• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Dalam dokumen Memperkuat Ketahanan Pangan dan Energi N (Halaman 179-183)

Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan dari rumah tangga yang tercermin dari tersediannya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Jadi, pada intinya ketahanan pangan adalah tersediannya pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau, serta aman dikonsumsi. Kuncinya adalah ketersediaan, keterjangkauan dan stabilitas pengadaannya.

Ketahanan pangan tidak hanya menyangkut masalah stok dan persediaan pangan saja. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan, seperti akses masyarakat secara fisik dan ekonomi. Namun persediaan dan stok merupakan unsur penting dalam menjaga ketahanan pangan. Hal ini dapat dilihat dari reaksi banyak negara eksportir maupun importir pangan, yang pada saat krisis harga pangan terjadi mengambil sikap yang hampir sama yaitu berusaha memperkuat stok domestiknya.

Ketahanan pangan sendiri sangat ditentukan oleh sejumlah faktor sebagai berikut (i) lahan, (ii) infrastruktur, (iii) teknologi, keahlian dan wawasan, (iv) energi, (v) dana, (vi) lingkungan fisik/iklim, (vii) relasi kerja, dan (viii) ketersediaan input lainnya. Dalam beberapa tahun belakangan ini, masalah

ketahanan pangan menjadi isu penting di Indonesia, dan dalam setahun belakangan ini dunia juga mulai dilanda oleh krisis pangan. Menurut Sunday Herald, krisis pangan kali ini menjadi krisis global terbesar abad ke-21, yang menimpa 36 negara di dunia, termasuk Indonesia. Akibat stok yang terbatas, harga dari berbagai komoditas pangan tahun 2008 ini akan menembus level yang sangat mengkhawatirkan.

Terjadinya krisis ketahanan pangan secara global saat ini, salah satunya disebabkan oleh kesalahan kebijakan dari lembaga-lembaga dunia seperti World Bank dan IMF (Dana Moneter Internasional), dan juga kesalahan kebijakan dari pemerintah negara-negara termasuk yang berpotensi besar bagi penghasil beras seperti India, Cina, dan India. Schutter, ketua FAO (badan PBB yang menangani pangan dan pertanian), misalnya mengatakan bahwa Bank Dunia dan IMF telah menyepelekan pentingnya investasi di sektor pertanian. Salah satu contohnya adalah desakan dari kedua badan dunia ini kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk menghasilkan komoditas berorientasi ekspor, terutama manufaktur, dengan mengabaikan ketahanan pangan.

Atas desakan dan saran IMF, pemerintah Indonesia pada masa Presiden Soeharto, setelah terjadi krisis ekonomi 1997/1998, yang telah mengebiri peran Bulog secara drastis. Hal ini berakibat kepada terjadinya kekacauan manajemen pangan karena semuanya diserahkan kepada swasta. Walaupun belum ada bukti secara ilmiah bahwa mengecilnya peran Bulog dalam era paska krisis sekarang ini menjadi penyebab utama lemahnya ketahanan pangan di Indonesia, namun sudah pasti bahwa reformasi Bulog turut berperan di dalamnya.

Selain hasil kebijakan yang salah seperti yang disebut di atas, krisis pangan global saat ini, yang mengakibatkan naiknya harga beras (beras putih Thailand 100 persen kualitas B) secara signifikan di pasar dunia, dari US$203 per ton pada 3 Januari 2004 menjadi US$375 per ton pada 3 Januari 2008 dan mencapai US$1.000 per ton pada 24 April 2008, ternyata disebabkan oleh peningkatan permintaan beras yang sangat pesat di Brasilia, Rusia, Cina dan India, yang penduduknya secara total mencapai 2,9 miliar orang atau hampir setengah dari jumlah penduduk dunia. Selain itu, ulah spekulan di pasar komoditas pertanian (termasuk beras) dan konversi biji-bijian ke biofuel juga sering disebut-sebut sebagai penyebab kurangnya stok pangan dipasar dunia untuk konsumsi akhir. Inti dari masalah krisis pangan global saat ini bersumber dari terjadinya kelebihan permintaan, sementara pada waktu yang bersamaan, suplai atau stok di pasar dunia sangat terbatas atau cenderung menurun terus. Hasil kajian dari Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan FAO (OECD & FAO, 2007), menunjukkan bahwa menurunnya suplai dan stok pangan serta dampak dari perubahan iklim global, di satu sisi, serta peningkatan yang sangat pesat di pasar dunia, pada sisi lain, tidak hanya akan menaikan harga komoditas tetapi juga membuat perubahan.

Sistem ketahanan energi sangat penting bagi sebuah negara, seperti Indonesia, selain sebagai kemampuan merespons dinamika perubahan energi global (eksternal), juga sebagai kemandirian untuk menjamin ketersediaan energi (internal). Seperti telah diketahui, krisis energi yang terjadi di awal 2008 merupakan dampak dari penggunaan energi untuk pertumbuhan negara maju, terutama Amerika dan negara berkembang seperti Cina dan India. Krisis energi ini telah mendorong banyak negara untuk mencari sumber energi alternatif dari bahan pangan (yang berupa tanaman yang mengandung pati dan minyak- minyakan, seperti kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, tebu, sagu dan ubi kayu) yang dalam jangka panjang akan mengancam ketahanan pangan. Penggunaan tanaman pangan sebagai sumber energi alternatif menyebabkan tumpang tindih kepentingan, dalam artian apakah akan lebih mendahulukan ketahanan pangan atau energi terlebih dahulu?.

Dalam hal ketahanan pangan, faktor petani memegang peranan yang sangat penting karena petanilah yang menjadi ujung tombak bagi pemenuhan kebutuhan pangan. Akan tetapi, merosotnya keinginan orang menjadi petani akan berakibat pada turunnya produksi tanaman pangan. Hal ini disebabkan adanya hubungan asosiatif antara petani dan kemiskinan, semakin tinggi intensitas penduduk yang bekerja di sektor pertanian semakin tinggi pula persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, atau semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.

Pada dasarnya, kemiskinan petani merupakan dampak dari ketidakberdayaan petani terhadap kondisi yang harus dihadapinya. Salah satunya adalah ketiadaan modal sosial petani dalam hal akses informasi, dimana modal sosial ini merupakan salah satu kekuatan dalam masyarakat tradisional. Jika representasi sikap sebagian besar petani (khususnya petani padi) di Indonesia masih tetap

seperti yang disebutkan diatas, maka keberlanjutan sektor pertanian Indonesia dalam kondisi terancam.

Adanya krisis pangan, dan untuk menjaga keberlangsungan ketahanan pangan di Indonesia, pemerintah merasa perlu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung ketahanan pangan nasional, yaitu (i) undang-undang agraria yang ada harus dijalankan dengan tegas, dimana proses sertifikasi lahan pertanian harus dipercepat atau dipermudah; rencana tata ruang harus melindungi lahan pertanian yang produktif dan subur; dan pembelian lahan petani secara ”paksa” atau untuk tujuan-tujuan yang sebenarnya tidak terlalu perlu, hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi beralihnya lahan pertanian ke lahan non pertanian, (ii) pembangunan infrastruktur di perdesaan diseluruh pelosok tanah air harus lebih digiatkan, terutama di daerah-daerah sentra pertanian, (iii) petani harus diberdayakan melalui pelatihan, penyuluhan, dan bantuan teknis secara intensif. Disini, peran perguruan tinggi dan lembaga litbang (R&D) setempat sangat krusial, (iv) perbankan perlu memberikan semacam insentif untuk memperluas akses petani kepada kredit perbankan, atau dengan cara pengadaan dana khusus, (v) usaha-usaha mengurangi pemanasan global harus menjadi prioritas pembangunan jangka panjang ekonomi dan sektor pertanian, (vi) kebijakan penetapan harga pertanian, sistem perpajakan, dan

lainnya harus menciptakan fair market yang juga menguntungkan petani, serta (vii) pencegahan praktek penimbunan pupuk yang menyebabkan kemacetan

MEMPERKUAT KETAHANAN ENERGI DAN PANGAN NASIONAL

Dalam dokumen Memperkuat Ketahanan Pangan dan Energi N (Halaman 179-183)