter, 2014).

Berbeda dengan prosedur progressive muscle relaxation yang membuat otot-otot menjadi tegang dan kemudian menjadikannya rileks, dalam autogenic training yang ditekankan adalah sensasi berat, hangat, dingin, dan rileks pada tiap anggota tubuh sesuai urutan dalam prosedurnya.

2. Hipnosis

Pada dasarnya, hipnosis merupakan teknik latihan mental yang dalam prosedurnya terdapat pemberian sugesti saat atlet berada dalam kondisi alfa. Sama seperti hipnosis pada umumnya, selfhypnosis juga menekankan pemberian sugesti dan pencapaian kondisi alfa dalam tiap prosedurnya.

Self-hypnosis merupakan tindakan melakukan prosedur hipnosis tanpa melibatkan orang lain sebagai hypnotist

(Stevenson, 2009; Jannah, 2016). Jadi diri sendirilah yang memberikan sugesti-sugesti tersebut.

3. Imagery Training

Imagery adalah keterampilan memvisualisasikan suatu pengalaman di dalam pikiran (Setyawati, 2014; Komarudin, 2013). Dalam konteks olahraga, biasanya pengalaman- pengalaman yang divisualisasikan adalah yang berhubungan dengan performa atlet di lapangan, baik saat latihan maupun pertandingan. Contoh dari pengalaman-pengalaman yang dimaksud adalah atlet membayangkan dirinya mampu melakukan beberapa gerakan olahraga yang sebelumnya sulit dia praktikkan, dapat mempraktikkan berbagai teknik dan taktitk dalam situasi pertandingan, serta memiliki keterampilan psikologis untuk menjadikan tekanan dan tuntutan yang dia rasakan sebagai sebuah tantangan yang menggugahnya untuk menampilkan performa optimal dan bukan sebagai ancaman yang membuatnya stres dan cemas.

4. Self-Talk

Self-talk adalah verbalisasi atau dialog internal yang dilakukan dan ditujukan kepada diri sendiri (Smith & Kays, 2010; Hardy & Hall, 2006). Dialog internal tersebut dapat berupa pernyataan atau kalimat yang positif ataupun negatif;

masing-masing disebut dengan positive self-talk dan negative self-talk (Jannah, 2016; Komarudin, 2013). Positive self-talk adalah bentuk self-talk yang positif, mendukung, dan memotivasi atlet. Kata-kata yang digunakan dalam positive self-talk misalnya “aku yakin aku bisa menang hari ini”, “aku bisa mengalahkan lawanku”, atau “aku adalah atlet yang hebat”. Sementara itu, negative self-talk dicirikan dengan kalimat pernyataan yang sifatnya negatif dan mengkritik atlet. Contohnya, “aku adalah atlet gagal”, “performaku pasti buruk”, atau “aku akan kalah”.

Positive self-talk dan negative self-talk memiliki pengaruh berbeda pada atlet. Smith dan Kays (2010) menjelaskan bahwa melakukan positive self-talk dapat menjadikan mood dan emosi atlet turut positif pula. Atlet menjadi rileks,

percaya diri, dan enjoy dalam berlatih serta bertanding.

Sedangkan negative self-talk sebaliknya. Negative self-talk membuat emosi negatif atlet menjadi meningkat sehingga dia menjadi semakin rentan mengalami stres (Iswari & Hartini, 2005; Jannah, 2016).

Berkaitan dengan latihan mental untuk meningkatkan performa, dalam latihan self-talk, atlet dilatih untuk meningkatkan frekuensi penggunaan positive self-talk dan mengurangi negative selftalk. Selain itu, atlet juga dilatih untuk mengasah kepekaan dalam mengenali situasi dan kondisi apa yang menjadi stresor baginya sehingga dia reflek melakukan negative self-talk. Kepekaan ini selanjutnya membuat atlet menjadi dapat mengubah negative self-talk tersebut menjadi positive self-talk.

5. Meditasi

Meditasi merupakan teknik latihan yang digunakan untuk meregulasi emosi dan fokus (Gunaratana, 2002).

Meskipun meditasi sering dikaitkan dengan praktik keagamaan tertentu, namun dalam konteks psikologis, meditasi telah digunakan sebagai teknik latihan mental, terutama karena manfaatnya dalam menenangkan, serta membuat individu mendapatkan insight mengenai kehidupannya sehingga dapat mencapai kondisi well-being.

Salah satu jenis meditasi adalah mindfulness meditation, yakni suatu latihan meditasi yang dapat meningkatkan fokus dan kesadaran terhadap pengalaman atau peristiwa yang sedang terjadi tanpa melibatkan pemberian kritik terhadapnya (Salmon, dkk., 2004; Brown dalam Goodman, 2009). Bishop, dkk. (2004) menjelaskan bahwa ada dua komponen dalam prosedur mindfulness meditation, yaitu self- regulation of attention dan orientation to experience. Selfregulation of attention adalah kemampuan atlet dalam meregulasi emosi dan perhatian, termasuk dalam mengasah kepekaannya mengenai kondisi emosional, pikiran, dan sensasi fisik yang dia rasakan. Dengan begitu, atlet dapat menenangkan pikiran dan perasaannya ketika emosi negatifnya mulai meningkat

Dalam dokumen PSIKOLOGI OLAHRAGA (Halaman 126-130)