• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBUTUHAN DAN PRODUKSI PANGAN DAN ENERG

Dalam dokumen Memperkuat Ketahanan Pangan dan Energi N (Halaman 143-145)

STRATEGI KETAHANAN PANGAN MENGHADAPI GLOBAL WARMING DAN KETERBATASAN ENERGI DI ERA GLOBALISAS

ANALISIS KEBUTUHAN DAN PRODUKSI PANGAN DAN ENERG

Krisis energi yang bertampak pada terjadinya krisis pangan dapat terjadi ketika antara produksi dan tingkat konsumsi tidak berimbang. Tahun 1997-2002, tingkat produksi kebutuhan pokok terus menurun. Pada tahun 2003 saja, hanya mampu memproduksi beras sekitar 31,2 juta ton, sementara laju penduduk kebutuhan konsumsi terus meningkat 2,5-4%. Kedelai lebih parah lagi. Dari tahun 1999-2007 impor kedelai melebihi 1 juta ton dengan tingkat produksi 0,6 juta ton tahun 2007. Padahal tahun 1992, Indonesia mampu memproduksi 1,8 juta ton kedelai.

Ada tiga hal yang menyebabkan produksi tidak sesuai dengan tingkat konsumsi pangan (Jonckheere, 2008) di mana pada akhirnya akan menaikan harga-harga komoditas. Pertama, urbanisasi di seluruh dunia menyebabkan semakin banyak tanah-tanah pertanian menjadi bangunan atau rumah. Jadi area pertanian berkurang sehingga produksi menjadi turun. Jika tidak ada koreksi terhadap perubahan Rencana Tahunan Tata Ruang Wilayah akan mengorbankan lahan sawah subur 3,1 juta hektar di mana 1,67 juta hektar ada di Jawa dan Bali (Apriyantono, 2008).

Kedua, permintaan atas bahan bakar biofuel. Padahal, bahan bakunya berasal dari bahan makanan. Ketiga, tingkat pertumbuhan populasi semakin tinggi.

Faktor lain yang menyebabkan krisis pangan dan energi yaitu adanya siklus kenaikan harga komoditas yang berlangsung selama 15 hingga 20 tahun. Kenaikan ini berawal tahun 2002 dengan kenaikan harga minyak, emas dan komiditi lainnya. Jadi kondisi seperti ini akan berlangsung hingga 10 tahun lagi. Bahkan bisa lebih lama karena populasi penduduk makin bertambah dan urbanisasi jalan terus.

Kenaikan harga energi membawa dampak secara langsung pada harga produk pertanian seperti pupuk dan biaya transportasi. Harga-harga pangan dan pakan cenderung meningkat dan menurunkan daya beli masyarakat miskin. Hal ini pernah dialami Malaysia sebelum dekade 1960-an. Di sana terdapat pemusatan kesejahteraan ekonomi pada beberapa kelompok ekonomi. Pemerintah Malaysia segera tanggap dengan masalah itu, setelah sebelumnya diingatkan oleh peristiwa kerusuhan etnis empat dekade lalu. Malaysia pun segera mengeluarkan kebijakan ekonomi baru (NEP). Kebijakan ini secara umum memiliki komitmen untuk mengurangi ketimpangan kesejahteraan dengan jalan mereformasi kepemilikan aset ekonomi produktif. Sebab, sumber ketimpangan ekonomi memang selalu bersumber dari masalah struktural yakni kepemilikan aset. Oleh karena itu, tujuan pemerataan pendapatan tidak mungkin dicapai bila kebijakan struktural tidak diintroduksi, semacam pemertaan aset produktif tersebut. Hasilnya, Malaysia sekarang jauh lebih kuat menghadapi guncangan ekonomi yang diakibatkan oleh kenaikan harga minyak dan pangan.

Untuk mengatasi kenaikan harga minyak secara global maka berbagai negara berlomba membuat energi alternatif. Biomassa mampu menyediakan 11% energi primer dunia (Dobermann, 2007). Diungkapkan juga bahwa potensi bioenergi global dari sektor pertanian diperkirakan sebesar 2-22 EJ (Exajoule) dan produksi energi kotor minyak kelapa sawit di Indonesia bisa mencapai 168 GJ

(Gegajoule/ha). Sisa biomassa kelapa sawit menghasilkan sekitar 67 juta GJ, karet sekitar 120 juta GJ, padi sekitar 150 juta GJ (Abdullah, 2001) Untuk kelapa, hasil bioenergi kotor diperkirakan sekitar 3.168,1 MJ (Megajoule/pohon) (Soerawidjaja, 2006). Jagung tidak menjadi bahan perhitungan karena dinilai masih belum mampu memenuhi kebutuhan untuk konsumsi pangan dan pakan dalam negeri. Pertamanan kelapa yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bioenergi sekitar 25% dari areal tanam yang ada, yaitu sekitar 3,8 juta Ha. Dari areal pertanaman ini, sekitar 25% memerlukan peremajaan, karena sudah tua, rusak dan kurang terawat.

Produksi CPO di Indonesia saat ini sebesar 15,4 juta ton sebanyak 9 juta ton diekspor dan 3,5 juta ton untuk konsumsi domestik. Artinya masih ada cadangan mengambang sebesar 2,9 juta ton yang dapat dikonversi menjadi bioenergi atau setara dengan 0,17 EJ atau 170 juta GJ. Jika diperhitungkan statistik pertumbuhan perluasan lahan maka berdasarkan model perhitungan Abdullah (2001) residu biomassa kelapa sawit tahun 2007 diperkirakan setara dengan 69,7 juta GJ.

Bioenergi yang dihasilkan dari kelapa, termasuk nira, tempurung dan sabut dengan memperhitungkan 25% populasi yang ada, diperhitungkan menghasilkan sekitar 0,13 EJ atau 130 juta GJ. Produksi tetes Indonesia mencapai 1.186.000 ton dan sekitar 40% digunakan untuk pembuatan etanol. Dengan nilai konversi etanol tetes sebesar 270 l/ton (Reksowardojo dan Soerawidjaja, 2006) maka diperkirakan produksi etanol mencapai 128,088 juta liter atau setara dengan energi 2,66 juta GJ. Kapasitas pengolahan etanol di Indonesia saat ini sebenarnya lebih dari itu, yaitu sekitar 168-200 juta liter dengan kebutuhan pasokan tetes tebu tidak kurang dari 650.000 ton (Murdiyatmo, 2006).

Komoditas perkebunan lainnya yang berpotensi sebagai penghasil bioenergi adalah sagu. Luas tanaman sagu di Indonesia belum diketahui pasti. Data sementara dari Flach (1984) memperkirakan luas tanaman sagu di Indonesia sekitar 1,5 juta Ha dan yang dibudidayakan (semikultivasi) hanya sekitar 158.000 Ha (Pranamuda dan Haska, 2007). Di dunia, luas tanaman sagu diperkirakan sekitar 2,6 juta Ha (Jong, 2005). Rata-rata hasil pati sagu adalah 10 ton/Ha dan masih memungkinkan ditingkatkan sampai 15 ton/Ha melalui perbaikan budidaya (Jong, 2007). Untuk kasus di Papua hanya sekitar 40% tanaman sagu yang dapat dipanen patinya (Luhulima et. al., 2005). Sementara Jong (2007) memperkirakan hanya 20% pertanaman di Indonesia yang dapat dipanen dengan produksi etanol sekitar 10 ton/Ha/tahun, asal dari pati, gula dan bahan selulosanya. Jika diambil angka rata-rata pertanaman sagu yang dapat dipanen adalah 30% maka pertanaman sagu di Indonesia dapat menghasilkan bioenergi sekitar 0,058 EJ atau 58 juta GJ/tahun.

Untuk subsektor tanaman pangan, residu biomassa padi pada tahun 2000 diperkirakan mencapai 150 juta GJ. Dengan memperhitungkan rata-rata selama 6 bulan terakhir sebesar 0,95%/tahun, maka produksi bioenergi residu padi diperkirakan mencapai sekitar 158,6 juta GJ. Produksi nasional ubikayu dan jagung belum dapat menutupi kebutuhan dalam negeri. Produksi ubikayu sebesar 19,9 juta ton masih harus ditingkatkan agar mampu menutupi kebutuhan nasional sekitar 24,8 juta ton (Suyamto dan Wargiono, 2006). Produksi jagung

tahun 2005 bahkan menurun sekitar 3,1% dibandingkan tahun sebelumnya. Kedua komoditas ini sebenarnya memiliki potensi bioenergi yang lumayan yaitu sekitar 6.600 Kwatt-jam atau sekitar 24 GJ/Ha untuk ubi kayu (Shintawaty, 2006) dan pada jagung adalah sekitar 29,2 GJ/Ha (Indonesia), 41 GJ/Ha (Cina) dan 79 GJ/Ha (USA) (Dobermann, 2007). Oleh karena itu, bioenergi asal jagung, ubikayu dan tebu sebaiknya dikembangkan pada areal khusus setelah kebutuhan untuk konsumsi (pangan dan pakan) dalam negeri terpenuhi.

Dalam dokumen Memperkuat Ketahanan Pangan dan Energi N (Halaman 143-145)