ERIMENT ASI AD AP TASI NIL AI-NIL AI ANTROPOL OGIS D AL AM P ROGR AM-P ROGR AM AK SI
Bagian 2 berisi tentang eksperimentasi adaptasi nilai-nilai antropologis dalam program-program aksi yang selama ini telah dilakukan oleh Kemitraan bersama para mitranya, IFGI dan CFL di beberapa daerah percontohan di Papua. Bagian ini terdiri atas 3 bab yang membahas tentang konstruksi nilai dan perilaku orang Papua, eksperimentasi dan refleksi nilai-nilai antropologis dalam program pemberdayaan kampung berbasis otonomi asli, eksperimentasi dan refleksi nilai-nilai antropologis dalam program pemberdayaan ekonomi Papua berbasis agroforestry dan dilema orang Papua dalam konteks tata kelola pemerintahan dan pembangunan yang terhegemoni oleh negara.
Bab 5 di bagian ini menyajikan hasil identifikasi terhadap nilai budaya orang Papua sebagai pembentuk perilaku orang Papua. Dalam konteks tersebut, bagian pertama dari bab 5 hendak mengidentifikasi enam nilai kunci yang dijelaskan di bagian 1 dalam membentuk orang Papua yang dicari dan ditemukan pada tiga kebudayaan lokal di Papua, yaitu kebudayaan Komoro, kebudayaan Ngalum dan kebudayaan Manem (Arso) di Keerom. Selanjutnya, bagian kedua dari bab ini akan menggambarkan tentang pola perilaku orang Papua dengan menjadikan keenam nilai budaya yang bekerja di ketiga daerah studi sebagai dasar untuk merekonstruksi kebudayaan, terutama untuk mengidentifikasi nilai orang Papua. Temuan nilai budaya ini kemudian dicari struktur nilai budayanya menggunakan pendekatan oposisi biner yang berakar dari strukturalisme Levi Strauss. Melalui tegangan oposisional yang didapatkan dari pendekatan oposisi biner tersebut, pembacaan terhadap nilai orang Papua menghadirkan representasi terhadap pola perilaku orang Papua. Pendekatan Oposisi Biner yang digunakan di dalam kajian ini adalah, pertama, Individualistik versus Kolektivisme, kedua, Hirarkik versus Egaliter, ketiga, Mastery versus Harmony, keempat, Subsisten versus Produktif, dan kelima, Eksistensi Hidup versus Kerangka Fungsional.
Bab 6 dan 7 di bagian ini berisi tentang refleksi eksperimentasi terhadap nilai-nilai antrologis orang Papua melalui program-program aksi dalam bidang politik dan ekonomi. Bab 6 khusus membahas tentang pengalaman CFL dalam melakukan eksperimentasi program di Papua dalam pemberdayaan kampung berbasis otonomi asli. Dari eksperimentasi ini ditemukan bahwa pergesekan nilai lama dan baru dalam masyarakat Papua yang timbul sebagai dampak dari negaranisasi kampung-kampung asli pun berdampak pada individu warga. Kondisi ini memunculkan dilema pada orang-orang Papua yang tinggal di kampung-kampung. Nilai-nilai asli kehidupan orang kampung terhadap kekuasaan, kepemimpinan, kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya, maupun pengelompokan sosial dituntut untuk melakukan adaptasi terhadap nilai-nilai baru yang diintrodusir melalui kampung-kampung bentukan negara. Dalam prosesnya, nilai-nilai baru ini tidak semua diterima ataupun ditolak. Beberapa muncul dalam bentuk dualisme, namun tak jarang juga terjadi persilangan di mana nilai-nilai baru mulai dapat diterima. Pada nilai yang berhubungan dengan kekuasaan, kepemimpinan, hubungan kekerabatan/sosial, tanah, maupun jaminan sosial, nilai-nilai lama tampak lebih sulit berubah. Ini berbeda dengan nilai terhadap aset/modal, pekerjaan, maupun waktu yang relatif lebih mampu beradaptasi.
Bab 7 khusus membahas tentang pengalaman IFGI dalam melakukan eksperimentasi program pemberdayaan ekonomi orang Papua berbasis pada agroforestry. Eksperiementasi ini didasarkan kepada fakta yang menunjukkan bahwa upaya pembangunan, terutama pembangunan ekonomi, seakan-akan menjadi ‘membal’ ketika menyentuh wilayah Papua
ilai Dasar O rang P apua engelola T a ta P emerin tahan ( G o v ernanc e)
karena pola pendekatan pembangunan yang cenderung membawa nilai-nilai kapitalisme dan liberalisme yang bergesekan, atau bertabrakan langsung, dengan subsistensi dan komunalisme yang merupakan salah satu nilai dasar budaya orang Papua. Pola pembangunan yang demikian ini yang tanpa mengadaptasi budaya cenderung berdampak negative dan justru akan mengancam eksistensi Orang Papua. Langkah solutif yang mungkin dilakukan sebagai upaya untuk membantu Orang Papua dalam mengimbangi laju pembangunan adalah melalui adaptasi nilai budaya Orang Papua dalam pembangunan ekonomi di Papua. Salah satu model yang dikembangkan oleh Kemitraan dan IFGI adalah adaptasi budaya orang Papua dalam pembangunan ekonomi di sektor agro melalui introduksi inovasi agroforestry yang meletakkan orang Papua sebagai subyek proses pemberdayaan yang dilakukan. Terbukti bahwa dengan pendekatan seperti ini, terdapat capaian yang berbeda dan positif apabila dibandingkan dengan pendekatan konvensional yang selama ini dilakukan di Papua. Keberhasilan eksperimentasi ini penting untuk diperhatikan sebagai pembelajaran penting untuk merumuskan pendekatan baru terhadap proses pembangungan di Papua dengan menggunakan paradigma baru membangun Papua.
Bab 8 dari bagian ini mendiskusikan tentang dilema orang Papua dalam konteks tata kelola pemerintahan dan pembangunan yang terhegemoni oleh negara. Kenyataan bahwa orang Papua adalah manusia yang terbuka yang mempunyai perilaku dan budaya yang longgar, maka hal ini memudahkan bagi orang Papua pada umumnya untuk mengambil alih unsur-unsur kebudayaan lain dan menyatukannya dengan kebudayaannya sendiri tanpa memikirkan untuk mengintegrasikannya dengan unsur-unsur yang sudah ada dalam kebudayaannya, secara menyeluruh. Mereka adalah improvisator kebudayaan. Dalam bentuk perwajahan inilah, Orang Papua yang berhakekat terbuka dipaksa untuk memahami negara yang tampil pada format pengaturan pusat maupun format pengaturan di daerah. Lebih dari itu, proses membangun pemahaman dan pembayangan negara oleh Orang Papua justru kerap terjebak dalam wilayah konfliktual yang memacu kompetisi antara nalar reproduksi legitimasi, nalar akumulasi keuntungan, dan nalar perlindungan atas hak-hak dasar. Pada titik ini, Orang Papua yang berealitas sebagai manusia terbuka kerap gagal untuk membangun pembayangan atas negara sebagi arena dan lingkungan ekonomi politik yang melingkupi pilihan aktivitasnya.
Implikasi krusial dari kebijakan negaranisasi yang memarginalkan pemaknaan identitas dan eksistensi Orang Papua adalah munculnya gerakan pemikiran subaltern pada Orang Papua. Sebagai sebuah realitas terbuka, Orang Papua senantiasa membangun dialektika pemaknaan dengan lingkungannya. Manakala dialektika justru menjebak Orang Papua dalam konstruksi pembentukan pemaknaan, maka gerakan subaltern dijadikan sebagai pilihan untuk merespons kehadiran Negara. Oleh karena itu, dengan melihat fakta bahwa kehidupan Orang Papua senantiasai dibelenggu oleh dilema-dilema baik yang bermukim di ranah ekonomi politik maupun yang bermukim dalam ranah sosio kultural, maka perlu diciptakan sebuah titik equilibrium yang memberikan jaminan keseimbangan untuk meretas setiap dilema yang dihasilkan oleh lingkungan ekonomi politik dan lingkungan sosial kultural. Di titik ini, Orang Papua akan terjebak pada situasi ketidakberdayaan yang akhirnya melahirkan realitas baru dalam diri Orang Papua.
ilai Dan P er ilak u Or ang P apua