• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengenalan tentang Ekonomi Syariah

N/A
N/A
Setiadi Ahmad P

Academic year: 2024

Membagikan " Pengenalan tentang Ekonomi Syariah"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH USHUL FIQIH

Disusun Oleh :

Nasywa Mocherine Salsabila ( 0202221019 ) Gilang Ramadhan ( 0202221022 ) Setiadi Ahmad Pribadi ( 02022210 )

Eka Siti Safaat ( 02022210 ) Syarifa Nurhaliza ( 02022210 )

Egas ... ( 02022210 )

Dosen pengampu

Ekonomi Syariah

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA CIREBON TAHUN AJARAN 2023

(2)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi , penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ilmiah Statistik . Adapun makalah ilmiah Statistik ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.

Untuk itu penulis tidak lupa menyampaikan bayak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan makalah ini. Namun tidak lepas dari semua itu, penulis menyadar sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya.

Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka penulis membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada penulis sehingga penulis dapat memperbaiki makalah ilmiah biologi ini. Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah statistik tentang Statistik pendidikan dan pemanfaatannya ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.

Subang, 09 Juli 2023

Penyusun

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...ii DAFTAR ISI...i

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah...3 B. Rumusan masalah...4 C. Tujuan masalah...5 BAB II TINJAUAN TEORITIS

A.Pengertian statistika...6 B.Pengertian Pendidikan...7

(4)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Islam yang dibawa oleh Nabi Saw. adalah sebagai agama yang lurus, diturunkan langsung dari Sang Pencipta alam semesta ini termasuk menciptakan manusia. Dialah yang memerintahkan manusia agar menyembbah beribadah semata kepada-Nya, berhukum dengan hukum-hukum-Nya dan mengembalikan segala urusan kepada Allah dan Rasul-Nya.

(5)

Dengan demikian sebagai sebuah keniscayaan bagi orang-orang yang beriman melaksanakan dan mengembalikan segala urusannya kepada al-Quran dan as-Sunah dalam seluruh aspek kehidupan yaitu baik aspek ekonomi, sosial, pollitik, budaya dan lain sebagainya. Sebagai agama yang sempurna yang dibawa oleh nabi terakhir, setelah nabi tutup usia, Islam kelanjutannya diemban oleh para sahabat dan generasi setelahnya. Maka setiap persoalan yang datang mereka berhukum pada al-Quran dan Hadis Nabi juga melalui ijma shahabat begitu juga melalui ijtihad sahabat karena hal ini seiring dengan perjalanan waktu dan kemajuan teknologi maka muncul pula permasalahan-permasalah baru di tengah-tengah masyarakat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan qiyas?

2. Bagaimana qiyas dijadikan sebagai sumber hukum Islam?.

3. Bagaimana qiyas sebagai metodologi hukum Islam?

C. Tujuan Masalah

Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk memperdalam mengenai tentang Qilyas Sebagai Dalil Hukum dalam Mata Kuliah Ushul Fiqih di Universitas Nahdlatul ulama Cirebon.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Qilyas

Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra‟yu untuk menggali hukum syara‟ dalam hal-hal yang nash al-Qur‟an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas.

Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra‟yu, yaitu penggunaan ra‟yu yang masih merujuk kepada nash dan penggunaan ra‟yu secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash. Bentuk pertama secara sederhana disebut qiyas, meskipun qiyas tidak menggunakan nash secara langsung, tetapi karena merujuk kepada nash, maka dapat dikatakan bahwa qiyas juga menggunakan nash walaupun tidak secara langsung.

(6)

Sedang mengenai definisinya menurut ulama ushul fiqh, qiyas berarti menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya (Abdul Wahab Khallaf, 2002: 74). Para ulama Hanabilah berpendapat bahwa illat merupakan suatu sifat yang berfungsi sebagai pengenal suatu hukum. Sifat pengenal dalam rumusan definisi tersebut menurut mereka sebagai suatu tanda atau indikasi keberadaan suatu hukum.

Untuk dapat mengerti maksud definisi diatas maka dibawah ini penulis paparkan beberapa contoh qiyas sebagai berikut:

Jual beli diwaktu adzan haram hukumnya berdasar firman Allah:

ْمُتْنُك ْنِا ْمُكّل ٌرْي َخ ْمُكِل ٰذ َۗعْيَبْلا اوُرَذَو ِ ٰاا ِرْكِذ ىٰلِا ا ْوَعْساَف ِةَعُمُجْلا ِمْوّي ْنِم ِةوٰلّصلِل َيِدْوُن اَذِا آْوُنَمٰا َنْيِذّلا اَهّيَآٰي ٩

َن ْوُمَلْعَت

Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Jumu‟ah: 9)

Dilarang berjual beli pada waktu itu karena mengganggu sholat, maka sebab yang seperti itu termasuk pada semua macam perjanjian atau kegiatan lain yang

mengganggu sholat karena disamakan dengan jual beli.

Haram meminum tuak yang dibuat dari lahang kurma, dasarnya adalah firman Allah berikut:

َن ْوُحِلْفُت ْمُكّلَعَل ُه ْوُبِنَت ْجاَف ِنٰطْيّشلا ِلَمَع ْنِم ٌس ْجِر ُم َلْزَ ْلاَو ُباَصْنَ ْلاَو ُرِسْيَمْلاَو ُرْمَخْلا اَمّنِا ا ْٓوُنَمٰا َنْيِذّلا اَُهّيَآٰي ٩٠ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk

perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah: 90).

Ayat diatas memberi penegasan bahwa haram juga meminum tuak/khamer yang dibuat dari bahan lainnya yang diqiyaskan dengan tuak kurma karena bahan lain

(7)

tersebut juga dapat memabukkan. 13 Hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi penyebab di haramkannya khamr. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah 5: 90 – 91. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah

menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamr, karena illat keduanya adalah sama. Kesamaan illat antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan hukum.

1. Rukun dan Syarat Qiyas

Rukun atau unsur yang harus ada dalam qiyas ada empat, yaitu :

Ashal

Ashal (asal) yaitu sesuatu yang di-nash-kan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/meng-qiyas-kan di dalam istilah ushul disebut ashal (لاصلا) atau maqis ‘alaih (هيلع سيقملا) atau

musyabbah bih (هب هبشملا) Ashal sebagai rukun qiyas menurut sebagian ahli ushul adalah nash-nash baik dari Al-Quran maupun al-sunnah bahkan al-ijma’ karena berbicara qiyas adalah berbicara tentang sumber pokok. Maka syarat ashal dalam qiyas adalah harus berasal dari nash al- Qur’an, al-Sunnah dan al-Ijma’.

Far’u

 Far’ (cabang) yaitu sesuatu yang tidak di-nash-kan hukumnya yang diserupakan atau di-qiyas-kan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’ ( عرفلا) atau al-maqis (سيقملا) atau al-musyabbah (هبشملا).

Di dalam far’un (cabang) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Cabang tidak mempunyai hukum yang tersendiri.

‘Illat yang ada pada cabang harus sama dengan ‘illat yang ada pada Ashal.

Cabang tidak lebih dahulu ada daripada ashal.

Hukum cabang harus sama dengan hukum ashal.

Hukum Ashal (لاصلا مكح)

Hukum ashal yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pula bagi cabang. Syarat dari hukum ashal adalah sebagai berikut:

1) Hukum ashal harus merupakan hukum syara’ yang amaliyah 2) Hukum ashal harus ma’qul al-ma’na dalam arti pensyariatannya

rasional.

(8)

3) Hukum ashal bukan hukum yang khusus, sesuatu hukum ashal bisa merupakan hukum khusus dalam dua keadaan.

Pertama: Bila ‘illat hukum tidak terdapat/tergambarkan selain pada ashal seperti ma shul huffain/mengusap sepatu dibolehkannya adalah ma’qul al-ma’na, karena untuk menghilangkan kesempitan (raf’ul haraj) tetapi ‘illatnya memakai sepatu tidak dapat terbayang selain dengan cara memakai sepatu tadi.

Kedua: Ada dalil khusus yang menentukan hukum tersebut, seperti ketidak bolehan nikah dengan bekas isteri-isteri Nabi.

Hukum ashal harus tetap ada (tidak Mansukh), Kalau Ashal sudah di- mansukh misalnya, maka tidak mungkin melakukan qiyas dengan hukum ashal yang sudah dimansukin.

‘Illat (ةلعلا)

‘Illat adalah sesuatu/sifat yang ada pada ashal yang menjadi

landasan/sebab adanya hukum pada cabang-cabang, atau dengan kata lain ‘illat adalah sesuatu sifat yang nyata dan tertentu yang bertalian (munasabah) dengan ada atau tidak ada hukum”, maka syarat ‘illat adalah sebagai berikut:

Harus merupakan sesuatu yang nyata dalam arti dapat diamati; tanpa diketahui adanya ‘illat kita tidak bisa meng-qiyas-kan. Misalnya memabukkan yang dapat diketahui dengan panca indera pada khamar dapat diketahui pula dengan panca indera pada barang lain yang memabukkan.

Harus merupakan sifat yang tegas dan tertentu, dalam arti tidak berbeda karena perbedaan orang di dalam keadaan lingkungannya, seperti pembunuhan sengaja yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya mengakibatkan terhapusnya hak waris.

B. Kategorisasi Qiyas

Pembagian qiyas dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’ yang dibandingkan pada ‘illat yang terdapat pada ashal, menjadi tiga bagian:

1. Qiyas awlawi (ىولوا سايق ) yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kakuatan

‘illat pada furu’.

(9)

Contoh: mengqiyas-kan keharaman memukul orang tua kepada ucapan

“ufa’’ (berkata kasar) terhadap orang tua dengan ‘illat “menyakiti”. Hal itu ditegaskan Allah Swt dalam surat al-Isra (17) : 23

ْلُقَو اَمُهْرَُهْنَت َلَو ٍفُأ اَمُُهَل ْلُقَت َلَف اَمُه َلِك ْوَأ اَمُهُدَحَأ َرَبِكْلا َكَدْنِع ّنَغُلْبَي اّمِإ ۚ اًناَسْحِإ ِنْيَدِلاَوْلاِبَو ُهاّيِإ ّلِإ اوُدُبْعَت ّلَأ َّكّبَر ٰىَضَقَو اًميِرَك ًلْوَق اَمُُهَل Artinya:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali

janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia” (QS 17:23)

Mengucapkan kata “Ah” kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu. Keharaman memukul kepada orang tua lebih kuat dari keharaman mengucapkan “uf” karena sifat menyakiti pada memukul lebih kuat dari pada yang terdapat pada ucapan “uf”

2. Qiyas Musawi (ىواسم سايق) yaitu qiyas yang kekuatan hukum pada furu’

sama dengan kekuatan hukum pada ashal dikarenakan kekuatan ‘illat-nya sama.

Contoh

ࣖ اًرْيِعَس َن ْوَل ْصَيَسَو ۗ اًراَن ْمُِهِنْوُطُب ْيِف َن ْوُلُكْأَي اَمّنِا اًمْلُظ ى ٰمٰتَيْلا َلاَوْمَا َنْوُلُكْأَي َنْيِذّلا ّنِا Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).x

Meng-qiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya dengan tidak sepatutnya dalam hal sama-sama keharamannya. QS an-Nisa (4): 10 1. Pembagian qiyas dari segi kejelasan ‘illat-nya.

Qiyas dari segi kejelasan illatnya terbagi kedalam dua macam:

(10)

1) Qiyas jali (يلج سايق); yaitu qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal; atau tidak ditetapkan ‘illat itu dalam nash namun titik perbedaan antara ashal dengan furu’ dipastikan tidak ada pengaruhnya. Misalnya meng-qiyas-kan perempuan kepada laki-laki dalam kebolehan meng-qashar shalat di perjalanan, meskipun terdapat perbedaan jenis kelamin tetapi perbedaan tersebut dapat dikesampingkan.

2) Qiyas khafi (يفخ سايق); yaitu qiyas yang ‘illat-nya tidak

disebutkan dalam nash, maksudnya adalah dengan di-istinbath- kan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan ‘illat-nya bersifat zhanni. Misalnya meng-qiyas-kan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda atau senjata tajam dalam penetapan hukum qishash dengan ‘illat pembunuhan disengaja dalam bentuk permusuhan. Kedudukan ‘illat ini dalam ashal lebih jelas dibandingkan dengan kedudukannya dalam furu’.

2. Pembagian qiyas dari segi keserasian ‘illatnya dengan hukum;

Berdasarkan keserasian ‘illat-nya dengan hukum qiyas terbagi kedalam dua bagian:

1) Qiyas muatstsir (رثؤم سايق); yaitu qiyas yang ‘illat penghubung antara ashal dan furu’ ditetapkan dengan nash yang sharih atau ijma’, atau qiyas yang ain sifat (sifat itu sendiri) yang

menghubungkan ashal dengan furu’ berpengaruh terhadap ain hukum. Misalnya meng-qiyas-kan kewalian nikah anak di bawah umur kepada kewalian atas hartanya dengan ‘illat belum dewasa,

‘illat ini ditetapkan berdasarkan ijma’. Atau meng-qiyas-kan minuman keras yang dibuat selain dari anggur kepada khamar dengan ‘illat memabukkan, hal ini termasuk pada ‘illat yang hubungannya dengan hukum haram adalah berbentuk qiyas muatstsir.

2) Qiyas mulaim (مائلم سايق); yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim. Seperti qiyas pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan senjata tajam yang ‘illat-nya pada

(11)

ashal dalam hubungannya dengan hukum pada ashal adalah dalam bentuk munasib mulaim.

3. Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu, terbagi tiga:

1) Qiyas ma’na (ىنعم سايق) atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun ‘illat-nya tidak dijelaskan dalam qiyas, namun antara ashal dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’

tersebut seolah-olah ashal itu sendiri. Umpamanya membakar harta anak yatim di-qiyas-kan dengan memakannya dengan tidak patut dengan ‘illat merusak harta anak yatim itu, dengan adanya kesamaan itu furu’ seolah-olah ashal itu sendiri.

2) Qiyas ‘illat (ةلع سايق), yaitu qiyas yang ‘illat-nya dijelaskan dan

‘illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal. Seperti meng-qiyas-kan nabiz kepada khamar dengan ‘illat rangsangan yang kuat yang jelas terdapat dalam ashal dan furu’.

3) Qiyas dilalah (ةللدلا سايق), adalah qiyas yang ‘illat-nya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan bagi ‘illat yang memberi petunjuk akan adanya ‘illat. Misalkan meng-qiyas-kan nabiz kepada khamar dengan menggunakan alasan bau yang menyengat, yang merupakan akibat yang lazim dari rangsangan kuat dalam sifat memabukkan.

4. Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan furu’, hal ini terbagi kepada 4 macam, yaitu:

1) Qiyas ikhalah (ةلاخلا سايق) yaitu qiyas yang ‘illat hukumnya ditetapkan melalui metode munasabah dan ikhalah.

2) Qiyas syabah (هبشلا سايق) yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal-nya ditetapkan melalui metode syabah.

3) Qiyas sabru (ربسلا سايق) yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal-nya ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.

4) Qiyas thard (درطلا سايق) yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal-nya ditetapkan melalui metode thard.

C. Kedudukan Qiyas

Berdasarkan pada beberapa pengertian tentang qiyas dalam pembahasan sebelumnya dapat diambil benang merahnya bahwa pada dasarnya qiyas adalah penarikan

kesimpulan atau inferensi dari suatu masalah hukum yang telah di tentukan hukumnya oleh nash (al-Quran dan atau al-Sunnah) untuk suatu masalah hukum yang belum ditentukan hukumnya oleh nash karena di antara dua masalah hukum tersebut terdapat makna homonim yang disebut ‘illat [7]

(12)

Menurut Abu al-Husayn al-Bashriy, penerapan hukum yang terdapat dalam ashal kepada far’ (cabang), yang belum terdapat di dalamnya hukum, dapat dilaksanakan apabila di dalam ashal dan far’ itu terdapat kesamaan ‘illat hukum bagi seorang mujtahid,[8] yang akan men-istinbath hukum.

Qiyas dalam pengertian di atas merupakan salah satu metode hukum islam.

Kesimpulan hukum yang diperoleh dengan metode qiyas menjadi sumber hukum dan ajaran islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian ulama

menjadikan qiyas[9] sebagai sumber hukum ke empat setelah al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma.

1. Qiyas sebagai metode penggalian hukum (Ijtihad)

Menurut Imam Syafi’iy, qiyas sama dengan ijtihad. Qiyas dan ijtihad adalah dua lafzh yang mempunyai makna yang sama.[10] Berdasarkan pandangan seperti inilah kiranya al-Syafi’i membentuk istihsan, al maslahah al mursalah dan lain sebagainya.

Dalam hal yang berkaitan dengan masalah syari’ah, yang tidak dapat diketahui akal, seperti bagaimana mengetahui analogi dari rincian cara berterima kasih kepada Tuhan, ijtihad diperlukan dalam rangka mencari hal-hal yang mengandung kemaslahatan (al-shalah) bagi manusia, atas dasar dugaan yang kuat (ghalib al-zhann) dari pemahaman seorang mujtahid atas dalil al-sam’i. Yang dimaksud dengan kemaslahatan di sini adalah semua hal yang akan membawa manusia kepada ketaatan dan yang akan menjauhkan manusia dari maksiat.

Berdasarkan hal tersebut, ijtihad dalam pandangan Abd al-Jabbar merupakan kelanjutan dari pemikiran analogi (al-qiyas) yang tidak mungkin ditutup atau dihentikan karena masyarakat selalu berkembang dan berubah.

Ijtihad dengan metode al-qiyas dapat menghasilkan berbagai perintah atau taklif baru, baik itu perintah untuk melakukan ataupun perintah untuk

(13)

meninggalkan sesuatu, yang sama hukumnya seperti terkandung dalam al- Quran atau al-Sunnah[11].

D. Kualifikasi Qiyas

Qiyas adalah salah satu metode penalaran yang digunakan dalam hukum Islam untuk menentukan hukum syariat terhadap suatu masalah yang belum secara langsung diatur dalam sumber-sumber hukum Islam primer seperti Al-Quran dan Hadis. Qiyas secara harfiah berarti "analogi" atau "perbandingan".

Kualifikasi Qiyas sebagai dalil hukum Islam melibatkan beberapa prinsip dan syarat yang harus dipenuhi. Berikut adalah beberapa kualifikasi tersebut:

1. Kesamaan ('Illah): Qiyas harus didasarkan pada kesamaan atau persamaan 'illah, yaitu esensi hukum yang ada dalam kasus yang sudah diatur (asnaf al-ma'lum) dan kasus yang belum diatur (asnaf al-ma'lum). 'Illah adalah prinsip umum yang menjadi dasar untuk membuat perbandingan antara kasus yang sudah ada hukumnya dengan kasus yang belum ada hukumnya.

2. Dalil Al-Quran dan Hadis: Qiyas tidak dapat digunakan sebagai dalil hukum secara mandiri. Qiyas harus selalu didukung oleh dalil-dalil yang ada dalam Al-Quran dan Hadis. Oleh karena itu, sebelum menggunakan Qiyas, perlu diperiksa apakah ada dalil langsung yang dapat diterapkan pada kasus yang belum diatur.

3. Konsistensi dengan Prinsip-prinsip Islam: Qiyas harus konsisten dengan prinsip-prinsip Islam secara umum. Metode ini tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak boleh menyebabkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariat yang sudah mapan.

4. Kompetensi Ahli Fiqih: Penggunaan Qiyas harus dilakukan oleh ahli fiqih yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang sumber-sumber hukum Islam. Ahli fiqih memiliki wewenang untuk menggunakan Qiyas dalam menentukan hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat.

Penggunaan Qiyas sebagai dalil hukum Islam tidaklah mutlak, dan dalam beberapa konteks, metode lain seperti Istihsan (preferensi) dan Maslahah Mursalah

(kemaslahatan umum) juga dapat digunakan. Kualifikasi yang disebutkan di atas

(14)

penting untuk memastikan bahwa penggunaan Qiyas tidak melanggar prinsip-prinsip Islam dan sesuai dengan maksud hukum syariat.

Untuk mengetahui pembagian qiyas dalam hubungannya dengan keberadaan ‘illat, dapat dilihat dari dua aspek, pertama aspek kekuatan ‘illat pada ashal dan far’ dan kedua aspek jelas dan tidaknnya ‘illat, yaitu 1). Dari aaspek kekuatan ‘illat pada ashal dan far’ , terbagi menjadi tiga bagian yaitu :

A. Qiyas Al-Aulawiy yaitu qiyas dimana ‘illat pada far’ lebih kuat dari ‘illat pada hukum ashal.

Contoh : 1. Surat al-zulzilah 6-7 Surat Az-Zalzalah Ayat 6

ْمُُهَل َٰمْعَأ ۟اْوَرُيِل اًتاَتْشَأ ُساّنلٱ ُرُد ْصَي ٍذِئَم ْوَي

Arab-Latin: Yauma`iżiy yaṣdurun-nāsu asytātal liyurau a’mālahum

Artinya: Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam- macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka,

Surat Az-Zalzalah Ayat 7 ۥُهَرَي اًرْيَخ ٍةّرَذ َلاَقْثِم ْلَمْعَي نَمَف

Arab-Latin: Fa may ya’mal miṡqāla żarratin khairay yarah

Artinya: Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)-Nya.

Dalam ayat tersebut ditemukan adanya hukum pujaan dan celaan bagi orang yang berbuat baik dan jelek sebesar dzarrah saja, yaitu pada :

- Asal, pada asal , ditemukan ada ‘illat pada hukum pujaan dan celaan bagi orang yang beramal baik dan buruk sebesar dzzarrah

(15)

- Far’. Pada far’, ditemukan ada ‘illat pada hukum bramal baik yang lebih besar dan beramal jelek yang lebih berat dari sebesar dzzarh yang ada pada asal.

- ‘illatnya adalah pujaan dan celaan

- Logisnya adalah amal baik yang lebih dari sebesar dzzarah itu berstatus lebih terpuja dan amla jelek yang lebih dari sebesar dzzarah berstatus lebih celaka.

Dengan demikian pijian dan celaan pada far’ itu lebih kuat (awla) dari pada asal.

Melihat keadaan far’ lebih kuat ditinjau dari ‘illat hukum pujian dan celaan itu , maka halini dikenal dengan sebutan qiyas awlawiy

Hadits riwayat Imam Muslim, tentang :

“larangan menumpahkan darah mukmin dan mengambil hartanya dan perintah berbaik sangka “.

Jika berprasangka buruk terhadapnya dengan tetap menunjukkan sikap-sikap permusuhan maka. Hukumnya tentu lebih kuat

- Asal. Pada asal, ditemukan adanya ketentuan hukum haram dalam bentuk larangan berburuk sangka, tetapi tidak ada sikap permusuhan.

- Far’. Pada far’, ditemukan hukum haram dalam bentuk berburuk sangka, tapi disertai dengan sikap-sikap permusuhan.

- ‘illat. ‘illatnya adalah keimanan, sedang fungsi keimanannya sebagai pelindung dari tindakan berburuk sangka orang lain, sekalipun tidak diseratisikap permusuhan.

‘illat disinikualitasya lebih lemah sebab terbatas hanya pada sikap berburuk sangka saja.

- Logisnya adalah hukum larangan atau keharaman yang ada pada far’ dalam berburuk sangka yang diikuti sikap permusuhan itu, lebih kuat dan lebih besar dari asal .

Dengan demikian larangan atau hukum keharaman pada far’ itu lebih kuat dan lebih besar dari larangan atau keharaman pada asal. Lantaran keadaan far’ lebih kuat dari asal dilihat dari ‘illat hukum larangan , maka qiyas ini disebut dengan qiyas aulawiy.

B. Qiyas Al Musawwiy , yaitu qiyas dimana ‘illat pada hukumfar’ sama dengan ‘illat pada hukum asal.

Contoh :

1. Pada surat An-Nisa’ 25

ْمُكُناَمْيَا ْتَكَلَم اّم ْنِمَف ِتٰنِم ْؤُمْلا ِتٰنَص ْحُمْلا َحِكْنّي ْنَا ًل ْوَط ْمُكْنِم ْعِطَتْسَي ْمّل ْنَمَو ِنْذِاِب ّنُهْوُحِكْناَف ٍۚضْعَب ْۢنِم ْمُكُضْعَب ۗ ْمُكِناَمْيِاِب ُمَلْعَا ُ ٰااَو ِۗتٰنِمْؤُمْلا ُمُكِتٰيَتَف ْنِم

(16)

ٍناَد ْخَا ِت ٰذِخّتُم َلّو ٍت ٰحِف ٰسُم َرْيَغ ٍتٰنَص ْحُم ِف ْوُرْعَمْلاِب ّنُهَر ْوُجُا ّنُه ْوُتٰاَو ّنُِهِلْهَا ِۗباَذَعْلا َنِم ِتٰنَص ْحُمْلا ىَلَع اَم ُفْصِن ّنُِهْيَلَعَف ٍةَشِحاَفِب َنْيَتَا ْنِاَف ّنِصْحُا آَذِاَف ۚ

ࣖ ٌمْيِحّر ٌرْوُفَغ ُ ٰااَو ۗ ْمُكّل ٌرْيَخ ا ْوُرِبْصَت ْنَاَو ۗ ْمُكْنِم َتَنَعْلا َيِشَخ ْنَمِل َّكِل ٰذ 25. Dan barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang lain (sama-sama keturunan Adam-Hawa), karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan- perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak bersuami).

(Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Disebutkan pezina wanita yang berstatus budak , yang hukumannya setengah dari hukuman pezina wanita yang merdeka. Jika terjadi kasus pezina laki-laki yang berstatus budak, maka kasus ini dapat diqiyaskan pada kasus pezina wanita yang berstatus budak, sebab ber ‘illat sama , yaitu : - Asal : ‘illatnya adalah status budak pada pezina wanita

- Far’ : ‘illatnya adalah status budak pada laki-laki - Logisnya adalah lantaran keduanya sama sama menjadi pelaku perzinaan dan berstatus budak, maka

(17)

hukum keduanya sama, yaitu seperdua dari hukuman pezina yaang berstatus merdeka.

Melihat illat keduanya sama, maka qiyas ini dikenal dengan sebutan qiyas al-musawiy.

c. Qiyas al-Adna, yaitu qiyas dimana illat pada hukum far’ kurang jelas dari illat pada hukum asal.

Contoh :

Perasan buah-buahan diqiyaskan dengan khamr, illatnya adalah :

- Asal : kuatnya illat memabukkan pada khamr - Far’ : lemahnya memabukkan pada perasan buah-buahan lainnya .

- Logisnya : kuatnya illat memabukkan pada perasan buah-buahan lain itu lebih ringan dari pada illat

memabukkan pada khamr, maka pengqiyasan ini dikenal dengan sebutan qiyas al-adna.

2). Dari aspek jelas dan tidaknya illat, terbagi menjadi 2 bagian yaitu :

a. Qiyas al-ma’na atau qiyas fi ma’nal aslhiy, yaitu qiyas dimana asalnya satu nas, karena far’nya semakna dengan asalnya, sebagaimana penjelasan diatas.

Dengan demikian, jika dilihat dari segi kekuatan (mudah sulitnya diketahui) illatnya, maka qiyas ini menurut presepsi Imam Hanafi disebut dengan qiyas al-jalli, sebagai kebalikan dari qiyas khafiy. Dari presepsi inilah beliau berpandangan bahwa qiyas jalli itu mencakup qiyas awlaly dan qiyas al-musawiy sedangkan qiyas khafy mencakup qiyas adna dan istihsan. Oleh sebab itu, qiyas khafy dalam presepsi Imam Syafi’i mencakup qiyas adna dan Imam Hanafi mencakup istihsan atau sebaliknya qiyas adna merupakan salah satu bagian dari qiyas khafi.

b. Qias al-Syabah, yaitu qiyas yang hukum far’nya dapat diketahui dengan cara mengqiyaskan pada salah satu

(18)

dari beberapa asal dalam beberapa nas yang keadaannya lebih mirip dengan far’.

Dalam menanggapi masalah qiyas, Imam Hanafi berpendapat bahwa qiyas Syabah itu pada hakikatnya dalah istihsan, sekalipun bisa dikatakan pula dengan qiyas khafi, pengertiannya tetap saja tidak sama dengan

pengertian qiyas khafi dalam pandangan Hanafi.

Contoh :

Kasus jual beli budak muda beliau yang cacat.

Dalam kasus ini, pembeli memiliki hak untuk mengembalikan kepada penjual, tetapi yang menjadi persoalan adalah :

- Apakah penghasilan dari pekerjaan budak selama ditangan pembeli menjadi miliknya dan tidak ikut dikembalikan keoada penjual bersamaan dengan kembalikannya Budak, padahal pembeli sudah menanggung semua biaya pemeliharaan dan biaya hidup selama berada ditangannya.... ? Dalam menanggapi kasus tersebut, para ahli berbeda pandangan sesuai dengan latar belakang pemikiran mereka dalam melihat illat yang ada di dalamnya, yaitu :

a) –Imam Syafi’i berpendapat bahwa illat dalam kasus tersebut yang paling mirip adalah “keuntungan yang telah dipreroleh karena pembiyakan” yang dalam hadis menjadi milik penanggung biaya, dengan alasan sekiranya hasil produksi dihubungkan dengan yang menghasilkannya, maka konsekuensinya semua barang yang dibutuhkan untuk budak (yang dijual) adalah menjadi pemilik penjual.

b) –Ulama lain selain Imam Syafi’i berpendapat bahwa illat pada kasus tersebut yang paling mirip adalah “barang yang dijual”, sehingga hasil pembiakan atau produksi

(19)

barang yang dijual yang menjadi ikut dikembalikan kepada penjual, sebab ia lahir dari barang yang dijual.

Qiyas sebagai Sumber hukum Islam

Qiyas dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam melalui langkah- langkah berikut:

2. Analisis Situasi Baru:

Ketika muncul situasi baru yang tidak diatur secara spesifik oleh nash (teks hukum), langkah pertama dalam menggunakan qiyas sebagai sumber hukum adalah menganalisis situasi tersebut dengan cermat. Perlu dipahami dengan baik konteks dan karakteristik situasi baru tersebut.

3. Mengidentifikasi Asal: Langkah berikutnya adalah

mengidentifikasi situasi yang sudah diatur oleh nash (teks hukum) yang memiliki kesamaan esensial dengan situasi baru. Situasi ini disebut sebagai “asal” dalam qiyas. Asal tersebut harus memiliki hukum yang jelas dan spesifik.

4. Menentukan Far’i: Setelah mengidentifikasi asal, langkah selanjutnya adalah menentukan karakteristik khusus (far’i) dari asal tersebut yang relevan dengan situasi baru. Far’i ini menjadi landasan untuk membangun analogi antara asal dan situasi baru.

5. Perbandingan dan Kesamaan: Selanjutnya, dilakukan perbandingan antara far’i dari asal dengan situasi baru.

Jika terdapat kesamaan esensial antara far’i dari asal dan situasi baru, qiyas dapat diterapkan.

6. Penerapan Hukum: Setelah terbentuk kesamaan esensial antara far’i dari asal dan situasi baru, hukum yang berlaku untuk asal dapat diterapkan pada situasi baru. Dengan demikian, qiyas menjadi sumber hukum yang memberikan hukum yang relevan untuk situasi baru.

7. Kepastian dan Keberlakuan: Dalam menggunakan qiyas sebagai sumber hukum, penting untuk memastikan bahwa

(20)

kesimpulan qiyas tersebut tidak bertentangan dengan nash yang jelas. Jika terdapat nash yang langsung berlaku untuk situasi baru, qiyas tidak diperlukan.

8. Validasi oleh Ahli Hukum: Penggunaan qiyas sebagai sumber hukum Islam sebaiknya dilakukan oleh para ulama yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam hukum Islam. Para ahli hukum akan memastikan bahwa langkah- langkah qiyas telah diikuti dengan benar dan hukum yang dihasilkan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Dengan mengikuti langkah-langkah tersebut, qiyas dapat digunakan sebagai sumber hukum Islam untuk mengatasi situasi baru yang tidak tercakup secara spesifik oleh nash, dengan memastikan bahwa hukum yang dihasilkan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam secara

keseluruhan.

Qiyas sebagai Metodologi Hukum Islam

Qiyas sebagai metodologi hukum Islam melibatkan langkah-langkah dan prinsip-prinsip tertentu yang digunakan dalam menerapkan metode penalaran analogi. Berikut adalah gambaran umum tentang bagaimana qiyas berfungsi sebagai metodologi hukum Islam:

2. Identifikasi Situasi Baru: Metodologi qiyas dimulai dengan mengidentifikasi situasi baru yang tidak tercakup secara spesifik oleh nash (teks hukum). Situasi ini

mungkin merupakan perkembangan baru dalam masyarakat atau perubahan dalam konteks sosial, teknologi, atau lingkungan.

3. Pemahaman Prinsip-prinsip Hukum Islam: Penting untuk memahami prinsip-prinsip hukum Islam yang menjadi dasar hukum. Ini melibatkan pemahaman tentang Al- Quran, Sunnah (tradisi Nabi Muhammad SAW), ijma’

(21)

(konsensus ulama), dan qiyas itu sendiri sebagai salah satu metode ijtihad.

4. Identifikasi Asal: Langkah selanjutnya adalah

mengidentifikasi situasi yang sudah diatur oleh nash (teks hukum) yang memiliki kesamaan esensial dengan situasi baru. Situasi ini menjadi “asal” dalam qiyas dan berfungsi sebagai landasan hukum yang relevan.

5. Menentukan Far’i: Setelah mengidentifikasi asal, langkah berikutnya adalah menentukan karakteristik khusus (far’i) dari asal yang relevan dengan situasi baru. Far’i ini harus memiliki relevansi dan keterkaitan yang kuat dengan situasi baru yang sedang dianalisis.

6. Analisis Kesamaan Esensial: Tahap ini melibatkan analisis perbandingan antara far’i dari asal dan situasi baru untuk menentukan apakah terdapat kesamaan esensial.

Kesamaan esensial ditemukan jika far’i dari asal dan situasi baru memiliki kualitas dan karakteristik yang sama yang memungkinkan penerapan hukum yang sama.

7. Penerapan Hukum: Jika terdapat kesamaan esensial antara far’i dari asal dan situasi baru, hukum yang berlaku untuk asal dapat diterapkan pada situasi baru. Ini berarti bahwa hukum yang sudah ada dapat diterapkan secara analogi untuk menentukan hukum baru untuk situasi baru.

8. Validasi dan Evaluasi: Keputusan yang dihasilkan melalui qiyas harus divalidasi dan dievaluasi oleh para ulama dan ahli hukum Islam yang terkualifikasi. Mereka akan

(22)

memastikan bahwa langkah-langkah qiyas telah diikuti dengan benar dan kesimpulan yang dihasilkan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam secara keseluruhan.

Metodologi qiyas dalam hukum Islam memastikan bahwa hukum yang dihasilkan melalui penalaran analogi didasarkan pada prinsip-prinsip Islam dan relevan dengan konteks dan kebutuhan masyarakat saat ini. Ini

memungkinkan pengembangan hukum Islam yang fleksibel dan responsif terhadap perubahan dan situasi baru yang muncul seiring waktu.

Kesimpulan

Kesimpulan mengenai Qiyas sebagai dalil hukum adalah sebagai berikut:

9. Qiyas adalah salah satu metode ijtihad (usaha pemikiran) yang digunakan dalam hukum Islam untuk mencari hukum baru berdasarkan analogi dengan hukum yang sudah ada.

10. Qiyas dianggap sebagai dalil hukum yang sah dalam hukum Islam, karena ia memungkinkan untuk mengatasi situasi baru yang tidak secara langsung diatur oleh nash (teks hukum).

11. Penggunaan Qiyas sebagai dalil hukum didasarkan pada keyakinan bahwa Allah SWT memberikan prinsip-prinsip umum dalam Al-Quran dan Sunnah untuk memandu manusia dalam menghadapi berbagai situasi.

12. Qiyas dilakukan dengan cara membandingkan situasi yang baru dengan situasi yang sudah diatur dalam hukum Islam.

Jika terdapat kesamaan esensial antara keduanya, maka hukum yang berlaku untuk situasi yang sudah ada dapat diterapkan pada situasi baru.

13. Penerapan Qiyas sebagai dalil hukum membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip hukum Islam, serta kemampuan untuk menemukan kesamaan esensial antara dua situasi yang dibandingkan.

(23)

14. Qiyas sebagai dalil hukum juga memiliki batasan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar dapat diterapkan dengan benar. Syarat-syarat tersebut meliputi kesamaan esensial, ketepatan dalam menentukan far’i (karakteristik khusus), dan ketiadaan nash yang jelas untuk situasi baru.

15. Qiyas sebagai dalil hukum memiliki peran penting dalam mengembangkan hukum Islam sesuai dengan perkembangan zaman dan situasi baru yang muncul. Hal ini memungkinkan untuk mengatasi kebutuhan hukum yang tidak tercakup secara langsung oleh nash.

Dalam kesimpulannya, Qiyas dapat dianggap sebagai dalil hukum yang sah dalam hukum Islam. Namun, penerapannya harus memenuhi syarat- syarat dan batasan yang telah ditetapkan serta didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip hukum Islam. Dengan

menggunakan Qiyas, dapat ditemukan solusi hukum yang relevan dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dalam menghadapi situasi baru yang kompleks.

Daftar pustaka

https://jurnal.kopertais5aceh.or.id/index.php/AIJKIS/article/download/110/

66#:~:text=Dalam%20hukum%20Islam%2C%20qiyas%20adalah,i

%20adalah%20penggagas%20konsep%20qiyas.

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5787900/pengertian-qiyas- sebagai-sumber-hukum-islam-yang-keempat

https://jurnal.iimsurakarta.ac.id/index.php/mu/article/download/25/25 https://deepublishstore.com/blog/materi/ijma-dan-qiyas/#:~:text=Pada

%20dasarnya%20ijma%20dan%20qiyas,Qiyas%20Dalalah%2C%20dan

%20Qiyas%20Shabah

https://staisyamsululum.ac.id/qiyas/

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5787900/pengertian-qiyas- sebagai-sumber-hukum-islam-yang-keempat

https://journal.walisongo.ac.id/index.php/ahkam/article/download/899/892 https://tafsirweb.com/12940-surat-az-zalzalah-ayat-6.html

(24)

https://tafsirweb.com/12941-surat-az-zalzalah-ayat-7.html

2. Al-Zuhayli, Wahbah. (1996). Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Dar al-Fikr al-Mu’asir.

3. Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Ahmad. (2015). I’lam al- Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. Dar al-Hadith.

4. Al-Qaradawi, Yusuf. (2010). The Lawful and the Prohibited in Islam. American Trust Publications.

5. Al-Sadr, Muhammad Baqir. (2015). Ijtihad: Its Meaning, Sources, and Methods. Islamic Seminary Inc.

6. Ibn Rushd, Abu al-Walid. (2004). Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

7. Al-Shawkani, Muhammad bin Ali. (2016). Nayl al-Awtar Sharh Muntaqa al-Akhbar. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

8. Al-Qattan, Muhammad Khalid. (2014). Al-Qiyas: Its Concept, Application, and Significance in Islamic Law.

Islamic Book Trust.

9. Al-Shirbini, Muhammad bin ‘Abd al-Rahman. (2003).

Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifat Ma’ani Alfaz al-Minhaj.

Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

10. Hashim Kamali, Mohammad. (2005). Principles of Islamic Jurisprudence. The Islamic Text Society.

(25)

11. Al-Marghinani, Burhan al-Din. (2006). Al-Hidayah: The Guidance. Ta-Ha Publishers Ltd.

Referensi

Dokumen terkait

Matakuliah ini membahas tentang pengertian dan ruang lingkup hukum ekonomi syariah; sejarah dan perkembangan hukum ekonomi syariah di Indonesia;

Makalah ini membahas tentang Al Hisbah sebagai institusi pengawas pasar yang ternah ada dalam sistem ekonomi

Makalah ini membahas tentang akuntansi

Makalah ini membahas tentang Undang-Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Surat Berharga Syariah, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, dan yurisprudensi

Makalah ini membahas tentang perusahaan leasing dalam perspektif Lembaga Keuangan

Makalah tentang lembaga zakat dan pengembangan ekonomi umat dalam konteks Ekonomi Syariah di Universitas Islam Negeri