• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keynote Speech Gubernur Bank Indonesia

Dalam dokumen Memperkuat Ketahanan Pangan dan Energi N (Halaman 30-35)

KEYNOTE SPEECH GUBERNUR BANK INDONESIA Hadirin sekalian,

18 Keynote Speech Gubernur Bank Indonesia

energi untuk menutup gap permintaan-penawaran yang melebar itu akan memakan waktu lama. Masalahnya terutama karena adanya coordination problem – semua pihak saling menunggu. Pemerintah harus turun tangan sebagai katalis.

Yang perlu dicatat adalah bahwa kebijakan ini hanya akan mengatasi masalah dalam jangka menengah dan panjang dan tidak dapat memberi jawaban untuk persoalan yang kita hadapi dalam jangka pendek ini. Sementara menunggu solusi jangka panjang, kita harus melakukan improvisasi untuk mengurangi dampak negatif jangka pendek.

Mengidentifikasi jawaban umum mudah. Yang sulit adalah menjabarkannya dalam action plan yang operasional. Untuk mendapatkan action plan yang operasional, kita perlu menjawab beberapa pertanyaan mendasar. Pertanyaan pertama yang timbul adalah apakah teknologi-teknologi yang dibutuhkan tersebut tersedia dan bagaimana kesiapannya untuk dimanfaatkan? Pertanyaan kedua adalah kebijakan-kebijakan apa yang diperlukan untuk dapat memanfaatkan secara optimal teknologi-teknologi yang tersedia dengan berbagai tingkat kesiapannya itu? Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menyiapkan institusi-institusi yang diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan- kebijakan dan program-program tersebut? Karena setiap kebijakan dan program hampir selalu memerlukan biaya, pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana pembiayaan kebijakan-kebijakan dan program-program tersebut? Pertanyaan- pertanyaan tersebut dapat dikemas dan dijawab dalam kerangka global atau, yang lebih relevan secara langsung, diformulasikan dalam konteks Indonesia.

Saya awam di bidang pangan dan energi, tetapi itulah kira-kira pertanyaan- pertanyaan yang perlu dijawab secara tuntas dan rinci apabila kita ingin merespons secara kongkrit tantangan pangan dan energi yang sedang menghadang ini. Untuk Indonesia dan negara-negara berkembang lain, menurut hemat saya teknologi-teknologi yang ada masih dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi pangan dan energi. Kita tidak perlu menunggu teknologi- teknologi baru yang masih dalam taraf pengembangan di negara maju. Di bidang pangan, pemanfaatan benih unggul, teknologi pasca panen yang lebih baik, proses produksi skala besar dan sebagainya akan dapat meningkatkan produksi secara signifikan.

Di bidang energi, masih banyak peluang untuk menggantikan minyak bumi dengan sumber-sumber energi lain seperti batu bara, gas, geothermal dan lain- lain. Hal-hal yang kita rencanakan di Indonesia sudah benar. Tinggal kita laksanakan secara sistematis dan konsisten.

Bapak, Ibu, Hadirin, yang saya muliakan,

Perkenankan saya sekarang untuk kembali ke faktor moneter atau unsur spekulatif dari kenaikan harga pangan dan energi akhir-akhir ini. Saya termasuk kelompok yang percaya bahwa harga pangan dan energi, terutama energi, mengandung elemen spekulatif atau bubble yang cukup signifikan. Apabila pada suatu saat gelembung ini gembos, harga akan turun ke tingkat yang lebih “normal” di bawah harga yang sekarang ini. Tetapi ia akan tetap tinggi karena dalam waktu dekat kenaikan suplai belum akan cukup untuk memenuhi

permintaan yang memang tinggi dan terus meningkat. Saya tidak tahu persis berapa besar unsur spekulatif ini, tetapi ada yang memperkirakan bahwa sekitar 30% dari harga minyak mentah yang berlaku di pasar sekarang adalah bubble. Kalau harga minyak turun, harga pangan juga akan turun.

Seperti kita ketahui, bubble tumbuh berdasarkan pada adanya faktor psikologi pada pelaku pasar yang mempercayai bahwa harga komoditi yang menjadi obyek spekulasi akan terus meningkat – suatu pikiran yang sebenarnya tidak logis tetapi dalam suasana eforia sering mendominasi perilaku mereka. Hukum gravitasi mestinya juga berlaku bagi fenomena ekonomi – what goes up must, at some point, go down. Pelaku pasar yang dihinggapi psikologi bubble

percaya bahwa turning point tersebut belum akan tiba hari ini.

Penanganan segi moneter dari commodity boom ini dekat dengan tugas bank sentral di berbagai negara. Basis dari adanya bubble adalah ekspektasi bahwa harga akan terus naik di waktu yang akan datang. Bubble akan gembos atau dapat digembosi, apabila kebijakan uang ketat diterapkan. Karena ini adalah masalah global, agar efektif pengetatan moneter itu harus dilakukan secara global pula. Dilemanya di sini mirip dengan dilema untuk mendorong pemanfaatan teknologi baru tadi. Yakni ada coordination problem. Masing- masing negara akan merespon sesuai dengan kondisi yang dihadapi masing- masing. Masing-masing negara akan menunggu waktu yang tepat untuk mengetatkan kondisi moneter sambil berharap agar harga komoditas global, terutama minyak, menurun. Proses menunggu ini sebetulnya tidak perlu terjadi apabila terdapat koordinasi global. Jika beban pengetatan moneter tersebut dipikul bersama, maka hanya diperlukan sedikit pengetatan moneter di tiap negara sehingga lebih efektif dalam menekan kenaikan ekspektasi harga. Sayangnya, bank sentral AS, The Fed, yang berperan besar dalam kondisi moneter global, dihadapi permasalahan lain yang cukup pelik, yakni masalah

subprime mortgage, yang kemudian berkembang menjadi krisis finansial yang lebih luas. Fed lebih mengutamakan penyelamatan sistem keuangannya dengan cara memberi kelonggaran moneter. Tidak heran jika ekspektasi inflasi tetap tinggi.

Jika ekspektasi inflasi tetap tinggi dan berlanjut, maka pengendalian inflasi akan kian sulit. Penyesuaian yang cukup keras dan beresiko tinggi, seperti resesi, kian sulit dihindari. Resesi global 1981-1982 seharusnya memberi kita pelajaran berharga. Pada saat itu otoritas moneter cenderung mengakomodasi kenaikan harga ketika terjadi oil shock. Karena kenaikan harga minyak memberikan efek kontraksi, resep yang diberikan adalah dengan melonggarkan kebijakan moneter untuk mencegah slow-down, sehingga ekspektasi inflasi tidak kunjung turun. Akibatnya yang terjadi justru bertolak belakang, terjadilah resesi.

Yang patut dicatat adalah adanya perbedaan mendasar pada masa 1981- 1982 dengan saat ini. Dulu, kebijakan moneter tidak memiliki jangkar nominal (nominal anchor) yang jelas. Kini, seiring dengan penerapan inflation targeting, jangkar nominal adalah target inflasi ke depan. Inflasi ke depan inilah yang seharusnya menjadi acuan bagi pasar dan masyarakat luas. Jika ekspektasi inflasi masyarakat tadi sudah sesuai dengan target yang ditetapkan, maka kita dapat mencegah meluasnya kenaikan harga. Karena kita tidak ingin kenaikan harga

komoditas memberikan dampak lanjutan (second round effects) ke harga barang dan jasa lainnya. Jika kenaikan ini juga diikuti oleh kenaikan gaji dan upah, proses spiral inflation dapat terjadi. Itu sebabnya kebijakan moneter harus mencegah meluasnya dampak lanjutan tersebut. Keberhasilan ini amat tergantung dari keberhasilan kita mengendalikan ekspektasi inflasi.

Syarat utama dari keberhasilan pengendalian ekspektasi inflasi adalah kredibilitas bank sentral. Kredibilitas yang dinilai dari jejak rekam bank sentral. Jika setiap kali terjadi shocks, bank sentral bersikukuh untuk tetap mengedepankan stabilitas harga daripada pertumbuhan, maka kredibilitas bank sentral sebagai penjaga stabilitas akan terbentuk. Satu hal yang telah dibuktikan oleh Bundesbank di masa lalu dan nampaknya yang ingin diulang oleh European Central Bank saat ini.

Dengan kredibilitas yang baik, biaya pengendalian inflasi menjadi lebih murah, seiring dengan rendahnya ekspektasi inflasi. Karena pelaku usaha yakin bahwa bank sentral tidak akan membiarkan terjadinya kenaikan harga. Namun tentu saja jika terjadi sebuah shocks yang tak terhindarkan di perekonomian seperti kenaikan harga minyak dan komoditas global saat ini, maka kenyataan bahwa inflasi meleset dari target harus dipahami sebagai sesuatu yang temporer. Tugas kita adalah untuk tidak membiarkan hal yang temporer tersebut menjadi permanen. Ini adalah bagian kecil dari tugas kita bersama untuk menyebarkan rasa optimisme untuk hari esok yang lebih baik. Ini adalah kontribusi kecil dari kita, kaum cerdik pandai, yang berkumpul di sidang yang mulia ini, bagi tanah air tercinta.

Bapak, Ibu, Hadirin yang saya hormati

Sebelum menutup sambutan saya, perkenankan saya menyampaikan selamat kepada ISEI dan khususnya ISEI Cabang Mataram dengan pelaksanaan Sidang Pleno dan Seminar ISEI yang sangat baik.

Demikian yang dapat saya sampaikan. Saya berharap agar pelaksanaan Sidang Pleno dan Seminar di Mataram kali ini membuahkan hasil yang dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat luas. Semoga Tuhan memberkati kita semua.

Billahittaufiq Wal Hidayah, Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Boediono

Dalam dokumen Memperkuat Ketahanan Pangan dan Energi N (Halaman 30-35)