• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pembinaan Mental

Dalam dokumen PSIKOLOGI OLAHRAGA (Halaman 96-102)

BAB 7 MENTAL TRAINING

A. Strategi Pembinaan Mental

Manusia terdiri dari satu kesatuan jiwa dan raga atau disebut juga dengan “psychosomatic unity”. Artinya, bagian yang satu dengan bagian yang lain saling mempengaruhi. Pengaruh yang dirasakan oleh jiwa kita juga akan mempengaruhi tubuh kita, begitu juga sebaliknya. Kesatuan jiwa dan raga sangat kuat, apa yang dipikirkan dalam jiwa kita, tubuh kita akan bereaksi.

Demikian juga dalam olahraga prestasi, khususnya dalam perlombaan, atlet yang melakukan gerakan fisik tidak mungkin terhindar dari pengaruh mental-emosional yang timbul dalam olahraga tersebut (Harsono, 1988). Hal serupa juga disampaikan oleh Sugarman (2008) bahwa hubungan antara jiwa, tubuh sangat erat. Apapun yang ada di dalam jiwa, sebenarnya tubuh kita bereaksi.

Jika dicermati lebih dalam, penampilan para atlet sebenarnya merupakan hasil kombinasi dari beberapa faktor.

Faktor-faktor tersebut adalah kemampuan fisik, teknik, taktik atau strategi, dan mental. Latihan mental memainkan peran penting dalam menghasilkan kondisi mental yang tangguh.

Pelatihan kemampuan mental dalam olahraga harus dirancang untuk menghasilkan kondisi dan keterampilan psikologis atlet yang akan mengarah pada peningkatan kinerja dalam olahraga (Rushall, 2008).

Pada akhir 1970-an Amerika Serikat telah menerapkan psikologi yang berkaitan dengan pelatihan mental dalam olahraga. Alasannya, faktor yang berhubungan dengan keberhasilan penampilan dalam pertandingan erat kaitannya dengan ketahanan mental atlet. Bahkan Kuan & Roy (2007) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang sering dikaitkan dengan kinerja yang baik dalam suatu kompetisi adalah ketahanan mental dan ketahanan mental merupakan faktor keterampilan mental yang harus dimiliki oleh atlet.

Keterampilan mental tersebut berkaitan dengan teknik kognitif- somatik yang umumnya meliputi latihan visualisasi, latihan gerak visual, terapi kognitif, bio-feedback, meditasi relaksasi otot progresif. Dengan demikian, pelatihan keterampilan mental harus diberikan kepada atlet sesuai dengan kebutuhannya, dengan menggunakan berbagai metode dan teknik latihan yang tepat.

Teknik perawatan psikologis untuk meningkatkan performa atlet bukanlah hal baru. Menurut Suinn (1980) atlet Olimpiade dan kelas dunia telah menggunakan teknik psikologi olahraga secara teratur. Pakar Rusia mengakui bahwa mental atau "pikiran" juga menentukan keberhasilan atlet. Jerman Timur juga "psychological training” secara keras terhadap atlet- atletnya, sehingga dalam Winter Games tahun 1976 berhasil menjadi juara umum ke 11. Austria telah mengirim atlet-atlet

"ski jumpers’’ ke institut yang khusus memberikan "will power training".

Berbicara tentang pelaksanaan latihan mental dalam latihan, lebih baik dikemukakan ilustrasi yang sudah terkenal, seperti yang dilakukan Knute Rockne untuk tim sepak bola Notre Dame. Semangat tim untuk bertanding di babak pertama.

Cara yang digunakan Knute untuk memberikan rangsangan emosional, yaitu dengan mengatakan "must win for Gipp".

Artinya mengingatkan bahwa seorang anggota tim Notre Dame yang terbaring akan meninggal di rumah sakit (George Gipp).

Dan masih banyak pertandingan yang ditujukan untuk dipersembahkan kepada rekan kerja, sahabat bahkan orang

tersayang, sehingga perasaan memenangkan pertandingan tertanam kuat melalui rangsangan emosi. Mengenai program pelatihan mental yang lengkap, Gauron (1984) menyebutkan ada tujuh sasaran program, yaitu:

1. Mengontrol perhatian. Ini perlu untuk dapat mengosentrasikan kemampuan dan perhatian pada titik tertentu atau sesuatu yang harus dikerjakan.

2. Mengontrol emosi, menguasai perasaan marah, benci, kegembiraan, nervous, dan sebagainya sehingga dapat menguasai ketegangan dan bermain dengan tenang.

3. "Energization” dimaksudkan untuk dapat mengembalikan kekuatan sesudah bermain "all-out” sehingga pemain dapat mengerahkan kekuatannya seperti biasa. Di samping istilah

"second wind” juga dikenal istilah "third wind" bahkan juga

"fourth wind".

4. "Body awareness” dengan penguasaan body awareness atlet akan lebih memahami dan menyadari keadaan tubuhnya, dapat melokalisasi ketegangan dalam tubuhnya.

5. Mengembangkan percaya diri. faktor yang sangat menentukan dalam penampilan puncak seorang atlet adalah kepercayaan pada diri sendiri. Dengan percaya diri atlet akan dapat bermain dengan baik dan mencapai hasil yang lebih baik.

6. Membuat perencanaan faktor bawah sadar: badan adalah pesuruh dari apa yang kita inginkan. Dengan menggunakan

“mental imagery" sebagai salah satu cara latihan mental, maka apa yang dipikirkan atau dibayangkan akan dapat dilakukan.

7. Restrukturisasi pemikiran apa yang dipikirkan akan berpengaruh dalam penampilan. Dengan merubah pemikiran juga akan merubah perasaan (misal perasaan pasti kalah), karena itu dengan merubah pemikiran juga dapat menghasilkan tingkah laku dan penampilan yang berbeda.

Untuk itu berpikirlah positif agar hasilnya juga positif.

Dalam membicarakan pembinaan mental, yaitu latihan- latihan untuk menyiapkan mental atlet agar siap bertanding dan memiliki kematangan mental Weinberg, Gould dan Jackson

(1980) mengemukakan strategi pembinaan mental yang meliputi lima kategori, yaitu:

1. Fokus perhatian.

2. Perasaan diri berhasil.

3. Relaksasi.

4. Imagery.

5. Persiapan "arousal.

Fokus perhatian berkaitan dengan konsentrasi atlet selama pertandingan lari. Seperti dalam tenis lapangan, atlet harus bisa fokus pada bola, pemain bola basket harus bisa fokus ke ring basket yang dibidik, dan lain sebagainya. Nideffer (1976) dalam hubungan pemusatan perhatian memberikan contoh buruknya pemusatan perhatian pada pemain bola basket, misalnya pada saat mendapat kesempatan untuk melakukan lemparan bebas atau free throw, pemusatan perhatian yang seharusnya pada ring bola basket yang harus dibidik, ternyata terpengaruh oleh teriakan penonton atau keributan yang dibuat oleh penonton yang banyak.

Dapat juga dibedakan tipe atlet yang memiliki perhatian yang terfokus dan perhatian yang tersebar. Atlet panahan harus fokus perhatian, sedangkan bek sepak bola yang harus bisa mengontrol lawan dan sekaligus memperhatikan pembagian bola harusnya bisa terpencar perhatian. Mengenai atensi terfokus, Nideffer (1976) membedakan antara atensi “narrow external focus” dan atensi “narrow internal focus”, dengan memberikan contoh bahwa pegolf membutuhkan perhatian yang terfokus ke luar, sedangkan pelempar cakram atau atlet membutuhkan perhatian, perhatian terfokus ke dalam. Menurut Nideffer, jenis perhatian yang tersebar yang seharusnya dimiliki oleh para pembela tim sepak bola disebut jenis perhatian "fokus eksternal yang luas".

Perasaan sukses diri sebagai bentuk “Self-talk”

dikemukakan oleh Weinberg (1984) sebagai strategi dalam mempersiapkan mental atlet. Jika atlet berharap untuk menang, tentu mereka akan menunjukkan performa terbaiknya. Harapan untuk menang akan sangat dipengaruhi oleh pemikiran atlet

terhadap diri sendiri dalam upaya membangun kepercayaan diri untuk menjadi sukses. Yang perlu diperhatikan oleh pelatih adalah jangan menetapkan harapan yang tidak realistis, sehingga tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh atlet harus sesuai dengan kemampuan atlet dengan menetapkan tujuan jangka pendek yang realistis agar atlet dapat mencapainya dan diharapkan dapat tercapai akan terjadi peningkatan rasa percaya diri atlet.

Relaksasi adalah strategi persiapan mental yang menarik banyak perhatian belakangan ini, karena pelatih menyadari bahwa kompetisi menciptakan stres. Jacobson sejak 1938 telah menciptakan teknik yang disebut "Relaksasi progresif" di mana individu harus dapat membedakan antara ketegangan dan relaksasi. Dengan mengajarkan teknik progresif untuk tegang dan rileks, otot-otot tubuh menjadi sensitif dan dapat lebih menyesuaikan diri dengan situasi. Teknik relaksasi lain yang baru-baru ini menjadi populer adalah “biofeedback.” Dengan teknik ini digunakan umpan balik fisiologis, misalnya berupa suhu kulit, ketegangan otot, tekanan darah, melalui tanda-tanda yang dapat dilihat atau didengar untuk menentukan ketegangan seseorang. Benson (1975) juga telah mengembangkan teknik relaksasi dengan cara efektif, yaitu dengan "transcendental meditation" Dengan latihan dua kali sehari 20 menit ternyata dapat menurunkan tekanan darah, denyut jantung, irama pernapasan, konsumsi oksigen, dan ketegangan otot. Dengan cara ini diharapkan dapat memengaruhi penampilan atlet secara positif.

“Imagery” adalah teknik dimana atlet sebelum melakukan pertandingan mencoba untuk memvisualisasikan gerakan- gerakan yang akan dilakukan sendiri. Banyak atlet merasa bahwa cara berpikir pemain juga merupakan cara yang dilakukan oleh pemain. Ada beberapa peneliti (Mahorey, 1974, Meinchenbaum, 1977) yang juga mengembangkan teknik

“citraan” dalam bidang terapi, dengan premis dasar bahwa pikiran dan citra memiliki pengaruh yang dalam terhadap perilaku. Penelitian juga menunjukkan bahwa gerakan yang

dibayangkan atau dapat menghasilkan aktivitas pada otot.

Jacobson (1930), Namun diakui masih perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh citra terhadap otot dan aktivitas individu yang bersangkutan.

Persiapan untuk "araousal" adalah strategi terakhir yang diusulkan oleh Weinberg (1984). Tugas-tugas yang membutuhkan kekuatan, kecepatan, dan daya tahan memerlukan tingkat "araousal" yang tinggi agar dapat bekerja secara optimal, sedangkan tugas-tugas yang membutuhkan gerakan otot yang halus dan terkoordinasi memerlukan tingkat

"araousal" yang rendah. Menurut Cox (1985) “arousal”

digambarkan sebagai kesiapan untuk bertindak karena adanya stimulus yang sangat kuat, misalnya seseorang yang sedang dalam keadaan tidur nyenyak kemudian mendapat stimulus yang ekstrim.

Terjadinya “araousal” akan meningkatkan aktivitas atlet tetapi jika tidak dikendalikan pada titik tertentu akan membalikkan penampilannya atau aktivitasnya akan menurun.

Jelas bahwa persiapan “gairah” merupakan salah satu strategi atau langkah utama yang menjamin tercapainya tujuan perkembangan mental atlet, sehingga siap menghadapi berbagai kemungkinan dalam pertandingan.

Beberapa ahli telah memberikan perhatian khusus mengenai faktor-faktor psikologik yang dapat memengaruhi peningkatan atau merosotnya prestasi atlet. Adapun faktor- faktor psikologik tersebut antara lain self-confidence dan lack of con-fidence, stress, pressure, frustrasi, kecemasan (anxiety), disiplin, ketakutan akan gagal (fear of failure), dan sebagainya. Landers (1988) menegaskan pula bahwa dalam membuat prediksi penampilan atlet harus digunakan pendekatan multidisipliner.

Cukup banyak atlet yang secara fisik "fit" tetapi prestasinya rendah karena faktor-faktor hambatan yang datang dari lingkungan (faktor psikologik). Cakrawala baru dalam perkembangan psikologi olahraga menekankan arti pentingnya

"psychological training" untuk dapat meningkatkan dan

mempertahankan prestasi dalam situasi pertandingan yang penuh ketegangan.

Dalam dokumen PSIKOLOGI OLAHRAGA (Halaman 96-102)