• Tidak ada hasil yang ditemukan

DILEMA NEGARANISASI KAMPUNG DI PAPUA

ANTROPOLOGIS DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN KAMPUNG BERBASIS OTONOMI ASLI

A. DILEMA NEGARANISASI KAMPUNG DI PAPUA

ta P emerin tahan ( G o v ernanc e)

A. DILEMA NEGARANISASI KAMPUNG DI PAPUA

Awal persoalan dalam pembangunan kampung di Papua dapat dilacak pada kekeliruan pemahaman terhadap eksistensi kampung yang cenderung disamakan dengan pengertian desa (pada kasus Jawa) sebagai satuan sosial terendah yang memiliki kesamaan adat istiadat, budaya, dan otonomi dalam mengatur masyarakatnya. Ini tampak dalam penyebutan definisi kampung yang oleh UU No. 21 tahun 2011 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yaitu “Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota”. Pengertian ini tidak berbeda dengan pengertian desa atau nama lainnya sebagaimana disebut dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu “kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan pengertian di atas, maka komponen pokok dalam definisi desa adalah: 1) kesatuan masyarakat hukum; 2) memiliki batas wilayah; 3) berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat; 4) pengakuan asal-usul dan adat istiadat setempat; 5) diakui dalam sistem pemerintahan nasional sebagai bagian dari pemerintahan daerah (Kabupaten/Kota).

Definisi ini menimbulkan cukup banyak masalah saat digunakan untuk mengerangkai keberadaan kampung di Papua. Berikut ini adalah dilema yang muncul akibat dari ketidaktepatan tersebut.

Tabel 2.6.1. Perbandingan Definisi Kampung Asli Papua dan Kampung Bentukan Negara

Komponen Kondisi Asal Kampung Papua Institusionalisasi oleh Negara (UU 32/2004)1

kesatuan masyarakat hukum

- Kampung merupakan bagian dari kekuasaan adart, melalui lembaga adat suprakampung

- Kampung memiliki pemerintah sendiri dan dihasilkan melalui pemilihan

memiliki batas wilayah - Kampung lebih sebagai tempat untuk bermukim dan umumnya mendekati wilayah kebun dan memungkinkan berpindah-pindah

- sumberdaya dikelola pada level klan

- Wilayah pemukiman diformalisasi secara administratif sebagai kampung

berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

- Kewenangan pengaturan urusan masyarakat dan sumberdaya berada pada klan/marga/sub-suku (supra kampung)

- melokalisir kewenangan

pemerintahan kampung berdasarkan satuan administrasinya, dengan tingkat kewenangan yang terbatas - Menerima urusan dari pemerintah supra-kampung

pengakuan asal-usul dan adat istiadat setempat

- Masyarakat memiliki adat istiadat lokal dan merupakan bagian dari

adat suku

- Pengakuan sebatas penyebutan nama-nama lokal (formalistis)

imen tasi Dan R efleksi N ilai-N ilai A n tr opolog is Dalam P rog ram P ember da yaan K ampung B er basis O tonomi A sli

Komponen Kondisi Asal Kampung Papua Institusionalisasi oleh Negara (UU 32/2004)1

diakui dalam sistem pemerintahan nasional sebagai bagian dari pemerintahan daerah (Kab/Kota)

- Tidak mengenal kekuasaan supra-adat/ negara

- Kampung merupakan bagian dari wilayah teritori klan atau suku

- Dijadikan sebagai bagian dari pemerintahan nasional sebagai sub-wilayah dari kab/kota

- menerima urusan dan sebagian kewenangan dari pemerintah atasan

Penyamaan kampung sebagai tempat bermukim dengan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki wewenang dan otonomi untuk mengelola urusan masyarakatnya secara mandiri relatif berbeda. Jika aspek kewenangan dan otonomi dalam mengelola urusan masyarakatnya (termasuk dalam pengelolaan sumberdaya) hendak dimasukkan, maka cakupan wilayah geografis yang dapat disebut kampung semestinya lebih luas dari yang ada saat ini.

Keberadaan kampung sebagai pengganti istilah desa ini ini kian rumit saat dihadapkan pada berbagai persyaratan pembentukan desa, yaitu jumlah penduduk, luas wilayah, bagian wilayah kerja, perangkat, dan sarana dan prasarana pemerintahan. Khusus untuk Papua, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PP No. 72/2005 ditentukan bahwa jumlah penduduk minimal untuk membentuk kampung adalah 750 jiwa atau 75 KK. Bagi kampung di Papua, terutama di daerah-daerah pedalaman, kecukupan syarat ini relatif sulit dilakukan saat dilekatkan pada kondisi asli kampung. Keberadaan kampung sebagai daerah pemukiman kecil sering hanya beranggotakan sekitar 15-20 KK dengan jumlah penduduk kurang dari 200 jiwa. Masalahnya, jarak antar pemukiman ini cukup lebar dengan medan geografis yang sulit sehingga jika hendak dilakukan dilakukan penggabungan beberapa wilayah pemukiman ke dalam satu kampung maka konsekuensinya wilayah sebuah kampung akan sangat luas sehingga menyulitkan penyelenggaraan fungsi pelayanan.

Pada perkembangannya, konsep kampung sebagaimana didefiniskan oleh negara mengalami persoalan serius saat hendak dilembagakan ke dalam kondisi asli kampung. Institusi kampung tampak tidak sesuai dengan bangunan struktur sosial yang ada. Muatan nilai-nilai baru yang dibawa atau didorong oleh struktur kampung moderen a la negara ini juga menimbulkan pergolakan serius dalam bangunan struktur budaya dalam masyarakat kampung. Beberapa pilar dalam nilai-nilai baru yang diintrodusir oleh kampung dalam perspektif negara ini misalnya terkait dengan aspek kekuasaan supra-kampung, kepemimpinan, lembaga perwakilan, otonomi-kewenangan kampung, kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya, pengelolaan keuangan, pelayanan publik, dan lembaga sosial kemasyarakatan.

Berikut ini adalah gambaran kesenjangan konsep dalam nilai-nilai baru yang dibawa melalui institusi kampung oleh negara dan nilai-nilai yang bersumber dari sistem budaya masyarakat Papua.

ilai Dasar O rang P apua engelola T a ta P emerin tahan ( G o v ernanc e)

Tabel 2.6.2. Perbandingan Nilai-nilai Asli dan Baru dalam Pelembagaan Kampung

Komponen Nilai Baru

(diintrodusir oleh negara) Nilai Asli Kedudukan/Kekuasaan

supra-kampung

Kampung menjadi bagian dari kekuasaan negara, melalui institusi pemerintah Kab/Kota

Kampung menjadi bagian dari kekuasaan suku melalui instusi marga atau supra-marga.

Otonomi-Kewenangan Otonomi kampung adalah kombinasi antara pengakuan dan pemberian dari negara

Kampung memiliki otonomi asli yang diberikan oleh marga atau suku Kepemimpinan Pemimpin tidak diwariskan namun

dipilih secara terbuka melalui mekanisme pemilihan

Pemimpin sebagian diwariskan dan sebagian dipilih karena kecakapan sesesorang, baik karena kewibawaan, kemampuan mengayomi (termasuk keamanan), kekayaan, dan sebagainya Lembaga perwakilan Bamuskam dibentuk sebagai

lembaga permusyawaratan yang menjadi representasi dari berbagai kepentingan di kampung

Lembaga perwakilan/representasi berlaku pada tingkat marga dan supra-marga

Kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya

Kepemilikan kampung diakui dan dapat dikelola oleh kampung sebagai sumberdaya bersama warga kampung

Kampung tidak memiliki kepemilikan atas sumberdaya kecuali sebatas hak guna di antara para anggota marga

Sumber dan Pengelolaan keuangan

Mengenalkan pendapatan asli kampung, bantuan, dan alokasi pembiayaan dari negara yang dapat dipertanggungjawabkan

Kampung tidak memiliki sumber

pendapatan yang dikelola secara bersama

Pelayanan publik Wajib menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan

Kampung tidak menjalankan fungsi pelayanan

Lembaga sosial kemasyarakatan

Wadah pengorganisasian kepentingan dan sarana pemberdayaan warga

Kampung relatif monolitik dan tidak membutuhkan lembaga sosial kemasyarakatan.

Deskripsi dilema nilai-nilai baru dan asli dalam dalam setiap komponen di atas adalah sebagai berikut:

1. Kekuasaan Supra-kampung

Historisitas negara, sebagai kekuasaan supra-kampung, tidak dikenal dalam sejarah kampung di Papua. Kehendak negara untuk memasukkan kampung sebagai bagian dari sistem pemerintahan nasional seringkali berbenturan dengan entitas adat yang menempatkan kampung sebagai bagian yang melekat pada sistem marga dan kesukuan. Pengakuan negara terhadap eksistensi lembaga adat cenderung membatasinya tidak lebih sebagai lembaga kemasyarakatan, termasuk pada level pemerintahan kampung, laiknya organisasi keagamaan atau organisasi sosial lainnya. Di luar Majelis Rakyat Papua (MRP), keberadaan lembaga adat lainnya di tingkat kabupaten/kota sampai kampung praktis tidak terakomodasi dalam struktur formal pemerintahan.

imen tasi Dan R efleksi N ilai-N ilai A n tr opolog is Dalam P rog ram P ember da yaan K ampung B er basis O tonomi A sli

Dualisme kepemimpinan politik tampaknya muncul. Institusi adat merespon negara dengan membentuk struktur tingkatan lembaga yang sebangun dengan institusi negara, paling tidak dari mulai tingkat kabupaten sampai tingkat distrik atau kampung. Alih-alih mengakomodasi atau menyerap bangunan struktur politik masyarakat adat sebagai komponen menyusun bangunan struktur politik lokal, negara cenderung membangun penyeragaman atas Papua seperti di daerah-daerah lainnya.