• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tegangan Individualisme Versus Kolektivisme Dalam Hubungan Sosial, Jaminan Sosial, Pekerjaan, Penumpukan Modal Dan Nilai

f) Nilai budaya mengenai Jaminan Sosial

B. Pola Perilaku Orang Papua

1. Tegangan Individualisme Versus Kolektivisme Dalam Hubungan Sosial, Jaminan Sosial, Pekerjaan, Penumpukan Modal Dan Nilai

Tanah

Kepentingan siapa yang didahulukan apakah individualisme atau kolektivisme menjadi pertanyaan yang mandasar sehingga penting untuk dielaborasi dalam membangun pemahaman terhadap orang Papua. Dalam individualisme terdapat terdapat dua aspek yaitu Otonomi Intelektual dan Otonomi Afektif. Otonomi intelektual dilihat dari ide atau pikiran yang menekankan pada keinginan individu secara bebas/independen mengejar ide-ide mereka sendiri dan arah intelektual seperti keingintahuan, kesadaran, kreativitas. Sementara otonomi afektif menekankan pada keinginan individu secara independen mengejar pengalaman afektif positif seperti kesenangan, kehidupan yang menarik. Kedua aspek tersebut ditandai dengan kompetisi yang kuat. Pada masyarakat Papua terutama suku-suku di daerah pegunungan memiliki ciri-ciri nilai, seperti kompetisi antarwarga untuk menjadi yang terbaik, pembela dan pengayom, adil (perkataan dan perbuatan), berjiwa sosial (ringan tangan dalam membantu warga masyarakat), dan mampu membangun negosiasi atas dasar kesepakatan bersama.

Sementara nilai yang menjadi landasan kolektivisme mengacu pada sejauh mana orang-orang yang otonom/individualis tertanam dalam ikatan sosial tertentu guna mempertahankan dan memelihara keseimbangan tatanan, kepatutan, dan menahan diri dari tindakan atau kecenderungan yang mungkin mengganggu keseimbangan kelompok berupa solidaritas kelompok atau tatanan tradisional. Wujud dari nilai ini seperti menghormati tradisi, menjaga keamanan keluarga, dan memilih kebijaksanaan hidup. Ikatan sosial menjadi penanda bekerjanya nilai mentalitas nilai ini yang memiliki ciri-ciri nilai kolektivisme, seperti membela dan mengayomi warga dalam ikatan marga, kompetisi antarwarga rendah, membangun jaminan sosial dalam ikatan marga atau klan serta menolong warga yang kurang mampu. Kedua entitas nilai tersebut, hari nyata-nyata hidup dalam struktur mental orang Papua.

ilai Dan P er ilak u Or ang P apua

Tabel 2.5.2. Tegangan Individualisme Versus Kolektivisme Dalam Hubungan Sosial, Jaminan Sosial, Pekerjaan, Penumpukan Modal Dan Nilai Tanah

Nilai Mimika Keerom Pegunungan Bintang

Hubungan Sosial

• Hubungan sosial orang Kamoro terjadi atas dasar kesamaan ”Taparu” (tempat tinggal/kampung) dan perkawinan/”Kaukapaiti” (kerabat afinal). • Persaingan dan konflik di antara klan/marga kurang begitu nampak • Kondisi yang sering

ditemui dalam kehidupan mereka adalah kerjasama dan saling menolong dalam hal memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan juga dalam hal kegiatan adat, seperti membayar mas kawin, menyelenggarakan upacara adat, bayar denda, membangun fasilitas umum. • Komunalisme hanya berlaku pada kegiatan adat seperti pesta kawin dan upacara keagamaan yang biasanya ditunjukan dalam bantuan sukarela dalam bentuk curahan tenaga. • Individualisme menguat yang dicirikan dengan adanya motif pribadi yang diukur dari manfaat bagi diri sendiri dan bukan manfaat bagi keompok dalam dalam menjalankan hubungan sosial. • Kehidupan sosial orang Ngalum berpusat pada hubungan

kekerabatan tercermin dalam konsep ”Kakadon” (Marga). Ikatan marga selanjutnya diatur dalam ”Apiwol” atau rumah adat orang Ngalum . Ikatan tersebut memunculkan tanggung jawab sosial antara sesama anggota klannya seperti dalam konsep “maitan mai kopkanon” yang artinya seluruh warga kelompok memberikan perhatian bila ada warga yang membutiuhkan bantuan. • Ada hubungan atasan (patron/big

man) dengan bawahan (masyarakat luas) yang bersifat dinamis

(kepentingan sesaat – setiap orang dapat menjadi big man).

• Munculnya persaingan didalam atau antar klan, walaupun intensitasnya tidak terlalu besar. Konflik bisa berupa masalah adat, perempuan, sengkataan batas ulayat atau persaingan politik tradisional yang menyeret kelompok-kelompok kekerabatan didalamnya. Jaminan

Sosial

• Konsep “Ndaitita” yang nampak dalam lima aspek kebudayaan masyarakat Kamoro, yaitu prinsip “Naware-poka”, “Kaukapiti”, “Imi-imi”, “We-Iwaoto” dan “Taparu”. Konsep-konsep yang dikemukakan ini memberikan jaminan bahwa setiap orang Komoro memiliki prinsip saling menolong apabila saudaranya mengha-dapi masalah. Bantuan tersebut, sebenarnya merupakan suatu ikatan sosial yang mengharap-kan anggota kerabat yang memberi akan dibantu juga pada saat ia menghadapi masalah hidup. • Adanya Konsep ”Yaba-Gurak” yang dalam bentuk bantuan untuk anggota klan, seperti membayar mas kawin, mem-bangun rumah, membuat kebun. • Bantuan tersebut dimaknai sebagai hutang budi sehingga harus dikembalikan ketika orang tersebut membu-tuhkan bantuan. • Ada konsep tukar saudara sebagai ikatan persauda-raan seperti adik perempuan diberikan pada adik bapa (bapa ade)..

Adanya konsep resiprositas berim-bang, yang disebut “angelmuk kadik”. Setiap individu wajib membantu ang-gota klannya yang membutuhkan. Dan suatu saat bila ia membutuhkan bantuan , maka mereka yang pernah dibantunya tersebut wajib memberi-kan bantuan.

Kebutuhan seorang individu meru-pakan tanggung jawab kelompok dalam klan. Biaya yang dikeluarkan dapat berupa biaya atas dasar tradisi adat orang Ngalum, seperti mas kawin, denda adat, atau biaya sosial lain, seperti membantu orang sakit, serta membantu anak-anak kerabat yang sedang bersekolah.

Memberikan pinjaman juga merupak-an salah satu bentuk jaminMemberikan pinjaman juga merupak-an sosial yang ada dalam kehidupan orang Ngalum. Pinjaman ini atas dasar kepercayaan dapat dikembalikan tanpa ditentukan waktu tertentu dan kadang bentuk dari pengembalian bisa berbentuk lain yang dinilai setara.

ilai Dasar O rang P apua engelola T a ta P emerin tahan ( G o v ernanc e) Pekerjaan • Hasil yang diperoleh dari aktivitas mata pencaharian hidup mereka pada umunya didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga (suami/ istri dan anak-anak) dan kepada kaum kerabat dalam “Taparu” maupun “Kaukapaiti”.

• Pekerjaan yang membutuhkan tenaga banyak orang, biasanya dikerjakan oleh keluarga inti yang disebut taparu dan dibantu oleh masyarakat lainnya. • Pekerjaan yang bersifat sosial mulai dikonversi dengan uang. Misalnya, ada anggota klan yang sedang membangun rumah maka harus membayar tenaga mereka. Sehingga terjadi pergeseran nilai pekerjaan dari yang bersifat kolektif menjadi individual. • Pekerjaan dalam pandangan orang Ngalum bersifat kolektif, yakni bekerja untuk keloompoknya . Pola hidup subsisten untuk menghadapi tantangan alam yang keras menjadi konteks hadirnya kebutuhan mengorganisasikan pekerjaan secara kolektif dimana anggota klan dituntut kerja keras untuk menjamin ketersediaan pangan bagi kelompok mereka.

Penumpu-kan Modal

• Bagi masyarakat Kamoro, konsep penumpukan modal lebih pada persiapan mereka untuk kebutuhan sosial seperti menolong anggota kerabat (Taparu) dan juga denda. Jadi, bukan mengumpulkan kekayaan untuk prestise (status sosial),

• Prinsip penumpukan modal bertujuan untuk meningkatkan ekonomi (aset/kesejahteraan) keluarga tetapi

merupakan jaminan sosial keluarga. • Orang Arso sebagai suku asli di Keerom memandang penumpukan modal tidak hanya dilihat sebagai upaya mencari keuntungan ekonomi belaka, tetapi juga berorientasi memenuhi kebutuhan sosial. • Sering kali penumpukan modal yang dilakukan oleh orang Ngalum diorientasikan kepada membangun prestise sosial. Status ini dapat diperebutkan dan bersifat dinamis. Siapa saja di antara orang Ngalum yang memiliki potensi tersebut bisa memperebutkan status sebagai ”kitki” (Big Man).

Tanah • Masyarakat Kamoro di Nawaripi mengenal dua jenis tanah atau daerah, yaitu: Pertama, Tanah milik pribadi/individu dan keluarga. Kedua, tanah milik bersama atau umum. Kedua jenis tanah tersebut bernilai komunal • Tanah ulayat dipandang sebagai modal untuk menjamin hidup klan, marga dan komunitas kampung. • Tanah merupakan modal sosial yang dimiliki bersama dan menjadi sandaran hidup bagi seluruh komunitas Ngalum

ilai Dan P er ilak u Or ang P apua

2. Tegangan Hirarki versus Egaliter Dalam Nilai Hubungan Sosial