• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Lahan Pada SWP DAS Arau

Penggunaan Lahan Eksisting pada SWP DAS Arau

Karakter Penggunaan Lahan. Karakteristik penggunaan lahan pada SWP DAS Arau tidak terlepas dari karakteristik penggunaan lahan di Kota Padang, karena 98,9% wilayah SWP DAS Arau merupakan wilayah administratif Kota Padang. Secara umum karakter penggunaan lahan pada SWP DAS Arau dapat dibagi 3 (tiga), yaitu :

1. Kawasan Hutan yang terdiri atas Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW) dan Hutan Lindung (HL).

2. Kawasan Budidaya yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian (pertanian lahan kering, kebun campuran, sawah, peternakan, perikanan) dan sebagian masih berupa semak belukar. Kawasan ini merupakan kawasan transisi daerah hutan dan daerah perkotaan.

3. Kawasan Perkotaan yang didominasi oleh permukiman, sarana sosial, ekonomi, budaya dan prasarana perkotaan.

Penggunaan lahan di kawasan Pusat Kota dalam sepuluh tahun terakhir tidak mengalami perubahan yang berarti, namun terlihat semakin tinggi intensitasnya. Perkembangan fisik perkotaan cenderung mengikuti pola jaringan jalan-jalan utama, terutama di sepanjang Jalan Padang By-Pass, yang membelah SWP DAS Arau dibagian tengahnya dan selama ini menjadi batas imajiner kawasan perkotaan dengan kawasan transisi.

Tabel 27 Penggunaan lahan Kota Padang tahun 2009

No Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase

1 Hutan Lebat 35.448 51,01

2 Ladang/tegalan/kebun campuran 14.752 21,23

3 Perkebunan rakyat 2.148 3,09

4 Sawah, kebun sayuran, ternak dan kolam ikan 6.579 9,47

5 Tanah perusahaan, industri, jasa dan tanah kota 1.689 2,43

6 Tanah perumahan 6.681 9,61

7 Semak dan tanah kosong 1.562 2,25

8 Hutan mangrove/rawa 120 0,17

9 Jalan arteri dan kolektor 135 0,19

10 Sungai, danau buatan dan lainnya 382 0,55

Jumlah 69.496 100,00

Berdasarkan data penggunaan lahan Kota Padang tahun 2009 (BPS 2010) seperti pada Tabel 27, terlihat penggunaan lahan terbesar adalah untuk hutan, yaitu sebesar 51,01%, diikuti oleh kawasan pertanian sebesar 33,78% (sawah, ladang, kebun, peternakan dan perkebunan rakyat), sedangkan lahan yang dapat digolong sebagai lahan terbangun (tanah perumahan, tanah perusahaan, tanah jasa, dan jalan) luasnya hanya sekitar 12,22% dari luas wilayah kota. Terkait dengan aspek penggunaan lahan di Kota Padang yang didominasi hutan dan pertanian, maka Kota Padang, paradoks dengan pemahaman umum tentang pengertian kota sebagai kawasan yang dominasi kegiatannya bukan pertanian. Pola tata guna lahan Kota Padang yang didominasi oleh penggunaan untuk kegiatan yang bersifat non perkotaan (hutan dan kawasan pertanian) sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik dasar (topografi, kemiringan lahan, hidrologi dan geologi). Faktor kerawanan terhadap bencana (khususnya kerawanan terhadap gempa bumi dan gelombang tsunami) akan mempengaruhi pola tata guna lahan Kota Padang di masa mendatang. Oleh karena itu, untuk menjaga keberlanjutan pembangunan Kota Padang dalam jangka panjang, maka langkah-langkah untuk mempertahankan lahan yang berfungsi lindung harus terus dilakukan, karena lahan yang digunakan untuk kegiatan yang bersifat non perkotaan (hutan dan pertanian), dalam jangka panjang akan cenderung mengalami peralihan pemanfaatan dengan berbagai alasan, sehingga perlu dikendalikan dengan mempertimbangkan dinamika perkembangan kawasan di sekitarnya.

Pembagian Kawasan dan Tutupan Lahan. Dari 11 kecamatan yang ada di Kota Padang, kawasan hutan hanya terdapat pada 6 Kecamatan, yaitu pada Ke-camatan Koto Tangah, Kuranji, Pauh, Lubuk Begalung, Lubuk Kilangan dan Bungus Teluk Kabung. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 422/Kpts-II/1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Dati I Sumatera Barat, pembagian fungsi kawasan pada SWP DAS Arau terdiri dari wilayah hutan 32.098 hektar (60,86%), berupa Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW) 23.454 hektar; Hutan Lindung (HL) 7.644 hektar dan Areal Penggunaan Lain (APL) 20.642 hektar (39,14%). Penataan batas kawasan hutan di Kota Padang telah mulai dilakukan sejak tahun 1983, sebelum dikeluarkannya SK Menhutbun Nomor 422/Kpts-II/1999 tersebut.

Berdasarkan hasil analisis peta Kawasan Hutan Kotamadya Padang (diterbitkan oleh Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat Tahun 2004, berdasarkan peta pa-duserasi RTRW dan TGHK serta peta tata batas kawasan hutan), pembagian fungsi kawasan terdiri dari kawasan hutan sebesar 29.720 hektar (56,35%) berupa HSAW 23.382 hektar dan Hutan Lindung (HL) 6.338 hektar; serta Areal Penggunaan Lain (APL) 23.020 hektar (43,65%) (Tabel 28). Sehingga terdapat perbedaan luas kawasan hutan antara hasil penataan batas dan SK Menhutbun Nomor 422/Kpts-II/1999.

Tabel 28 Pembagian fungsi kawasan pada SWP DAS Arau

No Fungsi Kawasan

SWP DAS Arau Btg Arau Btg Kuranji Btg Air Dingin SK Menhut Tata Batas SK Menhut Tata Batas SK Menhut Tata Batas SK Menhut Tata Batas 1 HSAW 23.454 23.382 5.540 4.242 9.015 9.510 8.898 9.631 2 HL 7.644 6.338 2.932 2.798 3.236 2.474 1.496 1.066 3 APL 20.642 23.020 8.995 10.428 10.219 10.486 2.409 2.106 Jumlah 52.740 52.740 17.467 17.467 22.470 22.470 12.803 12.803

Sumber : Hasil Analisis Peta Kawasan Hutan, Peta Hasil Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta SWP DAS Arau 2011.

Tabel 29 Tutupan lahan pada SWP DAS Arau tahun 2009

No Penggunaan Lahan Luas Tutupan Lahan (ha) Persentase (%) DAS Bt Arau DAS Bt Kuranji DAS Bt Air Dingin SWP DAS Arau 1 Hutan LK Primer 4.591 12.243 9.973 26.807 50,83 2 Hutan LK Sekunder 849 348 1.197 2,27 3 Semak Belukar 1.123 630 1.753 3,32 4 Pertanian LK + Semak 6.055 3.644 907 10.606 20,11 5 Pertanian Lahan Kering 220 1.166 681 2.067 3,92 6 Sawah 1.780 1.787 240 3.807 7,22 7 Permukiman 3.506 1.888 332 5.726 10,86 8 Pertambangan 344 344 0,65 9 Tanah Terbuka 30 30 0,06 10 Tubuh Air 92 65 31 188 0,36 11 Bandara/Pelabuhan 206 9 215 0,41 Jumlah 17.467 22.470 12.803 52.740 100,00

Sumber : Hasil analisis peta tutupan lahan SWP DAS Arau berdasar hasil interpretasi Citra Land-sat ETM 7+ SWP DAS Arau Tahun 2009.

Dari analisis peta tutupan lahan tahun 2009 berdasar interpretasi Citra Landsat ETM7+ tahun 2009, seperti disajikan pada Tabel 29, terlihat bahwa tu-tupan lahan pada SWP DAS Arau didominasi oleh hutan (53,10%), berupa Hutan Lahan Kering Primer (50,83%) dan Hutan Lahan Kering Sekunder (2,27%), yang

bila dilihat dari peta kawasan merupakan kawasan konservasi. Selanjutnya adalah pertanian lahan kering campur semak (20,11%) dan Semak Belukar (3,32%), yang bila dilihat dari peta kawasan hutan, sebagian besar termasuk kawasan Hutan Lin-dung. Sisa lahan lainnya digunakan untuk kegiatan pertanian lahan kering, sawah dan penggunaan lainnya (12,20%). Kawasan terbangun berupa pemukiman dan bandar udara (bandara) besarnya 11,26%.

Jenis Tanah dan Tutupan Lahan. Berdasarkan hasil kajian PSI Unand (2004) tanah pada SWP DAS Arau umumnya didominasi oleh tanah yang beror-der Inceptisol, Entisol dan Ultisol, serta asosiasi dari jenis-jenis tanah tersebut. Tanah daerah ini termasuk intensif tercuci oleh air hujan sehingga permukaan ta-nah terlihat agak pucat dan kasar. Sifat-sifat lahan pada suatu daerah sangat di-pengaruhi oleh jenis tanah, kemiringan lahan, penggunaan lahan dan iklim. Dari aspek kemiringan lahan maka daerah ini didominasi oleh daerah yang curam. Adanya curah hujan yang tinggi dengan durasi yang lama membuat tanah di dae-rah ini sering mengalami longsor karena tanah yang lapisan bawah impermeabel menyebabkan tanah cepat jenuh, sehingga aliran permukaan dan erosi cepat terja-di. Hal ini terlihat dari kondisi warna tanah yang pucat dan terang karena sering mengalami pencucian bahan organik oleh air hujan. Agar tidak membahayakan kawasan di bawahnya, maka SWP DAS Arau hulu harus tetap dipertahankan sebagai hutan lindung. Kebijakan konservasi lahan harus diperhatikan untuk mencegah terjadinya erosi yang besar masuk ke alur-alur sungai. Kebijakan kon-servasi yang dimaksud adalah zonasi penggunaan lahan yang rasional terutama bagian hulu DAS sehingga debit air yang optimum dan merata sepanjang tahun dapat dipertahankan.

Perubahan Tutupan Lahan pada SWP DAS Arau

Untuk melihat perubahan penggunaan lahan pada SWP DAS Arau, maka di-lakukan analisis terhadap tutupan lahan pada tiga periode berbeda, tahun 1990, tahun 2000 dan tahun 2009. Hasil analisis peta tutupan lahan terhadap ketiga peta tutupan lahan tersebut didapatkan hasil seperti disajikan pada Tabel 30.

Berdasarkan data tahun 1990, luas Hutan pada SWP DAS Arau mencapai 29.324 hektar (55,60%) yang terdiri dari hutan lahan kering primer 25.800 hektar

dan hutan lahan kering sekunder 3.524 hektar. Luas ini mengalami penurunan menjadi 28.789 hektar (54,59%) pada tahun 2000 dan hanya sekitar 28.004 hektar (53,10%) pada tahun 2009. Sementara itu luas semak belukar mengalami peningkatan dari 87 hektar (0,17%) pada tahun 1990, menjadi 935 hektar (1,77%, meningkat hampir 11 kali lipat) pada tahun 2000 dan 1.753 hektar (3,32%; pada tahun 2009), atau meningkat 20 kali lipat dibandingkan tahun 1990. Penurunan luas hutan terbesar terjadi pada DAS Batang Kuranji, diikuti oleh DAS Batang Air Dingin dan DAS Batang Arau.

Tabel 30 Tutupan lahan SWP DAS Arau tahun 1990, 2000 dan 2009

No Penggunaan Lahan DAS Batang Arau DAS Batang Kuranji DAS Batang Air Dingin

1990 2000 2009 1990 2000 2009 1990 2000 2009 1 Hutan LK Primer 4.716 4.705 4.591 10.778 12.622 12.243 10.306 10.613 9.973 2 Hutan LK Sekunder 832 849 849 2.692 348 3 Semak Belukar 86 105 788 1.123 1 42 630 4 Pertanian LK + Semak 5.873 5.364 6.055 4.433 2.968 3.644 1.153 978 907 5 Pertanian LK 220 1.223 1.223 1.166 630 630 681 6 Sawah 2.366 2.472 1.780 1.237 2.711 1.787 399 226 240 7 Permukiman 3.128 3.506 3.506 1.836 1.887 1.888 274 274 332 8 Pertambangan 344 344 344 9 Tanah Terbuka 30 30 30 10 Tubuh Air 92 92 92 65 65 65 31 31 31 11 Bandara 206 206 206 9 9 9 Jumlah 17.467 17.467 17.467 22.470 22.470 22.470 12.803 12.803 12.803 SWP DAS Arau 1990 % 2000 % ∆( 90-00) 2009 % ∆(00-09) ∆( 90-09) 1 Hutan 29.324 55,60 28.789 54,59 (535) 28.004 53,10 (785) (1.320) 2 Semak Belukar 87 0,17 935 1,77 848 1.753 3,32 818 1.666 3 Pertanian LK 13.312 25,24 11.163 21,16 (2.149) 12.673 24,03 1.150 (639) 4 Sawah 4.002 7,59 5.409 10,26 1.407 3.807 7,22 (1.602) (195) 5 Permukiman 5.238 9,93 5.667 10,74 429 5.726 10,86 488 59 6 Pertambangan 344 0,65 344 0,65 344 0,65 7 Tanah Terbuka 30 0,05 30 0,05 30 0,05 8 Tubuh Air 188 0,36 188 0,36 188 0,36 9 Bandara 215 0,41 215 0,41 215 0,41 Jumlah 52.740 100,00 52.740 100,00 52.740 100,00

Sumber : Hasil analisis peta tutupan lahan SWP DAS Arau berdasar peta citra landsat ETM 7+ SWP DAS Arau Tahun 1990, 2000 dan 2009.

Dari Tabel 30 terlihat dalam masa 20 tahun (1990-2009) telah terjadi pengu-rangan luas hutan sebesar 1.320 hektar, dengan pengupengu-rangan terbesar terjadi pada periode 2000 – 2009, terutama setelah lima tahun pertama bergulirnya reformasi. Berkurangnya luas tutupan hutan terjadi karena adanya pembukaan lahan-lahan hutan untuk ladang (pertanian lahan kering) berpindah dan maraknya penebangan liar. Pembukaan lahan hutan untuk pertanian lahan kering terjadi karena terja-dinya alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman sehingga kemudian petani

membuka hutan untuk pertanian. Menurut pengakuan masyarakat yang berladang di dalam kawasan hutan lindung, sebelum di tata batas, lokasi tersebut adalah ta-nah atau hutan ulayat mereka yang berfungsi sebagai hutan cadangan (yaitu hutan ulayat yang dapat digunakan untuk perluasan perladangan dan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi), namun setelah penataan batas menjadi kawasan hutan lin-dung, Pemerintah Kota Padang melakukan pelarangan total terhadap pemanfaatan hutan lindung. Berdasarkan aturan adat, hutan terbagi 2, yaitu (1) hutan simpanan atau hutan larangan, yaitu hutan yang tidak boleh ditebang karena berfungsi untuk perlindungan air, yaitu hutan register pada jaman Belanda; dan (2) hutan ca-dangan, yaitu hutan yang dapat digunakan untuk pemungutan hasil hutan dan un-tuk perluasan perladangan dengan jenis tanaman keras, atau setara dengan hutan produksi. Sebelum tahun 1916, semua hutan di Sumatera Barat merupakan hutan ulayat (adat) yang dikelola oleh Nagari berdasarkan peraturan adat (Dishut 2004). Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, sejak tahun 1916, kawasan hutan Su-matera Barat dibagi kedalam satuan Register yang didapatkan dari kesepakatan antara pihak pemerintah Hindia Belanda dan tokoh adat. Hutan Register dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda yang disebut juga hutan larangan, sedangkan hu-tan di luar register dikelola oleh masyarakat adat. Namun, hasil penataan batas kawasan hutan banyak yang sudah bergeser dari batas register tersebut. Beberapa tokoh adat yang diwawancara7 menyatakan mereka tidak diajak musyawarah keti-ka dilakuketi-kan tata batas. Sedangketi-kan, menurut narasumber dari Dishut8 pada saat pengukuran tata batas mereka telah mengikutsertakan aparat pemerintah setempat dan perwakilan masyarakat. Pada saat penataan batas, lokasi register yang telah ada pemukiman dikeluarkan dari kawasan hutan (dijadikan APL) sedangkan loka-si hutan ulayat yang maloka-sih bagus dimasukkan menjadi kawasan hutan, sehingga terjadi pergeseran batas kawasan hutan dari batas register. Pihak KAN sendiri menyatakan telah beberapa kali mendatangi Dinas yang mengurusi urusan kehu-tanan di Kota Padang (Distannakhutbun) untuk membicarakan penyelesaian

7

Wawancara dengan Bapak Syafii Datuak Basa (Ninik Mamak Suku Guci Nagari Koto Tangah); Bapak Masfar Datuak Basa (Ketua KAN Nagari Koto Tangah); Ketua KAN Nagari Limau Manih dan Bapak Basri Datuak Rajo Sani (Ketua KAN Nagari Lubuk Kilangan).

8

Wawancara dengan Bapak Jhoni Halian, anggota Tim Tata Batas Sub Biphut Sumbar Tahun 1993-1995, saat ini sebagai staf Bidang Intag Dishut Sumatera Barat.

flik tata batas tersebut, namun belum ada respon dari pihak Distannakhutbun. Se-hingga sampai saat ini masih ada masyarakat yang berladang dalam kawasan hu-tan lindung karena merasa lokasi tersebut adalah hu-tanah ulayat mereka. Hal ini

se-jauh ini masih “dibiarkan saja” oleh pihak kehutanan, walaupun mereka menget a-hui ada masyarakat yang berladang dalam kawasan hutan lindung dan belum ada solusi yang memuaskan kedua pihak. Bila ini tidak cepat diselesaikan akan dapat merugikan kedua belah pihak. Pemerintah menjadi tidak berwibawa karena tidak mampu mengelola dan menjaga hutan lindung yang telah ditetapkan dan masya-rakat juga tidak dapat berladang dengan tenang karena selalu dituding sebagai pe-rambah hutan walaupun mereka sendiri merasa berhak berladang di sana karena itu adalah tanah ulayat mereka, sementara itu hutan semakin rusak karena tidak ada kepastian dalam penguasaan lahan dan pemilikannya.

Selain itu Penduduk Kota Padang yang selama ini terkonsentrasi pada

beberapa kecamatan yang merupakan “kawasan kota lama”, yakni di Kecamatan

Padang Selatan, Kecamatan Padang Timur, Kecamatan Padang Barat, Kecamatan Padang Utara, dan Kecamatan Nanggalo, terus meningkat sehingga membutuhkan lahan yang lebih luas. Dan arah pengembangan kota adalah pada kecamatan-kecamatan yang belum terlalu padat penduduknya, yaitu kecamatan-kecamatan-kecamatan-kecamatan yang berada pada pinggiran kota. Sejak tahun 2004 muncul kekhawatiran masyarakat akan terjadinya bencana tsunami di Kota Padang, yang menyebabkan munculnya kecenderungan pembangunan pindah ke daerah yang lebih tinggi, yaitu wilayah tengah hingga hulu SWP DAS Arau. Bahkan pusat pemerintahan Kota Padang juga mulai dipindahkan ke daerah jalan Padang By Pass, yang memiliki ketinggian lebih dari 20 m dpl, yang tadinya merupakan daerah transisi serta merupakan daerah bagian tengah SWP DAS Arau, sehingga wilayah tersebut mendapat tekanan yang semakin besar. Kecamatan yang menunjukkan kecenderungan penambahan jumlah penduduk cukup signifikan dalam 20 tahun terakhir adalah Kecamatan Koto Tangah (DAS Batang Air Dingin), Kecamatan Pauh dan Kecamatan Kuranji (DAS Batang Kuranji) dan Kecamatan Lubuk Begalung (DAS Batang Arau). Pertambahan jumlah penduduknya mencapai antara 2 sampai 3 kali lipat dalam 20 tahun terakhir, sehingga penduduk mulai

membuka lahan hutan untuk pertanian, karena sebagian lahan pertanian produktif telah dijadikan pemukiman, perkantoran dan lahan usaha, industri dan jasa.

Dari analisis peta tutupan lahan tahun 1990; 2000; dan 2009, dibandingkan dengan peta penunjukkan fungsi kawasan hutan tahun 1999 serta peta penataan batas kawasan hutan tahun 2004, maka terlihat telah terjadi pembukaan lahan hu-tan yang terlihat dari berkurangnya tutupan lahan huhu-tan, seperti disajikan pada Tabel 31. Pada kawasan hutan telah terjadi perambahan hutan menjadi perla-dangan berpindah (pertanian lahan kering campur semak) dan perubahan tutupan hutan menjadi semak belukar karena adanya penebangan liar yang telah meram-bah ke dalam kawasan konservasi sehingga menimbulkan lahan kritis. Berdasar-kan wawancara dengan narasumber dari Balai KSDA sebagai pengelola kawasan, saat ini kondisi kawasan pada bagian inti pada umumnya merupakan daerah yang berbatasan dengan ladang masyarakat, memiliki tingkat kerusakan relatif tinggi karena adanya penebangan liar dan perambahan untuk perladangan. Na-mun demikian, pada Areal Penggunaan Lain, masih terdapat lahan-lahan berhutan yang merupakan hutan rakyat dan hutan ulayat, yang menjadi bagian dari kawasan lindung yang masih dijaga sebagai hutan oleh masyarakat pemilik lahan.

Tabel 31 Perubahan tutupan lahan kawasan hutan SWP DAS Arau

Luas Kawasan Hutan (ha) Tutupan Lahan Hutan (ha) SK Menhut 422/1999 Paduserasi TGHK - RTRW 1990 2000 2009 32.098 (60,86%) 29.720 (56,35%) 29.324 (55,60%) 28.789 (54,59%) 28.004 (53,10%) Sumber : Hasil Analisis Data 2011.

Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Kondisi Hidrologi DAS pada SWP DAS Arau

SWP DAS Arau memiliki karakter hujan yang cukup tinggi (3.700 sampai 4.000 mm/tahun), sehingga memiliki potensi sumberdaya air yang cukup besar. Namun dengan meningkatnya kerusakan hutan di hulu, dalam 20 tahun terakhir, kondisi sumberdaya air pada SWP DAS Arau semakin mengkhawatirkan, karena debit musim hujan dan musim kemarau yang begitu fluktuatif yang berpengaruh terhadap fluktuasi penyediaan air bersih untuk minum, industri dan kebutuhan penggunaan air lainnya dan rentan terjadi konflik penggunaan air.

Perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada SWP DAS Arau seperti yang disajikan pada Tabel 31 di atas tentunya akan memberikan dampak terhadap kondisi hidrologi dan berpengaruh terhadap ketersediaan air DAS. Beberapa pa-rameter yang dapat menggambarkan kondisi hidrologi suatu DAS yang ditelaah dalam kajian ini adalah : (a) Debit sungai, yang meliputi debit maksimum (Qmaks) dan debit minimum (Qmin); dan (b) Fluktuasi debit, yang digambarkan oleh rasio Qmaks/Qmin.

Debit Sungai. Debit sungai merupakan salah satu parameter hidrologi sua-tu DAS yang dapat menggambarkan apakah DAS yang bersangkutan dalam kon-disi baik atau telah mengalami degradasi. Volume dan distribusi debit sungai da-lam suatu DAS dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pola curah hujan, kondisi penggunaan atau tutupan lahan serta sifat-sifat tanah lainnya.

1) Debit Maksimum (Qmaks)

Debit maksimum (Qmaks) adalah besarnya debit (harian) terukur yang paling tinggi di outlet sebagai akibat kejadian hujan tertentu dan tidak terlampaui oleh kejadian hujan yang lain selama satu tahun (Linsley et al. 1986). Selama periode 1990 – 2009 debit maksimum yang terjadi pada ketiga DAS disajikan pada Tabel 32.

Berdasarkan hasil analisis menggunakan model regressi linear, pengurangan tutupan lahan hutan pada SWP DAS Arau dari 55,06% pada tahun 1990 men-jadi 53,10% pada tahun 2009 (berkurang 1.320 hektar) berpengaruh nyata ter-hadap peningkatan debit maksimum (pada taraf α = 21% atau tingkat kepercayaan 79%, dengan nilai R2 = 40,9 %, artinya 40,9% data dapat dijelaskan dengan model ini). Terjadinya kecenderungan peningkatan debit maksimum (Qmaks), diantaranya karena penurunan luas tutupan hutan, se-hingga secara keseluruhan fungsi hutan sebagai penahan aliran permukaan semakin menurun, dan menyebabkan penurunan infiltrasi dan perkolasi serta meningkatkan aliran permukaan. Peningkatan aliran permukaan pada musim hujan akan menyebabkan peningkatan debit maksimum (Qmaks).

Tabel 32 Debit maksimum, debit minimum, debit rerata dan debit andal SWP DAS Arau tahun 1990 - 2009

No Tahun

Qmaks (m3/detik)

DAS Batang Arau DAS Batang Kuranji DAS Batang Air Dingin

Qmaks Qmin Qrerata Qandal Qmaks Qmin Qrerata Qandal Qmaks Qmin Qrerata Qandal

1 1990 dta dta 109,15 1,93 19,74 4,94 194,20 1,00 7,11 1,78 2 1991 dta dta 110,06 1,16 18,84 4,71 194,20 1,00 10,9 2,73 3 1992 dta dta 142,55 1,12 14,93 3,73 250,00 3,12 8,94 2,24 4 1993 dta dta 165,81 2,33 17,58 4,40 236,00 3,92 11,42 2,86 5 1994 dta dta 169,79 0,41 12,03 3,01 316,00 1,92 7,69 1,92 6 1995 dta dta 138,21 2,72 15,52 3,88 199,00 3,92 11,38 2,85 7 1996 dta dta 88,40 1,65 15,65 3,91 236,00 3,12 10,83 2,71 8 1997 dta dta 184,09 0,25 5,12 1,28 215,00 1,24 3,95 0,99 9 1998 dta dta 122,07 0,85 14,56 3,64 202,00 3,92 12,1 3,03 10 1999 dta dta 139,95 1,30 10,87 2,72 199,00 2,80 12,86 3,22 11 2000 dta dta 526,75 1,05 16,26 4,07 292,00 2,00 9,58 2,40 12 2001 dta dta 75,25 2,14 12,85 3,21 218,00 2,88 10,97 2,74 13 2002 42,80 7,06 1,68 0,42 692,17 2,67 20,72 5,18 250,00 4,16 13,28 3,32 14 2003 53,40 7,61 1,14 0,29 127,00 2,79 14,43 3,61 453,00 2,48 9,73 2,43 15 2004 44,20 5,86 0,96 0,24 179,43 1,85 18,29 4,57 326,00 2,96 11,13 2,78 16 2005 dta dta 236,97 3,04 19,41 4,85 17,51 4,99 7,82 1,96 17 2006 dta dta 368,87 2,94 17,34 4,34 329,48 0,45 6,54 1,64 18 2007 dta dta 528,14 3,13 24,75 6,19 60,30 5,20 12,40 3,10 19 2008 dta dta 326,37 3,86 27,90 6,98 83,90 4,20 12,62 31,6 20 2009 dta dta 212,87 1,90 18,00 4,50 69,30 4,00 11,43 2,86

Sumber : Dinas PSDA 2010. Keterangan : dta = data tidak ada

Faktor lainnya yang diduga menyebabkan peningkatan debit maksimum adalah karena umumnya (hampir 70%) tutupan hutan pada SWP DAS Arau terletak pada lereng yang relatif curam (15% - 45%) hingga sangat curam ( > 45%) sehingga bila tutupannya berubah jadi pertanian lahan kering atau semak belukar akan berpengaruh terhadap aliran permukaan. Hal ini senada dengan hasil penelitian Handayani et al. (2005) di DAS Ci-liwung Hulu, yang menyatakan bahwa penurunan tutupan lahan hutan dari 4.897 hektar (18,1%) pada tahun 1989 menjadi 4.459 hektar (16,2%) pada tahun 1998 meningkatkan debit puncak dan volume aliran permukaan masing-masing sebesar 18,97 % dan 17,87%. Kenyataan ini menunjukkan bahwa proporsi tutupan hutan pada suatu DAS sangat berperan terhadap debit yang dihasilkan. Kecenderungan debit maksimum SWP DAS Arau disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Kecenderungan peningkatan debit maksimum SWP DAS Arau

Debit Minimum. Debit minimum pada suatu DAS umumnya menggam-barkan besarnya aliran dasar (base flow) yang terjadi. Selain itu, debit minimum juga menggambarkan kemampuan DAS bersangkutan untuk merespon masukan (input) utama berupa hujan, selanjutnya menyimpan atau menginfiltrasikannya ke dalam tanah untuk dialirkan menjadi aliran sungai pada saat tidak terjadi hujan. Hal ini menjadi perhatian yang penting karena SWP DAS Arau merupakan

ber air baku untuk berbagai keperluan di Kota Padang. Sehingga kondisi debit minimum akan menjadi acuan berapa banyak air baku yang dapat diambil dari SWP DAS Arau untuk berbagai keperluan. Debit minimum SWP DAS Arau ta-hun 1990 sampai dengan tata-hun 2009 disajikan pada Tabel 32.

Berdasarkan hasil analisis menggunakan model regressi linear, pengurangan tutupan lahan hutan pada SWP DAS Arau dari 55,06% pada tahun 1990 menjadi 53,10% pada tahun 2009 (berkurang 1.320 hektar) berpengaruh nyata terhadap penurunan debit minimum (α = 19%; R2 = 41,5%). Terjadinya kecenderungan penurunan debit minimum pada SWP DAS Arau tidak terlepas dari pengaruh me-nurunnya tutupan hutan. Hal ini menunjukkan bahwa penutupan hutan ternyata masih menjadi pilihan terbaik untuk tetap menjaga kondisi hidrologis suatu DAS. Hal ini sesuai dengan pernyataan Agus et al. (2002) bahwa tutupan hutan meru-pakan penggunaan lahan yang paling aman secara ekologis. Selanjutnya dikata-kan bahwa tanah hutan yang memiliki serasah tidak terganggu adikata-kan mampu ber-peran sebagai filter pergerakan air di dalam tanah, selain itu tanah juga menjadi lebih tahan terhadap erosi, sehingga secara keseluruhan hutan mempunyai fungsi hidrologi yang lebih baik dibandingkan jenis penutupan lahan lainnya. Kecende-rungan penurunan debit minimum yang terjadi pada SWP DAS Arau harus men-jadi perhatian serius, agar tidak termen-jadi krisis air pada musim kemarau yang beru-jung pada konflik antar pengguna air.

Fluktuasi Debit. Fluktuasi debit sungai menggambarkan perubahan hasil air (water yield) yang dihasilkan oleh suatu DAS sebagai respon terhadap ma-sukan hujan. Fluktuasi debit merupakan gambaran kualitas suatu DAS. Apabila perbedaan antara debit musim hujan dengan debit di musim kemarau (fluktuasi debit) sudah sangat tinggi, maka dapat dikatakan bahwa DAS tersebut secara hi-drologis telah mengalami degradasi. Dengan kata lain fluktuasi debit dapat digu-nakan sebagai salah satu indikator untuk menilai apakah suatu DAS telah menga-lami degradasi atau masih baik. Fluktuasi debit dapat ditentukan berdasarkan perbandingan antara debit maksimum dan debit minimum (Qmaks/Qmin). Dalam istilah kehutanan sering pula disebut sebagai Koefisien Regim Sungai (KRS). Ada pula yang menyebutnya sebagai rasio debit. Besarnya nilai KRS SWP DAS Arau secara rinci disajikan pada Tabel 33.

Tabel 33 Nilai fluktuasi debit (KRS) SWP DAS Arau periode 1990 – 2009

No Tahun

Nilai KRS DAS

Batang Arau Batang Kuranji Batang Air Dingin