• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKSI DAN CADANGAN, REVENUE , COST RECOVERY , R/C DAN PENERIMAAN NEGARA MIGAS

Dalam dokumen Memperkuat Ketahanan Pangan dan Energi N (Halaman 187-191)

MEMPERKUAT KETAHANAN ENERGI DAN PANGAN NASIONAL DALAM ERA PERSAINGAN GLOBAL

PRODUKSI DAN CADANGAN, REVENUE , COST RECOVERY , R/C DAN PENERIMAAN NEGARA MIGAS

Penemuan Cadangan Tahun Produksi Minyak Bumi dan Kondensat (BOPD) Produksi Gas (MMSCFD) Gas (MMBOE) Oil (MMBOE) Total Harga Minyak (US$/ Barrels) Gross Revenue (MMUS$) Cost Recovery (MMUS$) R/C Penerimaan Negara (MMUS$) 2006 1.005.985 8.280 73 335 408 64,28 32.108 5.922 5,4 23.146 2005 1.062.120 8.250 49 132 181 53,40 29.351 5.619 5,2 19.992 2004 1.095.980 8.358 647 402 1049 37,58 22.050 5.326 4,1 13.471 2003 1.146.592 8.533 691 359 1050 18.208 5.044 3,6 10.845 2002 1.252.111 8.276 855 1517 2372 16.350 4.338 3,8 9.633 2001 1.341.434 7.562 774 1457 2231 2000 1.415.306 7.066 1427 1329 2756

Sumber: BP Migas 2007 kecuali Penemuan Cadangan dan Ditjen Migas, 2007

Tabel 2 memperlihatkan Produksi dan Cadangan, Revenue, Cost Recovery, R/C dan Penerimaan Negara Migas. Dari Tabel tersebut diperlihatkan bahwa produksi turun akibat penemuan cadangan yang turun. Walaupun demikian

Gross Revenue dan Penerimaan Negara meningkat karena naiknya harga minyak Biaya biasanya meningkat dengan naiknya harga migas, yang penting Rasio

Revenue terhadap Costs (R/C) meningkat dari tahun ke tahun.

DIVERSIFIKASI

Kurang berhasilnya diversifikasi diantaranya disebabkan oleh belum berlakunya harga keekonomiannya. Diversifikasi dibagi atas Peningkatan Penggunaan Batu Bara, Gas dan Energi Terbarukan untuk Listrik, Peningkatan Penggunaan Gas dan Biodiesel untuk Transportasi serta Peningkatan Penggunaan Gas dan Bioenergy untuk Rumah Tangga.12

Peningkatan Penggunaan Batu Bara, Gas dan Energi Terbarukan untuk Listrik

Permasalahan listrik di Indonesia adalah karena harga jual listrik lebih rendah dari biaya pengadaannya maka pemerintah mensubsidi harga listrik. Subsidi harga listrik ini mengakibatkan panasbumi dan energi terbarukan lain sulit berkembang, apabila harus dijual dengan harga yang disubsidi. Sebaliknya, apabila panasbumi dan energi terbarukan lain diijinkan dijual dengan harga keekonomiannya, maka penggunaannya justru akan mengurangi subsidi karena dia bisa menggantikan BBM (Bahan Bakar Minyak) yang jauh lebih mahal.

Walaupun pemakaian BBM pada 2007 (23.571 GWh) kurang dari setengah pemakaian batubara (50.447 GWh) tetapi biaya BBM lebih dari 4 kali biaya batubara yaitu BBM: Rp. 31,79 triliun, batubara: Rp. 6,98 triliun, gas (33.968 GWh): Rp. 7,81 triliun dan panas bumi (7.529 GWh): Rp. 3,77 triliun.

Program peningkatan pembangkit listrik batubara sebesar 10.000 MW bukanlah sesuatu yang mudah dilaksanakan mengingat banyaknya batubara, pembangkit dan infrastruktur yang dibutuhkan. Diperkirakan harga batubara akan meningkat dimasa depan. Perlu diketahui bahwa 500 MW pembangkit listrik batubara membutuhkan 1,43 juta ton batubara dan disamping itu memproduksikan 10.000 ton SO2– merupakan penyebab utama hujan asam, 10.200 ton NO- penyebab kabut dan hujan asam serta 3,7 juta ton CO2-

dicurigai penyebab pemanasan global (http://science.howstutfworks.com). Bayangkan apabila yang dibakar 10.000 MW batubara.

Permasalahan panasbumi adalah biaya produksi lebih tinggi dari harga jual listrik. Investor hanya akan mengembangkan panasbumi apabila pemerintah menentukan harga panasbumi yang memberikan keuntungan yang wajar dan mensubsidi selisih harga tersebut. Undang-Undang No. 27/2003 tentang Panasbumi yang diharapkan memberikan insentif untuk pengembangan panas bumi dengan mengurangi pendapatan pemerintah, malah mengurangi pendapatan pengusaha dengan dikenakan bea masuk, PPN impor dan PPh impor. Hal ini baru diatasi dengan keputusan Menteri Keuangan No. 177/PMK001/2007.

Berdasarkan studi JICA 2007, harga panasbumi untuk 55 MW dengan IRR 15%, apabila dikenakan bea masuk, PPN impor dan PPh impor adalah 8,68 sen dolar per kWh. Apabila bea masuk dihapuskan dan PPN impor dan PPh impor ditangung pemerintah adalah 8,09 sen dolar per kWh.

Apabila pemerintah mengandalkan batubara dan gas, untuk memenuhi kenaikan permintaan listrik sebesar 5% atau lebih di masa depan serta menggantikan pemakaian BBM tahun 2007 sebesar 23.571 GWh atau 23,6 x 109

kWh dengan panasbumi maka pemerintah dapat menghemat 23,6 x 109 kWh x

US$(0,26-0,08)/kWh x Rp. 9.300/US$ atau Rp. 39,5 triliun per tahun. Untuk itu dibutuhkan penambahan pembangkit listrik panasbumi sekitar 3.000 MW.

Tingginya harga minyak (US$137 per barel) dan harga batubara kualitas baik (US$162 per ton) menurut Kontan, 23 Juni 2008 serta pengurangan subsidi BBM akan memaksa pemerintah untuk meningkatkan harga listrik. Apabila tarif listrik

dinaikan 30% menjadi 8 sen dolar per kWh maka panas bumi lebih mudah berkembang di Indonesia.

Untuk memenuhi kebutuhan listrik perdesaan dengan menggunakan energi terbarukan setempat seperti biomass dan microhydro, maka pemerintah bisa memberikan insentif pengembangannya oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dengan pinjaman berbunga rendah. Di Amerika Serikat Rural Electrification Administration (REA) tersebut dikelola oleh Departemen Pertanian, bukan oleh perusahaan listrik, supaya tidak terjadi konflik kepentingan.

Peningkatan Penggunaan Gas dan Biodiesel untuk Transportasi

Akan lebih menghemat apabila Pemerintah secara bertahap menaikan harga Premium dan Solar ke harga pasarnya, sambil memasok BBG (Bahan Bakar Gas) atau CNG (Compressed Natural Gas) untuk menggantikannya. Perlu dicatat, cadangan (Proven + Possible) gas adalah 187 TSCF (setara dengan 31 miliar barel minyak) atau sekitar tiga kali cadangan (Proven + Possible) minyak yaitu 9,1 miliar barel. Sedangkan sumber daya CBM 453 TSCF dan gas 384,7 TSCF. Apabila sumber daya CBM tersebut dapat dijadikan proven reserve seperti gas maka diperkirakan jumlahnya hampir sama. Perlu dicatat bahwa di India pada saat ini harga bensin sekitar RP. 11.000/liter, sehingga orang kaya tetap memakai mobil pribadi dan orang yang tidak kaya memakai transportasi publik yang menggunakan CNG. Apabila seseorang berpindah dari naik mobil pribadi ke transportasi umum, walaupun harga BBM naik, pengeluarannya akan lebih kecil.

Seharusnya kita memakai BBG sebagai pengganti bensin. Bisa diawali dengan transportasi publik, taksi dan mobil dinas. Apabila SPBG sudah tersedia di banyak tempat dan tabung BBG dijual murah (disubsidi) maka mobil pribadipun akan menggunakan BBG apabila harga BBG setengah harga BBM untuk pemakaian energi yang sama.

Permasalahan gas adalah iming-iming harga ekspor yang cukup tinggi dan belum jelasnya insentif apabila gas tersebut digunakan untuk domestik dengan harga lebih rendah. Seyogyanya gas lebih diutamakan untuk mensubstitusi BBM untuk transportasi (CNG) dan rumah tangga (LPG dan gas pipa) serta digunakan untuk bahan baku petrokimia sehingga meningkatkan nilai tambah. Gas lain yang bisa digunakan adalah Coal Bed Methane (CBM) yaitu gas methana yang ada dalam lapisan-lapisan batubara. Indonesia perlu memberlakukan penerimaan pemerintah yang lebih rendah untuk CBM dibandingkan gas, karena biaya produksi CBM lebih mahal dibanding gas. Perlu dicatat, biaya per sumur CBM lebih murah dibandingkan gas tetapi jumlah sumur yang dibutuhkan jauh lebih banyak, disamping itu dibutuhkan biaya untuk memompa air dulu sebelum memproduksikan gas. Untuk pengembangan gas dan CBM perlu dipertimbangkan harga gas domestik yang menarik, misal US$ 6/MSCF. Perlu disadari bahwa US$ 6/MSCF gas hanya setara dengan US$ 36/BOE minyak. Lapangan gas medium dan kecil serta CBM memerlukan media transportasi berupa pipa. Pembangunan infrastruktur gas tersebut perlu ditingkatkan.

Permasalahan biodiesel (seperti panasbumi) adalah tidak adanya kepastian harga belinya dari produsen (petani) serta kurangnya sosialisasi pemanfaatan

biodiesel. Perlu ditingkatkan penanaman biodiesel di lahan kritis dan menganggur. Indonesia perlu menerapkan pajak bagi lahan menganggur. Menganggurkan lahan adalah bertentangan dengan konstitusi karena tidak menggunakannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Peningkatan Penggunaan Gas dan Bioenergy untuk Rumah Tangga

Penggunaan LPG membutuhkan biayanya Rp. 8.004,-/kg (2008) sehingga apabila dijual Rp. 4.250,-/kg atau Rp. 2.500,-/liter minyak tanah maka subsidinya Rp. 3.754,-/kg atau Rp. 2.208,-/liter minyak tanah, karena 1 kg LPG setara dengan 1,7 liter minyak tanah. Andaikata memakai minyak tanah dengan biaya Rp. 9.424,-/liter (harga keekonomian minyak tanah wilayah I Pertamina, 1 Mei 2008) dan dijual Rp. 2.000,-/liter maka subsidinya Rp. 7.424,-/liter. Jadi dengan konversi minyak tanah ke LPG maka negara akan menghemat: 7.424-2.208 = Rp. 5.215,-/liter. Penjualan minyak tanah di seluruh Indonesia 2006 adalah 11,386 x 109 liter. Akibatnya, jika dapat mensubstitusi 50% minyak tanah oleh LPG,

Indonesia dapat menghemat 0,5 x 11,386 x 109 x 5.215 = Rp. 26,693 triliun.

Apabila 100% LPG menghemat Rp. 53,4 triliun.

Seyogyanya pemerintah tidak hanya memprogramkan penggantian minyak tanah ke LPG untuk memasak, tetapi juga ke gas kota. Perlu diketahui bahwa LPG dibuat dari C3 dan C4, sedangkan gas kota C1 sampai C4. Sehingga, Indonesia jauh mempunyai gas lebih banyak untuk gas kota, dari pada untuk LPG. Dikhawatirkan apabila hanya menggantungkan ke LPG maka kita lebih banyak mengimpornya. Permasalahannya, gas kota membutuhkan biaya investasi infrastruktur yang besar walaupun biaya total gas kota lebih murah dari LPG.

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa makin miskin suatu keluarga maka makin sedikit pengeluarannya untuk minyak tanah atau makin sedikit pemakaian minyak tanahnya. Seorang dengan penghasilan terendah yaitu 60.000-79.999 rupiah/bulan dengan harga eceran minyak tanah Rp. 2.250,-/liter hanya akan memakai minyak tanah 5.455/2.250 = 2,4 liter minyak tanah atau 1,4 kilogram LPG selama sebulan. Apabila dia diberi 1 tabung LPG 3 kg dengan isinya secara gratis maka dia bisa menabung selama 2,1 bulan. Artinya, selama 2,1 bulan tersebut dia bisa menabung uang sebesar 2,1 kali Rp. 5.455 atau Rp. 11.700,-. Sehingga apabila LPG nya habis, 2,1 bulan berikutnya dia bisa membeli isi tabung LPG 3 kg berikutnya seharga Rp. 12.750 dengan hanya menambah Rp. 1.000,- selama 2,1 bulan atau Rp. 475/bulan. Sehingga seseorang tidak rugi apabila berpindah dari memakai minyak tanah ke LPG.

Untuk pemakaian bioenergy untuk memasak di pedesaan (biodiesel atau

biomass) perlu sosialisasi teknologi dan pemakaiannya. Untuk itu perlu partisipasi perguruan tinggi terdekat. Perlu diingat bahwa masalah energi adalah masalah seluruh anak bangsa, bukan hanya pemerintah.

TABEL 3.

GOLONGAN PENGELUARAN DAN DAYA BELI MINYAK TANAH PER BULAN

Dalam dokumen Memperkuat Ketahanan Pangan dan Energi N (Halaman 187-191)