• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN DAN ENERGI NASIONAL

Dalam dokumen Memperkuat Ketahanan Pangan dan Energi N (Halaman 49-53)

Membumbungnya harga pangan dan energi pada beberapa tahun terakhir, antara lain sebagai akibat potensi kompetisi dalam penyediaan satu sama lain, menggugah banyak pihak untuk mempertimbangkan kondisi ketahanan pangan dan energi masyarakat masing-masing, karena ketidakmampuan penyediaan baik pangan maupun energi sangat tidak mustahil akan berdampak hingga pada mempengaruhi stabilitas negara.

Khususnya bagi bangsa Indonesia, persoalan yang dipahami adalah lebih dari sekedar keterbatasan pangan dan energi, karena sebagian besar masyarakat memandang ketersediaan pangan dan energi merupakan suatu persoalan ”simbol identitas” yang berujung pada mempertanyakan mengapa Indonesia dengan ketersediaan sumber daya alam yang melimpah turut termasuk sebagai negara importir komoditi pangan dan energi untuk memenuhi kebutuhannya. Jika dikaji lebih jauh, kondisi ’keterbatasan’ sekarang ini sesungguhnya adalah resultante

dari ketidakcermatan dan ketidakkonsistenan kebijakan dan perilaku pembangunan selama ini. Maka untuk membenahinya, langkah yang perlu dilakukan adalah mengeskplorasi kembali bagaimana cara memberdayakan sumber daya yang tersedia tersebut dalam kerangka pemikiran yang visioner, strategis, dan berkelanjutan. Karakteristik yang berbeda antara pangan dan energi membawa pemisahan dalam membahas keduanya.

Pangan adalah suatu komoditas yang bersifat dasar (hakiki) sehingga pemenuhan kebutuhannya menjadi bagian tanggung jawab negara, dengan melibatkan semua unsur masyarakat. Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya kebutuhan pangan individu yang diindikasikan melalui ketersediaan dalam jumlah dan kualitas memadai, merata, dan terjangkau. Memang saat ketahanan pangan merupakan hal wajib, pertanian merupakan hal pilihan bagi pemerintah daerah. Namun, sektor pertanian secara umum memiliki peranan strategis dan fundamental dalam membangun kemandirian pangan yang berkelanjutan, yang dilakukan melalui swasembada produksi.

Dalam pembangunan nasional, produksi tanaman pangan berperan sebagai sumber pangan (karbohidrat dan protein), sumber bahan baku industri (pakan,

biofuel, dan industri lainnya), sumber pendapatan dan kesempatan kerja, serta sumber devisa negara dan instrumen perekonomian nasional. Dalam hal kompetisi pemanfaatan komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan, energi, serta input (bahan baku industri) yang menyebabkan peningkatan harga sebenarnya dapat dipandang sebagai peluang untuk pengembangan industri agribisnis. Sehingga menjadi kebutuhan adalah pengembangan sistem ketahanan pangan yang dapat mengintegrasikan faktor ketersediaan (tingkat penyediaan produksi dalam negeri), distribusi yang efektif dan efisien untuk seluruh masyarakat, serta konsumsi pangan cukup dengan memenuhi kaidah mutu kesehatan; dimana ketiga faktor tersebut memiliki keterkaitan antara satu sama lain.

Pengevaluasian terhadap kinerja sektor tanaman pangan selama ini, menggambarkan kinerja yang cukup baik diukur dari pertumbuhan positif tingkat produksi per tahun hingga terciptanya surplus nasional. Kecuali kedelai dikarenakan tingkat resiko usaha yang demikian besar, padi dan jagung mengalami surplus hingga masing-masing mencapai lebih dari 1 juta ton, dengan tingkat pertumbuhan padi, jagung, dan kedelai masing-masing sebesar 4,76%, 11,79%, dan 22,11%.

Namun ke depannya, penyediaan tanaman pangan menghadapi tantangan

baik makro maupun mikro. Dari sisi makro, tantangannya adalah (1) pertumbuhan penduduk yang tinggi (1,3% per tahun), (2) penurunan

ketersediaan lahan karena alih fungsi hingga mencapai 42,37% -yang memang disetujui DPRD setempat- dan degradasi lahan, (3) peningkatan kompetisi pemanfaatan untuk energi dan input industri, (4) keterbatasan infrastruktur, khususnya irigasi yang hanya 30% jaringan berjalan optimal, (5) perubahan iklim akibat pemanasan global, (6) stagnasi teknologi, (7) perubahan selera konsumen serta persaingan dengan produk olahan berbahan baku impor, serta (8) usaha pengelolaan cadangan pangan berbasis daerah namun tetap terintegrasi dalam kerangka nasional. Dari sisi mikro, tantangannya adalah (1) pelaku usaha umumnya petani gurem dengan kemampuan teknologi dan ketrampilan usaha terbatas, (2) rendahnya bargaining power petani karena tidak adanya pengembangan nilai tambah pada produk pasca panen, dan (3) rendahnya aksesabilitas terhadap permodalan, dan (4) penguasaan tataniaga hasil produksi oleh pelaku usaha tertentu.

Menghadapi tantangan-tantangan tersebut di atas, selain menciptakan sistem ketahanan pangan yang terintegrasi secara optimal, untuk menciptakan ketahanan pangan, kebijakan strategis yang perlu diambil adalah (1) kebijakan perlindungan lahan pertanian, (2) kebijakan pengembangan kawasan agribisnis pangan, baik lahan yang telah eksis maupun lahan potensial, (3) kebijakan pengembangan cadangan pangan berbasis daerah, dan (4) kebijakan penyediaan insentif bagi daerah penyangga pangan. Secara nyata, kebijakan utama tersebut hendaknya didukung juga oleh langkah-langkah (1) peningkatan infrastruktur pertanian, (2) penguatan kelembagaan pertanian, (3) pengembangan teknologi

dan aplikasi teknologi, (4) peningkatan akses modal pertanian, serta (5) pengembangan pemasaran hasil pertanian. Dengan adanya perbaikan sistem

dan pelaksanaan kebijakan strategis tersebut diharapkan kelangsungan ketahanan pangan dapat terwujud.

Dalam hal energi, keberadaan energi memainkan peranan yang tak kalah pentingnya dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Selama ini, energi berperan untuk meningkatkan sumber pendapatan negara, sebagai sumber energi bahan baku dan industri, dan menciptakan multiplier effect yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat (pro-poor, pro-job, dan pro-growth).

Pengevaluasian terhadap kondisi energi Indonesia menunjukkan bahwa pasokan energi primer Indonesia terbesar berasal dari minyak bumi, demikian pula dari sisi konsumsi dimana mayoritas rumah tangga dan sektor transportasi menggunakan minyak bumi sebagai sumber energi utama (BBM). Dalam hal penerimaan negara dari sektor migas, seiring dengan trend penurunan produksi

minyak dalam negeri sejak tahun 1991, penerimaan negara dari sektor migas terus menurun khususnya sejak 2000. Selain itu, berdasarkan data yang tersedia, akibat dari trend peningkatan harga BBM sejak krisis 1997 yang di satu sisi meningkatkan penerimaan negara, namun di sisi lain juga menekan anggaran negara seiring peningkatan subsidi BBM untuk menopang beban masyarakat.

Rendahnya produksi minyak Indonesia yang terus menurun cukup mengkhawatirkan karena tingkat produksi minyak yang rendah ini akan meningkatkan ketergantungan pada minyak impor yang dapat bermuara pada memperlemah ketahanan energi nasional. Penurunan produksi dalam negeri yang terus menurun, khususnya setelah tahun 1999, merupakan efek lanjutan dari rendahnya realisasi investasi ekplorasi migas. Padahal, faktor yang mempengaruhi secara positif tingkat investasi ini, yaitu potensi sumber daya dan insentif ekonomi berupa kenaikan harga, telah eksis. Alasan menurunnya tingkat investasi ini ternyata berasal dari perundangan-undangan di bidang migas yang tidak investor-friendly, yaitu UU Migas No. 22 tahun 2001 yang menyebabkan proses birokrasi untuk berinvestasi menjadi lebih panjang serta menimbulkan ketidakpastian dan bertentangan dengan Production Sharing Contract

dikarenakan pengenaan pajak sebelum usaha beroperasi. Selain itu, lemahnya UU tersebut juga karena penunjukan BP Migas sebagai pihak penandatangan kontrak dengan investor, dengan tanpa adanya pengawasan, akan membuka celah konspirasi menguntungkan kedua pihak, namun merugikan negara. Ditemukannya potensi kerugian negara oleh Auditor Negara (BPK dan BPKP) dan lebih rendahnya harga jual LNG Tangguh ke China dibandingkan harga jual gas ke PLN serta harga jual LNG Badak ke Jepang oleh pemerintah menjadi sinyal kemungkinan tersebut.

Kondisi dimana BBM menjadi sumber energi utama dalam sistem energi nasional juga semestinya dapat semakin dikurangi mengingat tersedianya sumber bahan bakar lain, yakni energi berasal dari fosil lainnya seperti gas bumi, batubara, coal bed methane, maupun energi non-fosil seperti tenaga air,

mini/micro hydro, panas bumi, biomass, tenaga surya, tenaga angin, uranium, maupun energi nabati; dimana kesemuanya masih sangat potensial untuk dikembangkan.

Dengan demikian dalam upaya meningkatkan ketahanan energi, kebijakan yang dapat diberlakukan adalah membenahi pengelolaan energi dari sisi pemanfaatan maupun sisi ketersediaan. Dari sisi pemanfaatan, kebijakan yang diberlakukan hendaknya mendorong pada perilaku penggunaan energi secara efisien dan melakukan diversifikasi energi. Dari sisi penyediaan, konservasi energi (optimalisasi produksi) dan eksplorasi sumber baru hendaknya terus diupayakan. Maka, guna meningkatkan investasi eksplorasi, penyempurnaan (amandemen) UU Migas No. 22 tahun 2001 perlu dilakukan. Penciptaan sistem dan regulasi yang ramah terhadap investor pada akhirnya akan meningkatkan tingkat produksi migas dalam negeri. Untuk mendukung langkah diatas, kebijakan penting lain yang sebaiknya diterapkan adalah mendorong harga energi ke arah keekonomian secara bertahap. Kebijakan pendukung lainnya adalah mengembangkan infrastruktur energi untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap penggunaan energi komersial, penguatan kelembagaan pengelola dan pengawasan Kuasa

Pertambangan, pengalokasian subsidi hanya bagi masyarakat kurang mampu, mendorong kemitraan antara pemerintah dan swasta, dan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan energi. Semua kebijakan di atas hendaknya dengan tetap mempertimbangkan faktor lingkungan sebagai bagian mempromosikan sustainable economic development.

Maka pelaksanaan kebijakan-kebijakan dalam bidang pangan dan energi seperti tersebut di atas, beserta dengan program-program yang menyertainya, diharapkan akan mewujudkan terciptanya ketahanan pangan dan energi yang berkesinambungan.

Dalam dokumen Memperkuat Ketahanan Pangan dan Energi N (Halaman 49-53)