• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adi Inggit Handoko

Dalam dokumen Kuat Melawan Corona (Halaman 188-195)

Email : [email protected]

Sejak awal tahun 2020 pemberitaan menyoal Corona (Covid-19) ramai diperbincangkan dimedia, baik media lokal maupun media internasional ramai memberitakan. Sudut pandang pemberitaan juga melihat dari berbagai perspektif, dari, kesehatan, sosial hingga ekonomi. Sejak virus Corona (Covid-19) ini muncul para peliput berita mencoba mengkonfirmasi apakah kemungkinan Virus ini juga muncul di Indonesia namun berita simpang siur, dari pantauan berita melalui media nasional pihak-pihak pemerintah mencoba menepis pemberitaan menyoal masuknya Covid-19 ke Indonesia. Sebelum pemerintah secara resmi mengumumkan bahwa Covid-19 masuk ke Indonesia, media sosial juga diramaikan dengan berbagai analisa netter menyoal mengapa Covid-19 tidak bisa masuk ke Indonesia. Pada 11 Februari 2020 (dikutip dari CNN Indonesia) Menteri Kesehatan ketika dikonfirmasi oleh media menyoal analisa salah satu peneliti Universitas Harvard malah sebaliknya menantang peneliti tersebut untuk membuktikan bahwa apakah benar bahwa Covid-19 sudah masuk ke Indonesia.

Menteri Kesehatan pada 11 Februari yakin betul bahwa Covid-19 belum masuk ke Indonesia, menteri kesehatan menegaskan bahwa Covid-19 belum masuk ke Indonesia adalah campur tangan Tuhan dan upaya doa yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia. Sejak awal, pernyataan Menteri Kesehatan selalu kontroversi, dalam catatan media (dikutip dari Suara.com) pada 4 Maret 2020 setidaknya ada pernyataan bahwa pertama, penyakit infeksi pada hidung dan tenggorokan (difteri) masayarakat saja tidak takut apalagi dengan Corona, kedua Menteri Kesehatan juga menyatakan bahwa Flu lebih

berbahaya daripada virus Corona, ketiga orang yang terkena virus Corona bisa sembuh dengan sendirinya, Keempat menyoal langkanya masker dilapangan Menteri Kesehatan juga menyatakan bahwa masker hanya dipakai oleh orang yang sakit.

Menyoal pernyataan bagaimana menyikapi Covid-19 ini, para elit juga payah dalam memberikan pemahaman dini kepada masyarakat. Sebaliknya masyarakat justru melihat elit menyikapi persoalan Covid-19 ini tidak serius, misalnya saja dikutip dari Tempo. co (27 Februari 2020) Wakil Presiden mengatakan bahwa banyak kyai dan ulama yang selalu membaca doa qunut. Saya juga begitu baca doa qunut untuk menjauhkan bala, bahaya, wabah-wabah dan penyakit. Makanya Corona minggir di Indonesia. Kemudian Walikota Surabaya menyatakan bahwa salah satu cara menangkal Corona dengan mengkonsumsi empon-empon (sejenis bumbu dapur). Sejalan dengan elit lain Budi Karya Sumadi berkelakar bahwa kita kebal Corona karena kita mengkonsumsi nasi kucing (Republika. co.id 17 Februari 2020), dan pada akhirnya Menhub dinyatakan positif terkena Covid-19. Kelakar blunder lain juga disampaikan Erlangga Hartanto, bahwa Corona tidak masuk ke Indonesia karena izinnya ribet dan berbelit-belit. Luhut Binsar Panjaitan juga tak luput dari pernyataan blunder, dikutip dari Tempo.co (6 April 2020) menurutnya dari hasil modelling, cuaca Indonesia di ekuator yang panas dan humidity tinggi maka untuk Covid-19 itu enggak kuat.

Pemerintah melalui Presiden mengumumkan secara resmi bahwa sudah ada pasien 01 dan 02 di Jakarta. Saat itulah pemberitaan ramai memperbincangkan Covid-19 yang sudah masuk ke Indonesia. Upadate berita mulai membahas tentang beragam dampak yang ditimbulkan oleh Covid-19 ini, mulai pemberitaan opsional lockdown Indonesia, kelangkaan alat pelindung tenaga medis, kelangkaan masker dilapangan, masyarakat panic buying, PHK massal buruh, dan setiap hari berita tentang kenaikan jumlah pasien sembuh dan yang positif terus dirilis oleh pemerintah melalui kanal media nasional. Informasi menyoal Covid-19 ini bertebaran disemua lini media, baik media massa maupun media sosial. Informasi media sosial tidak

dapat dibendung, parahnya informasi yang asalnya dari media sosial justru bukan berasal dari kelompok atau perorangan yang memahami persoalan Covid-19.

Jarum Hipodermik dan Kecemasan Masyarakat

Ketika pemerintah secara resmi melalui media massa mengumumkan bahwa Covid-19 sudah masuk ke Indonesia spontanitas masyarakat merespon dengan aktivitas belanja yang berlebihan. Melalui media sosial, beredar foto-foto masyarakat Jakarta memborong sejumlah kebutuhan pokok, bahkan dalam foto-foto yang beredar pula menunjukkan bahwa rak atau etalase produk tertentu habis diborong oleh masyarakat. Ada yang memborong beras, ada juga yang memborong makanan instan dalam jumlah banyak. Ini adalah reaksi spontan masyarakat mengingat pemberitaan media di Wuhan Tiongkok ketika menerapkan status lock down maka untuk keluar rumah untuk belanja kebutuhan pokok dibatasi, hal inilah yang mungkin menjadi acuan sebagian masyarakat atas respon berita di media massa.

Panic buying ini juga menjadikan masyarakat Indonesia menjadi

khawatir, bahwa dalam kondisi pandemic dikhawatirkan bahwa masyarakat ekonomi kuatlah yang mampu menimbun bahan makanan. Oleh sebab itu menyikapi masyarakat panic buying pemerintah membuat aturan larangan menaikkan harga dan pembatasan belanja kebutuhan pokok. Masyarakat belanja kebutuhan pokok namun dengan jumlah seperlunya saja. Pemerintah juga melalui kepolisian melakukan penelusuran agar jangan sampai ada oknum yang melakukan penimbunan bahan makanan, sehingga menyebabkan bahan makanan langka dipasaran.

Jika melihat fenomena panic buying bisa menarik apabila dibahas dengan teori jarum hipodermik. Teori jarum hipodermik adalah teori efek komunikasi massa yang usang namun sebenarnya dalam kondisi tertentu teori ini masih berlaku. Setidaknya menurut teori jarum hipodermik ini menganggap bahwa media massa memiliki kekuatan, sementara massa dianggap sebagai pasif, dalam model komunikasi teori

jarum hipodermik ini seperti model stimulus respon (SR). kondisi masyarakat yang merespon spontan (panic buying) adalah gambaran nyata bahwa sesungguhnya mereka adalah khalayak yang tidak mampu merespon dengan baik atas informasi resmi dari pemerintah melalui media massa. Meskipun respon ini adalah bentuk wajar, mengingat media nasional maupun internasional yang juga memberikan stimulus berita-berita yang terjadi di Wuhan. Namun, reaksi spontanitas ini berbahaya, jika setiap respon masyarakat Indonesia sama maka yang terjadi adalah krisis kebutuhan pokok.

Belum lagi pemberitaan tentang jumlah pasien yang setiap hari terus berguguran, tidak hanya pasien akan tetapi tenaga medis pun berguguran. Beberapa wilayah terjadi penolakan atas pasien yang diduga positif Covid-19. Larangan pemerintah untuk mudik, larangan untuk berativitas dan berinteraksi secara langsung dengan manusia lain, hingga mei belum ada kepastian ditemukannya vaksin pencegah dan pengobatan Covid-19. Media massa dan media Sosial terus merangsek pemberitaan yang dirasa semakin simpang siur, muncul analisa sebagai angin segar bahwa pandemic ini kemungkinan akan berakhir dibulan mei, juni, juli bahkan terakhir jika memang pemerintah tidak tegas masyarakat tidak patuh kondisi krisis ini kemungkinan akan berlangsung hingga akhir tahun 2020. Belum lagi muncul analisa-analisa yang membahas bahwa pandemic ini adalah agenda besar kelompok elit dunia hingga dibahas tuntas dengan teori konspirasi. Sungguh jika benar kita menyimak secara terus menerus berita semacam ini, kesehatan mental justru akan terganggu. Padahal yang diharapkan untuk melawan Covid-19 adalah menjaga jiwa raga agar imun tidak turun.

Jika respon atas pemberitaan ini tidak diakomodir dengan baik maka yang terjadi juga akan berdampak pada psikologis khalayak. Khalayak akan merasa cemas, merasa was-was berlebihan apabila akan beraktivitas keluar rumah. Kecemasan ini tak lain tak bukan akibat stimulus pemberitaan global negara-negara yang terjangkit Covid-19 dan media massa secara terus menerus melaporkan jumlah pasien yang terjangkit dan meninggal. Meskipun stimulus media mengabarkan

bahwa jumlah pasien sembuh dengan pasien positif Covid-19 lebih banyak yang sembuh. Akan tetapi stimulus lain yang menggangu psikis adalah belum ditemukannya vaksin yang mampu menangkal dan menyembuhkan orang orang yang terjangkit Covid-19. Ditengah status secara global krisis, ditengah ditutupnya aktivitas sosial maka kecemasan itu akan terus muncul.

Pemerintah melalui media massa memberikan arahan, kampanye positif juga digalakkan oleh media massa. Seperti kampanye positif untuk cuci tangan dengan sabun dalam kurun waktu tertentu, menggunakan masker jika beraktivitas, jaga jarak sosial, tetap berada di rumah (Kerja dari rumah, belajar dari rumah) keluar rumah atas dasar kebutuhan yang mendesak, dan yang paling penting informasi positif bahwa orang yang positif Covid-19 bisa disembuhkan. Disadari atau tidak pemanfaatan media massa untuk kampanye positif melawan Covid-19 adalah antitesa dari kecemasan yang terlanjur dibangun. Melalui kampanye positif untuk cuci tangan dan menggunakan, masyarakat diingatkan tentang kesadaran kesehatan yang paling dasar, membiasakan cuci tangan. Menggunakan masker bagi sebagian orang adalah hal yang biasa, apalagi bagi orang yang tinggal dikota-kota besar dengan tingkat pencemaran lingkungannya tinggi. Kampanye positif mengenai #staydirumah juga mengingatkan kita pada pentingnya kebersamaan terhadap keluarga, bisa jadi bagi sebagian orang momentum berkumpul keluarga jarang sekali dilakukan. Meskipun #staydirumah juga menimbulkan konflik baru.

Penting: Jaga Jarak Informasi dan Kesehatan Mental

Informasi mengalir secara terus menerus, mengabarkan dari beragam platform media. Orang-orang tidak kompeten ikut merangsek membajari kanal-kanal media untuk terus memperbincangkan Covid-19, menjadikan informasi kian bias. Informasi yang terlanjur dibagikan ketika dikonfirmasi ditanggapi dengan “hanya sekedar

sharing” tanpa tanggung jawab yang jelas. Ruang dialog penuh, ruang

grup media sosial juga tidak kalah banjir dengan informasi Covid-19. Dalam rilisan Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan

Masyarakat (Promkes.Kemenkes.go.id), kesehatan mental atau mental yang baik adalah ketika kondisi batin berada dalam keadaan tentram dan tenang, sehingga memungkinkan untuk menikmati kehidupan sehari-hari dan menghargai orang lain disekitar. Orang yang mengalami kondisi kesehatan mentalnya terganggu akan mengalami gangguan suasana hati, kemampuan berfikir, serta kendali emosi yang pada akhirnya bisa mengarah pada perilaku buruk. Adapun beberapa jenis gangguan kesehatan mental yang dirilis oleh Promkes Kemenkes diantaranya adalah stress, gangguan kecemasan, depresi. Tak bisa dipungkiri aktivitas dirumah selama pandemic memungkinkan khalayak mengalami gangguan kesehatan mental. Dalam unggahan media sosial ada yang mengatakan bahwa mereka mengalami perubahan pola tidur, bosan berada terus di dalam rumah, kurangnya aktivitas bersosial (meskipun dapat dilakukan melalui teknologi akan tetapi feel komunikasi interpersonalnya berbeda). Belum lagi akibat secara terus menerus pemberitaan Covid-19 jelas memicu gangguan kesehatan mental. Bahkan kekerasan terhadap anak dan perempuan kurvanya ikut naik selama masa pandemic.

Untuk menjaga kesehatan mental ini khalayak sudah melakukan cara yang beragam untuk menyikapinya, mulai dari menonton film selama stay dirumah, masak masakan sederhana, berbagi tips olahraga, menggunakan aplikasi media sosial untuk membuat konten humor, sampai melakukan kunjungan keberbagai negara melalui aplikasi virtual. Yakin, hal positif yang dilakukan oleh khalayak adalah upaya menjaga agar tidak bosan dan menjaga agar kesehatan mental tidak terganggu. Semua khalayak pasti puny acara dan strategi masing-masing untuk hal ini. Lantas apakah memantau lini massa media yang memberikan informasi Covid-19 itu tidak penting? Jawabannya adalah penting, karena hal ini perlu juga untuk diperhatikan agar kita mampu mengikuti protokoler kesehatan, mengikuti perkembangan, mematuhi aturan dan anjuran pemerintah, dan yang paling penting adalah tentang peta sebaran Covid-19. Akan tetapi pengecekan informasi di media juga harus dilakukan secara berjarak, karena tak jarang berita yang disajikan media selama 24 jam adalah berita yang

diulang-ulang. Jika khalayak tidak mampu menjaga jarak informasi, apalagi khalayak aktif yang ikut dalam keributan menyoal Covid-19 melalui media, pasti akan terdampak pada sisi gangguan kesehatan mental. Jaga Jarak informasi, jaga jarak kesehatan mental.

TANTANGAN DAN REFLEKSI

Dalam dokumen Kuat Melawan Corona (Halaman 188-195)