• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Dalam dokumen Memperkuat Ketahanan Pangan dan Energi N (Halaman 41-45)

Soetarto Alimoeso1

Terdapat empat masalah utama yang perlu mendapat perhatian lebih jika kita membahas mengenai pembangunan tanaman pangan dalam konteks sistem ketahanan nasional, yaitu (i) bagaimana arah pemenuhan pangan nasional, (ii) bagaimana perspektif dan organisasi pengelola sistem ketahanan pangan nasional, (iii) bagaimana kita dapat menuju kemandirian pangan yang keberlanjutan, dan (iv) indikator keberhasilan apa yang kita harapkan.

Arah pemenuhan kebutuhan pangan nasional tentunya dilandasi oleh undang-undang pemerintah yang berlaku. Dimana perundangan tersebut menekankan pada bentuk ketahanan pangan sebagai suatu sistem yang berbasis pada rumah tangga dan keterkesediaan pangan yang cukup, baik dari sisi jumlah, mutu, aman, merata, dan terjangkau.

Sementara, perspektif dan organisasi pengelolaan sistem ketahanan pangan nasional lebih menekankan pada bagaimana ketahanan pangan dapat diwujudkan dalam bentuk kemandirian. Kemandirian pangan menjadi salah satu ukuran kecukupan yang tentunya harus didasarkan kepada keragaman sumberdaya melimpah. Pada sisi lain, saat ini ada kecenderungan sektor pangan kita tidak mengarah kepada sumberdaya lokal tetapi justru mengharap pada impor.

Oleh karena itu, jika ingin menciptakan kemandirian pangan maka intensifikasi pangan menjadi salah satu pilihan strategi. Hal ini tentunya tidak luput dari tiga aspek utama yang mempengaruhi ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, distribusi dan konsumsi. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan maka dibutuhkan kesiapan aspek energi dan protein berbasis lokal yang diarahkan menuju kemandirian pangan yang berkelanjutan.

Hal yang tidak kalah penting adalah apa saja indikator keberhasilan yang

digunakan dalam ketahanan pangan nasional, terutama dalam konteks (i) subsistem ketersediaan, (ii) subsistem distribusi, maupun (iii) subsistem

konsumsi tersebut diatas. Fungsi dari subsistem-subsistem tersebut akan diterjemahkan dalam berbagai strategi yang ditempuh. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian, terutama, lebih menitikberatkan perhatiannya pada subsistem ketersediaan yang terkait dengan isu bagaimana meningkatkan produksi pangan dalam negeri (meskipun kadang-kadang impor masih diperlukan) dan bagaimana mengatur pengelolaan pangan di dalam negeri.

Dalam menganalisa kedudukan tanaman pangan dalam sistem tanaman

pangan nasional, setidaknya ada empat hal perlu diperhatikan, yaitu (i) peranan tanam pangan, (ii) kedudukan agribisnis tanaman pangan dalam

sistem ketahanan pangan nasional, (iii) tantangan pemenuhan kebutuhan pangan

berbasis sub sektor tanaman pangan, serta (iv) kebijakan dan strategi pembangunan tanaman pangan dalam mewujudkan kemandirian pangan.

Tanaman pangan berperan besar dalam pembangunan nasional sebagai sumber pangan, sumber bahan baku industri (pakan, bio-fuel, dan industri lainnya), sumber pendapatan dan kesempatan kerja, serta sumber devisa negara dan instrumen perekonomian nasional. Sementara kedudukan agribisnis tanaman pangan tentunya tidak terlepas dari peran penting pangan sebagai sumber pakan, sumber pangan olahan, dan bahan baku industri lainnya serta energi. Hal- hal inilah kiranya yang menyebabkan terjadinya peningkatan harga pangan yang cukup tinggi secara internasional, terutama karena adanya persaingan-persaingan kepentingan tersebut.

Tantangan (sekaligus peluang) pemenuhan pangan nasional berbasis sub sektor tanaman pangan dipengaruhi oleh dua aspek utama, yaitu aspek makro dan aspek mikro. Tantangan aspek makro meliputi pertama peningkatan jumlah penduduk 1,3% per tahun yang cukup tinggi tentunya berdampak pada peningkatan kebutuhan (pemenuhan) padi sebagai komoditas utama, dimana saat ini lebih dari 95% penduduk Indonesia mengkonsumsi makan beras. Sampai dengan tahun 2025 kita harus mampu menyediakan padi paling tidak sebanyak 76,51 juta ton, sementara produksi kita pada tahun 2008 diperkirakan hanya 59,8 juta ton. Tantangan ini juga terjadi untuk kebutuhan jagung dan kedelai.

Tantangan kedua adalah berkurangnya ketersediaan bahan pangan sebagai akibat dari degradasi alih fungsi lahan dan fragmentasi lahan. Bahkan beberapa pemerintah daerah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)–nya telah mengusulkan adanya alih fungsi lahan (konversi dari sawah ke non sawah) sebanyak kurang lebih 3 juta hektar, dan tentunya ini akan sangat membahayakan kalau disetujui. Ini menjadi masalah tambahan lain mengingat selain Indonesia masih memiliki potensi rawan pangan, ternyata status kepemilikan tanah juga belum terselesaikan dengan baik sampai saat ini. Jika melihat jangka waktu perkembangan alih fungsi tanah tadi, jika tidak ada perluasan area baru maka ke depannya Indonesia hanya tinggal memiliki 4 juta hektar tanah sawah. Tentunya perluasan area baru tidak mudah dilakukan karena memiliki keterbatasan-keterbatasan terutama dari aspek permodalan.

Masalah ketiga adalah terjadinya kompetisi pemanfaatan komoditas untuk pangan dengan pemanfaatan komoditas yang terutama mengarah pada pemenuhan energi dan bahan baku lainnya. Tingkat kebijakan belum ingin memanfaatkan pangan untuk dialihkan ke energi, dengan kata lain kebutuhan energi masih memanfaatkan non pangan. Juga keempat, infrastruktur pertanian yang kurang memadai, keterbatasan sumberdaya air (jaringan irigasi), dan jalan untuk usaha tani yang rusak. Sampai saat ini, terdapat 30 kabupaten di Indonesia yang rawan terhadap kekeringan. Hal ini terutama disebabkan oleh infrastruktur sumber air (jaringan irigasi) dan lain sebagainya yang memang masih sangat kurang memadai. Tentunya akan sangat tidak efektif jika pada musim-musim kemarau seperti ini dipaksakan untuk menanam padi karena rentan dengan terjadinya kekeringan. Kelima, terjadinya perubahan iklim tentunya menjadi suatu tantangan tertentu, sekalipun perubahan iklim yang terjadi tahun ini nampaknya

dampaknya positif karena curah hujan masih cukup tinggi pada musim kemarau maupun musim penghujan yang lalu.

Kondisi faktual sumberdaya air di Indonesia menunjukkan bahwa baru 80% kebutuhan air untuk sektor pertanian yang dapat dipenuhi dengan baik yang berasal dari irigasi-irigasi waduk, irigasi bendungan, irigasi pompa air, dan sebagainya. Pada sisi lain, 70% jaringan irigasi tersebut kurang berfungsi dengan baik karena berbagai persoalan. Otonomi daerah yang diharapkan dapat lebih berperanan namun kadang-kadang justru menjadi hal yang lebih rumit.

Masalah-masalah lain yang kiranya cukup serius untuk diperhatikan adalah

enam, perlunya inovasi-inovasi baru untuk bisa menguasai pasar komiditas luar,

tujuh, kecenderungan stagnasi adopsi teknologi, perubahan perilaku konsumen, persaingan antara bahan impor dengan barang impor yang berbasis lokal, serta

delapan, perlunya mendorong usaha pengolahan bahan pangan berbasis daerah sehingga dapat terakreditasi dalam kerangka nasional.

Sementara itu, ada lima hal yang termasuk dalam tantangan mikro, yaitu (i) karakteristik petani di Indonesia adalah petani gurem karena merupakan usaha warisan yang turun temurun, (ii) petani belum melakukan bisnis ”secara penuh” karena masih tergantung pada pergantian musim, (iii) lemahnya posisi tawar petani, (iv) kurangnya fasilitas (akses) terhadap permodalan (perbankan), dan (v) usaha tanaman pangan dianggap usaha yang memiliki tingkat resiko paling tinggi.

Empat strategi pokok pembangunan tanaman pangan di Indonesia diarahkan pada peningkatan produktifitas, peningkatan perluasan areal (bukan hanya petak persawahan saja tetapi juga meningkatkan indeks per tanaman per satuan luas), pengamanan hasil produksi, serta peningkatan kemampuan perbankan dan pembiayaan.

Pada tahun 2008 ini, sasaran utama yang kita hadapi adalah bagaimana kinerja produksi pangan yang berbasis pada tanaman pangan. Dari perkembangan pola tanam, masih terjadi peningkatan luas tanam sebagai akibat dari optimalisasi lahan dan peningkatan pencetakan lahan baru (sekalipun tidak terlalu luas). Selama 5 tahun terakhir telah terjadi peningkatan tren pertumbuhan rata-rata, baik untuk tanaman padi, jagung, maupun kedelai. Dari aspek produksi, terjadi penurunan produksi kacang tanah dan kacang hijau pada tahun 2008 terhadap tahun 2007. Produksi padi dan jagung untuk kepentingan pangan dan pakan dalam negeri masih cukup, bahkan memiliki kelebihan untuk dijadikan cadangan tanaman pangan nasional. Sementara keperluan impor hanya dibutuhkan untuk produk kedelai.

Beberapa regulasi kebijakan yang perlu segera ditetapkan untuk membangun ketahanan pangan yang berkelanjutan adalah (i) kebijakan perlindungan terhadap lahan pertanian, yang sudah pernah dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Undang-undang Bahan Abadi namun sampai hari ini belum juga terselesaikan, (ii) kebijakan pengembangan kawasan agribisnis, khususnya untuk tanaman pangan pada distrik maupun lahan potensial termasuk lahan- lahan yang idle sebaiknya dimanfaatkan untuk pengembangan kawasan agribisnis, (iii) kebijakan pengelolaan cadangan pangan yang berbasis daerah,

tidak lagi sentralistik tetapi desentralisasi yang sesuai dengan undang-undang otonomi daerah bahwa pemerintah daerah memiliki kewajiban dalam mengurus ketahanan pangan daerah, dan (iv) kebijakan insentif utamanya untuk daerah penyangga, termasuk petani-petani tanaman pangan (khususnya padi).

Dalam dokumen Memperkuat Ketahanan Pangan dan Energi N (Halaman 41-45)