TAN ANTROPOL OGIS AM T A TA KEL OL A P EMERINT AHAN D AN P ERCEP A TAN P EMB ANGUNAN P APU A
BAGIAN 3
PENERAPAN DAN ADAPTASI MODEL DAN PENDEKATAN
ANTROPOLOGIS DALAM TATA KELOLA PEMERINTAHAN
DAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN PAPUA
BAB IX
Adaptasi Pendekatan Antropologis dalam
Perencanaan dan Pembiayaan
BAB X
Adaptasi Pendekatan Antropologis dalam Kebijakan
BAB XI
Adaptasi Pendekatan Antropologis dalam Program
BAB XII
AP AN D AN AD AP TASI M ODEL D AN P ENDEK A TAN ANTROPOL OGIS AM T A TA KEL OL A P EMERINT AHAN D AN P ERCEP A TAN P EMB ANGUNAN P APU A
Sebagaimana telah disampaikan dalam Bagian dan Bab-bab terdahulu, pelaksanaan program-program pemerintahan dan pembangunan dengan pendekatan standar-formalistik berdasarkan pada normalitas nasional dalam banyak kasus terbukti tidak efektif, seperti diindikasikan oleh berbagai indeks. Pendekatan antropologis secara eksperimental, sebagaimana dipaparkan dalam Bagian II, telah mengindikasikan bahwa perumusan instrumen-instrumen pemerintahan dan pembangunan – perencanaan dan pembiayaan, kebijakan, program dan implementasinya – yang menempatkan faktor manusia secara sentral telah terbukti memberikan hasil yang lebih menjanjikan.
Sebagai upaya eksperimental, adaptasi dan implementasi nilai-nilai antropologis dari masing-masing program maupun lokasinya (kapupaten) tentu saja belum seluruhnya mengadaptasikan berbagai nilai tersebut. Upaya-upaya lanjutan tentu diperlukan dalam pengambangan selanjutnya. Betapa pun demikian, dari pengalaman riil dalam pelaksanaan program-program pembangunan Papua, pembelajaran secara refleksif menunjukkan adanya kemanfaatan atas adaptasi faktor-faktor antropologis ke dalam sistem, struktur dan institusi tata pemerintahan, demi percepatan pembangunan Papua dalam konteks otonomi khusus.
Enam pilar nilai antropologis Papua – yaitu penumpukan modal, jaminan sosial, pemanfaatan waktu, hubungan sosial dan tanah –diringkas secara komparatif berdasarkan nilai ideal dan nilai faktual dengan matriks berikut.
Tabel 3.0.1.
Komparatif Nilai Normatif dan Nilai Lokal Papua
Parameter Nilai Normatif Nilai Lokal Papua
Penumpukan Modal
Penumpukan modal harus diarahkan untuk keuntungan ekonomi dan menciptakan keuntungan ekonomi baru lagi (karya untuk menciptakan karya baru lagi), dengan memperhatikan aspek keharmonisan tatanan sosial
Penumpukan modal lebih ditujukan untuk keuntungan sosial
Jaminan Sosial Orang tidak mampu wajib ditanggung oleh komunitas
Jaminan sosial dalam konteks balas budi tapi tidak terikat waktu dan ketetapan jumlah terjadi hanya di lingkungan klan Pemanfaatan
Waktu
Waktu adalah eksistensi hidup. Oleh karena itu, harus digunakan sebaik mungkin
Waktu dinilai dalam kerangka fungsional, artinya pengaturan waktu sesuai kepentingan dan kebutuhan sesaat Hubungan
Sosial
Ikatan sosial harus dibangun pada level komunitas
Ikatan sosial sangat kuat (kolektivisme) lebih pada extended family daripada komunitas
Pekerjaan
Pekerjaan adalah eksistensi hidup. Jadi, orang harus selalu bekerja, tidak kerja dianggap komunitas memalukan
Pekerjaan dinilai dalam kerangka fungsional, artinya bekerja sesuai kepentingan dan kebutuhan pribadi dan keluarga
Tanah Tanah aset memperoleh keuntungan tapi tidak dilepas (fungsional)
Tanah bagian dari hidup individu dan klan tak bisa dipisahkan (eksistensi hidup)
ilai Dasar O rang P apua engelola T a ta P emerin tahan ( G o v ernanc e)
Dari perspektif antropologi, penerapan keenam nilai tersebut dalam percepatan pembangunan Papua sebagai bentuk pewujudan otonomi khusus menempatkan orang Papua dalam situasi paradoksal dan dilematis. Berbagai upaya yang dilakukan – dalam pengembangan dan pelaksanaan program, dukungan perumusan kebijakan serta fasilitasi perencanaan dan pembiayaan – mengindikasikan bahwa orang Papua masuk dalam fase tansisional yang tiba-tiba, tanpa dipersiapkan sebagaimana seharusnya dan rumit.
Adaptasi terhadap nilai-nilai normatif yang ’relatif baru’ dan penghayatan terhadap nilai-nilai asli yang ’tradisional’ memposisikan orang Papua dalam konfigurasi perseberangan biner (binary), yang seolah-olah antagonistik. Perseberangan biner tersebut terjadi setidaknya dalam lima jenis habituasi, yaitu:
1) Individualisme versus Kolektivisme 2) Hirarkik versus Egaliter
3) Ketundukan (mastery) versus Harmoni 4) Subsisten versus Produktif
5) Eksistensi Hidup versus Kerangka Fungsional
Perseberangan-perseberangan biner pada nilai-nilai orang Papua tersebut dewasa ini mengerangkai tindakan-tindakan baik secara individual dan kolektif dengan variabilitas yang sangat kompleks. Sayangnya, studi refleksif ini belum mampu menguak sejauh mana nilai-nilai tertentu dinilai sesuai atau tidak sesuai oleh orang Papua baik secara mandiri atau pun terarahkan secara struktural dalam masing-masing entitas mereka. Keragaman bentuk percampuran muncul secara sangat beragam dan belum pernah dilakukan penyelarasan atau komonalisasi dalam konteks ’masyarakat Papua’ yang lebih luas. Konteks dari penyelarasan dan komonalisasi ini adalah dalam upaya secara kolektif membangun ’ke-Papua-an’; yang mungkin hanya akan terjadi dalam proses yang membutuhkan waktu sangat panjang.
Oleh karenanya, adaptasi nilai-nilai dan pendekatan-pendekatan antropologis ke dalam berbagai kerangka instrumental dan eksperimental percepatan Pembangunan Papua menghendaki adanya pemahaman terhadap kompleksitas kekhususan lokal. Upaya seperti ini acap kali terlupakan dalam proses-proses pemerintahan dan pembangunan yang dilakukan secara formalistis. Dalam kenyataannya, pelaksanaan nilai-nilai asli dan nilai-nilai baru serta perseberangan biner tersebut tidak terpisah-pisahkan secara tegas, melainkan justru tercampur dalam bentuk-bentuk struktural dan institusional lokal.
Dalam upaya membangun model-model adaptasi nilai-nilai antropologis ke dalam berbagai instrumen percepatan pembangunan Papua, sejumlah bentuk percampuran nilai-nilai antropologis telah dipetakan. Pemetaan tersebut dapat dikategorikan sebagai upaya untuk membangun tipologi awal dari nilai-nilai antropologi orang Papua. Pemetaan dilakukan dengan memperhatikan kekhasan dari setiap entitas masyarakat di berbagai daerah dan suku-suku yang ada di dalamnya. Upaya ini dilakukan dengan menyadari bahwa di luar dari hasil pemetaan ini masih terdapat ratusan kekhasan lain yang layak untuk ditambahkan di masa depan; yang barangkali diselaraskan dengan pengembangan dan pelaksanaan program percepatan pembangunan Papua.
AP AN D AN AD AP TASI M ODEL D AN P ENDEK A TAN ANTROPOL OGIS AM T A TA KEL OL A P EMERINT AHAN D AN P ERCEP A TAN P EMB ANGUNAN P APU A
Mayoritas orang Papua yang belum mengkota (urbanized) yang pada umumnya tinggal di daerah-daerah pedalaman (bukan pantai) mengalami habituasi unik, misalnya dalam keterkaitan mereka dengan pemupukan modal dan harmoni. Seperti diilustrasikan dalam Tabel 3.0.2., ketundukan orang Papua pada alam dan harmoni dikatakan sangat tinggi. Karena sangat menghormati alam dan harmoni, eksploitasi alam sebagai cara untuk memupuk modal hampir tidak terjadi. Sementara itu, pekerjaan yang berkaitan dengan kehidupan dan penghidupan dilakukan secara subsisten, yaitu lebih untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Ambisi untuk menjadi individu yang ’mengemuka’ hampir tidak terjadi dan tumnduk pada struktur adat yang telah mewaris. Ambisi untuk menjadi individu yang mengemuka pada umumnya dilakukan dengan cara menjadi ’orang berhasil’ di luar komunitas asli. Kalau pun ada kompetisi, pada umumnya terjadi ’secara diam-diam’ sampai orang tertentu memiliki ’modal’ atau kekayaan yang mencukupi dan mendapatkan pengakuan dari komunitas. Hal ini banyak terjadi di antara orang-orang Papua pedalaman yang sudah mulai mengkota.
Tabel 3.0.2. Nilai tentang penumpukan modal dan pekerjaan
Entitas Nilai Ketundukan (Mastery) Harmoni
Nilai Dasar
Hubungan manusia dengan alam dan sosial di-tandai dengan mengontrol, menguasai dan me-manfaatkan sesuai kemauan kita dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok
n/a
Tipe Nilai
Mengedepankan atau mengutamakan diri sendiri dalam mencapai tujuan hidupnya (ambisi, kesuksesan, berani, kompetensi) jadi memanfaatkan alam bukan untuk keuntungan sebesar-besarnya
Mengedepankan keharmonisan dengan alam, jadi memanfaatkan alam sesuai kebutuhan sesaat dalam rangka menjaga keharmonisan dengan alam
Mentalitas
Kompetisi antar warga ’secara diam-diam’ untuk menjadi yang terbaik, berusaha mengumpulkan kekayaan sebanyak mungkin, berusaha meng-umpulkan pengikut sebanyak mungkin, usaha keras untuk jadi pemimpin melalui kemampuan pribadi (ambisi, berani, kompeten).
Kompetisi terbuka antar warga rendah dalam hal memanfaatkan alam (makanan) untuk memenuhi kebutuhan sesaat serta rendahnya mental mengumpulkan kekay-aan untuk tujuan produktif
Pengamatan partisipatoris juga menunjukkan adanya keterkaitan erat antara nilai-nilai yang berkenaan dengan waktu dan pekerjaan. Dari Tabel 3.0.3. dapat diketahui bahwa meskipun waktu bukanlah pengikat perilaku hidup sehari-hari dan pekerjaan dapat dipandang secara subsisten atau produktif (berbeda-beda antar entitas), orang malas akan diremehkan atau dicemooh. Perspektif tentang waktu pada umumnya berjangka pendek, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan segera. Hal ini barangkali terjadi karena kekayaan alam yang cenderung ‘memanjakan’.
ilai Dasar O rang P apua engelola T a ta P emerin tahan ( G o v ernanc e)
Tabel 3.0.3. Nilai tentang waktu dan pekerjaan
Entitas Nilai Subsistensi Produktif
Nilai Dasar Waktu dan pekerjaan dinilai dalam kerangka fungsional, artinya kepentingan dan peman-faatan waktu sesuai dengan kebutuhan sesaat dan keutuhan produktif (investasi dan mencari untung secara ekonomi)
Waktu dan pekerjaan adalah eksistensi hidup, jadi orang harus selalu bekerja
Tipe Nilai Memanfaatkan waktu untuk memenuhi kebutuhan sesaat (santai, kurang disiplin dan konsumtif)
Sebuah penekanan budaya yang menggang-gap waktu adalah eksistensi hidup (disiplin, kerja keras, tepati janji)
Mentalitas Pemanfaatan waktu dalam kerangka fungsional untuk memenuhi kebutuhan saat itu (pemba-gian waktu untuk pekerjaan tidak ketat, waktu lebih banyak digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan sosial)
Nilai penting dalam masyarakat Papua pe-kerja keras sangat dihargai dan orang malas dicemohkan dan dianggap remeh
Pergeseran dari subsistensi menuju produksi tampaknya mempengaruhi nilai dan pandangan orang Papua terhadap tanah dan modal. Orang Papua yang mengalami transisi agak mendadak sepertinya belum dapat melembagakan secara kolektif dan mapan tentang nilai tanah sebagai basis eksistensial individual dan kolektif, menjadi nilai tanah sebagai aset fungsional yang menentukan ‘derajat’ eksistensial. Tabel 3.0.4. menunjukkan temuan awal yang menjelaskan bahwa ketegangan seringkali muncul dalam entitas suku maupun klan ketika tanah tidak sepenuhnya menjadi dasar pemenuhan kebutuhan (ekonomi, sosial dan kultural klan atau suku), tetapi mulai dikuasai oleh orang-orang yang ‘mengindustri’ atau yang bekerja dan menguasai tanah sebagai modal individual.
Tabel 3.0.4. Nilai tentang tanah dan penumpukan modal
Entitas Nilai Eksistensi Hidup Kerangka Fungsional
Nilai Dasar Tanah adalah eksistensi hidup. Oleh karena itu, tidak dapat dipisahkan dari individu, keluarga dan komunitas
Tanah mulai diposisikan sebagai aset yang dapat dimanfaatkan dalam kerangka fungsion-al (sandang, pangan, bisnis, dan lain-lain)
Tipe Nilai Menjadikan tanah sebagai sumber kehidupan sehingga sangat disakralkan (sumber pangan, papan, profane) untuk generasi sekarang dan akan datang
Mulai memandang tanah sebagai aset properti yang dapat dimanfaatkan untuk keuntungan ekonomi (penumpukan modal)
Mentalitas Tanah adalah milik bersama (klan) jadi dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kepentingan klan dan tidak dapat diperjualbelikan
Nilai kerja keras berdampak pada pengua-saan tanah semakin luas dalam kepemilikan klan (rajin sama dengan memiliki aset tanah semakin luas)
Perubahan yang terjadi terhadap nilai-nilai tentang waktu, kerja, tanah dan modal yang berkorelasi satu terhadap yang lain – bisa negatif atau positif – tampaknya juga berpengaruh terhadap pergeseran tentang nilai sosial dan jaminan sosial. Tabel 3.0.5. dapat memberikan gambaran dasar tentang bagaimana nilai hubungan sosial dan jaminan sosial orang Papua masuk dalam perseberangan antara individualisme-kolektivisme dan hirarki-egalitarianisme.
AP AN D AN AD AP TASI M ODEL D AN P ENDEK A TAN ANTROPOL OGIS AM T A TA KEL OL A P EMERINT AHAN D AN P ERCEP A TAN P EMB ANGUNAN P APU A
Tabel 3.0.5. Nilai tentang hubungan sosial dan jaminan sosial
Entitas
Nilai Individualisme Kolektivisme Hirarkik Egaliter
Nilai Dasar Kepentingan subsis-tensi individual yang didahulukan (individu-alisme di atas kolektiv-isme ekonomi?)
Dalam konteks klan atau suku, orang-orang yang otonom/ individualis berbaur atau terikat kolektiv-isme (kolektivkolektiv-isme di atas individualisme sosio-kultural?)
Menjamin perilaku yang bertanggung jawab dalam meles-tarikan tatanan sosial. Untuk mencapai ini, orang harus saling menghormati, meng-hargai, bekerjasama, sehingga ada saling ketergantungan sosial
n/a
Tipe Nilai Secara kemandirian pemikiran: Indi-vidualisme/ otonom diri dilihat dari ide atau pikiran, yaitu penekanan budaya pada keinginan individu secara bebas/ independen mengejar ide-ide mereka sendiri dan arah intelektual (keingintahuan, kes-adaran, kreativitas)
Pemeliharaan status quo, kepatutan, dan menahan diri dari tindakan atau kecend-erungan yang mung-kin mengganggu solidaritas kelompok atau tatanan tradisi-onal (tatanan sosial, menghormati tradisi, keamanan keluarga, kebijaksanaan)
Sebuah penekanan budaya pada le-gitimasi dari suatu distribusi kekuasaan yang tidak seimbang, peran dan sumber daya (kekuatan sosial, otoritas, kerendahan hati, kekayaan)
Mendorong anggota masyarakat dalam mengenali satu sama lain sebagai moral yang setara yang berbagi kepentingan dasar sebagai ma-nusia. Orang-orang disosiali-sasikan untuk meng-inter-nalisasikan suatu komitmen untuk kerjasama sukarela dengan orang lain dan merasa perha-tian bagi kesejahter-aan semua orang. Sebuah pene-kanan budaya pada tran-sendensi kepen-tingan komunitas dalam mendukung komitmen sukarela untuk meningkat-kan kesejahteraan orang lain, seperti kesetaraan, keadilan sosial, kebebasan, tanggung jawab, dan kejujuran.
Secara afektif: Penekanan budaya pada keinginan indivi-du secara independen mengejar pengalaman afektif yang positif (kesenangan, kehidu-pan hidup, menarik, bervariasi)
ilai Dasar O rang P apua engelola T a ta P emerin tahan ( G o v ernanc e) Entitas
Nilai Individualisme Kolektivisme Hirarkik Egaliter
Mentalitas Kompetisi antarwarga untuk menjadi yang terbaik, pembela dan pengayom, adil (perkataan dan per-buatan), berjiwa sosial (ringan tangan dalam membantu warga masyarakat), dan demokratis (membuat keputusan atas dasar kesepakatan bersama) –“Tonowi” ( suku Mee), “Bobot” (suku Meybrat), “Kayepak” (suku Muyu), “Tesmyip-its” (suku Asmat), dan “Kain” (Dani)
Kolektivisme: Pem-bela dan pengayom, Kompetisi antarwarga rendah, kurang de-mokratis, menolong warga yang kurang mampu – Suku bangsa di pantai utara Sentani, Kemtuk, Nimboran, Kayu Pulo, Engros, Tobati, Nafri, dan lain-lain, tipe ondoafi
Pembela dan pen-gayom, Kompetisi antarwarga rendah, kurang demokratis, menolong warga yang kurang mampu – Suku bangsa di pantai utara Sentani, Kemtuk, Nimboran, Kayu Pulo, Engros, Tobati, Nafri, dan lain-lain, tipe ondoafi
Kompetisi antar-warga untuk menjadi yang terbaik, pem-bela dan pengayom, adil (perkataan dan perbuatan), berjiwa sosial (ringan tangan dalam membantu warga masyarakat), demokratis (mem-buat keputusan atas dasar kes-epakatan bersama) – –“Tonowi” ( suku Mee), “Bobot” (suku Meybrat), “Kayepak” (suku Muyu), “Tesmy-ipits” (suku Asmat), dan “Kain” (Dani)
Dalam adaptasi nilai-nilai antropologis ke dalam instrumen-instrumen pemerintahan dan percepatan pembangunan Papua, kompleksitas tersebut seringkali tidak diperhitungkan atau dipertimbangkan sepenuhnya; jika tidak dikatakan terabaikan. Adaptasi nilai-nilai antropologis dalam percepatan pembangunan Papua dengan seluruh instrumen kebijakan dan administrasinya membutuhkan peramuan di antara berbagai nilai asli yang memiliki dimensi sosial, ekonomi, politik dan budaya, dalam kerangka individual dan komunal. Seluruh rangkaian studi refleksif sebagaimana telah dipaparkan dalam Bagian 1 dan Bagian 2 menunjukkan bahwa adaptasi nilai-nilai antropologis (meski masih pada fase yang relatif awal dan agak terbatas) dapat mendorong, lebih menjamin serta memapankan percepatan pembangunan di Papua. Dalam prakteknya, disadari bahwa tidak ada satu pendekatan umum dan baku dalam mengadaptasikan nilai antropologis dalam penguatan pemerintahan dan percepatan pembangunan Papua. Namun yang jelas adalah bahwa berbagai pengabaian terhadap nilai-nilai antropologis seperti telah diamati selama ini justru cenderung kontra-produktif dan mengakibatkan daya rusak; yang secara observasi bersifat masif.
Kecenderungan untuk secara tiba-tiba dan tanpa persiapan yang memadai dalam mempersiapkan penerimaan dan kapasitas Papua serta pengakuan dan pelembagaan nilai-nilai antropologis justru cenderung merusak. Penerapan nilai-nilai-nilai-nilai moderen, profesionalisme, industrialisme-kapitalistik serta keterbukaan-intrusif justru rentan terhadap eksternalitas seperti dualisme dalam berbagai aspek, korupsi, pelanggaran HAM, kemiskinan, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan yang lebih parah, muncul etnosentrisme dikotomis Papua-Pendatang yang mengarah pada konflik-konflik sosial semakin meningkat. Adaptasi nilai-nilai antropologis dalam percepatan pembangunan Papua diharapkan dapat mengantisipasi dan mereduksi efek negatif dari pembangunan yang dilaksanakan hanya berorientasi pada pembangunan ekonomi, yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi menekankan perluasan variabel ekonomi, seperti Gross Nationa Product (GNP) dan Net National Product (NNP) dan cenderung tidak mengutamakan pemerataan, kesejahteraan masyarakat dan penurunan kemiskinan.
endek atan A n tr opolog is Dalam P er encanaan Dan P embia yaan