• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI ARENA AKSI, ATRIBUT KOMUNITAS

DAN RULES IN USE UNTUK PENGEMBANGAN INSTITUSI

Kajian kedua ini ditujukan untuk mengidentifikasi arena aksi dan faktor-faktor eksogen pada variabel atribut komunitas dan aturan yang digunakan (rules in use), yang mempengaruhi perilaku para aktor dalam pengelolaan SWP DAS Arau sehingga dari informasi tersebut bisa dikembangkan rancangan model insti-tusi pengelolaan SWP DAS Arau yang terpadu dan mandiri, khususnya dalam ke-giatan pengelolaan hutan dan kelembagaan untuk penerapan pengembangan in-sentif dari dana PES dalam kegiatan konservasi dan RHL, agar dapat dicapai per-forma pengelolaan SWP DAS Arau yang baik.

Penggalian informasi akan difokuskan pada lokasi-lokasi yang secara teknis potensial untuk pengembangan kegiatan tersebut, sebagaimana yang telah dibahas pada Kajian 1, melalui penelaahan arena aksi dalam pengelolaan DAS, yang diba-tasi pada pengelolaan kawasan lindung, khususnya pengelolaan hutan pada hulu DAS, meliputi insentif pengelolaan lahan, tingkat kesejahteraan masyarakat, pembiayaan konservasi dan RHL, kepastian hak dalam pengelolaan hutan, dan aksi kolektif dalam pengelolaan hutan, termasuk keterlibatan masyarakat dan pe-ran para pihak dalam pengelolaan hutan; atribut komunitas; dan atupe-ran yang digu-nakan dalam pengelolaan hutan/DAS, baik aturan formal maupun norma adat.

Dari 5 (lima) kecamatan yang berbatasan dengan kawasan hutan yang merupakan kawasan resapan air pada SWP DAS Arau, maka untuk kajian kelembagaan ini dipilih satu lokasi pada daerah hulu setiap setiap DAS seperti di-sajikan pada Tabel 36. Berdasarkan wilayah komunitas masyarakat adat, maka ke

tiga lokasi terpilih tersebut berada pada tiga wilayah ke-Nagari-an, yaitu (1) Nagari Koto Tangah; (2) Nagari Limau Manih; dan (3) Nagari Lubuk

Kilangan, sehingga penggalian informasi kelembagaan adat difokuskan pada wilayah tiga Nagari tersebut. Dari rangkaian kegiatan penelitian, baik dari wawancara dengan Narasumber, hasil pengamatan dan data sekunder yang didapat maka hasilnya dipaparkan dalam narasi di bawah ini.

Tabel 36 Lokasi untuk kajian aspek kelembagaan

No Lokasi Kelurahan Nagari Kecamatan DAS 1 Indarung;

Tarantang

Indarung dan Tarantang

Lubuk Kilangan Lubuk Kilangan Batang Arau 2 Lambung Bukit;

Limau Manih Selatan

Limau Manih Limau Manih Pauh Batang Kuranji 3 Batu Gadang;

Air Dingin

Lubuk Minturun

Koto Tangah Koto Tangah Batang Air Dingin

Arena Aksi Pengelolaan Kawasan Lindung pada Hulu SWP DAS Arau

Arena aksi dibatasi pada pengelolaan hutan di hulu SWP DAS Arau seperti disajikan pada Gambar 8. Kawasan lindung (KL) pada hulu SWP DAS Arau ter-diri dari Hutan Suaka Alam, Hutan Lindung dan lahan masyarakat. Tutupan lahan KL pada hulu DAS didominasi oleh hutan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak belukar, pemukiman dan pada DAS Batang Arau terdapat lahan pertambangan dan industri. Dari hasil pengamatan lapangan, wawancara dan analisis data hasil survey (jumlah responden petani pemilik lahan pada kawas-an lindung 120 orkawas-ang, petugas instkawas-ansi terkait 15 orkawas-ang, swasta 5 orkawas-ang, LSM 3 orang, tokoh adat 9 orang), serta data terkait lainnya, maka kondisi pengelolaan KL pada lokasi kajian disampaikan sebagai berikut.

Karakter yang menjadi perhatian dalam arena aksi untuk mengembangkan institusi pengelolaan DAS/hutan berkelanjutan adalah :

(1) Aspek ruang, pengelolaan DAS dan kawasan hutan meliputi areal yang luas dalam konteks wilayah pengelolaan sehingga perlu kapasitas sumberdaya manusia (SDM), waktu dan dana yang besar untuk mengawasi pengelolaannya. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, saat ini, kapasitas pengawasan, pendanaan dan SDM dalam pengelolaan hutan pada SWP DAS Arau oleh Pemerintah Kota Padang masih lemah dan tidak memadai, hanya ada 15 (lima belas) orang tenaga polisi hutan untuk mengawasi hutan seluas hampir 30.000 hektar dengan fasilitas pendanaan yang terbatas, sehingga aliran manfaat hutan tidak terkontrol. Hal ini terlihat dengan adanya ladang-ladang masyarakat dalam kawasan hutan lindung (HL) dan hutan suaka alam dan wisata (HSAW) serta terus berlangsungnya penebangan liar dan pengambilan hasil hutan oleh masyarakat sekitar dan masyarakat dari luar.

(2) Aspek waktu, kegiatan pengelolaan hutan berorientasi jangka panjang karena membutuhkan waktu yang lama untuk berproduksi dan mencapai break event point serta menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu harus ada insentif bagi pengelola untuk melaksanakan pengelolaan hutan berkelanjutan. Faktanya, saat ini, tidak ada insentif yang memadai bagi pemilik lahan kawasan lindung pada SWP DAS Arau untuk mengelola lahannya dengan tutupan hutan secara berkelanjutan. Responden menganggap pengelolaan lahan untuk usaha kehutanan tidak menguntungkan karena biaya transaksi yang tinggi dan prosedur perijinan yang rumit dalam pemanenan dan pemasaran hasil hutan kayu, sekalipun berasal dari lahan masyarakat, serta jangka waktu panen yang lama. Adanya kebijakan Walikota yang mengeluarkan himbauan (instruksi lisan kepada Dinas Pertanian Peternakan Kehutanan dan Perkebunan (Distannakhutbun) Kota Padang) untuk tidak menerbitkan surat keterangan angkutan untuk kayu rakyat karena dikhawatirkan akan memicu perambahan HL, kontradiktif dengan upaya pengembangan hutan rakyat untuk memenuhi kebutuhan kayu yang kian meningkat.

(3) Aspek jaminan hak kepemilikan (tenure security) lahan kawasan hutan harus tinggi sehingga aliran manfaatnya terkontrol dan biaya penegakan hak rendah. Kepastian hak mendorong seseorang untuk meningkatkan sediaan (stock) barang modalnya karena adanya jaminan dan rasa aman untuk berinvestasi dalam jangka panjang. Faktanya, saat ini, pada kawasan lindung SWP DAS Arau terjadi konflik tumpang tindih kawasan hutan ulayat dan hutan negara karena tidak diakuinya hak ulayat dalam kawasan hutan negara, mengakibatkan biaya penegakan hak menjadi sangat tinggi, karena aliran manfaat hutan tidak dapat dikontrol akibat terbatasnya kemampuan penga-wasan oleh pemerintah, sehingga hutan menjadi sumberdaya dengan akses terbuka karena hak kepemilikannya tidak terkukuhkan dengan jelas. Hal ini terlihat dengan terus berlangsungnya pemungutan hasil hutan dan adanya la-dang-ladang masyarakat dalam kawasan yang telah ditetapkan sebagai HL karena menganggap itu tanah ulayat mereka.

(4) Memerlukan aksi kolektif tinggi karena merupakan sumber daya milik bersama yang cenderung bersifat non excludable dan rivalry bila tidak ada kesepakatan bersama untuk pengelolaan yang berkelanjutan. Faktanya, saat ini, tidak ada kesepakatan bersama antara para pihak yang berkepentingan dengan hutan (masyarakat nagari, pemerintah dan pemerintah Kota Padang) karena kawasan hutan dikelola pemerintah, yang dilaksanakan oleh Distannakhutbun pada kawasan HL dan oleh BKSDA pada kawasan HSAW, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasannya, tanpa melibatkan masyarakat secara nyata. Sistem perizinan pemanfaatan hutan sangat prosedural dan bertumpu pada kebijakan Walikota atau Menteri Kehutanan sebagai subjek pengelola hutan. Institusi adat atau nagari tidak dikenal lagi dalam subjek pemanfaatan hasil hutan, padahal hutan bagi masyarakat adat tidak hanya berfungsi ekonomis belaka, tapi juga memiliki fungsi lingkungan (pelindung dari bencana), fungsi sosial (pengikat kekerabatan kaum/suku) dan budaya (pengikat sako pusako, pengikat generasi).