• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Hidup versus Kerangka Fungsional dalam Nilai Pekerjaan, Waktu dan Tanah

f) Nilai budaya mengenai Jaminan Sosial

B. Pola Perilaku Orang Papua

5. Eksistensi Hidup versus Kerangka Fungsional dalam Nilai Pekerjaan, Waktu dan Tanah

Tanah adalah eksistensi hidup oleh karena itu tidak dapat dipisahkan dari individu, keluarga dan komunitas. Sebuah penekanan budaya yang menjadikan tanah sebagai sumber kehidupan sehingga sangat disakralkan (sumber pangan, papan, profane) untuk generasi sekarang dan akan datang. Tanah adalah milik bersama (klan) jadi dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kepentingan individu dan keluarga dalam klan dan tidak dapat diperjualbelikan.

Tanah adalah aset yang dapat dimanfaatkan dalam kerangka fungsional (sandang, pangan, bisnis, dan lain-lain). Sebuah penekanan budaya yang memandang tanah sebagai aset properti yang dapat dimanfaatkan untuk keuntungan ekonomi (penumpukan modal). Nilai kerja keras berdampak pada penguasaan tanah semakin luas dalam kepemilikan klan (rajin sama dengan memiliki aset tanah semakin luas).

Prinsip penumpukan modal sudah ada di ketiga masyarakat, tetapi tujuannya bukan meningkatkan ekonomi (aset/kesejahteraan) keluarga tetapi merupakan jaminan sosial keluarga untuk memenuhi kebutuhan, seperti mas kawin, upacara adat, dan penyelesaian masalah-masalah adat. Penumpukan modal dalam pengertian ini bukan saja uang tetapi juga dalam bentuk materi (babi, hutan, tanah, dusun).

Tabel 2.5.6. Tegangan Eksistensi Hidup dan Kerangka Fungsional dalam Nilai Pekerjaan, Waktu dan Tanah

Nilai Mimika Keerom Pegunungan Bintang

Pekerjaan • Pekerjaan dinilai dalam kerangka eksistensi manusia. Artinya, seseorang akan dihormati dan disegani karena dianggap sebagai orang yang rajin dengan bekerja. Sedangkan orang pemalas dihina dengan sebutan tertentu (piniki, nambolki). Hal ini diperkuat dengan masuknya sektor pekerjaan formal yang menaikkan prestise seseorang.

• Pekerjaan dilihat dalam orientasi kerangka fungsional dimana dengan bekerja mereka mendapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari selain makanan.

• Bagi orang Arso, semua orang memang harus bekerja karena hidup manusia mengada dalam pekerjaan. Karena itu, semua jenis pekerjaan dianggap penting yang dalam bahasa Arso disebut “souri”. Jika dia hanya meminta dari orang lain, seperti kerabatnya, perbuatan itu dianggap memalukan.

• Bekerja keras menjadi ukuran utama kualitas seorang individu. Seorang yang rajin dalam konsep orang Ngalum disebut “piniki”. ”Piniki” dianggap penting dalam kehidupan orang Ngalum karena dengan pola hidup subsisten yang menhgadapi tantangan alam yang keras diperlukan kerja keras untuk menjamin ketersediaan pangan untuk kelompok mereka. Sebaliknya, seorang yang dianggap malas disebut “dambolki”. Seseorang akan merasa enggan untuk mendapatkan julukan ini karena berkonotasi negatif.

ilai Dasar O rang P apua engelola T a ta P emerin tahan ( G o v ernanc e) Waktu • Pada masyarakat Komoro waktu bersifat eksistensial dengan membandingkan waktu lalu lebih baik karena gampang mencari makan dan pada waktu sekarang mencari makan lebih susah. • Namun waktu secara

fungsional dipandang dengan menghadirkan kenyamanan hidup dimana waktu sekarang lebih baik dari waktu dulu seperti ketersediaan infrastruktur, pelayanan kesehatan, pendidikan dan kebutuhan hidup “instan”.

• Waktu dalam bahasa Arso disebut “ma”. ”Ma” dikaitkan dengan waktu kerja yang bersifat fungsional. Konsep waktu ini, bergantung dari kemampuan pribadi masing-masing dalam memanfaatkan waktu dalam meraih perolehan ekonomi. untuk menjamin hidupnya. Ini diperkuat fakta Sebagian orang Arso juga berorientasi pada masa depan seperti membiayai pendidikan anak. Ataupun ada pula yang menganggap waktu untuk menempuh pendidikan yang panjang sehingga tidak memberikan manfaat langsung, dibandingkan apabila bekerja di kebun.

Pembagian waktu orang Ngalum dalam kerangka fungsional bersifat tidak ketat dan disesuaikan dengan kebutuhan yang memberi manfaat langsung dari individu tersebut.

Tanah Orang Kamoro menyebut tanah sebagai sumber lahirnya manusia “keluar” yang diartikan lahir dari mata air yang disebut “Bunyomane.”

• Di Keerom, tanah memuat makna eksitensial yang sakral yang dikaitkan dengan sisitem kepercayaan. Pertama, tanah dipandang sebagai 'rahim ibu' (Petskha Vai) atau asal manusia. Kedua, tanah dipandang sebagai rumah (petscekhe nid) atau tempat mereka melangsungkan kehidupan. Ketiga, tanah adalah "kunci kehidupan", "pintu gerbang", dan "pintu kuburan" (pekema).atau prosesi kehidupan manusia. • Begitu sakralnya nilai

tanah bagi orang Arso, pola penguasaan tanah orang Arso bersifat "komunal", sehingga selalu diperuntukan bagi kepentingan bersama suku, keret, klen maupun moeti, Dalam konteks tersebut, tanah-tanah milik komunal sesungguhnya hanya mengenal konsep pemanfaatan namun bukan konsep kepemilikan untuk pribadi.

• Tanah bagi orang Ngalum memiliki nilai eksistensial bersifat sakral yang berkaitan langsung dengan penghidupan mereka. Tanah merupakan modal sosial yang dimiliki bersama dan menjadi sandaran hidup bagi seluruh komunitas Ngalum.

• Secara fungsional Orang Ngalum membagi tanah dalam beberapa fungsi yang berkaitan dengan aktivitas mereka, seperti pemukiman, wilayah kampung mereka sebut “bakon”, hutan primer atau apar yang berfungsi sebagai wilayah berburu disebut, daerah aliran sungai yang disebut “okbali”, daerah lereng perbukitan disebut “bang”, dan tanah kebun disebut “semon”.

ilai Dan P er ilak u Or ang P apua Penumpukan Modal • Konsep penumpukan modal lebih pada persiapan mereka untuk kebutuhan sosial seperti menolong anggota kerabat (Taparu) dan juga denda. Jadi, bukan mengumpulkan kekayaan untuk prestise (status sosial), • Prinsip penumpukan modal bertujuan untuk meningkatkan ekonomi (aset/ kesejahteraan) keluarga tetapi merupakan jaminan sosial keluarga • Konsep kekayaan bagi orang Arso adalah apabila orang memiliki otoritas penguasaan tanah ulayat yang luas, karena dengan memanfaatkan tanah komunal tersebut dia mendapat keuntungan yang banyak. Orang yang kaya disebut “Mrum”, artinya orang yang punya banyak barang.

• Disamping tanah, pada masa lalu, babi menjadi simbol kekayaan karena dulu babi dipakai untuk membayar mas kawin dan menggelar pesta. Namun sekarang babi bukan jadi simbol kekayaan lagi. Penumpukan modal bersifat eksistensial upa “memangola” merupakan salah satu modal sosial untuk mencapai prestise sosial. Kekayaan menjadi penanda seseorang dianggap sebagai "isomki" atau orang kaya yang dilekati dengan sikap ideal sebagai dermawan.”

Isomki” nantinya mendapatkan pengakuan secara luas dalam masyarakat maka individu tersebut akan mecapai satu taraf tertinggi yang disebut sebagai ”kitki” atau dalam konsep teori antropologi disebut big man.

imen tasi Dan R efleksi N ilai-N ilai A n tr opolog is Dalam P rog ram P ember da yaan K ampung B er basis O tonomi A sli

BAB VI