• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Neraca Air DAS. Analisis neraca air SWP DAS Arau dilakukan dengan terlebih dahulu menghitung ketersediaan air dan kebutuhan air pada SWP DAS Arau, yang akan diuraikan sebagai berikut.

1. Penghitungan Ketersediaan Air dalam DAS

Ketersediaan air adalah jumlah air (debit) yang diperkirakan terus menerus ada di suatu lokasi (bendung atau bangunan air lainnya) di sungai dengan jumlah tertentu dalam jangka waktu tertentu (Triatmodjo 2009). Untuk pemanfaatan air, perlu diketahui informasi ketersediaan air andalan (hujan, debit). Debit andalan adalah debit minimum sungai dengan besaran tertentu yang berpeluang mampu memenuhi berbagai kebutuhan. Dalam penelitian ini, dipakai debit andalan 80% (Q80), yaitu debit andalan yang dibutuhkan un-tuk memenuhi kebutuhan air minum (Triadmodjo 2009).

a) Penghitungan Hujan DAS

Penentuan rata-rata curah hujan untuk masing-masing DAS pada SWP DAS Arau dalam penelitian ini menggunakan metoda segitiga Poligon Thiessen. Poligon Thiessen dibuat dari peta SWP DAS Arau antara posisi titik-titik Stasiun Penakar Hujan (SPH), kemudian dihubungkan dengan garis lurus dan pada titik tengah garis lurus tersebut ditarik garis tegak lurus 90o, perpotongan antara garis tegak dan berbentuk poligon disebut Poligon Thiessen yang ditumpangtindihkan dengan peta SWP DAS Arau, sehingga didapatkan luasan daerah pengaruh hujan masing-masing stasiun penakar hujan. Persentase antara luas poligon dan luas DAS kemudian dikalikan dengan hujan rata-rata bulanan sehingga didapat curah hujan bulanan pada setiap DAS.

[R1 x (a1/A)] + [R2 x (a2/A)] + ... + [Rn x (an/A)] …………..(4) Dimana : R1, R2, …, Rn = curah hujan pada masing-masing stasiun pena-kar hujan; a1, a2, …., an = luas daerah pengaruh masing-masing stasiun hu-jan (luas daerah polygon) (ha); A = luas total DAS (ha).

b) Penghitungan Ketersediaan Air DAS

Ketersediaan air pada SWP DAS Arau dilakukan terhadap ketersediaan air permukaan, yang diprediksi dari analisis data rata-rata debit bulanan pada

sungai utama masing-masing DAS yang mempunyai fasilitas alat pengukur hidrometri dalam rentang waktu 20 tahun (1990-2009), yaitu dari stasiun pengukur debit Gunung Sarik (DAS Batang Arau), Gunung Nago (DAS Batang Kuranji) dan stasiun pengukur debit Lubuk Minturun (DAS Batang Air Dingin). Debit andalan (Q80) ditentukan menggunakan metode rangking dengan mengurutkan dalam bentuk tabel data debit, dari debit maksimum sampai debit minimum, persen keandalan diperoleh dari nilai m/n yang dinyatakan dalam %, dimana m adalah nomor urut dan n

adalah jumlah data. Bila data debit yang tersedia tidak kontinyu atau dalam jangka pendek maka analisis ketersediaan air dalam DAS dihitung menggunakan model hujan aliran (Triatmodjo 1998a), karena dalam suatu DAS, pada umumnya data hujan tersedia dalam jangka waktu panjang. Untuk itu dibuat hubungan antara debit dan hujan dalam periode waktu yang sama, selanjutnya berdasarkan hubungan tersebut dibangkitkan data debit berdasar data hujan yang tersedia. Dengan demikian akan diperoleh data debit dalam periode yang sama dengan data hujan. Metode untuk membangkitkan data debit dari data hujan yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan model regressi linear sederhana (Triatmodjo 1998b), seperti Gambar 2 di bawah ini.

Data Hujan (p) Tahun 1990 - 2009

Q = f (p) Hubungan Q - p Tahun yang sama

(2002 - 2009)

Data Debit (Q) Tahun 2002-2009

Bangkitan Debit Q Tahun 1990 - 2009

2. Penghitungan Kebutuhan Air dalam DAS

Penghitungan kebutuhan air pada SWP DAS Arau dilakukan dengan membagi

kebutuhan air atas 4 sektor, yaitu : (a) Rumah Tangga; (b) Pertanian; (c) Sarana Perkotaan dan; (d) Industri, dengan uraian sebagai berikut :

(a) Kebutuhan air rumah tangga (Qrt)

Kebutuhan air untuk rumah tangga diperkirakan dengan rumus berikut : Qrt = Pt x Un ……….…(5)

Dimana Qrt adalah jumlah kebutuhan air penduduk per wilayah studi (m3/tahun); Pt adalah jumlah penduduk pada tahun yang bersangkutan (jiwa); dan Un adalah nilai kebutuhan per kapita per tahun (m3/tahun/jiwa) sesuai standar yang digunakan Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (2003) seperti disajikan pada Tabel 5. Data jumlah penduduk serta proyeksinya diambil dari data Statistik Kota Padang tahun 2009 dan Draft RTRW Kota Padang tahun 2008-2028.

Tabel 5 Standar kebutuhan air untuk rumah tangga

No. Jumlah Penduduk Jenis Kota Kebutuhan Air (Liter/Hari)

1 < 2.000.000 Metropolitan 210 2 1.000.000 – 2.000.000 Metropolitan 150 - 210 3 500.000 – 1.000.000 Besar 120 - 150 4 100.000 – 500.000 Besar 100 - 120 5 20.000 – 100.000 Sedang 90 - 100 6 3.000 – 20.000 Kecil 60 - 90 Sumber : Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003

(b) Kebutuhan air untuk perkotaan (Qkt)

Kebutuhan air perkotaan adalah kebutuhan air untuk fasilitas kota, seperti fasilitas komersial, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan dan fasilitas pendukung kota seperti taman, hidran kebakaran dan pengelontoran kota (Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah 2003). Besarnya kebutuhan air untuk sarana perkotaan merupakan persentase dari jumlah kebutuhan air rumah tangga. Penentuan persentase tergantung dari jumlah atau kepadatan penduduk, seperti terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Besarnya kebutuhan air untuk sarana perkotaan

No Kriteria (Jumlah Penduduk)

Kebutuhan Air Perkotaan

(Persentase dari Kebutuhan Air Rumah Tangga)

1 > 500.000 40 2 100.000 – 500.000 30 3 < 100.000 20

Sumber : Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003

(c) Kebutuhan air pertanian (Qptn)

Kebutuhan air pertanian dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kebutuhan untuk irigasi, perikanan dan peternakan, diperkirakan dengan rumus berikut :

Qptn = Qirg + Qikan + Qternak …...…………..(6)

Dimana : Qirigasi = Luas lahan sawah atau palawija (ha) x acuan kebutuhan air persatuan luas sawah atau palawija pertahun (m3/ha/tahun); Qperikanan = Luas lahan kolam/perikanan (ha) x acuan kebutuhan air persatuan luas kolam/tahun (m3/ha/tahun); dan Qpeternakan = Jumlah ternak (ekor) x acuan kebutuhan air/jenis ternak/ekor (m3/ekor/tahun). Data luas irigasi, perikanan dan peternakan diambil dari data statistik Kota Padang tahun 2009. Besarnya acuan kebutuhan air untuk pertanian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Standar kebutuhan air pertanian

No. Jenis Kegiatan Kebutuhan Air Sumber

Irigasi

1. Sawah 1 liter/detik/ha Hatmoko et al. 1993 2. Palawija 0,25 liter/detik/ha Hatmoko et al. 1993 Perikanan

1. Perikanan sawah 1 liter/detik/ha Hatmoko et al. 1993 2. Perikanan Kolam 3.053 m3/ha Hatmoko et al. 1993 3. Perairan Umum 0,2 liter/detik/ha Sugiarto 1995 Peternakan

1. Sapi/Kerbau/Kuda 40 liter/ekor/hari SNI 2002 2. Kambing/Domba 5 liter/ekor/hari SNI 2002 3. Unggas 0,6 liter/ekor/hari SNI 2002

(d) Kebutuhan air industri (QInd)

Kebutuhan air industri adalah kebutuhan air untuk proses industri termasuk bahan baku, kebutuhan air pekerja, industri dan pendukung kegiatan industri (Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah 2003).

Kebutuhan air industri dapat dihitung menggunakan metode penggunaan lahan industri, yaitu sebesar 0,4 liter/detik/ha untuk wilayah yang luas la-han kawasan industrinya diketahui (Triatmodjo 2009). Sedangkan untuk wilayah yang tidak diketahui, standar yang digunakan Dirjen Cipta Karya Departemen PU adalah sebesar 10% dari konsumsi air domestik. Klasifikasi industri diperlukan untuk menentukan besarnya kebutuhan air industri. Dalam penelitian ini, standar kebutuhan air industri yang diguna-kan disajidiguna-kan pada Tabel 8. Kebutuhan air industri (QInd) diperkiradiguna-kan menggunakan rumus :

Qind = (K1 x X1) + (K2 x X2) ………..(7)

Dimana K1 adalah kebutuhan air untuk proses produksi; X1 adalah acuan kebutuhan air untuk proses produksi; K2 adalah jumlah karyawan; dan X2

adalah acuan kebutuhan/sanitasi karyawan. Data industri pada SWP DAS Arau diambil dari data statistik Kota Padang tahun 2009.

Tabel 8 Standar kebutuhan air industri

Uraian Kebutuhan Air Sumber

Bila luas lahan kawasan industri diketahui

0,4 liter/detik/ha Triatmodjo 2009 Industri Rumah Tangga Belum ada rekomendasi,

disesuaikan dengan kebutuhan air Rumah Tangga

Departemen Kimpraswil 2003 Industri Menengah 2 - 4 m3/hari IWACO 1989 Industri Besar 5 - 10 m3/hari IWACO 1989 Kebutuhan air

karya-wan/pekerja

60 liter/orang/hari Departemen Kimpraswil 2003

Penghitungan total kebutuhan air pada DAS adalah penjumlahan kebutuhan air keempat sektor, yaitu :

Qtotal = Qrt + Qkt + Qprt + Qind …………..…………(8)

3. Neraca Air DAS (Keseimbangan Air DAS)

Untuk melihat kondisi ketersediaan air DAS dalam memenuhi kebutuhan air pada DAS tersebut, maka ketersediaan air pada DAS dikurangi dengan kebutuhan air pada DAS. Bila keseimbangan air positif maka tidak terjadi

kekurangan air pada DAS tersebut dan bila neraca air negatif maka mengindi-kasikan adanya krisis air pada DAS tersebut.

Analisis Optimasi Penggunaan Lahan. Analisis optimasi penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui luas lahan hutan yang dibutuhkan dan distribusinya untuk mencapai kondisi hidrologis DAS yang baik atau untuk men-capai kinerja DAS dalam kategori baik pada SWP DAS Arau, menggunakan analisis spasial dan model hidrologi.

1. Penggunaan lahan eksisting SWP DAS Arau

Penggunaan lahan eksisting dilihat melalui analisa peta tutupan lahan berdasarkan peta citra digital ETM7+ SWP DAS Arau tahun 2009.

2. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi DAS

Analisis ini akan melihat pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi DAS menggunakan data time series. Perubahan penggu-naan lahan dianalisis melalui peta tutupan lahan SWP DAS Arau tahun 1990, 2000, 2009 berdasarkan peta citra digital ETM7+ SWP DAS Arau tahun 1990, 2000 dan 2009; sedangkan perubahan kondisi hidrologi DAS yang mencer-minkan kinerja DAS dianalisis melalui penelusuran data debit tahun 1990 sampai dengan tahun 2009. Parameter yang digunakan untuk mengukur kinerja DAS, meliputi debit maksimum (Qmaks), debit minimum (Qmin); dan fluktuasi debit (rasio Qmaks/Qmin atau koefisien regim sungai (KRS)). Berdasarkan SK Dirjen RLPS Nomor P.04/V-SET/2009, ada 2 (dua) kriteria penilaian KRS, yaitu : (1) Nilai KRS berdasarkan nilai perbandingan antara debit maksimum dan debit minimum tahunan (Qmaks/Qmin) dengan rentang : nilai KRS < 50 termasuk kategori baik, nilai KRS 50 – 120 termasuk kategori sedang, dan nilai KRS > 120 termasuk kategori buruk; dan (2) nilai KRS dihitung berdasarkan perbandingan antara debit maksimum dan debit andalan (Qmaks/Qandal), dimana Qa adalah debit rata-rata tahunan dikalikan dengan faktor 0.25. Nilai KRS > 20 termasuk dalam kriteria DAS jelek/buruk.

Pengaruh perubahan tutupan lahan terhadap kondisi hidrologis DAS dianalisis menggunakan model regressi linear menggunakan software Minitab dan model deterministik non linear menggunakan program Stella 9.0.2.

3. Prediksi kondisi hidrologis DAS dan skenario penggunaan lahan optimal Prediksi kondisi hidrologis DAS akibat perubahan tutupan lahan hutan dianalisis menggunakan model deterministik non linear menggunakan program Stella 9.0.2. Model yang dibangun terdiri dari 3 (tiga) variabel utama yaitu : (a) Stock, yaitu luas berbagai tutupan lahan; (b) Flow, yaitu perubahan luas tutupan lahan hutan; dan (c) Variabel auxilary, yaitu variabel yang ditetapkan sebagai konstanta dalam menentukan tindakan pengelolaan. Skenario yang digunakan adalah bagaimana nilai KRS DAS pada (1) kondisi penggunaan lahan seperti saat ini tanpa ada tindakan pengelolaan (bussines as usual, BAU); (2) skenario penggunaan lahan yang memberikan kondisi hidrologi yang baik (nilai KRS < 50) melalui tindakan penghentian konversi lahan hutan dan penanaman kembali lahan dengan tutupan non hutan. Untuk mendapatkan penggunaan lahan optimal dilakukan telaahan dengan memper-timbangkan aspek fisik (kesesuaian fungsi kawasan); aspek ekonomi atau pengembangan wilayah (RTRW Kota Padang tahun 2008-2028), dan aspek sosial budaya setempat (historis penggunaan dan pemilikan lahan, adat serta preferensi masyarakat).

Kajian Identifikasi Arena Aksi, Atribut Komunitas dan Rules in Use Untuk Pengembangan Institusi (Pendekatan Kelembagaan)

Kajian ini dilakukan untuk mencapai tujuan (2), yaitu mengidentifikasi as-pek kelembagaan arena aksi, atribut komunitas dan aturan / kebijakan / norma adat (rules in use) dalam pengelolaan hutan yang mempengaruhi perilaku aktor dalam pengelolaan SWP DAS Arau sesuai kerangka kerja analisis pengem-bangan institusi dari Ostrom (2008). Tujuannya untuk memprediksi perilaku ak-tor dalam pengelolaan SWP DAS Arau sehingga dihasilkan pola interaksi (performance) yang baik, dalam arti dihasilkan institusi pengelolaan yang efisien, yang memenuhi kriteria adanya biaya transaksi yang minimal dan imbalan yang diterima para pihak sesuai dengan korbanan pada kinerja DAS yang baik. Infor-masi ini akan digunakan untuk menyusun model kelembagaan pengelolaan hutan dan pengembangan PES pada SWP DAS Arau. Penggalian informasi akan difokuskan pada lokasi-lokasi yang secara teknis potensial untuk pengembangan kegiatan tersebut berdasar hasil Kajian 1.

Analisis arena aksi dibatasi pada pengelolaan kawasan lindung, khususnya pengelolaan hutan pada hulu DAS, meliputi aspek ruang (insentif pengelolaan la-han dan tingkat kesejahteraan masyarakat); aspek waktu (pembiayaan pengelolaan hutan dan lahan dan jaminan kontinyuitas produksi, misalnya pasar yang kondu-sif); aspek jaminan kepastian hak (tenurity secure) (kepastian hak dan minat untuk berinvestasi dalam pengelolaan hutan); dan aksi kolektif dalam pengelolaan hutan (keterlibatan masyarakat dan peran para pihak dalam pengelolaan hutan). Analisis atribut komunitas meliputi karakter masyarakat dan kondisi sosial budaya masya-rakat setempat. Sedangkan analisis aturan yang digunakan dalam pengelolaan hutan/DAS (rules in use) mencakup aturan formal sesuai peraturan perundangan dan aturan non formal pengelolaan hutan berdasar norma-norma adat setempat.

Untuk menentukan model institusi pengelolaan yang lebih memenuhi syarat bagi institusi pengelola hutan yang lestari pada SWP DAS Arau maka dilakukan analisis terhadap norma-norma institusi pengelolaan hutan yang ada agar dida-patkan pola-pola untuk pengelolaan lestari serta membandingkan institusi penge-lola hutan secara formal oleh pemerintah dan pengepenge-lolaan hutan berdasarkan nor-ma adat menggunakan modifikasi prinsip desain Ostrom (1990) oleh Gautam dan Shivakoti (2005) sebagai kerangka teoretis dan evaluasi. Diharapkan hasil anali-sis dapat digunakan untuk memecahkan konflik pengelolaan hutan dan tumpang tindihnya hutan Negara dan hutan ulayat pada SWP DAS Arau.

Kajian Pengembangan Insentif untuk Konservasi dan RHL dari Dana PES dan Non PES pada SWP DAS Arau (Pendekatan Ekonomi)

Kajian ini dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian point (3) mengidentifikasi aspek ekonomi potensi pelaksanaan PES pada SWP DAS Arau serta insentif konservasi dan RHL dari dana Non PES.

Analisis Potensi PES. Untuk mengembangkan skema PES sampai implementasinya di lapangan harus melalui beberapa tahapan yang panjang. Pada penelitian ini hanya akan dilakukan identifikasi terhadap :

(1) Karakteristik dan ketersediaan jasa lingkungan DAS, meliputi kejelasan jenis, lokasi, kepemilikan lahan dan luas wilayah yang akan menyediakan jasa lingkungan tersebut pada setiap DAS dalam SWP DAS Arau, dan difokuskan

pada jasa lingkungan air permukaan, yaitu sumberdaya air sungai dan hutan sebagai daerah tangkapan airnya, dilakukan melalui analisis spasial daerah tangkapan air DAS, fungsi kawasan, analisis skema aliran sungai dan debit sungai, data sekunder dan pengecekan lapangan pada beberapa titik contoh (2) Potensi penyedia/pemasok jasa lingkungan; diarahkan pada perorangan,

kelompok ataupun lembaga yang mengelola lahan kawasan lindung sebagai daerah tangkapan air di daerah hulu DAS. Untuk mengukur kesediaan mene-rima kompensasi (willingness to accept, WTA), respondennya diarahkan pada petani pemilik atau pengelola lahan kawasan lindung di hulu DAS atau DTA. Responden petani pemilik lahan dipilih secara sengaja, sebanyak 40 orang per DAS (total responden 120 orang). Sedangkan responden dari institusi penge-lola hutan adalah pejabat atau petugas dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Barat; Dinas Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perke-bunan Kota Padang; dan Badan Pelaksana Pengelola Tahura Bung Hatta. (3) Potensi pengguna jasa lingkungan; diarahkan kepada kelompok, lembaga

ataupun perorangan yang melakukan aktivitas (ekonomi) dengan menggunakan sumberdaya air sebagai modal usahanya, seperti PDAM, PLTA, industri, dan pengguna air lainnya pada daerah tengah dan hilir DAS.

(4) Nilai ekonomi pemanfaatan air permukaan pada DAS hulu dan nilai ekonomi jasa lingkungan DAS, dibagi atas 2 kategori, yaitu : (1) pengguna air non ko-mersil (rumah tangga dan petani tradisonal); dan (2) pengguna air koko-mersil (usaha / lembaga pengguna air untuk tujuan komersil).

(a) Pengguna air non komersil (rumah tangga dan petani tradisonal)

Unit contoh pada pengguna air rumah tangga adalah rumah tangga yang memanfaatkan air non PDAM untuk kebutuhan sehari-hari. Jumlah res-ponden sebanyak 30 orang per DAS (total 90 orang resres-ponden pengguna air rumah tangga). Informasi yang dikumpulkan meliputi pekerjaan, ting-kat pendapatan, jumlah anggota keluarga, jumlah penggunaan air, biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan air serta kesediaan untuk berkontri-busi dalam kegiatan konservasi dan RHL.

Unit contoh pada penggunaan air pertanian adalah petani yang memanfaatkan air dari sumber air untuk mengairi lahannya. Jumlah res-ponden sebanyak 30 orang per DAS (total resres-ponden petani tradisonal 90 orang). Informasi yang dikumpulkan antara lain tentang luas lahan, tingkat pendapatan, jumlah penggunaan air, biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan air dan kesediaan responden untuk berkontribusi dalam ke-giatan konservasi dan RHL pada daerah tangkapan air.

Pelaksanaan survey dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan informasi yang relevan kepada responden. Setelah itu baru diberikan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan kesediaan mereka membayar untuk jasa lingkungan air (WTP) jika air tidak boleh dimanfaatkan lagi. Nilai ekonomi pemanfaatan air untuk rumah tangga merupakan nilai pe-manfaatan air yang dihasilkan dari perkalian jumlah rumah tangga, jumlah anggota keluarga, konsumsi air rata-rata rumah tangga per bulan dan harga air setara tarif PDAM. Penggunaan harga air setara tarif PDAM dalam penelitian ini karena belum adanya penetapan harga air secara khusus un-tuk kriteria rumah tangga hulu. Sedangkan unun-tuk menduga besarnya nilai ekonomi pemanfaatan air untuk irigasi padi sawah digunakan pendekatan biaya pengadaan air/hektar/musim tanam. Nilai pemanfaatan air untuk pertanian padi sawah adalah nilai pemanfaatan air yang dihasilkan dari luas usaha padi sawah, musim tanam padi dan biaya pengadaan air. Kom-ponen biaya pengadaan air meliputi upah harian kerja (jumlah tenaga kerja dan berapa hari kerja), pengadaan sarana pengaliran air ke lahan sawah se-tiap petani, seperti pipa, bambu, selang air atau pembuatan saluran air dan biaya pemeliharaan sarana pengaliran air tersebut.

Untuk menduga besarnya nilai jasa lingkungan hutan didekati berdasarkan kesediaan membayar (WTP) pengguna air untuk mendapatkan air atau ke-sediaan mereka untuk berkontribusi dalam kegiatan konservasi dan RHL berdasar hasil survey atau dapat dilihat dari besarnya biaya pengadaan untuk dapat mengkonsumsi air.

(b) Pengguna air komersil (usaha atau lembaga yang banyak menggunakan air dalam proses produksi atau aktivitasnya).

Responden adalah industri, perusahaan atau lembaga yang menggunakan air dalam proses produksinya dan kegiatannya. Dalam penelitian ini pemi-lihan contoh dilakukan secara sengaja, yaitu pada institusi yang menggu-nakan air dalam jumlah besar yang diambil langsung dari air permukaan pada daerah hulu SWP DAS Arau.

Besar nilai pemanfaatan air permukaan dari pengguna komersil dihitung dengan analisis biaya pengadaan air, biaya penggunaan air ataupun dengan biaya kerugian yang ditanggung bila air tidak tersedia, dengan memper-timbangkan ketersediaan data yang diperlukan untuk analisis. Pendekatan biaya pengadaan air digunakan untuk menghitung nilai pengadaan air yang meliputi: biaya fisik pengadaan air yang terdiri dari biaya investasi, operasi dan pemeliharaan, biaya rehabilitasi saluran air, serta management fee yang dapat dihitung berdasarkan biaya finansial.

Nilai ekonomi jasa lingkungan hutan bagi pengguna air komersil didekati berdasarkan kesediaan membayar (WTP) pengguna air atau dari besarnya biaya pengadaan air sebagai bahan baku (input) produksinya.

Besarnya nilai ekonomi pemanfaatan air pada hulu SWP DAS Arau merupa-kan penggabungan dari nilai pemanfaatan air untuk kebutuhan non komersil dan penggunaan komersil.

Analisis Pengembangan Insentif Konservasi dan RHL dari Dana Non PES. Potensi sumber pendanaan non PES mencakup analisis sumber dana dari pemerintah, masyarakat ataupun swasta yang memungkinkan digunakan untuk insentif konservasi dan RHL. Tahapan yang harus dipenuhi dalam

mengembangkan insentif RHL (Kartodihardjo et al. 2004) adalah: (1) Menjelaskan konteks sosial ekonomi dan sumberdaya alam dan identifikasi

interaksi antara kehidupan masyarakat dengan sumberdaya alam; (2) Identifikasi aktifitas yang secara langsung menyebabkan degradasi lahan/sumberdaya alam dan identifikasi faktor penekan aktivitas ekonomi dan degradasi lahan/sumber daya alam; (3) Identifikasi kebutuhan insentif untuk konservasi/RHL dan Identifikasi relung untuk insentif konservasi/RHL; (4) Pemilihan insentif yang

tepat untuk konservasi dan RHL; dan (5) Implementasi insentif konservasi dan RHL dan evaluasi dan desain ulang insentif sesuai kebutuhan (bila ada review kembali ke Tahap 3). Dalam penelitian ini hanya akan dilakukan sampai tahap 4.

Responden adalah petani pemilik atau pengelola lahan pada kawasan lindung atau DTA, dipilih secara sengaja dengan jumlah 40 orang per DAS atau 120 orang pada SWP DAS Arau.

Kajian Pengembangan Institusi Dalam Membangun Model Pengelolaan SWP DAS Arau Terpadu dan Mandiri.

Kajian ini dilakukan untuk mendapatkan tujuan umum penelitian, yaitu menyusun rancangan model pengelolaan SWP DAS Arau terpadu dan mandiri. Dalam penelitian ini pengembangan institusi akan difokuskan pada model penge-lolaan hutan pada kawasan lindung SWP DAS Arau dan institusi untuk pengem-bangan PES dalam rangka pengelolaan SWP DAS terpadu dan mandiri, melalui analisis terhadap permasalahan hak kepemilikan (property right), pengelolaan sumberdaya milik bersama (common pool resources) dan masalah eksternalitas yang mempengaruhi efisiensi kelembagaan pengelolaan SDA, yang lestari, yang tercermin dari biaya transaksi yang minimal dalam pelaksanaan kegiatan pengelo-laan hutan. Untuk mewujudkan pengelopengelo-laan DAS yang terpadu, mandiri dan ber-kelanjutan pada SWP DAS Arau maka disusun rancangan model pengelolaan DAS dengan memadukan aspek fisik, kelembagaan dan ekonomi berdasarkan kompilasi hasil Kajian 1, 2, 3 dan pengembangan model kelembagaan pengelo-laan hutan serta kelembagaan untuk implementasi PES pada SWP DAS Arau.

Diagram alir penelitian secara keseluruhan disajikan pada Gambar 3 di ba-wah ini. Tahap awal penelitian dimulai dengan mengeksplorasi aspek fisik untuk mencapai tujuan penelitian (1). Hasilnya berupa skema pengelolaan DAS dari aspek fisik yang akan dijadikan acuan untuk tindakan konservasi dan RHL. Ber-dasarkan hasil Kajian (1) dilakukan penelitian aspek kelembagaan yang difo-kuskan pada lokasi-lokasi yang harus mendapatkan tindakan pengelolaan dalam bentuk kegiatan konservasi dan RHL. Kajian (2) dilakukan untuk mengeksplorasi arena aksi, atribut komunitas dan aturan main yang terkait dengan pengelolaan kawasan yang akan mendapat tindakan konservasi dan RHL. Hasil kajian (2) be-rupa peta permasalahan kelembagaan yang menyebabkan kinerja DAS yang buruk

dan potensi yang ada yang dapat mendukung pengelolaan lestari. Hasil kajian 2 akan dijadikan acuan untuk merancang bentuk insentif dan institusi yang diperlu-kan untuk pengelolaan DAS yang terpadu dan mandiri. Setelah itu dilakudiperlu-kan pe-nelitian pada bagian ketiga untuk mengesplorasi potensi insentif yang memung-kinkan untuk kegiatan konservasi dan RHL, baik dari dana PES maupun non PES. Berdasarkan hasil kajian (1), (2), dan (3) dikembangkan institusi untuk