Berbicara tentang kemiskinan pastilah tidak akan dapat dipisahkan dari Tatakelola pemerintahan sebagai muara dari pelayanan publik. Bank Dunia (1992) mendefinisikan tatakelola pemerintahan yang baik adalah suatu pelayanan publik yang efisien, sebuah sistem peradilan yang dapat dipercaya, dan sebuah administrasi pemerintah yang dapat bertanggung jawab kepada publik. Sementara itu, Ekonomi Bank Dunia Daniel Kaufman, Aart Kraay dan Pablo Zoido Lobation (1999) mendefinisikan tata kelola pemerintahan yang baik sebagai tradisi dan institusi dimana kewenangan sebuah negara dilaksanakan yaitu: (1) proses dimana pemerintahan dipilih, dimonitor dan diganti, (2) kemampuan pemerintah untuk merancang dan melaksanakan suatu kebijakan secara efektif, dan (3) rasa hormat warga negara dan pemerintah terhadap institusi yang mengontrol interaksi ekonomi dan sosial diantara mereka.
Dalam konteks kemiskinan, sebenarnya pemerintah telah melakukan pengarusutamaan untuk penanggulangannya melalui percepatan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs). Tetapi intervensi program tersebut sampai saat ini belum begitu menunjukkan hasil yang menggembirakan. Meskipun angka kemiskinan menunjukkan penurunan, akan tetapi penurunan itu belum sebanding apabila dibandingkan dengan biaya yang sangat besar untuk pembiayaan programnya.
Dalam konteks Provinsi Papua dan Papua Barat, kurang efektifnya intervensi program dalam upaya penanggulangan kemiskinan ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
a) Perencanaan yang kurang baik
Kualitas perencanaan program penanggulangan kemiskinan ataupun program-program pembangunan lainnya yang kurang baik tidak hanya terjadi di Papua dan Papua Barat, akan tetapi hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan 29 Salah satu contoh belum optimalnya implementasi OTSUS adalah dibidang pendidikan. Laporan tentang
Kin-erja Otonomi Khusus Papua yang dirilis oleh Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia me-nyebutkan bahwa sampai dengan 6 tahun implementasi Otonomi Khusus, pendidikan bermutu pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan umumnya hanya dapat dinikmati oleh masyarakat asli Papua yang tinggal di perkotaan dan sekitarnya. Sedangkan mereka yang berada di kampung-kampung yang sulit diakses dari ibukota kabupaten/kota belum memperoleh layanan pendidikan yang memadai; Kedua, alokasi bantuan beasiswa menjadi sangat terbatas dan tidak lancar. Sumber lain yang merupakan pernyataan yang dirilis
dalam website Dewan perwakilan Daerah (DPD) menyatakan bahwa Memasuki tahun kesembilan, otonomi khusus belum berhasil memenuhi keadilan, kesejahteraan, penegakan hukum, dan perlindungan hak asasi orang asli Papua
ilai Dasar O rang P apua engelola T a ta P emerin tahan ( G o v ernanc e)
program dan penganggaran sebagian besar tidak berbasis wilayah dan lebih banyak berupa program-program sektoral yang kurang terkoordinasi. Lemahnya koordinasi-integrasi-sinergi dan sinkronisasi program ini menyebabkan resultan program baik output maupun outcome tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Selain itu, perencanaan yang kurang didasarkan pada ‘needs’ seringkali menyebabkan program-program yang dilakukan kurang sesuai dengan lokalitas yang ada.
b) Komunikasi programatik yang lemah
Secara umum, masyarakat Papua dan Papua Barat belum mampu melakukan ‘engagement’ dengan Pemerintah. Masyarakat Papua belumlah mempunyai kemampuan untuk melakukan komunikasi programataik dengan Pemerintah Daerah. Lemahnya komunikasi program dari masyarakat kepada pemerintah daerah ini diperparah dengan lemahnya infrastruktur organisational dari masyarakat. Masyarakat belum memiliki budaya berorganisasi dengan baik, akibatnya ada hambatan untuk menyampaikan usulan-usulan program yang dibutuhkan oleh masyarakat kepada pemerintah.
c) Kurangnya Pendampingan ‘on-site’
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam implementasi program di Papua dan Papua Barat adalah kurangnya pendampingan kepada masyarakat. Kurangnya pendampingan ini menyebabkan kebingungan masyarakat ketika menerima dana pembangunan. Sebagai contoh adalah dana OTSUS. Seringkali dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan kampung, hanya dibagi habis begitu saja kepada anggota masyarakat yang akhirnya berujung untuk konsumsi. Kasus-kasus yang demikian ini seharusnya bisa dicegah ketika ada pendampingan intensif yang dilakukan kepada masyarakat.
d) Kurangnya Mekanisme Monitoring dan Evaluasi
Terkait dengan implementasi program, lemahnya mekanisme monitoring dan evaluasi program menjadi salah satu permasalahan tersendiri. Hampir tidak ada mekanisme monitoring substansial yang dilakukan dalam implementasi program selain sebatas melakukan prosedur standar pelaksanaan program. Lemahnya mekanisme monitoring dan evaluasi tersebut menyebabkan sulitnya mengukur efektifitas dan ketepatan program untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Dampak yang lebih buruk lagi adalah berkenaan dengan perencanaan dan penganggaran. Tanpa adanya mekanisme monitoring dan evaluasi yang tepat, perencanaan dan penganggaran yang dilakukan biasanya hanya bersifat ‘line item planning and budgeting’ dan bukan berbasis pada ‘performance budgeting’.
Selain permasalahan tersebut diatas, keterpurukan sektor agro di Indonesia tak lepas dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang sangat pro terhadap pasar bebas. Pemangkasan subsidi, penurunan tarif impor untuk bahan pangan dan perubahan BULOG dari yang semula merupakan lembaga pemerintah non departemental menjadi perusahaan umum, turut berperan dalam keterpurukan sektor pertanian30. Meskipun sektor ini memiliki kontribusi signifikan dalam Produk Domestik Bruto Indonesia, pada kenyataannya sektor ini belum berkembang seperti yang diharapkan. Alih-alih berperan dalam penanggulangan kemiskinan, sektor ini justru memiliki kecenderungan penurunan kontribusi (lihat Tabel 1.8 dan Grafik 1.4)
imen tasi Dan R efleksi N ilai-N ilai A n tr opolog is Dalam P rog ram P ember da yaan Ekonomi K ampung
Tabel 2.7.7. Kontribusi Sektor Pertanian dalam Pembentukan Produk Domestik Bruto Indonesia Menurut Harga Konstan Tahun 2000
Lapangan Usaha 2004 2005 2006 2007 2008* 2009**
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 14,9 14,5 14,2 13,8 13,7 13,6
a. Tanaman Bahan Makanan 7,4 7,2 7,0 6,8 6,8 6,8
b. Tanaman Perkebunan 2,3 2,3 2,2 2,2 2,2 2,1
c. Peternakan 1,9 1,8 1,8 1,7 1,7 1,7
d. Kehutanan 1,1 1,0 0,9 0,8 0,8 0,8
e. Perikanan 2,2 2,2 2,2 2,2 2,2 2,2
Sumber: Statistik Indonesia 2010 (BPS,2010)
Grafik 2.7.4. Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap PDB Indonesia Menurut Harga Konstan Tahun 2000
Sumber: Statistik Indonesia 2010 (BPS, 2010)
Sejalan dengan perubahan tatanan politik di Indonesia yang mengarah pada era demokratisasi serta perubahan tatanan dunia yang mengarah pada globalisasi, maka pembangunan sektor agro dihadapkan pada dua tantangan pokok sekaligus. Tantangan pertama adalah tantangan internal yang berasal dari domestik, dimana pembangunan pertanian tidak saja dituntut untuk mengatasi masalah-masalah yang sudah ada, namun dihadapkan pula pada tuntutan demokratisasi yang terjadi di Indonesia. Sedangkan tantangan kedua adalah tantangan eksternal, dimana pembangunan sektor pertanian diharapkan mampu untuk mengatas iera globalisasi dunia. Kedua tantangan internal dan eksternal tersebut sulit dihindari dikarenakan merupakan kesepakatan nasional yang telah dirumuskansebagai arah kebijakan pembangunan nasional di Indonesia. Secara rinci kedua tantangan tersebut disajikan dalam Tabel 1.9 dan Tabel 1.10.
ilai Dasar O rang P apua engelola T a ta P emerin tahan ( G o v ernanc e)
Tabel 2.7.8. Tantangan Internal Pembangunan Pertanian di Indonesia
Jenis Tantangan Jenis masalah Isu pembangunan pertanian Indonesia masa depan
Otonomi Daerah (pemberdayaan Wilayah
Pemberdayaan pengelolaan pertanian oleh daerah
1. Pengembangan pertanian yang mampu menumbuh-kembangkan wilayah
2. Penyiapan Sumberdaya manusia (SDM) dan organisasi pemerintah daerah
Lemahnya layanan publik dalam pembangunan infrastruktur pertanian oleh daerah
Penguatan layanan publik dan Pengembangan infrastruktur pertanian menjadi tangung jawab daerah
Kelestarian sumberdaya 1. Pengembangan komoditas yang sesuai dengan potensi daerah
2. Tuntutan peran serta daerah (kebijakan) dalam menjaga kelestarian sumberdaya
Pengembangan pertanian dari akses lokal ke nasional atau global
1. Promosi untuk pengembangan pasar produk pertanian menjadi tanggung jawab daerah Pemberdayaan Petani Pemberdayaan dalam
pemanfaatan sumberdaya
Kesempatan yang lebih luas dalam pemanfaatan sumberdaya
Pemberdayaan terhadap penguasaan faktor produksi
1. Introduksi teknologi dan inovasi bagi petani 2. Peningkatan akses modal bagi petani Peningkatan posisi tawar petani 1. Peningkatan aksesibilitas dan informasi pasar Pemberdayaan kelompok
petani
1. Pemberdayaan kelembagaan petani untuk peningkatan posisi tawar
2. Peningkatan peran kelembagaan petani untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya di wilayahnya
Tabel 2.7.9 Tantangan Eksternal Pembangunan Pertanian di Indonesia Ciri Globalisasi
Pertanian
Jenis Masalah yang dihadapai dalam era globalisasi
Isu pembangunan pertanian Indonesia masa depan Globalisasi Agribisnis Liberalisasi Investasi pada
sektor pertanian. Adanya Foreign Direct Investment (FDI) dengan teknologi maju dan padat modal
Pengembangan pertanian domestik yang mampu bersaing dengan FDI dari negara lain
Ketergantungan produk pertanian pada pasar dunia
a. Peningkatan volume permintaan di dunia b. Harga input produksi yang
lebih murah
a. Peningkatan ekspor b. Peningkatan efisiensi
imen tasi Dan R efleksi N ilai-N ilai A n tr opolog is Dalam P rog ram P ember da yaan Ekonomi K ampung
Liberalisasi Informasi Kecepatan arus informasi pasar produk pertanian
a. Tuntutan adanya sistem informasi pasar yang lebih cepat diakses petani
b. Tuntutan sistem pemasaran yang lebih cepat untuk orientasi ekspor
Liberalisasi perdagangan
Tidak adanya restriksi perdagangan
Kemandirian usaha pertanian Persaingan perdagangan
berdasarkan keunggulan komparatif
Tuntutan efisiensi usaha pertanian
Perubahan teknologi Lebih cepatnya perkembangan teknologi pertanian di dunia
Tuntutan peningkatan teknologi dan inovasi pertanian sesuai dengan dinamika perkembangan dunia
Kedua tantangan tersebut membawa implikasi bahwa produk-produk hasil pertanian agar mampu bersaing di pasar internasional harus memenuhi persyaratan wajib (necessary condition), yakni: dihasilkan dengan biaya rendah,memberikan nilai tambah tinggi, mempunyai kualitas tinggi, mempunyai keragaman untuk berbagai segmen pasar, mampu mensubstitusi produk sejenis (impor).