KONTEKSTUALISASI TATA PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN DI PAPUA
C. Menuju Pembangunan Papua Berperspektif Antropologis
Pembangunan berpendekatan antropologis adalah pilihan logis di hadapan kemacetan model pembangunan teknokratis dan formalistik yang merupakan proyek modernisasi besar-besaran untuk Papua. Dalam konteks memahami siapa orang Papua dan bagaimana mereka saat ini, perspektif antropologis akan lebih tepat untuk digunakan. Perspektif ini dapat membantu memahami pandangan-pandangan orang Papua terhadap diri mereka sendiri, dan terutama terhadap sesuatu yang baru yang datang ke dalam kehidupan mereka (pembangunan). Dengan pendekatan ini, progam-program pembangunan lebih mendekati realitas ke-Papua-an daripada sekedar mengejar target-target pembangunan.
Agar pembangunan memberikan nilai tambah terhadap Papua dan Papua Barat, maka pembangunan yang dijalankan harus meletakkan dan menempatkan orang Papua dan Papua Barat sebagai subyeknya. Meletakkan orang Papua sebagai subyek pembangunan artinya memposisikan orang Papua sebagai “manusia”, yaitu bersifat aktif – dapat memilah dan memilih
tekstualisasi Ta ta P emer in tahan dan P embangunan di P apua
sesuatu sesuai dengan kebutuhannya –, dinamis – senantiasa akan berubah sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi –, dan memiliki pandangan hidup – nilai-nilai budaya lokal — sebagai panduan dalam menjalani hidupnya. Dengan memposisikan orang Papua sebagai subyek pembangunan, maka pembangunan yang dilakukan adalah “Pembangunan Papua”, bukan “Pembangunan Untuk Papua” dan juga bukan “Pembangunan di Papua”.
Dalam Rencana Aksi P4B 2011-2014 disebutkan bahwa ada empat faktor pendukung yang dapat mempengaruhi pembangunan yaitu; (1) peraturan perundang-undangan, (2) aparatur pemerintah daerah, (3) kelembagaan dan good governance, dan (4) penataan ruang dan pertanahan. Ini didasarkan pada asumsi bahwa empat faktor tersebut merupakan faktor penting dalam percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat, sebenarnya cukup tepat, karena memang keempat hal tersebut yang menjadi kendala utama pembangunan Papua dan Papua Barat. Hanya saja, jika dikaji lebih serius dan mendalam, maka akan ditemukan bahwa identifikasi empat faktor tersebut sebagai faktor determinan dalam percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat sangat dipengaruhi oleh paradigma birokrasi, dan lupa untuk menghadirkan paradigma budaya lokal. Dalam menyusun dan merumuskan faktor pendukung percepatan pembangunan tersebut pemerintah belum menganggap masyarakat lokal dengan nilai-nilai budaya yang dimilikinya sebagai faktor diterminan dalam proses percepatan pembangunan.
Aspek budaya lokal Papua merupakan faktor determinan selain empat faktor yang diidentifikasi pemerintah tersebut. Misalnya, untuk mempercepat pembangunan, keberadaan aturan main—peraturan perundang-undangan—jelas sangat diperlukan. Namun demikian, bagaimana merumuskan peraturan perundang-undangan agar tidak menimbulkan persoalan di kemudiaan hari harus melibatkan masyarakat. Karena subyek peraturan perundang-undangan tersebut tidak saja proses pembangunan, tetapi yang terpenting adalah masyarakat Papua itu sendiri, maka dalam menyusun peraturan perundang-undangan harus mempertimbangkan aturan main lokal yaitu adat yang berkembang dan hidup di dalam masyarakat Papua.
Dalam merumuskan peraturan perundang-undangan tentang tanah misalnya, pemerintah harus memahami dan mempertimbangkan hukum adat tanah yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat. Jika pemerintah tidak memperhatikan faktor ini, maka pembangunan Papua dan Papua Barat akan melahirkan konflik tanah, sebagaimana banyak terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia. Tentang aparatur pemerintah daerah sebagai faktor determinan untuk mempercepat pembangunan Papua dan Papua Barat, juga harus dipahami dan disikapi secara hati-hati. Aparatur pemerintah bukanlah benda mati yang terikat kuat dalam struktur birokrasi berdasarkan distribusi peran dan tanggungjawab yang dibangun secara “rasional”. Mereka pada dasarnya adalah mahluk bebas tetapi sekaligus terikat oleh struktur sosial-kultural yang ada dalam masyarakatnya. Kondisi ini akan semakin kompleks kalau dilihat dari kenyataan bahwa sistem birokrasi seringkali dibajak oleh kelompok-kelompok superordinat untuk melestarikan dan mempertahankan kepentingannya.
Ketika membicarakan Papua dan Papua Barat maka akan segera tergambar sebuah daerah yang terbentang sangat luas, mulai dari pesisir pantai hingga penggunungan, dengan jumlah penduduk relatif sangat sedikit bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia yang tidak terhubungkan dengan baik karena minimnya akses transportasi antar daerah tersebut. Hal ini memerlukan penataan ruang yang terpadu dan komprehensif. Pada
ilai Dasar O rang P apua engelola T a ta P emerin tahan ( G o v ernanc e)
konteks penataan ruang dan pertanahan penting mempertimbangkan adat Papua dan Papua Barat dalam memahami ruang dan tanah. Bagi masyarakat Papua dan Papua Barat, tanah yang luas bukan berarti tanah kosong dan tidak ada yang memiliki. Tanah kosong itu adalah tanah-tanah adat yang tidak saja berfungsi secara ekonomi, tetapi juga merupakan identitas adat. Pemahaman seperti ini perlu dimiliki oleh para pemangku kebijakan agar kebijak-kebijakan yang diambil bisa selaras dengan budaya lokal.
Selain keempat faktor pendukung percepatan pembangunan seperti disebutkan di atas, yang perlu dipahami adalah bagaimana menselaraskan orientasi nilai antara orientasi nilai budaya lokal dan orientasi nilai pembangunan yang dilakukan. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya bahwa pembangunan Papua dan Papua Barat harus meletakkan masyarakat Papua dan Papua Barat sebagai subyeknya, maka dalam usulan percepatan pembangunan Papua harus ada keselarasan antara orientasi nilai pembangunan dan orientasi nilai budaya. Oleh sebab itu, diperlukan suatu pendekatan antropologis untuk menggali dunia antropologis orang Papua tentang pembangunan Papua. Sebagai pintu masuk penting dalam upaya ini adalah menggalai pandangan-pandangan antropologis orang Papua mengenai enam pilar penting pembangunan Papua; 1) konsep tentang kekayaan, (2) konsep tentang pekerjaan, (3) konsep tentang waktu, (4) konsep tentang hubungan sosial, (5) konsep tentang tanah, (6) konsep tentang jaminan sosial.
Kekayaan. Di masyarakat Papua kekayaan lebih bersifat sosial dari pada individual, lebih fungsional dari pada ekonomi. Orang Papua dituntut mengumpulkan kekayaan bukan agar kekayaan dapat memudahkan kehidupan melainkan memberikan status sosial di masyarakat, misalnya untuk upacara perkawinan, ritual adat, atau untuk menyelesaikan persoalan-persoalan adat. Oleh karena itu, nilai kekayaan bagi masyarakat Papua tidak mengarah pada kepemilikan uang melainkan pada objek yang mengandung nilai simbolik seperti tanah, babi, dan sebagainya.
Pekerjaan. Bagi orang Papua kerja bukan semata aktivitas ekonomi tetapi juga aktivitas sosial-kultural. Bekerja bukan sekedar untuk mendapatkan penghasilan ekonomi, melainkan karena bekerja memiliki nilai luhur secara sosial dan komunal. Orang yang rajin bekerja mendapatkan posisi dan penghargaan sosial yang tinggi di masyarakat. Sebaliknya, menganggur merupakan sifat buruk yang harus dijauhi karena akan memberikan status sosial yang tidak baik.
Waktu. Bagi orang Papua waktu adalah ruang di mana orang berkegiatan sesuai kebutuhan atau keinginanya. Waktu bukan kesempatan untuk mengakumulasikan keuntungan ekonomi. Penjadwalan atau pembagian waktu kerja secara serial dan terstruktur tidak dianggap terlalu penting.
Hubungan Sosial. Di sebagian besar masyarakat Papua, hubungan sosial lebih merupakan relasi berbasis kerangka suku dan klan. Ini mempengaruhi berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi, dimana orientasi kerjasama lebih berbasis identitas kesukuan dan cenderung kurang terbuka kepada pihak luar — karena tidak didasarkan pada basis manfaat dan keuntungaan.
Tanah. Bagi masyarakat Papua tanah mengandung dua sisi yaitu tanah pribadi (biasanya sangat terbatas) yang boleh diperjualbelikan dan diwariskan, dan tanah adat (sebagian besar tanah di Papua) yang tidak dijualbelikan dan tidak diwariskan. Pemanfaatan tanah lebih merupakan wewenang komunal bukan personal.
tekstualisasi Ta ta P emer in tahan dan P embangunan di P apua
Solidaritas atau Jaminan Sosial. Di Papua solidaritas sosial — yaitu pertolongan atau bantuan yang diberikan seseorang kepada orang lain — dipahami sebagai tindakan timbal balik yang harus dibalas dengan cara yang seimbang. Relasi sosial seperti ini menghasilkan pola hubungan yang saling mengunci, dimana bantuan solidaritas sosial merupakan hutang yang harus dibalas, dan orang yang pernah membantu dapat menagih kembali bantuan dari orang yang pernah dibantunya.