• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAYA TERIMA MAKANAN PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT ISLAM SITI KHADIJAH PALEMBANG

N/A
N/A
mutiara

Academic year: 2024

Membagikan "DAYA TERIMA MAKANAN PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT ISLAM SITI KHADIJAH PALEMBANG"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

DAYA TERIMA MAKANAN PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT ISLAM SITI KHADIJAH

PALEMBANG

LAPORAN TUGAS AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Pendidikan Diploma III (tiga) Kesehatan Bidang Gizi

Oleh:

MUTIARA ATHIFAH

Nomor Induk Mahasiswa: PO.71.31.1.19.015

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG

PROGRAM STUDI D-III GIZI PALEMBANG

2022

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v ABSTRAK

PROGRAM STUDI DIPLOMA III GIZI POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG LAPORAN TUGAS AKHIR MUTIARA ATHIFAH

DAYA TERIMA MAKANAN PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT ISLAM SITI KHADIJAH PALEMBANG

(IV, 69 halaman, 14 tabel, 9 lampiran)

Berdasarkan data International Diabetes federation (IDF) tahun 2021, penderita diabetes melitus di dunia sebesar 643 juta orang dan diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 11,3% menjadi 783 juta orang di tahun 2045. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran daya terima makanan biasa dan lunak pada pasien diabetes melitus tipe II di ruang rawat inap Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan rancangan penelitian cross-sectional. Yaitu dengan variabel dependen dan variabel independen.

Sampel dalam penelitian ini berjumlah 30 orang. Sebagian besar sampel berada pada golongan umur 36 -45 tahun sebanyak 2 orang (6,7%), golongan umur 46 -55 tahun sebanyak 8 orang ( 26,7% ), golongan umur 56 -65 tahun sebanyak 12 orang ( 40%), lalu sampel ≥65 tahun sebanyak 8 orang (26,7%). Laki-laki 15 orang (50%), perempuan 15 orang (50%).

Sampel yang tidak bekerja sebanyak 6 orang (20%) ,sampel yang bekerja 6 orang (20%), sampel yang pensiun 18 orang (60%).

Daya terima makanan pasien dengan gangguan pencernaan adalah 50,6%. Daya terima makanan berdasarkan persepsi responden terhadap warna makanan yang menarik adalah sebesar 60,3%. Daya terima makanan berdasarkan persepsi responden terhadap bentuk makanan yang menarik adalah sebesar 54%. Daya terima makanan berdasarkan persepsi

(6)

vi

responden terhadap kepuasan porsi makan adalah sebesar 56,6%. Daya terima makanan berdasarkan persepsi responden terhadap aroma makanan yang menarik adalah sebesar 46,8%.

Daftar Pustaka : 32 (2005-2021)

Kata Kunci : Daya terima, Diabetes melitus, Makanan biasa dan lunak

(7)

vii ABSTRACT

NUTRITION DEPARTEMENT D-III HEALTH POLYTECHNIC OF HEALTH MINISTRY PALEMBANG FINAL PROJECT REPORT

JUNE 2022 MUTIARA ATHIFAH

FOOD ACCEPTABILITY OF DIABETES MELITUS TYPE II PATIENS AT SITI KHADIJAH PALEMBANG

(VI, 69 pages, 14 tables, 9 attachments)

Based on the data of International Diabetes federation (IDF) 2021, diabetes melitus patients has reached 643 billions of people and expected to be increased from 11,3% prevelance to 783 billions of people in 2045.

This study aims to determine the decription of diabetes melitus type II patients at Siti Khadijah Hospital Palembang. The type of research carried out is quallitive with a cross-sectional design, namely the dependent variable and independent variable.

The number of the samples in this study were 30 samples. Most of the samples are 36 -45 years old as many as 2 people (6,7%), 46-55 years old as many as 8 people ( 26,7% ), 56 -65 years old as many as 12 people ( 40%), ≥65 years old sample as many as 8 people (26,7%). Men as many as 15 people (50%), women as many as 15 people (50%). Sample who don’t do work are 6 people (20%) ,samples do work are 6 people (20%), retired samples are 18 people(60%).

Food acceptance of patients with gastrointestinal problem is 50,6 Food acceptance of patients based on patients perception of the color of the food that interisting is 60,3%, based on the cutting of the food that interesting is 54%, based on the satisfaction of the food portion is 56,6%, based on the delicious aroma of the food is 46,8%,based on the satisfaction of the food texture is 53,8%.

(8)

viii Bibliography : 32 (2005-2021)

Keywordsi : Food acceptability, Diabetes melitus, Regular and soft food.

(9)

ix

HALAMAN PERSEMBAHAN

Motto:

“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”.

(QS. Al-Insyirah:6)

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan di antar kalian dan orang-orang yang diberikan ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan

Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.”

(QS. Al-Mujadilah: 11)

1. Allah SWT yang selalu memberikan karunia serta kasih sayang-Nya sehingga saya bisa menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini.

2. Kedua orang tua saya yang selalu memberikan motivasi, doá, dan kasih sayang dalam setiap langkah dan pilihan yang saya ambil.

3. Pembimbing utama Ibu Susyani, S.Si.T, M.Kes dan pembimbing pendamping Ibu Ibu Imelda Telisa, S.Gz, MP, Penguji sidang LTA Ibu Manuntun Rotua, SKM, M.Kes, M.PH dan Ibu Afriyana Siregar, S.Gz, M.Biomed.

4. Seluruh dosen dan staff jurusan gizi yang selalu membimbing, memberikan arahan dan ilmu pengetahuan yang sangat banyak selama masa perkuliahan.

5. Sahabat seperjuangan saya, Marya Ulfa. Terima kasih atas dukungan, nasihat, waktu, serta keceriaan yang selalu marya berikan di saat saya lelah. Saya harap Allah selalu memberikan kebahagiaan dan rahmat-Nya kepada marya dan keluarga.

6. Sahabat Amd. Gz soon saya, Icun, salse, punab, pika, annis, taci.

Terima kasih sudah memberikan dukungan, motivasi, serta doá yang tulus sampai saat ini.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Yang selalu melimpahkan rahmat dan ridho-Nya sehingga akhirnya Penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir yang berjudul “Daya Terima Makanan pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang“.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada

1. Bapak Muhammad Taswin, S.Si, Apt, MM, M.Kes selaku Direktur Poltekkes Palembang.

2. Ibu Susyani, S.SiT, M.Kes selaku Ketua Jurusan Gizi Poltekkes Palembang sekaligus Pembimbing Utama dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir ini.

3. Bapak Muzakar, S.Si, M.PH selaku Ketua Prodi Diploma III (Tiga) Gizi Poltekkes Kemenkes Palembang.

4. Ibu Imelda Telisa, S.Gz, MP selaku Pembimbing pendamping dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir ini.

5. Ibu Manuntun Rotua, SKM, M.Kes selaku penguji pertama dalam Laporan Tugas Akhir ini.

6. Ibu Afriyana Siregar, S.Gz, M.Biomed selaku penguji kedua dalam Laporan Tugas Akhir ini.

7. Seluruh dosen dan staf pengajar di Jurusan Gizi Poltekkes Palembang, terima kasih untuk segala motivasi dan ilmu yang telah diberikan.

8. Semua pihak yang telah memberikan dukungan serta berperan dalam mebantu penulis menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini.

(11)

xi

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan. Untuk itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk Proposal Laporan Tugas Akhir ini.

Palembang, Juni 2022

Penulis

(12)

xii DAFTAR ISI

BAB Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PANITIA SIDANG LAPORAN TUGAS AKHIR ... iii

LEMBAR PANITIA SIDANG AKHIR PROPOSAL ... iv

ABSTRAK... v

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Masalah ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Telaah Pustaka ... 5

1. Penyelenggaraan Makanan Institusi ... 6

2. Penyelenggaraan Makan Rumah Sakit ... 6

3. Pelayanan Gizi Rawat Inap ... 7

4. Makanan Biasa ... 8

5. Makanan Lunak ... 8

6. Penyakit Diabetes Melitus ... 8

7. Daya Terima Makanan ... 12

8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya terima ... 14

B. Kerangka Teori ... 19

(13)

xiii

C. Kerangka Konsep ... 20

D. Definisi Operasional ... 21

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

A. Ruang Lingkup Penelitian ... 25

B. Jenis dan Rancangan Penelitian... 25

C. Populasi dan Sampel Penelitan ... 25

D. Teknik Pengambilan Sampel... 27

E. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 27

F. Instrumen Penelitian ... 28

G. Pengolahan dan Analisis Data ... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Lokasi Penelitian ... 30

B. Hasil dan Pembahasan ... 34

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 53

B. Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA... 55

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori ... 19 2. Kerangka Konsep ... 20

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Lembar Persetujuan Responden ... 60

2. Lembar Identitas Responden ... 61

3. Kuisioner Penelitian... 62

4. Formulir Comstock ... 64

5. Surat Izin Penelitian ... 65

6. Ethical Clearance ... 66

7. Dokumentasi ... 67

8. Lembar Konsultasi... 69

(16)

1

Diabetes Melitus (DM) merupakan kelainan metabolik dengan etiologi multifaktorial. Penyakit ini ditandai dengan hiperglikemia kronis dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Penyakit ini menjadi masalah global dan masuk ke dalam salah satu target Sustainable Devlopment Goals (SDGs) 2030. Umumnya penyakit ini disebabkan karena jumlah insulin dalam tubuh yang tidak mencukupi atau karena tubuh tidak dapat menggunakan insulin secara efektif (WHO, 2016). Berdasarkan data International Diabetes federation (IDF) tahun 2021, penderita DM dunia sebesar 643 juta orang dan diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 11,3% menjadi 783 juta orang di tahun 2045. Indonesia sendiri menempati ranking ke 5 dari 10 negara yang memiliki jumlah penderita DM terbanyak di dunia yaitu sekitar 19,5 juta penderita.

Berdasarkan data Riskesdas 2018, prevalensi penderita DM pada penduduk yang berusia ≥ 15 tahun berdasarkan hasil pemeriksaan darah di Indonesia adalah sebesar 8,5%. Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi dengan jumlah penderita DM dengan prevalensi sebanyak 1,3%

pada tahun 2018 (Kemenkes RI, 2018). Prevalensi DM di Indonesia yang masih tinggi ini mengharuskan adanya upaya penanganan untuk menekan jumlah penderita, khususnya penderita DM tipe 2.

Upaya untuk memperoleh kesembuhan dari suatu penyakit, termasuk penyakit DM tipe 2 dengan komplikasi selain dengan pengobatan, makanan adalah salah satu penunjang untuk proses penyembuhan penyakit dan mencegah terjadinya komplikasi DM kronis. Mengkonsumsi makanan berarti pasien mengkonsumsi zat gizi yang terkandung dalam makanan tersebut. Tercukupinya zat gizi dapat membantu proses penyembuhan karena hal ini dapat menurunkan resistensi insulin. Namun, masih terdapat penderita DM tipe 2 yang belum dapat melaksanakan

(17)

program diet yang telah diberikan. Hal tersebut terlihat dari daya terima makanan pasien (Bektiningrum, 2020)

Terdapat dua macam faktor yang mempengaruhi daya terima makanan pada pasien, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dapat meliputi selera makan, kondisi psikis, kebiasaan makan, dan gangguan pencernaan. Sedangkan faktor eksternal dapat meliputi jadwal makan, sikap petugas, mutu makan, dan rasa makanan. Selain itu, ada faktor lingkungan dimana makanan dari luar RS juga dapat mempengaruhi daya terima makanan pada pasien rumah sakit (Bektiningrum,2020).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shinta pada tahun 2016, menyatakan bahwa daya terima asupan energi pasien RSI Siti Khadijah dengan penyakit kardiovaskuler kurang baik dengan presentase sebesar 59,5%. Penelitian mengenai daya terima makanan juga dilakukan oleh Ma’rifatun pada tahun 2021. Penelitian tersebut mengungkap bahwa daya terima makanan pada pasien covid- 19 di RS Pusri Palembang kurang baik dengan presentase sisa makanan: makanan pokok (25%), lauk hewani (27,8%), lauk nabati (5,6%), dan sayur (16,7%). Meskipun terdapat perbedaan sampel di antara kedua penelitian tersebut, hal ini menjadi hal yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian mengenai daya terima makanan pada pasien rawat inap penyakit DM tipe 2 di ruang rawat inap RSI Siti Khadijah Palembang.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana daya terima makanan pada pasien diabetes melitus tipe 2 di ruang rawat inap Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang.

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Diketahui daya terima makanan pada pasien diabetes melitus tipe 2 di ruang rawat inap Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang.

(18)

2. Tujuan khusus

a. Diketahui gambaran karakteristik pasien seperti umur, jenis kelamin, dan pekerjaan pasien.

b. Diketahui gambaran gangguan pencernaan terhadap daya terima makanan pada pasien diabetes melitus tipe 2 di ruang rawat inap Rumah Sakit Islam Siti Khadiajah Palembang.

c. Diketahui gambaran cita rasa makanan (warna, bentuk, besar porsi, aroma dan tekstur) yang disajikan pada pasien diabetes melitus tipe 2 di ruang rawat inap Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang.

E. Manfaat Penelitian a. Bagi Penulis

Dapat menambah wawasan penulis mengenai daya terima makanan pasien diabetes melitus tipe 2 di ruang rawat inap Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang.

b. Bagi Institusi Pendidikan (Poltekkes Kemenkes Palembang Jurusan Gizi)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi akademik khususnya jurusan DIII Gizi Poltekkes Kemenkes Palembang sebagai bahan informasi, bahan pustaka dan bahan masukan bagi penulis selanjutnya.

c. Bagi Institusi Rumah Sakit Islam Siti Khadijah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai daya terima makanan pasien diabetes melitus tipe 2 di ruang rawat inap Rumah Sakit Islam Khadijah Palembang sebagai bahan masukan untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit melalui penyediaan makanan yang memiliki mutu dan nilai gizi yang baik.

(19)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Penyelenggaraan Makanan Institusi

Penyelenggaraan makanan adalah serangkaian kegiatan yang melibatkan tenaga kerja, peralatan, material, dana, dan berbagai sumber pendanaan lain yang bertujuan untuk memperoleh kualitas dan cita rasa makanan yang akan disajikan dapat memuaskan konsumen dan juga dapat mengurangi biaya penyediaan makanan wajar dan tidak akan mengurangi kualitas layanan yang ada. Selain itu, sistem penyelenggaraan makanan institusi ini merupakan perencanaan yang komprehensif dan perencanaan menu, pengadaan makanan, penyimpanan makanan, pengolahan makanan, layanan makanan dan minuman, fasilitas dan metode penggunaan diperlukan untuk mencapai tujuan yang dimaksud (Rotua, 2015).

Penyelenggaraan makanan tidak hanya dilakukan di rumah sakit, tetapi juga di institusi lain seperti hotel, panti asuhan, asrama haji, dll. Penyelenggaraan makanan di rumah sakit bertujuan untuk membantu dan mempercepat proses penyembuhan serta memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pasien. Dengan memberikan makanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien dan diet pasien, maka hal tersebut dapat mempercepat proses penyembuhan pasien (Rotua, 2015).

Penyelenggaraan Makanan Institusi atau massal (SPMI/M) adalah penyelenggaraan makanan yang dilakukan dalam jumlah besar atau massal. Batasan mengenai jumlah yang diselenggarakan di setiap 6 negara bermacam-macam, sesuai dengan kesepakatan masing-masing. Di Inggris dianggap penyelenggaraan makanan banyak adalah bila memproduksi 1000 porsi perhari, dan di Jepang

(20)

3000-5000 porsi sehari. Sedangkan di Indonesia penyelenggaraan makanan banyak atau massal yang digunakan adalah bila penyelenggaraan lebih dari 50 porsi sekali pengolahan. Sehingga kalau 3 kali makan dalam sehari, maka jumlah porsi yang diselenggarakan adalah 150 porsi sehari (Bakri, 2013).

Penyelenggaraan makan institusi adalah suatu kegiatan produksi makanan dalam jumlah yang besar dan berlaku terhadap seluruh rumah sakit. di Indonesia sendiri penyelenggaraan banyak atau massal adalah untuk penyelenggaraan lebih dari 50 porsi dalam sekali pengolahan (Bakri, 2013). Menurut Bakri (2013) penyelenggaraan makanan dilaksanakan dengan tujuan untuk:

a. Mendapatkan makanan yang berkualitas b. Pelayanan cepat dan menyenangkan

c. Menu yang seimbang dan bervariasi sesuai dengan harapan konsumen.

d. Harga layak, sesuai dengan pelayanan yang diberikan e. Fasilitas yang memadai untuk pelaksanaan proses kegiatan f. Standart kebersihan dan sanitasi yang tinggi.

2. Penyelenggaraan Makanan Rumah Sakit

Penyelenggaraan makanan rumah sakit merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi perencanaan menu, perencanaan kebutuhan makanan, penerimaan dan penyimpanan makanan, memasak, pendistribusian dan pencatatan, pelaporan dan evaluasi.

Manajemen makanan rumah sakit bertujuan untuk menyediakan makanan berkualitas tinggi dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhan, dan untuk menyediakan pasien dengan layanan yang tepat dan memadai (Depkes, 2013). Berikut merupakan Pedoman pelayanan gizi di rumah sakit menyebutkan kondisi penyelenggaraan makanan rumah sakit:

(21)

a. Kebutuhan bahan makanan sangat dipengaruhi oleh jenis diet pasien dan jumlahnya berubah sesuai dengan jumlah pasien.

b. Standar makanan ditetapkan khusus untuk kebutuhan orang sakit sesuai dengan kebijakan rumah sakit.

c. Frekuensi dan waktu makan, macam pelayanan dan distribusi makanan dibuat sesuai dengan peraturan rumah sakit.

d. Makanan yang disajikan meliputi makanan lengkap untuk kebutuhan satu hari dan makanan selingan.

e. Dilakukan dengan menggunakan kelengkapan sarana fisik, peralatan, dan sarana penunjang lain sesuai dengan kebutuhan untuk orang sakit.

f. Menggunakan tenaga khusus di bidang gizi dan kuliner yang kompeten.

3. Pelayanan Gizi Rawat Inap

Pelayanan gizi rawat inap adalah pelayanan gizi yang dimulai dari proses pengkajian gizi, diagnosis gizi, intervensi gizi (meliputi perencanaan, penyediaan makanan, penyuluhan/edukasi, dan penyuluhan gizi), serta monitoring dan evaluasi gizi. Tujuannya adalah untuk memberikan pelayanan gizi kepada pasien rawat inap.

Sehingga pasien rawat inap mendapatkan makanan dan gizi yang cukup sesuai dengan kondisi kesehatannya untuk mempercepat proses penyembuhan, mempertahankan dan meningkatkan status gizinya (Depkes, 2013).

4. Makanan Biasa

Makanan biasa adalah makanan sehari-hari yang beraneka ragam, bervariasi dengan bentuk, tekstur dan aroma yang normal.

Susunan 9 makanan mengacu pada pola makan seimbang dan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan bagi orang dewasa sehat. Makanan biasa diberikan kepada pasien berdasarkan

(22)

penyakit yang mudah dicerna dan tidak merangsang pada saluran cerna. Makanan biasa memiliki kemiripan dengan makanan orang sehat di rumah (Almatsier, 2009).

Makanan ini diberikan kepada pasien yang tidak memerlukan diet khusus berhubungan dengan penyakitnya, makanan ini mengandung cukup kalori, protein, dan zat-zat gizi lain. Tujuan makanan biasa adalah memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh (Almatsier, 2009).

5. Makanan Lunak

Makanan lunak adalah makanan semipadat dengan tekstur yang lebih lembut apabila dibandingkan dengan makanan biasa, tetapi lebih padat dibandingkan makanan saring. Makanan lunak dibuat agar makanan tersebut lebih mudah dikunyah, ditelan dan dicerna. Makanan lunak diberikan secara spesifik berdasarkan kondisi penyakit, diberikan kepada pasien sesudah operasi tertentu, pasien dengan penyakit infeksi disertai dengan kenaikan suhu yang tidak terlalu tinggi, pasien dengan kesulitan mengunyah dan menelan pada pasien disfagia, atau sebagai perpindahan dari makanan saring ke makanan biasa (PERSAGI, 2019).

6. Penyakit Diabetes Melitus

a. Definisi Penyakit Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar glukosa dalam darah melebihi batas normal. Hiperglikemia menjadi salah satu tanda khas penyakit diabetes melitus, meskipun juga mungin didapatkan pada beberapa keadaan lain (PERKENI, 2015).

(23)

b. Prevalensi Penyakit Diabetes Melitus

Berdasarkan data International Diabetes federation (IDF) tahun 2021, Penderita DM dunia sebesar 643 juta orang dan diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 11,3% menjadi 783 juta orang di tahun 2045. Indonesia sendiri menempati ranking ke 5 dari 10 negara yang memiliki jumlah penderita DM terbanyak di dunia yaitu sekitar 19,5 juta penderita (IDF, 2021).

Berdasarkan data Riskesdas (2018), prevalensi penderita DM pada penduduk yang berusia lebih dari ≥15 tahun berdasarkan hasil pemeriksaan darah adalah sebesar 6,9% di tahun 2013 dan meningkat menjadi 8,5% di tahun 2018. Peningkatan penderita DM ini tidak hanya terjadi di lingkup nasional, tetapi juga terjadi di lingkup provinsi. Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi dengan jumlah penderita DM dengan prevalensi sebanyak 0,9% pada tahun 2018 (Kemenkes RI, 2018). Prevalensi DM di Indonesia yang masih tinggi ini mengharuskan adanya upaya penanganan untuk menekan jumlah penderita, khususnya penderita DM tipe 2.

c. Faktor Risiko Penyakit Diabetes Melitus

Seperti penyakit tidak menular lainnya. Diabetes Melitus juga memiliki faktor risiko atau faktor pencetus yang berkontribusi terhadap kejadian penyakit. Upaya pengendalian faktor risiko dapat mencegah diabetes melitus dan menurunkan tingkat fatalitas.

Faktor risiko diabetes terdiri dari faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah ras, etnik, umur, jenis kelamin riwayat keluarga dengan diabetes metitus, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah yakni bayi dengan berat badan < 2.500 gram. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu berat badan lebih obesitas abdominal/sentral, kurangnya aktifitas fisik hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat dan tidak seimbang (tinggi kalori), kondisi prediabetes yang ditandai dengan toleransi glukosa

(24)

terganggu (TGT 140-199 mg/d) atau gula darah puasa terganggu GOPT<140mg/dl), dan merokok.

d. Klasifikasi Diabetes Melitus (ADA, 2019) 1) Diabetes Melitus Tipe 1

DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas yang disebabkan autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein c- peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali.

Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis.

Faktor penyebab DM tipe 1 adalah infeksi virus atau kerusakan sistem imun yang disebabkan oleh reaksi autoimun yang merusak sel-sel penghasil insulin yaitu sel-sel pankreas secara keseluruhan. Oleh karena itu, pada tipe pertama, pankreas tidak dapat memproduksi insulin. Insulin harus diberikan kepada pasien DM untuk bertahan hidup dengan cara disuntikkan ke area tubuh pasien. Jika insulin tidak diberikan, pasien akan kehilangan kesadaran. Hal tersebut juga dikenal sebagai ketoasidosis atau koma diabetik.

2) Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes tipe II disebabkan oleh kerusakan relatif pada sel pankreas dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah penurunan kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel-sel pankreas tidak dapat sepenuhnya mengkompensasi resistensi insulin ini, yang berarti bahwa ada kekurangan insulin relatif.

Ketidakmampuan ini terlihat pada penurunan sekresi insulin oleh stimulasi glukosa dan stimulasi glukosa oleh sekresi insulin lainnya.

Gejala DM jenis ini bersifat lambat atau bahkan tanpa gejala. Melalui pola hidup sehat yaitu pola makan yang seimbang dan bergizi serta olahraga yang teratur, pasien biasanya dapat sembuh. Pasien juga

(25)

harus dapat mempertahankan berat badan yang normal. Namun, pada pasien usia lanjut, suntikan insulin dapat diberikan.

3) Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes ini dapat terjadi pada trimester kedua dan ketiga dan ditandai dengan kenaikan kadar gula darah selama kehamilan.

4) Diabetes Melitus Tipe Lain

Jenis diabetes ini ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah karena faktor genetik dalam fungsi sel beta, cacat genetik pada kerja insulin, gangguan eksokrin pankreas, gangguan endokrin dan metabolisme lainnya, infeksi virus, gangguan autoimun, dll.

Diabetes tipe ini dapat disebabkan oleh obat-obatan atau bahan kimia (seperti setelah pengobatan HIV/AIDS atau transplantasi organ). Menurut Anies (2018), gejala- gejala yang dapat dijumpai pada penderita diabetes melitus tipe 2 adalah sebagai berikut:

a) Kelelahan yang luar biasa

Penderita diabetes melitus dapat merasakan kelelahan yang amat sangat meskipun aktifitas yang dikerjakan adalah aktifitas yang ringan. Oleh karena itu, jika seseorang sering merasakan gejala seperti itu maka perlu diwaspadai dan dikonsultasikan kepada yang ahli.

b) Penurunan berat badan secara ekstrim

Pada orang-orang awam yang memiliki tubuh dengan status gemuk maka biasanya resistensi insulin terhadap lemak akan meningkat. Sedangkan pada pasien diabetes melitus tipe 2 meskipun seseorang dikatakan gemuk maka penurunan berat badan secara ekstrim dapat terjadi dikarenakan otot tubuh tidak mendapatkan cukup energi.

c) Gangguan Penglihatan

Apabila terdapat gangguan penglihatan ini tidak ditangani dengan serius maka penderita diabetes melitus tipe 2 dapat

(26)

memperbesar risiko gangguan penglihatan lebih buruk dari kondisi sebelumnya.

d) Sering mengalami infeksi dan luka sulit sembuh

7. Daya Terima Makanan

Daya terima makanan merupakan kemampuan untuk menghabiskan makanan. Indikator keberhasilan penyelenggaraan makanan kelembagaan adalah ketika seseorang dapat menghabiskan makanan yang disediakan. Pasien yang memiliki kemampuan untuk makan dan menghabiskan makanan yang disajikan di rumah sakit berarti memiliki daya terima makanan yang tinggi.

Daya terima makan dapat dilihat berdasarkan sisa makanan pasien. Sisa makanan dapat diukur melalui penimbangan secara langsung menggunakan timbangan digital maupun melalui metode taksiran visual (Comstock). Metode comstock adalah salah satu metode taksiran visual yang memiliki banyak kelebihan karena mudah diakukan, biaya yang terjangkau, dan tidak membutuhkan banyak waktu. Oleh karena itu, metode ini sering digunakan untuk menilai sisa makanan di instansi penyelenggaraan makanan seperti rumah sakit.

Untuk mengetahui daya terima makanan pasien maka dapat dilihat dari sisa makanan yang tidak dapat dihabiskan. Berikut ini adalah metode-metode untuk mengetahui sisa konsumsi makanan pasien:

a. Food Weighing

Metode food weighing atau penimbangan makanan merupakan metode survei konsumsi pangan yang bersifat kuantitatif.

Metode ini digunakan untuk mengukur konsumsi makanan pada tingkat individu. Metode ini relatif paling akurat dibanding metode

(27)

lainnya karena mengidentifikasi sisa makanan melalui penimbangan (Bakri, 2018).

b. Metode Comstock atau Taksiran Visual

Metode estimasi visual dilakukan dengan memperkirakan secara visual jumlah sisa makanan untuk setiap kelompok makanan.

Hasil taksiran dapat berupa berat yang dinyatakan dalam gram atau skala taksiran visual. Metode taksiran yang dikembangkan oleh Comstock menggunakan 6 poin dengan kriteria sebagai berikut : 1) Skala 0 jika makanan habis (100% dikonsumsi).

2) Skala, I jika makanan tersisa seperempat porsi (75%

dikonsumsi).

3) Skala 2 jika makanan tersisa setengah porsi (50% dikonsumsi).

4) Skala 3 jika makanan tersisa tiga perempat porsi (25%

dikonsumsi).

5) Skala 4 jika makanan hanya dikonsumsi sedikit (hanya dikonsumsi sedikit atau 5%).

6) Skala 5 jika makanan tidak dikonsumsi sama sekali (utuh).

Metode Comstock adalah metode yang masih belum lazim digunakan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Susyani di RS Sardjito Yogyakarta. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan hasil penaksiran dengan menggunakan metode comstock di antara petugas rawat inap RS Sardjito. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil penaksiran melalui metode comstock belum tentu sepenuhnya akurat seperti saat menggunakan metode food weighing. Meskipun demikian, metode comstock adalah metode yang dapat menghemat waktu, biaya, serta tenaga dalam menganalisis hasil sisa makanan pasien.

(28)

8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Terima Makanan

Faktor yang mempengaruhi daya terima makanan terbagi menjadi dua yakni:

a. Faktor Internal 1) Kondisi Psikis

Menurut Uswatun dkk., (2014), Keadaan psikis yang terganggu seperti stress/depresi, tegang atau kejenuhan mengakibatkan seseorang cenderung lupa akan pemenuhan kebutuhan dasar, seperti kebutuhan akan makanan, kebersihan diri dan istirahat. Apabila asupan makanan rendah dan berlangsung dalam jangka waktu yang relatif panjang, seseorang akan mengalami defisiensi energi dan protein. Faktor psikologis yang diduga saat memicu stress antara lain (Rismalinda, 2017):

a) Persepsi

Stress dapat timbul dari persepsi seseorang. Persepsi yang dapat dikendalikan dengan baik dapat mengantisipasi timbulnya stress dan juga sebaliknya.

b) Perasaan atau emosi

Emosi adalah aspek psikologis yang bersifat kompleks dari keadaan normal homeostatik yang bermula dari stimulus psikologis.

Kemampuan untuk menerima dan membedakan perasaan dan emosi bukanlah kemampuan yang dapat dibawa sejak lahir melainkan hasil dari proses berinteraksi dengan sesama dan proses pendewasaan yang normal dan bertahap. Macam-macam emosi yang berkaitan dengan stress adalah: kecemasan atau anxiety, kekhawatiran, rasa bersalah atau guilty, kemarahan, kesedihan, kecemburuan, dan kedukaan.

Menurut Rismalinda (2017), dalam kehidupan sehari-hari hal- hal yang dapat menimbulkan stress adalah sebagai berikut:

(1) Kematian (kematian keluarga, pasangan, teman).

(2) Kesehatan (kecelakaan, kehamilan, dan sakit).

(29)

(3) Kejahatan ( perampokan, pencurian, penganiayaan seksual).

(4) Penganiayaan diri sendiri ( alkoholisme, penyalahgunaan obat terlarang),

(5) perubahan keluarga (perceraian,kelahiran bayi, pernikahan).

(6) Kesulitan finansial

(7) Pertentangan atau perselisihan pendapat (dengan pimpinan, rekan kerja, pasangan, orang tua).

(8) Perubahan fisik (kurang tidur, jam kantor yang baru).

(9) Perubahan lingkungan (tempat kerja, sekolah atau kota).

2) Gangguan Pencernaan (Gastrointestinal)

Saluran cerna tubuh manusia dimulai dari mulut hingga anus.

Saluran tersebut dimulai dari mulut, faring, esofagus, lambung, usus halus dan usus besar. Gerakan yang disebut dengan gerakan peristaltis dilakukan sepanjang jalan saluran cerna. Kelenjar dan oragan pelengkap meliput air liur, hati, sistem bilier dan pankreas (Kowalak, et. al, 2011).

Gangguan sistem pencernaan dapat berupa keluhan atau masalah nonspesifik yang mencerminkan disrupsi pada salah satu atau lebih fungsi tersebut. Contoh, saat terjadi pergerakan traktus gastrointestinal yang lebih cepat, lebih lambat, terhalang, serta fungsi sekresi, absorpsi dan motiliasnya dapat berubah. Hal ini menyebabkan pasien dapat memiliki beberapa keluhan seperti anoreksia, diare, konstipasi, ikterus, disfagia, muntah dan nausea (Kowalak, et. al, 2011).

Menurut penelitian Lestari dkk (2019), dari 77 responden yang diambil dari penderita DM Tipe 2 pasien Rumah Sakit Umum Santo Antonius Kota Pontianak, sebanyak 59 orang mengalami sindrom dispepsia dan sebanyak 18 orang tidak mengalami sindrom dispepsia.

(30)

Dispepsia merupakan suatu sindrom atau kumpulan beberapa gejala yang menyebabkan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen bagian atas yaitu berupa nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah dan sendawa.

Diabetes menimbulkan saraf otonom memiiki sturktur mielin yang tipis atau tidak ada sama sekali, sehingga rentan terhadap gangguan vaskular dan metabolik. Neuropati otonom diabetes, yang dapat memiliki banyak manifestasi, dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, seperti dismotilitas esofagus, gastroparesis, dan enteropati diabetes, mencakup sindrom dismotilitas usus halus, diare, dan inkontinensia feses. Sekitar 1/3 penderita dengan gastroparesis juga menderita DM.

Gejala gangguan gastrointestinal relatif umum terlihat pada penderita dengan DM dan sering merefleksikan adanya neuropati otonom gastrointestinal diabetes. Pengosongan lambung sangat bergantung kepada fungsi saraf yang dapat mengalami gangguan parah pada kondisi DM. Neuropati otonom dapat mengganggu proses sekresi asam lambung dan motilitas gastrointestinal. Gejala dispepsia fungsional dapat terjadi akibat adanya gangguan motilitas selama dan setelah makan. Sekitar 23% kasus sindrom dispepsia, terutama dispepsia fungsional, mengalami pengosongan lambung yang lebih lama dan berkorelasi dengan adanya keluhan mual, muntah dan rasa penuh setelah makan.

b. Faktor Eksternal 1) Aspek Penampilan a) Warna

Menurut Siregar (2016), pemilihan makanan yang berwarna menarik akan meningkatkan selera makan pasien. Karena itu,

(31)

kombinasi warna yang baik sangat penting agar pasien memiliki selera makan yang baik.

b) Bentuk

Bentuk makanan adalah rupa dari makanan yang disajikan.

Bentuk makanan yang disajikan menjadi lebih menarik biasanya disajikan dalam bentuk-bentuk tertentu. Bentuk makanan yang serasi akan memberi daya tarik tersendiri bagi setiap makanan yang disajikan (Ma’rifatun, 2021).

c) Porsi

Porsi yang terlalu banyak ataupun sedikit dapat mempengaruhi penampilan. Oleh karena itu, diperlukan porsi yang terstandar mengenai banyaknya makanan yang akan disajikan di hadapan pasien.

2) Aspek Rasa

Rasa suatu makanan memiliki pengaruh yang besar kedua yang menentukan cita rasa makanan. Cita rasa makanan ditentukan oleh indra penciuman dan indra pengecap manusia sehingga untuk mengkatgorikan makanan enak dan tidak enak adalah hal yang subjektif dan cukup sulit karena tiap pribadi memiliki refrensi dan selera masing-masing yang belum tentu sama.

a) Aroma

Aroma yang dikeluarkan tiap makanan berbeda-beda tergantuk cara pengolahan makanan tersebut. Makanan yang memiliki aroma yang harum akan membangkitkan selera makanan pasien sehingga besar kemungkinan daya terima makanan juga lebih besar dibandingkan dengan makanan yang tidak mengeluarkan aroma yang merangsang.

Berdasarkan penelitian Ma’rifatun (2021), menunjukan bahwa masih ditemukan responden yang menyatakan tidak suka terhadap aroma makanan pada menu lauk hewani dan nabati memiliki

(32)

proporsi yang sama yaitu sebesar 8,3 % atau 3 responden dan pada menu sayur sebanyak 5,6% atau 2 responden.

b) Bumbu

Bumbu-bumbu dapur yang dipergunakan dalam pengolahan makanan akan mempengaruhi cita rasa makanan. Sehingga, diperlukan standar bumbu yang sesuai untuk makanan pasien.

c) Tekstur

Tekstur mempengaruhi daya terima makanan pasien. Tekstur sendiri merupakan tingkat konsistensi kematangan atau keempukan suatu makanan.

Berdasarkan penelitian Ma’rifatun (2021), menunjukkan bahwa masih ditemukan responden yang menyatakan tidak suka terhadap tekstur makanan pada menu makanan pokok sebesar 2,8% atau 1 responden, untuk lauk hewani sebesar 2,8% atau 1 responden dan pada lauk nabati sebesar 2,8% atau 1 responden.

(33)

B. Kerangka Teori

Bagan 1. Kerangka teori hasil modifikasi yang dikemukakan oleh Sari (2012), Aula (2011)

Faktor internal:

1. Selera makan 2. Kondisi psikis 3. Kebiasaan makan 4. Gangguan

pencernaan

5. Faktor pengobatan Faktor eksternal:

1. Jadwal makan 2. Suasana tempat

makan

3. Mutu makanan a. Warna b. Bentuk c. Porsi d. Penyajian 4. Rasa makanan

a. Aroma b. Bumbu c. Tekstur d. Konsistensi e. Keempukan f. Tingkat

kematangan g. Tempratur

Faktor lingkungan:

1. Waktu penyajian 2. Makanan dari luar 3. Alat makan

4. Keramahan petugas saji

Daya terima makanan

(34)

C. Kerangka Konsep

Bagan 2. Kerangka Konsep Faktor Internal:

Gangguan Pencernaan

Daya Terima Makanan

Faktor Eksternal:

Warna Bentuk Besar porsi Aroma Tekstur

(35)

D. Definisi Operasional 1. Gangguan Pencernaan

Pasien dapat memiliki beberapa keluhan seperti anoreksia, diare, konstipasi, ikterus, disfagia, muntah dan nausea.

Alat Ukur : Kuesioner.

Cara Ukur : wawancara.

Hasil Ukur : Iya, jika pasien mengalami salah satu bentuk gangguan pencernaan.

Tidak, jika pasien tidak mengalami gangguan pencernaan.

Skala : Nominal.

2. Warna

Warna yang menarik akan merangsang nafsu makan pasien.

Karena hal itu, diperlukan pengolahan makanan yang baik untuk menghasilkan warna yang dapat menarik perhatian pasien.

Alat Ukur : Kuesioner Cara Ukur : Wawancara

Hasil Ukur : Menarik, jika kombinasi makanan bagus.

Cukup menarik.

Tidak menarik atau kurang menarik jika sebaliknya.

Skala ukur : Ordinal.

3. Bentuk

Bentuk makanan merupakan bagian dari penilaian pasien terhadap lauk hewani dan nabati, yang dapat merangsang saraf melalui penglihatan dan meningkatkan nafsu makan terhadap rasa makanan.

Alat Ukur : Kuesioner Cara Ukur : Wawancara

(36)

Hasil Ukur : Menarik jika penyajian makanan berupa potongan dan penampilan bagus.

Cukup menarik.

Tidak menarik jika penyajian makanan berupa potongan dan penampilan kurang bagus.

Skala ukur : Ordinal.

4. Besar Porsi

Sebagian besar porsi lauk hewani dan nabati adalah ukuran atau bentuk yang disediakan oleh standar rumah sakit. Porsi yang sesuai akan terlihat apabila pasien dapat menghabiskan makanan yang disajikan sesuai dengan porsi yang tepat.

Alat Ukur : Kuesioner Cara ukur : Wawancara

Hasil Ukur : Puas, jika porsi dirasa cukup.

Cukup puas,

Tidak puas, jika porsi dirasa terlalu banyak atau terlalu sedikit.

Skala Ukur : Ordinal.

5. Aroma

Aroma adalah bau dari lauk pauk hewani dan nabati yang dapat membangkitkan nafsu makan pasien.

Alat Ukur : Kuesioner Cara Ukur : Wawancara Hasil Ukur : Sedap

Cukup sedap Tidak sedap Skala Ukur : Ordinal.

(37)

6. Tekstur

Tekstur adalah tingkat keempukan suatu hidangan yang disajikan. Tekstur makanan yang empuk akan membantu pasien memakan hidangan yang disajikan. Sedangkan makanan yang alot akan membuat pasien kesulitan menghabiskan makanan yang disajikan.

Alat Ukur : Kuesioner Cara Ukur : Wawancara

Hasil Ukur : Sesuai, dapat diterima pasien.

Cukup sesuai.

Tidak sesuai, tidak dapat diterima pasien.

Skala Ukur : Ordinal.

7. Daya Terima Makanan

Untuk menganalisa daya terima makanan pasien maka yang perlu diperhatikan adalah sisa makanan. Sisa makanan adalah berat makanan di piring yang tidak dikonsumsi. Sisa makanan yang diambil adalah makanan pokok, lauk hewani dan nabati pada makan siang yang diukur dengan menaksir sisa makanan secara visual (comstock).

Cara Ukur : Observasi (Comstock)

Hasil Ukur : Skala 0 jika makanan habis (100% dikonsumsi)

Skala, I jika makanan tersisa seperempat porsi (75%

dikonsumsi)

Skala 2 jika makanan tersisa setengah porsi (50%

dikonsumsi)

Skala 3 jika makanan tersisa tiga perempat porsi (25%

dikonsumsi)

Skala 4 jika makanan hanya dikonsumsi sedikit (hanya dikonsumsi sedikit atau 5%)

(38)

Skala 5 jika makanan tidak dikonsumsi sama sekali (utuh).

Skala Ukur : Ordinal

(39)

25 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mengenai Daya terima Makanan pada Pasien Diabetes Melitus Tipe II. Tempat penelitian dilaksanakan di Ruang Rawat inap Rumah Islam Siti Khadijah Palembang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2022.

B. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross sectional karena pengambilan data independen (gangguan pencernaan dan mutu makanan) serta dependen (daya terima makanan) dilakukan pada waktu yang sama.

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap penyakit DM tipe 2 di Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang.

Sampel pada penelitian ini adalah pasien rawat inap yang memenuhi kriteria inklusi sedangkan pasien yang tidak memenuhi kriteria inklusi (eksklusi) tidak akan digunakan sebagai sampel.

1. Kriteria Inklusi

a. Pasien rawat inap penyakit DM tipe 2.

b. Pasien mendapatkan diet diabetes melitus.

c. Pasien mendapatkan makanan biasa.

d. Pasien mampu berkomunikasi dengan baik.

e. Pasien bersedia mengikuti penelitian.

(40)

2. Kriteria Eksklusi

Pasien menderita penyakit komplikasi yang berat seperti stroke sehingga kesulitan untuk melakukan komunikasi.

3. Besar sampel

Besar sampel dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus Lemeshow, dkk (1997) sebagai berikut :

Keterangan :

n : Besar sampel

𝑍 − (1 −𝛼

2) : Koefisien kepercayaan 95% (1,96) P : Prevalensi DM Sumatera Selatan (1,3%)

Q : 1 – P

D : Presisi 10%

Perhitungan:

n =

𝑍−(1−

𝛼 2). 𝑃. 𝑄 𝑑2

n

=

1,96. 0,013. 0,988 (0,01)2

n = 30 sampel

𝑛 = 𝑍 − (1 −𝛼 2) . 𝑃 . 𝑄 𝑑2

(41)

F. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan kriteria yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam penelitian.

G.Jenis dan Cara Pengumpulan Data 1. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua data yakni data primer dan data sekunder.

a. Data primer

Data primer merupakan data yang berasal dari wawancara dan hasil kuisioner responden. Data primer berisi karakteristik pasien dan faktor-faktor internal dan faktor eksternal yang memengaruhi daya terima makanan pasien rawat inap penyakit DM tipe 2 di Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang.

b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari laporan rekam medis Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang.

2. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data dibagi menjadi dua tahap menurut pelaksanaanya yaitu:

a. Tahap Persiapan

1) Mempersiapkan administrasi perizinan untuk melaksanakan penelitian dari Jurusan Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Palembang ke Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang.

2) Mempersiapkan kelengkapan peralatan dan administrasi yang diperlukan selama penelitian berlangsung seperti kusioner, formulir, alat tulis, dll.

(42)

b. Tahap pelaksanaan

1) Peneliti melakukan purposive sampling untuk mendata pasien yang memenuhi kriteria penelitian.

2) Peneliti memberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan peneliti sebelum melakukan wawancara.

3) Peneliti melakukan wawancara untuk mengetahui gambaran gangguan pencernaan pasien, mutu makanan berdasarkan persepsi pasien.

H. Instrumen Penelitian 1. Form identitas pasien.

2. Form kuisioner.

3. Form daya terima makanan pasien.

4, Data rekam medik.

I. Pengolahan dan Analisis Data 1. Pengolahan Data

Pengolahan merupakan kegiatan yang dilaksanakan setelah semua data selesai terkumpul. Pengolahan terbagi menjadi beberapa langkah seperti langkah-langkah berikut:

a. Editing

Data primer yang telah diperoleh dalam penelitian dalam proses editing diperiksa kembali dan diteliti apakah data tersebut layak atau terdapat kekurangan yang perlu dilengkapi. Dalam hal ini, data tersebut meliputi karakteristik responden, mutu makanan dan daya terima makanan.

b. Codding

Codding merupakan pengelompokkan data berdasarkan hasil penelitian. Data tersebut kemudian diberi kode dan klasifikasi yang sesuai berdasarkan definisi operasional penelitian.

(43)

c. Tabulating

Tabulating merupakan pembuatan tabulasi dalam bentuk distribusi frekuensi dilakukan setelah data-data dicodding atau dikelompokkan.

d. Cleaning

Data-data yang telah di entry diperiksa kembali sebelum diolah dengan komputerisasi. Hal ini bertujuan untuk menghindari kesalahan-kesalahan selama proses pengolahan data. Dalam hal ini, karakteristik pasien, mutu makanan, dan daya terima pasien adalah data yang diperiksa kesesuainnya dengan hasil kuisioner.

2. Analisis Data Analisis Univariat

Analisis univariat diperlukan untuk mendapat gambaran umum mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi daya terima makanan pasien penyakit DM tipe 2 di ruang rawat inap Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang. Gambaran tersebut berupa faktor internal (gangguan pencernaan) dan faktor eksternal (warna, bentuk, porsi, rasa, aroma, tekstur) yang mempengaruhi daya terima makanan pasien. Hasil analisis ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, tabel silang antara variabel dependen dengan variabel Independen yang dianalisis secara deskriptif.

(44)

30 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Gambaran Umum Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang

Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang terbentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Sumsel Nomor 173/KPTS/VII/1974 tanggal 14 Desember 1974 dengan nama Yayasan Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang. Tanggal 28 Februari 1980 Rumah Sakit dimulai secara definitive untuk Rawat Jalan dengan jenis pelayanan Poliklinik Umum, Poliklinik Gigi, BKIA, dan Rumah Obat (Apotik). Rumah Sakit ditingkatkan menjadi pelayanan Rawat Inap pada tanggal 18 April 1983 dengan jumlah tempat tidur sebanuak 61 tempat tidur Tahun 1987, Rumah Sakit mulai dilengkapi dengan bangunan jumlah tempat tidur sebanyak 80 tempat tidur. Tahun 1995 jumlah tempat tidur ditingkatkan menjadi 120 tempat tidur, dan pada tahun 2006 sampai dengan sekarang tempat tidur menjadi 170 tempat tidur.

Rumah Sakit Islam Siti Khadijah adalah Rumah Sakit Swasta kelas B. Rumah Sakit ini mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis terbatas. Rumah Sakit ini juga menampung pelayanan rujukan dari Rumah Sakit Kabupaten. Rumah Sakit ini termasuk besar dengan dengan tersedianya 193 tempat tidur inap, lebih banyak disbanding setiap Rumah Sakit di Sumatera Selatan yang tersedia ratarata 70 tempat tidur inap, pelayanan Inap termasuk kelas tinggi 20 dari 193 tempat tidur di Rumah Sakit ini berkelas VIP ke atas.

Rumah Sakit Islam Siti Khadijah tersedia 97 Dokter, 61 lebih banyak dari pada Rumah Sakit tipikal di Sumatera Selatan dan 68 lebih banyak daripada Rumah Sakit tipikal di Sumatera Selatan. Dokter Umum 15 orang, Dokter Spesialis 74 orang, Dokter Gigi 2 orang, Dokter Spesialis Gigi 1 orang, dan Dokter Bedah 5 orang.

(45)

2. Visi, Misi dan Moto

a. Visi :Menjadi Rumah Sakit unggulan yang islami b. Misi :

1) Memberikan pelayanan kesehatan yang bernuansa islami menjangkau seluruh masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang setinggi-tingginya

2) Mengelola Rumah Sakit secara professional dan terpadu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir.

3) Melibatkan partisipasi karyawan dalam meningkatkan mutu dan pelayanan.

4) Meningkatkan penghasilan karyawan.

c. Motto Bekerja sebagai ibadah, ridho dalam pelayanan.

d.Tujuan Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang adalah sarana pengabdian untuk melaksanakan maksud dan tujuan Yayasan Islam Siti Khadijah Palembang, yakni membina, memelihara dan meningkatkan kesejahteraan umat di bidang kesehatan, merupakan perwujudan iman dan amal saleh kepada Allah SWT.

3. Struktur Organisasi Instalasi Gizi

Instalasi Gizi RSI. Siti Khadijah Palembang dipimpin oleh seorang kepala Instalasi Gizi yang bertanggung jawab kepada Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Instalasi Gizi dibantu oleh Kepala Urusan Penyelenggaraan dan Distribusi Makanan, Ahli Gizi , dan Tenaga Tataboga serta pekarya.

4. Ketenagaan Instalasi Gizi

Adapun jumlah tenaga kerja di Instalasi Gizi RSI. Siti Khadijah Palembang berdasarkan jabatan berjumlah 28 orang dengan rincian sebagai berikut:

(46)

a. Ahli gizi : 4 orang b. Pelaksana Gudang : 1 Orang c. Pelaksana ADM : 1 Orang d. Pelaksana Tataboga: 13 Orang e. Pastry : 4 Orang f. Pekarya : 16 Orang

Terdapat beberapa kegiatan pelayanan gizi Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang di antaranya adalah:

1) Pelayanan Gizi Rawat Jalan dengan kegiatan sebagai berikut:

a) Asuhan Gizi Rawat Jalan (Konseling Gizi) b) Penyuluhan Gizi

2) Pelayanan Gizi Rawat Inap dengan kegiatan sebagai berikut:

a) Skrining Gizi

b) Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT)

3) Kegiatan Penyelenggaraan Makanan dengan kegiatan sebagai berikut

a) Penetapan Peraturan Pemberian makanan rumah Sakit

b) Penyusunan Standar Bahan Makanan Rumah Sakit c) Perencanaan Menu

d) Perencanaan Kebutuhan Bahan Makanan e) Perencanaan Anggaran Bahan Makanan f) Pemesanan dan Pembelian Bahan Makanan g) Peneriaman Bahan Makanan

h) Penyimpanan dan Penyaluran Bahan Makanan i) Persiapan Bahan Makanan

j) Pemasakanan Bahan Makanan k) Distribusi Makanan Oleh Pekarya

(47)

5. Pola dan Siklus Menu

Pola makan untuk kelas II dan III adalah 3 kali makan utama dan 1 kali makan selingan. Pola menu makanan pasien diabetes melitus tipe 2 di Rumah Sakit Islam Siti Khadijah adalah sebagai berikut:

Makan pagi : makanan pokok, lauk hewani.

Makan siang : makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur, dan buah ditambah selingan siang.

Makan sore : makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur, dan buah.

6. Waktu Distribusi Makanan

Kegiatan distribusi makanan di RSI Khadijah Palembang dibagi menjadi beberapa waktu yaitu:

Makan pagi :06.30-07.30 WIB Makan Siang : 11.30-12.30 WIB Selingan Siang : 14.00-15.00 WIB Makan Sore : 16.30-17.30 WIB

7. Menu

Menu yang digunakan selama penelitian adalah siklus menu ke-IV.

Berikut tabel siklus menu ke- IV:

Tabel 1. Menu makanan pasien dalam siklus menu ke-IV

Menu Waktu

Makan Siang

IV Sup Bola-Bola Ayam

Oseng Tempe Cah Sawi Wortel

8. Karakteristik Responden

Berdasarkan responden yang didapatkan sebanyak 30 orang di Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang bangsal kelas II dan III

(48)

yang mendapat diet diabetes melitus. Adapun karakteristik dari responden dapat dilihat dari tabel 2 berikut ini:

Tabel 2 . Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Sampel Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit

Islam Siti Khadijah Palembang No. Karakteristik Nilai statistik

n %

1. Jenis Kelamin

Laki-laki 15 50

Perempuan 15 50

2 Umur

36-45 tahun 2 6.7

46-55 tahun 8 26.7

56-65 tahun 12 40

>65 tahun 8 26.7

3. Pekerjaan

Swasta 6 20

Pensiun 18 60

IRT 6 20

Total 30 100

Berdasarkan tabel 2 didapatkan hasil responden menurut jenis kelamin jumlah responden laki-laki berjumlah 15 (50%) dan perempuan berjumlah 15 orang (50%).

Sampel dalam penelitian ini berjumlah 30 orang. Sebagian besar sampel berada pada golongan umur 36 sampai 45 tahun sebanyak 2 orang (6,7%) sedangkan pada golongan umur 46 sampai 55 tahun sebanyak 8 orang ( 26,7% ), sampel dengan rentang umur 56 sampai 65 tahun sebanyak 12 orang ( 40%), lalu yang terakhir adalah sampel ≥65 tahun sebanyak 8 orang (26,7%).

(49)

Berdasarkan status pekerjaan dapat terlihat bahwa sampel yang pensiun lebih banyak daripada sampel yang bekerja. Sampel yang tidak bekerja yaitu IRT sebanyak 6 orang (20%) dan sampel yang bekerja 6 orang (20%). Pekerjaan sampel diantaranya sebagai wiraswasta dan pegawai swasta dan PNS. Sedangkan yang telah pensiun sebanyak 18 orang (60%).

9. Daya Terima Makanan Pasien Berdasarkan Kondisi Pencernaan

Menurut Bektiningrum (2020), Daya terima makanan merupakan kemampuan untuk menghabiskan makanan. Daya terima makanan pasien dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesembuhan seorang pasien. Apabila daya terima makanan pada pasien diabetes kurang atau rendah dan terjadi dalam jangka waktu yang panjang, maka hal tersebut dapat menyebabkan kadar gula darah pada pasien diabetes tidak terkontrol sehingga terjadi komplikasi. Selain itu, daya terima makanan pada pasien juga mempengaruhi status gizi pasien serta lama perawatan yang akan dijalani oleh pasien di rumah sakit.

Gangguan sistem pencernaan dapat berupa keluhan atau masalah nonspesifik yang mencerminkan disrupsi pada salah satu atau lebih fungsi tersebut. Contoh, saat terjadi pergerakan traktus gastrointestinal yang lebih cepat, lebih lambat, terhalang, serta fungsi sekresi, absorpsi dan motiliasnya dapat berubah. Hal ini menyebabkan pasien dapat memiliki beberapa keluhan seperti anoreksia, diare, konstipasi, ikterus, disfagia, muntah dan nausea (Kowalak, et. al, 2011).

Gangguan pencernaan merupakan manifestasi dari pebubahan fisiologis saluran pencernaan. Kejadian yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan pencernaan adalah, terganggunya pencernaan dan penyerapan, perubahan sekresi, gangguan transit saluran pencernaan yang biasanya disebabkan oleh obstruksi, disregulasi imun, terganggunya aliran darah pada saluran pencernaan (Hasler dan Owyang, 2015).

Berdasarkan hasil wawancara terhadap pasien didapatkan bahwa gambaran kondisi pencernaan pasien pasien diabetes melitus tipe 2

(50)

bangsal II dan III RSI Siti Khadijah Palembang tahun 2022 adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Distribusi frekuensi gangguan pencernaan pada pasien DM tipe II Gangguan

Pencernaan

Jumlah (n) Presentase (%)

Ada 18 60

Tidak ada 12 40

Total 30 100

Berdasarkan tabel 3 didapatkan hasil bahwa responden yang memiliki gangguan pencernaan lebih banyak jika dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki gangguan pencernaan. Presentase responden yang memiliki gangguan pencernaan mencapai 60% sedangkan responden yang tidak memiliki gangguan pencernaan mencapai 40%.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sawitri (2015), pasien diabetes dengan lama menderita <10 tahun dan status glikemiknya tidak terkontrol lebih sering mengalami gejala gastrointestinal. Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Islam Siti Khadijah gangguan pencernaan yang paling sering ditemui adalah Sebagian besar gejala gastrointestinal lebih sering terjadi pada pasien diabetes adalah gigi yang tanggal, mual dan muntah, maag, hingga konstipasi.

Selain itu, sebagian besar sampel yang diambil selama penelitian adalah sampel yang tergolong lansia. Secara normal penambahan usia dapat menyebabkan penurunan fungsi biologis atau fisik, termasuk sistem pencernaan. Banyak gigi yang tanggal, sensitifitas indra pengecap menurun, pelebaran esophagus, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu pengosongan menurun, peristaltik lemah, dan sering timbul konstipasi, fungsi absorbsi menurun (Kholifah dan Dwisatyadini, 2016).

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestari, dkk (2019), penelitian tersebut menyebutkan bahwa gejala gangguan

(51)

gastrointestinal relatif umum terlihat pada penderita dengan DM dan sering merefleksikan adanya neuropati otonom gastrointestinal diabetes.

Pengosongan lambung sangat bergantung kepada fungsi saraf yang dapat mengalami gangguan pada kondisi DM. Neuropati otonom dapat mengganggu proses sekresi asam lambung dan motilitas gastrointestinal.

Gejala dispepsia fungsional dapat terjadi akibat adanya gangguan motilitas selama dan setelah makan. Sekitar 23% kasus sindrom dispepsia, terutama dispepsia fungsional, mengalami pengosongan lambung yang lebih lama dan berkorelasi dengan adanya keluhan mual, muntah dan rasa penuh setelah makan

Menurut penelitian Lestari dkk (2019), dari 77 responden yang diambil dari penderita DM Tipe 2 pasien Rumah Sakit Umum Santo Antonius Kota Pontianak, sebanyak 59 orang mengalami sindrom dispepsia dan sebanyak 18 orang tidak mengalami sindrom dispepsia.

Selain itu, daya terima makanan yang rendah pada pasien diabetes melitus tipe II juga dapat disebabkan karena efek samping obat. Menurut Yuxin, et al. (2019), tentang perbedaan efek samping gangguan gastrointestinal obat metformin berdasarkan dosis, didapatkan hasil bahwa dari total pasien sebanyak 120 pasien dan diberikan metformin 1000 setelah 12 minggu diberikan pengobatan didapatkan hasil bahwa 11%

pasien mengalami efek samping berupa mual dan 3% pasien yang mengalami muntah. Selain itu, hasil penelitian yang sama juga didapatkan oleh Putra, dkk. (2017) menggunakan penelitian secara observasional dengan pendekatan cross sectional menggunakan teknik purposive sampling serta instrumen formulir Algoritma Naranjo, didapatkan hasil bahwa efek samping yang paling tinggi setelah diberikan metformin yaitu mual sebesar 18,52% dan ada pula efek samping lain seperti muntah sebesar 3,70%. Di bawah ini merupakan tabel distribusi frekuensi mengenai jenis makanan yang diberikan sesuai dengan kondisi pasien.

(52)

Tabel 4. Distribusi frekuensi jenis makanan yang diberikan kepada pasien DM tipe II

Gangguan

Pencernaan Makanan Lunak Makanan Biasa Total

Ada 16 2 18

Tidak ada 7 5 12

Total 23 7 30

Berdasarkan tabel 4 didapatkan hasil bahwa responden yang mendapakan menu makanan lunak lebih banyak dibandingkan menu makanan biasa. Pemberian menu makanan lunak dan makanan biasa telah disesuaikan berdasarkan kebutuhan dan kondisi pasien.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fasehah dkk. (2017) mengenai faktor yang berhubungan dengan sisa makanan pasien kanker di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa ada hubungan antara gangguan pencernaan, penampilan makanan, dan faktor lainnya dengan sisa makanan pasien di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.

Selama penelitian dilakukan di Rumah Sakit Islam Siti Khadijah penulis menemukan bahwa terdapat 2 responden yang mendapatkan menu makanan biasa meskipun sampel memiliki masalah gastrointestinal.

Setelah melakukan pengamatan dan diskusi dengan kepala instalasi gizi mengenai hal tersebut. Penulis menemukan bahwa satu dari dua responden tersebut memiliki gigi yang tanggal namun hal tersebut tidak mempengaruhi nafsu makan responden, dengan kata lain responden tersebut memiliki daya terima makanan yang baik. Sedangkan responden yang tersisa merupakan responden dengan masalah gastrointestinal seperti sakit perut. Selain itu, nafsu makan responden juga menurun dengan daya terima makan yang rendah. Oleh karena itu, responden yang sebelumnya mendapat menu makanan lunak mendapat menu makanan biasa atas permintaan dari responden sendiri dengan izin ahli gizi Rumah Sakit Islam Siti Khadijah Palembang.

(53)

Di sisi lain, daya terima makanan responden berdasarkan jenis makanan dimulai dengan jenis makanan pokok dapat dilihat pada tabel 5 berikut:

Tabel 5. Distribusi frekuensi daya terima makanan pokok Gangguan

Pencernaan

Daya terima

Total Baik Tidak baik

n % n % n %

Ada 8 44 10 56 18 100

Tidak ada 7 58 5 42 12 100

Berdasarkan tabel 5 didapatkan hasil bahwa daya terima terhadap makanan pokok yang tergolong baik lebih tinggi pada pasien tanpa gangguan pencernaan sebesar 58% (7 orang) dibandingkan dengan pasien dengan gangguan pencernaan sebesar 44% (8 orang). Sedangkan daya terima makanan pokok yang tergolong tidak baik dengan gangguan pencernaan lebih tinggi sebanyak 56% (10 orang) dibandingkan pasien tanpa gangguan pencernaan sebesar 42% (5 orang). Rendahnya daya terima makanan pada pasien dengan gangguan pencernaan masih cukup tinggi dengan presentase 58%. Hal tersebut dikarenakan gejala gangguan pencernaan yang dialami oleh responden juga dapat mempengaruhi daya terima makanan responden.

Selain faktor risiko akibat masalah gangguan pencernaan, daya terima makanan responden yang masih tergolong tidak baik terhadap makanan pokok perlu diteliti lebih lanjut. Karena berdasarkan penelitian yang dilakukan Santoso, dkk., (2022), Malnutrisi dapat terjadi antara 40- 60% pada pasien rawat inap dengan penyakit akut, yang pada awalnya datang tanpa terdapat permasalahan gizi dan kemudian terjadi penurunan status gizi dalam kurun waktu tiga minggu secara perlahan. Terutama pada pasien diabetes melitus tipe II, defisit nutrisi pada diabetes melitus dapat disebabkan karena ketidakmampuan pasien penderita diabetes militus dalam mendapat dan mengolah makanan, kurang pengetahuan mengenai

(54)

gizi esensial dan diet seimbang, tidak nyaman selama atau setelah makan, disfagia, anoreksia (kehilangan nafsu makan), mual atau muntah, dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan penulis di Rumah Sakit Islam Siti Khadijah bahwa data yang diperoleh selama penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami gangguan pencernaan rata-rata merupakan responden dengan masalah berupa gigi yang tanggal, mual dan muntah, maag hingga konstipasi.

Oleh karena itu, Pasien dengan daya terima rendah memerlukan edukasi dan motivasi yang secara rutin. Selain monitoring gizi, pihak rumah sakit memerlukan evaluasi terhadap suatu standar resep yang dirasa memiliki nilai terima yang rendah.

Tabel 6. Distribusi frekuensi daya terima lauk hewani Gangguan

Pencernaan

Daya terima

Total Baik Tidak baik

n % n % n %

Ada 12 66 6 34 18 100

Tidak ada 9 75 3 25 12 100

Berdasarkan tabel 6 didapatkan hasil bahwa daya terima terhadap lauk hewani yang tergolong baik lebih tinggi pada pasien tanpa gangguan pencernaan sebesar 75% (9 orang) dibandingkan dengan pasien dengan gangguan pencernaan sebesar 66% (12 orang). Sedangkan daya terima lauk hewani yang tergolong tidak baik dengan gangguan pencernaan lebih tinggi sebanyak 34% (6 orang) dibandingkan pasien tanpa gangguan pencernaan sebesar 25% (3 orang).

Selain karena faktor gangguan pencernaan, daya terima makanan yang rendah juga dapat dipengaruhi karena rasa dan penampilan makanan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dewi pada tahun 2015, menyatakan bahwa pasien menilai bumbu makanan yang tidak enak akan menyisakan makanan yang lebih banyak dan makanan yang mempunyai bumbu makanan yang sedikit akan menyisakan makanan yang sedikit.

Gambar

Tabel 2 . Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Sampel  Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Tabel 3. Distribusi frekuensi gangguan pencernaan pada pasien DM tipe II  Gangguan
Tabel 4. Distribusi frekuensi jenis makanan yang diberikan kepada pasien  DM tipe II
Tabel 5. Distribusi frekuensi daya terima makanan pokok  Gangguan
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran obat diabetes melitus pada pasien DM geriatri di Instalasi Rawat Inap RS X Klaten tahun 2011 dan mengetahui ketepatan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa telah terjadi masalah terapi obat pada pasien penderita diabetes melitus komplikasi hipertensi di ruang rawat inap RSUD Kota Langsa

Berdasarkan hasil analisa kuantitatif rawat inap kasus diabetes melitus triwulan I tahun 2014 yang telah diteliti berdasarkan pada review Identifikasi,

telah memotivasi penulis untuk melaksanakan dan menyelesaikan penelitian yang berjudul “Gambaran Mean Platelet Volume pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 yang Rawat Inap di

Berdasarkan hasil peneltian yang telah dilakukan terhadap analisis efektivitas biaya terapi antihipertensi pada pasien hipertensi komplikasi diabetes melitus tipe 2

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa telah terjadi masalah terapi obat pada pasien penderita diabetes melitus komplikasi hipertensi di ruang rawat inap RSUD Kota Langsa

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa telah terjadi masalah terapi obat pada pasien penderita diabetes melitus komplikasi hipertensi di ruang rawat inap RSUD Kota Langsa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengobatan dan efektivitas biaya terapi penggunaan antidiabetik oral pada penderita diabetes melitus tipe 2 rawat inap peserta