• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK GLOBALISASI DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PANGAN DAN ENERGI NASIONAL

Dalam dokumen Memperkuat Ketahanan Pangan dan Energi N (Halaman 95-99)

Pembahasan tentang ketahanan pangan dan energi tentu tidak lepas dari ketahanan nasional, karena dalam ketahanan nasional terdapat dua aspek, yaitu (1) ketahanan militer dan (2) ketahanan non militer. Negara kuat bila militer kuat. Dalam ketahanan non militer, yang paling signifikan adalah ketahanan ekonomi yang meliputi ketahanan pangan, energi dan finansial.

Bila “dirunut” kebelakang, ketika dunia disadarkan akan adanya perubahan iklim secara global (climate change), banyak faktor-faktor ekonomi yang dipengaruhi oleh keadaan ini, yang mengakibatkan kepanikan. Implementasi dari kepanikan ini terlihat dari implementasi kebijakan-kebijakan yang terlalu cepat atau belum saatnya dilakukan menurut kaca mata ekonomi. Amerika Serikat misalnya, dengan kebijakan subsidi bio alkohol secara besar-besaran, yang menjadi salah satu pemicu beralihnya resource secara besar-besaran dari tanaman pangan ke tanaman yang memproduksi biofuel. Hal yang sama juga dilakukan oleh negara-negara Uni Eropa, yang mengharuskan adanya komponen

biofuel dalam konsumsi BBM total di masyarakatnya. Hal ini berdampak pada naiknya harga bahan pangan secara global. Akibatnya, India dan Vietnam pun kemudian sempat menutup ekspor beras, untuk mengamankan stoknya, yang semakin melambungkan harga beras. Ini adalah hal-hal yang dilihat dari sisi

supply.

Sementara dari sisi demand, pertumbuhan luar biasa Cina dan India telah mengakibatkan terjadinya perubahan gaya hidup akibat meningkatnya kemakmuran. Pola konsumsi berubah, dari yang semula mengkonsumsi produk pertanian seperti sayur-sayuran, berubah menjadi konsumsi daging yang membutuhkan energi cukup banyak. Hal ini tentunya akan berdampak pada harga energi.

Konsep ketahanan pangan dan energi dari sisi ekonomi dapat dilihat dari beberapa faktor, yaitu (1) dari supply cukup atau tidak dan dari mana asalnya, dari dalam atau luar negeri, (2) harga layak atau tidak, (3) bagaimana daya beli masyarakat, dan (4) kesediaan stok. Berikut adalah hal-hal yang mempengaruhi kondisi ketahanan pangan Indonesia saat ini:

1. Memburuknya irigasi di Indonesia adalah salah satu alasan utama yang menggerogoti ketahanan pangan di Indonesia.

2. Infrastruktur pedesaan dan pertanian kita yang terlambat untuk dibangun sehingga mengalami kemunduran yang besar. Infrastruktur di pedesaan adalah suatu hal yang penting untuk mempertahankan ketahanan pangan, karena akan membuat lancarnya informasi pasar kepada para petani, sehingga harga- harga tidak menekan mereka lebih cepat.

3. Teknologi di bidang pertanian yang masih kurang.

4. Tidak ada tindak lanjut lebih dari revolusi hijau pertama, yang mencapai puncak pada 1984. Selain itu kita juga memerlukan Revolusi Biru agar lebih dapat memanfaatkan sumber-sumber daya kelautan.

Di dalam hal ketahanan pangan, yang paling cocok adalah pengembangan daerah dengan desentralisasi pertanian. Daerah pertanian yang begitu luas di daerah harus dimanfaatkan untuk ketahanan pangan nasional, dimana pemerintah pusat sebaiknya bertindak hanya sebagai koordinator saja. Sektor pertanian yang kuat dan kokoh adalah kunci bagi ketahanan pangan di Indonesia.

Melihat kondisi ketahanan pangan yang buruk seperti yang telah disampaikan di atas, maka pemerintah perlu mengeluarkan beberapa kebijakan, yaitu: (1) memperbaiki irigasi, (2) membangun dan memperbaiki infrastruktur jalan, (3) menggunakan teknologi yang berimbas pada peningkatan produktivitas, disamping juga mengembangkan research and development, (4) dibidang kelembagaan meningkatkan pembangunan masyarakat dengan berbasis pada daerah, dan (5) melanjutkan Revolusi Hijau yang kedua dan Revolusi Biru awal untuk sektor kelautan bagi kesejahteraan rakyat.

Ketahanan energi meliputi:

1. Eksploitasi, eksplorasi, dan efisiensi

2. Kemampuan mendiversifikasi sumber-sumber energi 3. Reservasi sumber-sumber energi di Indonesia

Kemampuan pemerintah dalam mengawal ketiga hal tersebut di atas harus dijalankan terus menerus. Dalam hal eksploitasi Indonesia termasuk sangat lambat, karena sebenarnya sumber-sumber energi di Indonesia masih banyak di dalam kantong-kantong yang belum dieksploitasi, terutama di lepas pantai. Investor tidak tertarik untuk menanamkan modal di Indonesia karena rumitnya aturan.

Khusus mengenai diversifikasi energi yaitu etanol dan biodiesel, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Dengan memproduksi etanol apakah cukup untuk menekan harga-harga fossil oil. Pengalaman negara Brazil menunjukkan bahwa produksi etanol semula memang untuk ekspor. Namun karena harga BBM naik maka produksi lebih banyak untuk konsumsi dalam negeri.

2. Kalau kita betul betul serius untuk pendayagunaan etanol dan biofuel, maka perlu dipertimbangkan penggunaan minyak kelapa sawit, walaupun memang masih kurang baik jika dibandingkan dengan etanol dari jagung dan tebu. Dalam hal kebijakan energi campuran, berikut adalah hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Land Competition. Jangan sampai kompetisi perebutan lahan akhirnya malah mengurangi kemampuan ketahanan pangan. Untuk memproduksi bio etanol secara kompetitif, kita harus menyediakan lahan sebesar 100.000 sampai 150.000 hektar lahan untuk tanaman tebu. Tapi untuk ini kita harus membuka lahan baru agar tidak mengganggu lahan tanaman pangan.

2. Harga. Harus dibedakan harga tebu untuk konsumsi atau untuk produksi gula, dengan harga untuk etanol. Untuk masalah ini mekanisme insentif yang disiapkan sepertinya sangat rumit. Dalam kasus Indonesia, ubi lebih layak untuk diolah menjadi etanol atau biofuel, sedangkan untuk produk pertanian yang lain masih belum bisa.

Kebijakan untuk preservasi energi adalah untuk memperkokoh. Dan dengan ini dimaksudkan bahwa Indonesia memang perlu menyimpan cadangan minyak bumi. Tapi preservasi juga memerlukan efisiensi. Upaya preservasi dan diversifikasi juga tidak bisa dilakukan tanpa pertimbangan harga, karena keseimbangan harga sangat signifikan pengaruhnya.

Untuk menciptakan kebijakan energi yang sustainable, perlu dipertimbangkan regionalisasi harga energi di Indonesia. Bervariasinya ongkos-ongkos produksi energi di Indonesia sudah seharusnya memiliki dampak dalam masalah harga, yang bisa dicoba untuk kasus integrasi listrik Jawa dan Sumatera misalnya.

UU No. 22 tahun 2001 mengenai energi kurang menarik investasi. Oleh karena itu untuk lebih meningkatkan ketahanan energi dan membangun koordinasi, diperlukan Undang Undang baru tentang energi.

Dari sisi keuangan, dalam menghadapi krisis pangan dan energi, tugas bank sentral adalah menstabilkan pada level output, karena adanya ketidakpastian. Dalam jangka panjang diperllukan suatu terobosan teknologi. Tapi dalam jangka pendek, berbagai kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral dan lembaga- lembaga lain yang bersangkutan, berfungsi untuk menyeimbangkan kepentingan, antara kebijakan energi dan pangan yang saling terkait.

Bagaimana dengan peran serta daerah? Kebijakan yang bisa dilakukan adalah (1) mendidik pimpinan daerah dalam peran ekonomi, (2) daerah harus punya visi tersendiri tentang ketahanan pangan dan energi, dan (3) pembentukan LPKD (Lembaga Penjaminan Kredit Daerah), yang salah satunya bisa memecahkan masalah ketahanan pangan dan energi. Dalam tingkat global, perlu adanya sinkronisasi kebijakan dan kolaborasi global.

Mengupayakan ketahanan pangan dan ketahanan energi untuk seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 220 juta dengan tingkat pertumbuhan 1,3% pertahun memerlukan sebuah perencanaan dan perangkat kebijakan yang matang. Pada tahun 2025, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan sebanyak 275 juta dan 60%-nya berdomisili di pulau Jawa. Dengan demikian pulau Jawa paling tidak akan memiliki penduduk sebanyak 160 juta. Ini adalah sebuah tantangan besar, karena dengan jumlah lahan yang menyusut maka pangan di ambil dari luar Pulau Jawa. Membawa komoditas tersebut dengan kapal laut pasti menggunakan BBM. Berarti permintaan energi juga akan bertambah besar. Karena hubungannya yang sangat erat, berikut ini adalah beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan:

1. Distribusi penduduk harus lebih merata. 2. Logika regional sufficiency di tingkat energi.

3. Distribusi lain yang menjadi penting saat ini adalah perbandingan penggunaan energi antara kota dan desa, yang diperkirakan akan mencapai 50:50 di tahun 2025. Sekarang ini perbandingannya adalah sebesar 68:32.

Di daerah perkotaan, permintaan energi dan pangan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan daerah pedesaan. Pangan yang dikonsumsi bersifat cepat saji, impor dan sebagainya. Pengkotaan tidak berarti hanya secara fisik pindahnya orang desa ke kota. Elemen yang sangat penting adalah perubahan status daerah yang tadinya daerah pedesaan berubah status menjadi daerah

perkotaan, karena ini merubah gaya hidup dengan permintaan energi dan pangan berbeda. Kalau rural berubah jadi perkotaan yang pertama kali berubah adalah lahan. Lahan pertanian untuk produksi pangan akan berubah menjadi lahan perumahan, pertokoan dan sebagainya.

Kelompok masyarakat yang harus dilindungi dari krisis pangan dan energi adalah kelompok miskin. Kelompok rentan ini harus dilindungi oleh pemerintah dalam mekanisme transfer atau mekanisme subsidi. Sekarang bantuan langsung tunai dan keluarga harapan adalah mekanisme transfer yang ada. Untuk masyarakat miskin mekanisme transfer lebih baik dibandingkan dengan subsidi. Namun subsidi tetap perlu dilakukan dengan alasan yang tepat, yaitu untuk meningkatkan produktivitas. Namun subsidi seharusnya tidak mendistorsi harga, karena subsidi yang mendistorsi harga akan membuat distribusi dan alokasi harga berubah. Menemukan bentuk subsidi yang tidak mendistorsi harga memang tidak mudah. Dalam tataran teoritis pun memang akan sulit, karena seringkali subsidi tidak memberikan distorsi di sisi riil, tapi memberikan distorsi di sisi moneter.

BAGIAN IV.

DINAMIKA PANGAN DAN

Dalam dokumen Memperkuat Ketahanan Pangan dan Energi N (Halaman 95-99)