Sebagai kebijakan paling fundamental, Undang-Undang No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan penjelasannya secara eksplisit telah menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik gagal dalam mewujudkan rasa keadilan, kesejahteraan rakyat, penegakan hukum dan penghormatan HAM di propinsi tersebut. Dalam konteks kekhususan, Undang-undang itu dimaksudkan untuk mendukung percepatan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik dengan memberikan kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua dalam mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI.
Kebijakan tersebut dengan tegas ‘mengalihkan tanggung jawab’ kepada propinsi dan rakyat Papua dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan kekayaan alam; setidakny secara parsial. Persoalan yang paling mendasar adalah, sejauh mana propinsi dan orang Papua telah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya agar mampu secara efektif melaksanakan kebijakan yang memberikan kewenangan besar tersebut? Hingga kini, kebijakan dasar yang bersifat asimetris secara umum dapat dikatakan masih sangat normatif, yakni dengan mementingkan formalitas pemenuhan prasyarat pemerintahan, seperti misalnya:
• pengaturan kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Provinsi Papua; • pengakuan dan penghormatan formal terhadap hak-hak dasar orang asli Papua; • pemerintahan berbasis partisipasi kultural-komunal; • memprioritaskan penduduk asli; • pembangunan akuntabel kepada masyarakat; • mekanisme institusional antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; serta • Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua dengan
kewenangan tertentu.
Dengan kebijakan dasar sebagaimana tertuang dalam UU otonomi khusus tersebut, Papua belum dapat keluar dari kemiskinan, keterbelakangan, konflik dan jerat korupsi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjabarkan kebijakan dasar tersebut ke dalam kebijakan-kebijakan yang lebih operasional. Pembahasan tentang kerangka regulasi telah banyak dilakukan dan, oleh karenanya tidak akan diulang dalam studi refleksif antropologis ini.
Berdasarkan pada konteks fenomenologis tersebut, studi refleksif ini telah mempertanyakan, bagian manakah dari proses penyusunan kebijakan yang kurang tepat
ilai Dasar O rang P apua engelola T a ta P emerin tahan ( G o v ernanc e)
(dalam arti appropriate), sehingga setelah lebih dari 10 tahun tujuan-tujuan yang dicanangkan dalam UU tentang Otonomi Khusus Papua belum tercapai? Dari observasi partisipatoris dalam berbagai program penyusunan, evaluasi atau perbaikan kebijakan dapat diketahui adanya perseberangan antara ‘pendekatan negara’ dan ‘pendekatan rakyat’ seperti disandingkan dalam Tabel 3.10.1.
Tabel 3.10.1. Sifat dualistik pembuatan kebijakan
Praktek:
Perumusan kebijakan didominasi negara
Harapan:
Perumusan kebijakan melibatkan rakyat
Kelembagaan: kebijakan dipandang sebagai kegiatan
lembaga pemeritahan yang sangat formal
Kelompok/kolektif: kebijakan berlegitimasi jika
merupakan hasil kesepakatan atau persetujuan kelompok
Elitis: kebijakan ditentukan oleh hasil negosiasi
preferensi elite, baik nasional maupun lokal
Pilihan publik/kumonal: kebijakan sebagai hasil dari
pembuatan keputusan kolektif atau komunal yang berbagi berkepentingan
Inkremental: kebijakan dikembangkan sebagai
rangkaian modifikasi kebijakan sebelumnya
Proses sosial: kebijakan merupakan hasil akhir dari
rangkaian kegiatan sosial (dan politik)
Sistem: kebijakan dipandang sebagai keluaran
instrumental dari sistem tata pemerintahan yang formal
Pilihan rasional rakyat: kebijakan dihasilkan dari
pilihan-pilihan untuk mencapai tujuan dengan prinsip optimalisasi kemanfaatan
Permainan (game): kebijakan sebagai hasil pilihan
rasional dari para pembuatnya dalam situasi yang kompleks dan kompetitif
Paparan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintahan dan pembangunan Papua yang mendasarkan pada otonomi asli terdefisiensi oleh praktek-praktek pembuatan kebijakan yang sentralistik, birokatis, otoriter dan tidak partisipatif. Pola-pola baru dalam pembuatan lebijakan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, desentralisasi, transparansi, partisipasi dan manusiawi. Pembuatan kebijakan seperti ini lebih rasional karena berorientasi pada pencapaian target-target dasar seperti dicanangkan dalam UU tentang Otonomi Khusus Papua serta mendasarkan pada lokalitas masing-masing entitas yang bersifat unik/khas.
Harapan akan terjadinya perumusan kebijakan pemerintahan dan pembangunan yang melibatkan rakyat menunjukkan adanya desakan bahwa nilai-nilai antropologis dari orang Papua diadaptasikan ke dalamnya.
II. A. Nilai dasar orang Papua dan pembuatan kebijakan
Dalam perumusan berbagai kebijakan yang tekait dengan pemerintahan dan pembangunan Papua – yang mencakup Perdasi, Perdasus, Perda dan Perkam – terdapat sejumlah faktor yang telah dipertimbangkan. Dua faktor yang paling dipentingkan adalah faktor politik dan faktor pertahanan dan keamanan. Faktor politik merupakan determinan terpenting dalam pembuatan berbagai kebijakan, dalam pengertian bahwa kebijakan merupakan hasil dari proses penetapan kesepakatan dari aktor-aktor politik politik dan pemerintah. Aktor aktor di luar arena politik dan pemerintahan (seperti misalnya LSM, perguruan tinggi, asosiasi bisnis,
endek atan A n tr opolog is Dalam Kebijak an
kelompok profesi dan media massa) pada umumnya tidak benar-benar diperhitungkan; hanya sebagai bagian dari bahan acuan atau pembenar. Faktor keamanan juga mengemuka dengan mementingkan pengaruh kebijakan pada stabilitas keamanan; meski seringkali tidak sensitif terhadap konflik (vertikal atau horisontal).
Rangkaian faktor lain yang seringkali diperhitungkan adalah faktor ekonomi dan keuangan, faktor administratif pemerintahan dan faktor media-teknologis. Perumusan kebijakan pemerintahan dan percepatan pembangunan Papua juga memperhitungkan faktor ekonomi dan keuangan dengan penekanan pada penggunaan atau penyerapan dana, tetapi agak kurang pada hasil dan kemanfaatan ekonomis yang terkait dengan pencapaian tujuan-tujuan otonomi khusus. Dalam memperhitungkan faktor administratif pemerintahan dalam pembuatan kebijakan, penekanan diberikan pada aspek-aspek yang berkenaan dengan kewenangan politik-pemerintahan. Perhatian pada pembanguan dan sinkronisasi kewenangan terkait dengan optimalisasi pencapaian tujuan otonomi khusus tampaknya relatif minimal. Pembuatan kebijakan juga tidak secara sensitif mempertimbangkan kapasitas riil dari struktur pemerintahan dalam melaksanakan berbagai kewenangan dan urusan dalam pemerintahan dan pembangunan. Bahkan kebijakan juga tidak secara tegas memperhatikan penguatan kapasitas struktur pemerintahan di daerah secara menyeluruh dan konsisten.
Faktor teknologi juga diperhitungkan dalam pembuatan kebijakan, tetapi ditandai dengan elitisme-urban dan tidak sensitif terhadap keterbelakangan atau keterbatasan teknologi. Bahkan berbagai kebijakan yang dirumuskan jarang memuat pemenuhan fasilitas teknologis bagi kebijakan tertentu. Faktor yang paling kurang mendapatkan perhatian adalah faktor sosial, budaya dan agama. Oleh karena itu sensitivitas kebijakan terhadap benturan, konflik atau pun perpecahan yang berlatar belakang sosial, budaya atau agama relatif terbatas; kalau tidak dikatakan tidak sensitif sama sekali. Berbagai faktor penting ini ditambah lagi dengan faktor yang paling fundamental, yaitu faktor nilai antropologis yang relevan dengan pembuatan kebijakan, yang secara ringkat digambarkan dalam Bagan 3.10.1.
Bagan 3.10.1. Nilai dasar orang Papua dan pembaruan kebijakan
1. Modal 2. Kerja 3. Hub Sos 4. Waktu 5. Tanah 6. Jam Sos 1. Pengakuan
2. Pembagian tanggung jawab 3. Jaringan dan koordinasi 4. Sequencing
5. Common pool of resources 6. Risk management and acceptance
1. Tahapan: Agenda setting, Formulasi, Academic drafting, Formal policy making process, dsb.
2. Dimensi: Politik dan Teknokrasi
3. Proses: Top down vs. bottom up
4. Indikator capaian kebijakan 5. Kebijakan umum vs. Otsus
Nilai inti Model Terapan
Aktor
Local leaders dan local agencies
Forum: DPRD, Pemerintah, LMA, lain2 (donor, LSM, dll)
Affirmative
1. Aturan asli (suku, adat, dll 2. Mekanisme lokal
3. Aturan/nilai yang diinternalisasi (akulturasi)
ilai Dasar O rang P apua engelola T a ta P emerin tahan ( G o v ernanc e)
Perspektif antropologis menjadi sebuah alternatif jalan bagi upaya percepatan pembangunan Papua, karena menyediakan sudut pandang bottom up tentang mekanisme dan nilai antropologis bagaimana pola perilaku masyarakat suku seperti di Papua dibimbing oleh kerangka nilai budaya mereka yang dalam banyak kasus berseberangan dengan asumsi-asumsi modern darimana tradisi pengambilan kebijakan dan administrasi negara berasal. Dengan memanfaatkan pencerahan dari pendekatan antropologis, diharapkan implementasi kebijakan akan lebih dapat mendekati sistem nilai dan tradisi masyarakat di Papua.
Nilai tentang modal seringkali mengemuka dalam bentuk ‘pengakuan’ – bahkan pengakuan akan modal dalam bentuk tenaga kerja – ketika orang Papua dilibatkan secara aktif dalam membuat kebijakan dalam bentuk Peraturan Kampung (Perkam). Dengan adanya pengakuan yang riil, nilai tentang kerja dapat diterjemahkan dengan lebih mudah dalam wujud pembagian kerja. Rangkaian ini terjadi dalam bingkai nilai sosial yang mereka kelola dalam bentuk jaringan komunal; bukan individual. Orang Papua juga sensitif terhadap nilai tentang waktu. Ketika mereka terlibat dalam penyusunan peraturan kolektif, kesadaran akan waktu mewujud dalam kesistematisan dalam penentuan urutan dan tata kerja. Tanah dan jaminan sosial mengemuka dalam bentuk kepastian mereka tentang kontribusi dalam bentuk kepemilikan sumberdaya kolektif, kebersamaan dalam mengantisipasi yang mungkin muncul dan penerimaan terhadap kesepakatan-kesepakatan dan aturan-aturan yang mengikat bersama.
Untuk memastikan bahwa rangkaian nilai dan perwujudannya terjadi secara mapan, pentahapan sebagaimana digambarkan dalam Bagan 3.10.2. pada umumnya mempermudah penerapan pendekatan antropologis dalam penguatan kapasitas pemerintahan maupun penyusunan kebijakan-kebijakan kampung yang terkait dengan program percepatan pembangunan ekonomi.
Bagan 3.10.2. Tahap-tahap umum adaptasi pendekatan antropologis