• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penutupan Lahan Optimal pada SWP DAS Arau

Untuk mengetahui tutupan lahan optimal, yaitu pola penutupan lahan yang akan memberikan kondisi hidrologis DAS yang optimal atau kinerja DAS dalam kategori baik maka dilakukan analisis terhadap tutupan lahan seperti apa yang memberikan nilai KRS yang berada pada kriteria baik. Berdasarkan analisis menggunakan persamaan regressi linear, hubungan nilai KRS dengan tutupan la-han memberikan hasil yang tidak nyata (tidak ada hubungan yang signifikan) ka-rena hasil analisis menunjukkan ketika tutupan lahan hutan meningkat, nilai KRS ada yang meningkat dan ada yang menurun. Diduga hal ini disebabkan oleh pengaruh curah hujan karena kondisi cuaca yang ekstrim ataupun karena jumlah data yang tidak memadai untuk dianalisis menggunakan regressi, terutama data debit pada DAS Batang Arau. Karena hubungan KRS dan tutupan lahan tidak nyata menggunakan model linear, maka tidak dapat dilakukan simulasi dengan analisis regresi untuk melihat proyeksi nilai KRS agar bisa didapatkan skenario optimal. Oleh karena itu, untuk menduga proyeksi nilai KRS, digunakan model deterministik non linear atau model sistem dinamis menggunakan program Stella versi 9.0.2. Model yang akan dibangun terdiri dari 3 (tiga) variabel utama yaitu : (a) Stock, yaitu luas berbagai tutupan lahan, yaitu hutan, semak belukar, pertanian lahan kering campur semak, dan pertanian lahan kering (PLK); (b) Flow, yaitu perubahan luas tutupan lahan; dan (c) Variabel auxilary, yaitu variabel yang ditetapkan sebagai konstanta dalam menentukan tindakan manajemen, seperti ke-giatan RHL dan pembatasan pemberian ijin konversi tutupan lahan hutan.

Asumsi yang dijadikan landasan untuk membangun model dinamis, yaitu : peningkatan jumlah penduduk pada SWP DAS Arau akan meningkatkan permin-taan akan produk pertanian dan jumlah petani lahan kering, yang pada gilirannya akan meningkatkan kebutuhan lahan untuk pertanian lahan kering (PLK). Peningkatan kebutuhan lahan untuk PLK ini dipenuhi petani dari konversi lahan semak belukar untuk PLK dan pembukaan lahan (perambahan) hutan untuk PLK. Degradasi hutan terjadi karena adanya perubahan tutupan lahan hutan menjadi semak belukar, pertanian lahan kering campur semak dan PLK.

Pengurangan tutupan hutan (degradasi hutan) akan meningkatkan debit maksimum (Qmaks) dan menurunkan debit minimum (Qmin) dan cenderung

ningkatkan nilai Koefisien Regime Sungai (KRS), yang menunjukkan kinerja DAS semakin buruk. Degradasi hutan dapat dicegah dengan menghentikan atau melarang konversi lahan hutan menjadi peruntukan lain atau diperbaiki dengan penanaman kembali (rehabilitasi) semak belukar dan lahan PLK campur semak dengan jenis-jenis tanaman kehutanan. Dengan demikian, untuk memperbaiki kinerja DAS dilakukan melalui pendekatan perbaikan nilai KRS sehingga menca-pai nilai KRS dalam kategori baik (nilai KRS < 50), menggunakan skenario reboi-sasi lahan terhadap tutupan non hutan (semak belukar, PLK campur semak dan PLK) dan penghentian laju konversi hutan. Proyeksi nilai KRS karena perubahan tutupan lahan dilihat pada 2 (dua) skenario, yaitu : (1) Skenario bila tidak ada per-lakuan sama sekali, atau kondisi eksisting dibiarkan sebagaimana adanya ( busi-ness as usual, BAU); dan (2) Skenario bila diberikan perlakuan dalam bentuk re-boisasi dan RHL dan pencegahan konversi hutan menjadi tutupan selain hutan.

Berdasarkan data BPS (2010), laju pertambahan penduduk pada ke tiga DAS pada lokasi penelitian adalah : 1,09% pertahun pada DAS Batang Arau; 2,48% pertahun pada DAS Batang Kuranji; dan 2,63% pertahun pada DAS Ba-tang Air Dingin. Dari hasil survey didapatkan rata-rata luas lahan setiap keluarga petani yang digunakan untuk PLK (parak) pada lokasi penelitian adalah sebesar 1 (satu) hektar. Jumlah penduduk yang bekerja pada bidang pertanian/kehutanan pada SWP DAS Arau pada tahun 2009 adalah sebesar 5,48% atau 10.677 KK (BPS, 2010), sehingga akan terjadi pertambahan petani PLK sekitar 193 orang pertahun. Dengan demikian kebutuhan peningkatan lahan untuk PLK adalah seki-tar 193 hekseki-tar per tahun atau 9,34% per tahun dari jumlah PLK pada tahun 2009 atau 0,36% per tahun dari luas SWP DAS Arau.

Peningkatan kebutuhan lahan ini dipenuhi petani dari pembukaan semak belukar untuk PLK (laju perubahan tutupan lahan semak belukar 0,01% per tahun pada DAS Batang Arau; 0,06% per tahun pada DAS Batang Kuranji; dan 0,08-0,11% per tahun pada DAS Batang Air Dingin) dan perambahan hutan untuk PLK (laju perubahan tutupan lahan hutan 0,46 – 0,48% per tahun pada DAS Batang Arau; 0,61 – 0,70% per tahun pada DAS Batang Kuranji; dan 0,73 – 0,85% per tahun pada DAS Batang Air Dingin) yang dapat menunjukkan pola perubahan

lahan pada kawasan lindung SWP DAS Arau. Dengan demikian didapatkan formulasi peningkatan PLK sekitar 0,24% per tahun.

Hasil simulasi dengan model dinamis seperti disajikan pada Tabel 34 dan rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada skenario (1) kondisi tanpa tindakan perlakuan apa pun dan membiarkan kondisi pengelolaan lahan seperti saat ini (BAU), maka hasil proyeksi untuk 2012-2020 didapatkan kondisi sebagai berikut : (a) Jumlah tutupan lahan hutan cenderung menurun mencapai 25.892 hektar pada tahun 2020; (b) Luas semak belukar cenderung meningkat menjadi 4.492 hektar dan luas pertanian lahan kering cenderung meningkat menjadi 2.368 hektar pada tahun 2020; dan (c) Nilai KRS pada ketiga DAS cenderung mening-kat, dan pada tahun 2020 mencapai angka yang lebih besar dari 200, yang berarti kinerja DAS buruk.

Pada skenario (2) dilakukan penanaman kembali lahan dengan tutupan non hutan, yaitu semak belukar, pertanian lahan kering campur semak dan pertanian lahan kering untuk mendapatkan nilai KRS dalam kategori baik ( < 50). Berda-sarkan hasil analisis model proyeksi skenario (2) untuk periode 2012-2020 didapatkan kondisi sebagai berikut : (a) Nilai KRS pada tahun 2020 mencapai ni-lai yang lebih kecil dari 50, yang berarti bahwa kinerja DAS dalam kategori baik; (b) Kondisi ini dicapai pada luas tutupan lahan hutan sebesar 30.395 hektar.

Penggunaan Lahan Optimal. Untuk mendapatkan penggunaan lahan optimal, maka ada 3 faktor yang dipertimbangkan selain hasil skenario (2), yaitu faktor lingkungan (kesesuaian fungsi kawasan dan kerawanan terhadap bencana); faktor ekonomi dan pengembangan wilayah (peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan dan arahan RTRW Kota Padang tahun 2008-2028); dan faktor sosial budaya (historis lahan, adat dan preferensi masyarakat).

Berdasarkan pertimbangan faktor fisik mengacu pada Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 873/Kpts/Um/11/80, tentang penetapan kawasan hutan maka luas lahan hutan yang harus dipertahankan pada SWP DAS Arau adalah se-besar 32.098 hektar (60,86%). Dibandingkan dengan luas Kota Padang, jumlah ini cukup besar karena keadaan topografi dan bentuk wilayah SWP DAS Arau didominasi oleh tingkat kelerengan agak curam sampai dengan sangat curam. Pada daerah hulu, tingkat kemiringan lereng dominan adalah curam sampai sangat

Tabel 34 Hasil proyeksi perubahan tutupan lahan terhadap nilai KRS

No Uraian DAS Btg Arau DAS Btg Kuranji DAS Btg Air Dingin SWP DAS Arau Kondisi Eksisting (Tahun 2009)

1 Hutan (ha) 5.440 12.591 9.973 28.004 2 Semak Belukar (ha) 0,3 1.123 630 1.753 3 PLK campur Semak (ha) 6.055 3.644 907 10.606 4 PLK (ha) 220 1.166 681 2.067

Proyeksi Tahun 2020

A Skenario (1) Bussiness as Ussual (BAU)

1 Hutan (ha) 5.328 11.697 8.867 25.892 2 Semak Belukar (ha) 0 3.109 1.383 4.492 3 PLK campur Semak (ha) 5.998 3.229 777 10.004 4 PLK (ha) 171 1.136 1.061 2.368 5 Nilai KRS 330,01 206,34 204,5

B Skenario (2) Pencegahan konversi hutan serta pelaksanaan Konservasi dan RHL

1 Hutan (ha) 5.548 14.717 10.670 30.935 2 Semak Belukar (ha) 0 45 13 58 3 PLK campur Semak (ha) 5.959 3.229 777 9.965 4 PLK (ha) 0 1.136 630 1.766 5 Nilai KRS 13,46 39,45 36,27 Arahan RTRW 2008-2028 1 HSAW 4.242 9.510 9.631 23.383 2 Hutan Lindung 2.798 2.474 1.066 6.338 Jumlah Hutan 7.040 11.984 10.697 29.710 3 APL 10.428 10.486 2.106 23.020

Kebutuhan Konservasi/RHL pada PL optimal

1 Hutan Konservasi 531 56 289 876 2 Hutan Lindung 1.069 400 523 1.992 3 Hutan Rakyat Agroforestry 626 100 500 1.226 curam (kelerengan 25-40% sebesar 33% dan kelerengan > 40% sebesar25,24%), sehingga kecepatan aliran air dipermukaan akan lebih tinggi menuju alur-alur sungai. Bila lahan terbuka, maka ancaman erosi dan longsor akan sangat besar, sehingga harus dilindungi dengan tutupan lahan yang bisa menahan dan menyerap air hujan yang jatuh ke permukaan. Jumlah tutupan lahan hutan berdasarkan as-pek fisik ini (32.098 hektar) lebih besar 1.163 hektar dibandingkan dengan hasil analisis model pada skenario (2) yang hanya sebesar 30.935 hektar.

Berdasarkan pertimbangan faktor ekonomi dan pengembangan wilayah, arahan penggunaan lahan SWP DAS Arau pada Draft Revisi RTRW Kota Padang Tahun 2008-2028 mengatur penggunaan lahan hutan sebesar 29.720 hektar (56,35%) dengan komposisi 23.382 hektar untuk Hutan Konservasi (HSAW) dan 6.338 untuk Hutan Lindung. Bila dibandingkan dengan kebutuhan tutupan lahan hutan yang harus dipertahankan pada SWP DAS Arau untuk mencapai kondisi hidrologis pada kinerja DAS baik (Skenario 2) maka masih terdapat kekurangan

luas tutupan lahan hutan sebesar 1.215 hektar. Kekurangan ini dapat diatasi de-ngan : (1) Merevisi penggunaan lahan pada RTRW Kota Padang tahun 2008-2028 dan menambahkan arahan penggunaan lahan Hutan Lindung sebesar 1.215 hektar; (2) Bila tidak memungkinkan untuk merubah peruntukan fungsi kawasan (penam-bahan hutan lindung 1.215 hektar) maka alternatifnya adalah menetapkan lokasi-lokasi pada Areal Penggunaan Lain (lahan milik di luar kawasan hutan) dengan fungsi tutupan lahan hutan, melalui kegiatan pembangunan hutan rakyat dengan pemberian insentif sesuai kebutuhan; dan (3) Kombinasi alternatif (1) dan (2), yai-tu menambah luasan hutan lindung pada arahan RTRW Kota Padang 2008-2028 dan bila tidak mencukupi, ditambah dengan penetapan APL dengan fungsi tutup-an huttutup-an melalui program huttutup-an rakyat dtutup-an pemberitutup-an insentif sesuai kebutuhtutup-an.

Bila dilihat kondisi penutupan saat ini (berdasar data tahun 2009), maka tu-tupan lahan hutan jumlahnya 28.004 hektar. Bila dibandingkan dengan kebu-tuhan tutupan lahan hutan yang harus dipertahankan pada SWP DAS Arau untuk mencapai kondisi hidrologis pada kinerja DAS baik (Skenario 2) maka masih ter-dapat kekurangan luas tutupan lahan hutan sebesar 2.931 hektar. Ini berarti untuk mencapai kondisi hidrologis pada kinerja DAS baik maka harus dilakukan rehabi-litasi hutan dan lahan minimal seluas 2.931 hektar dengan rincian penghutanan kembali dilakukan pada lahan-lahan dengan tutupan semak belukar seluas 1.695 hektar; pertanian lahan kering campur semak seluas 905 hektar dan pada lahan pertanian lahan kering seluas 331 hektar. Namun dengan mempertimbangkan tingkat kerawanan terhadap bencana alam, untuk meminimalkan potensi bencana dan menjaga keberlanjutan pembangunan Kota Padang dalam jangka panjang, maka pertimbangan kesesuaian peruntukan lahan dengan kondisi fisik dasar wi-layah sangat penting diperhatikan. Oleh karena itu, akan lebih aman untuk mem-pertahankan tutupan lahan hutan sebesar 32.098 hektar. Bila alternatif ini yang akan dipilih maka harus dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan minimal seluas 4.094 hektar, dengan rincian penghutanan kembali dilakukan pada lahan-lahan dengan tutupan semak belukar seluas 1.695 hektar; pertanian lahan kering campur semak seluas 2.068 hektar dan pertanian lahan kering seluas 331 hektar.

Dengan demikian, untuk mencapai kondisi tutupan lahan optimal yang akan memberikan kinerja DAS baik dan aman (dalam konteks sesuai dengan

ristik fisik dasar wilayah yang dominan curam dan meminimalkan potensi benca-na) maka tutupan lahan hutan tersebut harus diperbaiki dengan melakukan rehabi-litasi lahan pada kawasan hutan negara yang terbuka atau yang ditumbuhi semak belukar seluas 2.868 hektar, dengan sebaran 876 hektar pada HSAW dan 1.992 hektar pada hutan lindung, dan melakukan penanaman tanaman kehutanan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan negara seluas 1.226 hektar.

Berdasarkan pertimbangan aspek sosial budaya, hutan bagi masyarakat na-gari memiliki peran penting dari 3 (tiga) sisi sekaligus sebagai asset nana-gari dan sumberdaya untuk pembangunan masyarakat nagari yang memiliki fungsi ekono-mi, sosial budaya dan perlindungan lingkungan. Berdasarkan historis pemilikan lahan, kawasan lindung di hulu DAS adalah lahan komunal milik nagari yang di-peruntukkan sebagai hutan larangan (sejak tahun 1926 diserahkan pengelolaannya kepada Pemerintah Belanda menjadi hutan register, saat ini menjadi HSAW) dan hutan cadangan nagari. Pemanfaatan hutan ditujukan untuk memberikan manfaat dari ketiga aspek tersebut bagi masyarakat nagari. Sehingga pada saat ini, umum-nya lahan di luar kawasan hutan merupakan lahan pertanian lahan kering yang menjadi sumber pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, dalam penyusunan ske-nario penggunaan lahan optimal, pengaturan penggunaan lahan di luar kawasan hutan harus bisa memenuhi ketiga fungsi tersebut dan memberikan manfaat eko-nomi dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang, namun tetap memper-hatikan keseimbangan lingkungan dan kemampuan lahan. Model yang cocok un-tuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah model penanaman hutan rakyat pola agroforestry yang telah dikenal baik oleh masyarakat nagari dengan nama Parak.

Parak identik dengan ladang atau kebun pada beberapa tempat, dimana man-faat ekonomi dan perlindungan ekosistem (kawasan penyangga) menjadi fungsi utamanya. Parak dapat didefinisikan sebagai kebun campur yang mengkombina-sikan jenis tanaman serba guna (multi purpose trees species, MPTS) dan tanaman yang hanya menghasilkan kayu (tanaman kehutanan) dengan komposisi dan struktur yang beragam. Variasi tumbuhan yang ditanam atau tumbuh sendiri di dalam parak telah menjadikannya sebagai sebuah sistim yang mirip sekali dengan hutan. Bagi kalangan ilmiah, sistim ini dikenal dengan agroforestry. Disamping sebagai kawasan penyangga antara hutan alam dengan areal budidaya persawahan

(pola ruang bertingkat), parak juga merupakan gudang plasma nutfah. Jenis-jenis tanaman yang dapat dijumpai di dalam parak, diantaranya adalah: durian, kopi, kulit manis, pala, buah-buahan serta beragam jenis kayu, tanaman bawah, beragam jenis burung, serangga dan sebagainya. Secara spesifik, parak dimiliki secara komunal oleh Kaum atau Suku. Pola keruangan yang bertingkat dari hulu ke hilir dalam aturan adat telah terbukti dapat mempertahankan kestabilan lahan, karena dikelola dengan mengedepankan kaidah konservasi dan masyarakat sangat berkepentingan dengan pola ruang tersebut untuk meminimalkan bencana dan menjaga ketersediaan air untuk berbagai kebutuhan.

Adanya kenyataan, bahwa saat ini kebutuhan kayu semakin meningkat, sedangkan pasokan kayu dari hutan alam tidak mencukupi, demikian juga dengan hasil hutan non kayu lainnya. Adanya peluang pasar hasil hutan rakyat untuk menunjang kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu dan non kayu, tersedianya lahan yang perlu ditanami dan masyarakat telah mengenal baik cara pembudidayaannya, maka usaha hutan rakyat agroforestry merupakan peluang untuk peningkatan pendapatan dan sekaligus mempercepat pemulihan lahan kritis. Diharapkan pengembangan hutan rakyat pola agroforestry berbasis “parak” dapat

memotivasi masyarakat lokal dalam memanfaatkan lahan dengan tutupan hutan secara berkelanjutan dan dapat menggerakkan industri hasil hutan, sehingga me-menuhi fungsi tiga aspek diatas, yaitu untuk perlindungan lingkungan, pemba-ngunan ekonomi dan fungsi sosial budaya secara berimbang, dan akhirnya bisa berujung pada kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan SWP DAS Arau.

Oleh karena itu untuk mencapai skenario penggunaan lahan optimal maka dipilih alternatif : (1) Mempertahankan tutupan lahan hutan pada KL SWP DAS Arau seluas 32.098 ha, sehingga harus dilakukan penanaman kembali lahan de-ngan tutupan non hutan seluas 4.094 ha, dede-ngan distribusi reboisasi dalam ka-wasan hutan negara seluas 2.868 hektar (HL 1.992 ha dan HSAW 876 ha) dan re-habilitasi lahan di luar kawasan hutan negara dengan pola hutan rakyat agrofo-restry seluas 1.226 hektar; (2) Pola pertanian lahan kering pada lahan di luar ka-wasan hutan negara yang harus dihutankan diubah menjadi pola pertanian hutan rakyat agroforestry (parak); (3) Melakukan upaya peningkatan pola usaha tani yang tidak memerlukan ekstensifikasi lahan yang berpotensi mengurangi tutupan

lahan hutan; (4) Bila harus dilakukan pengelolaan HL untuk meningkatkan pen-dapatan masyarakat sekitar dalam bentuk pemberian ijin pemanfaatan kawasan maka pengelolaan dilakukan dengan pola agroforestry.

Untuk merehabilitasi hutan dan lahan pada luasan 4.094 hektar diperlukan alokasi anggaran sekitar Rp 28.193.188.000,-, seperti disajikan pada Tabel 35. Bila kemampuan Pemerintah dan Pemerintah Kota Padang untuk mendanai kegi-atan konservasi dan RHL melalui APBN dan APBD hanya sekitar Rp 1 Milyar per tahun, maka dibutuhkan waktu 28 tahun untuk merehabilitasi hutan dan lahan pada SWP DAS Arau agar tercapai kondisi optimal, dengan catatan, tidak terjadi lagi penambahan luas degradasi lahan dengan tutupan hutan sejak tahun 2009 dan biaya tersebut belum termasuk biaya pembangunan infrastruktur, perlindungan dan pengembangan kapasitas dalam pengelolaan hutan berkelanjutan.

Tabel 35 Kebutuhan biaya konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau

No Uraian DAS Btg Arau DAS Btg

Kuranji

DAS Btg Air Dingin

SWP DAS Arau

1 HSAW (Reboisasi) (Ha) 531 56 289 876 Biaya Reboisasi (Rp/Ha) 5.641.000 5.641.000 5.641.000 5.641.000 Jumlah Biaya HSAW (Rp) 2.995.371.000 315.896.000 1.630.249.000 4.941.516.000 2 HL (Reboisasi) (Ha) 1.069 400 523 1.992 Biaya Reboisasi (Rp/Ha) 5.641.000 5.641.000 5.641.000 5.641.000 Jumlah Biaya HL (Rp) 6.030.229.000 2.256.400.000 2.950.243.000 11.236.872.000 3 HR Agroforestry (Ha) 626 100 500 1.226

Biaya HR Agroforestry (Rp/Ha)

9.800.000 9.800.000 9.800.000 9.800.000 Jumlah Biaya HR-Ag (Rp) 6.134.800.000 980.000.000 4.900.000.000 12.014.800.000

Luas Total (Ha) 2.226 556 1.312 4.094

Biaya Total (Rp) 15.160.400.000 3.552.296.000 9.480.492.000 28.193.188.000

Untuk mempercepat pemulihan kerusakan hutan dan lahan pada SWP DAS Arau, karena kapasitas pendanaan Pemerintah terbatas, maka perlu dicari alterna-tif pendanaan lainnya untuk pembiayaan konservasi dan RHL, dengan mempriori-taskan alternatif pendanaan yang bersumber dari dalam DAS sendiri, sehingga bisa dibangun kemandirian pengelolaan DAS. Salah satu alternatifnya adalah me-lalui pengembangan pembayaran jasa lingkungan DAS pada SWP DAS Arau. Analisis potensi pengembangan pembayaran jasa lingkungan pada SWP DAS Arau, akan dibahas secara rinci pada kajian ke tiga disertasi ini.