• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Para Pihak dalam Pengelolaan Kawasan Lindung

Pengelolaan kawasan lindung menyangkut berbagai pihak yang mempunyai kepentingan berbeda sehingga keberhasilannya sangat ditentukan oleh banyak pihak. Para pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan lindung adalah pihak-pihak terkait yang berkepentingan dengan dan patut diperhitungkan dalam pengelolaan kawasan lindung, terdiri dari pemerintah, masyarakat dan swasta. Peran para pihak dijabarkan dalam fungsi, tugas atau kewajiban, wewenang atau hak, tanggungjawab dan tanggung gugat.

Menurut UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Pemerintah berke-wajiban : (a) menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; (b) mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat ling-kungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; (c) mening-katkan daya dukung DAS; (d) meningmening-katkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan ber-wawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekono-mi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan (e) menjaekono-min distri-busi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Undang-Undang tersebut juga menyatakan semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk ke-kayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan tersebut memberi wewenang kepa-da pemerintah untuk: (a) mengatur kepa-dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (b) menetapkan status wilayah ter-tentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (c) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang de-ngan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Namun penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hu-kum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta ti-dak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dengan demikian perlu digaris-bawahi bahwa pengurusan dan pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariaan hutan. Untuk mempermudah pengurusan hutan, maka hutan

dikelompokkan atas unit-unit pengelolaan melalui penetapan wilayah pengelolaan hutan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi DAS, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat terma-suk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.

Selanjutnya UU Nomor 41 Tahun 1999 juga mengatur pemanfaatan hutan dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemu-ngutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung ditambah dengan pemupemu-ngutan hasil hutan kayu pada hutan produksi. Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilaku-kan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Pemanfaatan hutan dilaksanakan melalui pem-berian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, yang dapat diberikan ke-pada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia (BUMS), badan usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD). Pemegang izin berkewajiban menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya, serta dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap BUMN/D/S Indonesia yang memperoleh izin diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat. Sedangkan pemanfaatan hutan hak dan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar ka-wasan hutan. Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh pemerin-tah, sedangkan pemegang izin usaha pemanfaatan hutan serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya. Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan. Secara lebih rinci, Undang-Undang Kehutanan menyatakan setiap orang dilarang : (a) merusak pra-sarana dan pra-sarana perlindungan hutan; (b) mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; (c) merambah kawasan hu-tan; (d) melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan 500 meter dari tepi waduk atau danau; 200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 100 meter dari kiri kanan tepi

ngai; 50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai; (e) membakar hutan; (f) menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; (g) menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, me-nyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; (h) melakukan kegi-atan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; (i) mengangkut, menguasai, atau memiliki sil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya ha-sil hutan; (j) menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang; (k) membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digu-nakan untuk mengangkut hasil hutan, menebang, memotong, atau membelah po-hon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; (l) membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta memba-hayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan (m) mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi Undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan. Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan kehutanan. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.

Setiap orang yang memiliki, mengelola, dan atau memanfaatkan hutan yang kritis atau tidak produktif, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi. Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan di-utamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengem-bangkan potensi dan memberdayakan masyarakat. Dalam pelaksanaan rehabilita-si dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan kepada lembaga swa-daya masyarakat (LSM), pihak lain atau pemerintah.

Dalam Undang-undang Kehutanan juga dinyatakan masyarakat berhak me-nikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. Selain itu masyarakat berhak atau dapat : (a) memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan pera-turan perundang-undangan yang berlaku; (b) mengetahui rencana peruntukan hu-tan, pemanfaatan hasil huhu-tan, dan informasi kehutanan; (c) memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan (d) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung mau-pun tidak langsung. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak mempero-leh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, se-suai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perun-dang-undangan yang berlaku.

Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan di-akui keberadaannya berhak: (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk peme-nuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; (b) mela-kukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan (c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Di sisi lain, masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan men-jaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan. Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang ber-daya guna dan berhasil guna. Dalam rangka meningkatkan peran serta masyara-kat pemerintah dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehu-tanan. Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung terselenggaranya kegiatan penyuluhan kehutanan. Dunia usaha da-lam bidang kehutanan wajib menyediakan dana investasi untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.

Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehi-dupan masyarakat. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi pemerintah atau instansi pemerintah daerah yang bertanggung ja-wab di bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat. Demi-kian juga, dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, organi-sasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan.

Bagi para pihak yang dengan sengaja melanggar ketentuan diancam dengan pidana penjara dan denda dan semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelang-garan dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk mela-kukan kejahatan dan atau pelanggaran dirampas untuk Negara. Sedangkan bagi pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang barang rampasan. Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa, dengan catatan penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana.

Dengan demikian sesuai amanat Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, Pemerintah berfungsi sebagai regulator, fasilitator, mediator dan penyandang dana untuk pembiayaan kegiatan pengelolaan hutan pada kawasan lindung, yang direpresentasikan oleh instansi-instansi sektoral Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang terkait dengan pengelolaan kawasan lindung. Pemerintah mempu-nyai kewenangan sebagai pemegang otoritas kebijakan dan pengawasan pelaksa-naan kebijakan. Sedangkan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten / Kota instansi teknis terkait di dalamnya berperan sebagai koordinator / fasilitator / regulator / supervisor penyelenggaraan pengelolaan kawasan lindung sesuai skala wilayah administrasi dan memberi pertimbangan teknis penyusunan rencana ka-wasan serta dapat berperan sebagai pelaksana dalam kegiatan-kegiatan tertentu. Lembaga Pemerintah yang dapat berperan aktif dalam kegiatan pengelolaan

wasan lindung antara lain: Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertanian, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), Departemen Perikanan dan Kelautan, Departemen Kesehatan dan Kementerian negara Lingkungan Hidup (KLH). Departemen Kehutanan terutama berperan dalam penatagunaan hutan, pengelolaan kawasan konservasi dan rehabilitasi kawasan lindung. Departemen Pekerjaan Umum berperan dalam pengelolaan sumberdaya air dan tata ruang. Departemen Dalam Negeri berperan dalam pemberdayaan masyarakat di tingkat daerah. Departemen Pertanian berperan dalam pembinaan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pertanian dan irigasi. Departemen ESDM berperan dalam pengaturan air tanah, reklamasi kawasan tambang. Departemen Perikanan dan Kelautan berperan dalam pengelolaan sumberdaya perairan, sedangkan KLH dan Departemen Kesehatan berperan dalam pengendalian kualitas lingkungan.

Masyarakat dapat dipilah atas masyarakat sekitar kawasan dan organisasi kemasyarakatan atau LSM dan Perguruan Tinggi. Masyarakat sekitar kawasan berfungsi sebagai pelaku utama kegiatan pengelolaan kawasan, baik sebagai pela-ku usaha kecil dan menengah, tenaga kerja ataupun mitra kerja. LSM dan Pergu-ruan Tinggi berfungsi sebagai pendamping pengelolaan kawasan (management trainne) dan penyedia ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan pihak swasta atau dunia usaha berfungsi sebagai investor, kreditor atau pemberi hibah dalam pengelolaan kawasan lindung.

Faktanya, dalam pengelolaan kawasan lindung pada SWP DAS Arau, Peme-rintah memiliki peran yang sangat dominan. Institusi pengelola hutan dipegang oleh pemerintah melalui Distannakhutbun Kota Padang pada Hutan Lindung dan Tahura Bung Hatta, serta Balai KSDA Sumbar pada KSA Barisan I dan Arau Hi-lir, yang berwenang melaksanakan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan, perlin-dungan, pengamanan dan mengeluarkan ijin pemanfaatan kawasan dan hasil hu-tan. Instansi terkait lainnya adalah Dinas Tata Ruang Kota Padang, yang berpe-ran dalam penetapan peruntukan ruang dan pengendalian penggunaan ruang, Di-nas Pariwisata Kota Padang sebagai instansi pengelola objek wisata alam yang terdapat dalam kawasan lindung serta Bapedalda Kota Padang yang berperan da-lam pengendalian dampak lingkungan dada-lam pengelolaan kawasan lindung.

Masyarakat meliputi masyarakat pemilik lahan pada kawasan lindung, lem-baga adat yang tergabung dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Lemlem-baga Swadaya Masyarakat (LSM) serta Perguruan Tinggi. Dalam pengelolaan ka-wasan hutan masyarakat umumnya berperan dalam kegiatan reboisasi sebagai te-naga kerja atau pekerja proyek. Masyarakat sekitar hutan dan Lembaga adat seperti KAN belum dilibatkan dalam penyusunan program pengelolaan dan pembangunan kehutanan pada kawasan konservasi dan hutan lindung. Kadang-kadang tokoh adat dilibatkan sebagai tenaga pengaman swakarsa, namun masih insidentil, bila alokasi anggaran untuk pengamanan swakarsa tersedia dalam do-kumen anggaran (DIPA). LSM kadang-kadang dilibatkan sebagai mitra dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi atau sebagai pendamping masyarakat (kelompok kerja) dalam pelaksanaan kegiatan reboisasi. Belum ada ijin peman-faatan kawasan hutan yang diberikan kepada masyarakat.

Pihak swasta yang terkait dengan pengelolaan kawasan lindung meliputi pe-rusahaan pengada bibit dan konsultan pelaksana reboisasi, pengusaha pengguna air seperti PDAM, PT Semen Padang dan pengusaha pertambangan. Peran swasta dalam pengelolaan kawasan hutan adalah sebagai rekanan pemerintah dalam pe-ngadaan bibit untuk kegiatan reboisasi atau bila ditunjuk oleh pemerintah sebagai pelaksana kegiatan reboisasi dalam kawasan hutan. Ijin pemanfaatan kawasan hutan lindung pada SWP DAS Arau telah diberikan kepada PT Semen Padang untuk kegiatan pertambangan. Sedangkan ijin untuk pemanfaatan hasil hutan lainnya belum ada, namun aktivitas pemanfaatan, misalnya pemanfaatan air oleh perusahaan yang berbasis air masih terus berlangsung.

Pada kawasan lindung di luar kawasan hutan, pengelolaan lahan dilakukan oleh masyarakat secara swadaya. Bantuan pemerintah dalam pengelolaan lahan milik untuk kegiatan rehabilitasi lahan kritis, misalnya dalam pemberian insentif untuk mendorong masyarakat melakukan kegiatan RHL pada lahan milik dalam bentuk kegiatan hutan rakyat ataupun penghijauan lingkungan, sifatnya masih ter-batas dan insidentil. Namun, program dan kegiatan yang dimaksudkan sebagai insentif dirancang dan dijalankan secara top down, bersifat seragam karena telah tertuang dalam dokumen anggaran, tanpa memperhatikan kebutuhan riil di la-pangan. Misalnya, kegiatan pembuatan Kebun Bibit Rakyat yang dilaksanakan

pada tahun 2010 di Kota Padang tidak melalui perencanaan yang partisipatif, na-mun bersifat top down dan seragam sehingga hasil yang diharapkan tidak optimal.

Pengelolaan kawasan lindung, terutama pada hutan negara lebih dominan mengedepankan peran Pemerintah dan terkadang diwarnai pengaruh dunia usaha serta belum melibatkan masyarakat secara nyata, sesuai amanat Undang-undang Kehutanan. Dalam perkembangannya dominasi peran Pemerintah ini juga diiringi oleh kebijakan yang secara sadar atau tidak, ternyata mengakibatkan terpinggirkannya peran masyarakat. Kalaupun masyarakat tetap terlibat, ia lebih hanya sebagai objek dari suatu kebijakan. Pengelolaan kawasan lindung pada SWP DAS Arau, terpola menjadi suatu sistem dimana Pemerintah meluncurkan berbagai proyek atau program, dan masyarakat melaksanakannya, dengan membentuk kelompok-kelompok pelaksana berupa kelompok kerja atau kelompok tani. Pola seperti ini walaupun ternyata tidak mampu memberikan hasil yang optimal, namun masih tetap berjalan hingga saat ini.

Untuk mewujudkan amanat UU nomor 41 Tahun 1999, yaitu pengelolaan hutan pada kawasan lindung yang bertujuan memberikan manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat dan menjaga hutan tetap lestari, maka pengelolaan kawasan lindung pada SWP DAS Arau sebagai sumberdaya milik bersama (CPR) harus mempertimbangkan prinsip dasar penyusunan rencana pengelolaan sumber-daya milik bersama (CPR), yaitu mekanisme penyusunannya dilakukan dengan pengambilan keputusan bersama para pihak terkait atau dilakukan secara partisipatif, mulai dari analisis hingga perumusan rencana. Begitu pula pada kegiatan-kegiatan selanjutnya yaitu pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian hasil-hasilnya. Pada wilayah kawasan lindung SWP DAS Arau terdapat banyak pihak dengan masing-masing kepentingan, kewenangan, bidang tugas dan tanggung jawab yang berbeda, sehingga tidak mungkin dikoordinasikan dan dikendalikan dalam satu garis komando Distannakhutbun Kota Padang ataupun Balai KSDA Sumatera Barat. Oleh karena itu harus dikembangkan koordinasi berdasarkan hubungan fungsi melalui pendekatan keterpaduan. Sementara itu, untuk memelihara partisipasi para pihak guna menjaga agar pengelolaan tetap efektif, dapat dilakukan dengan membentuk wadah koordinasi, misalnya berupa forum koordinasi, asosiasi pengelola kawasan lindung atau lembaga sejenis lainnya.

Lembaga yang dibentuk harus merepresentasikan para pihak (stakeholders) yang ada, baik dari unsur pemerintah, masyarakat dan swasta. Di antara para pihak yang terlibat harus dikembangkan prinsip saling mempercayai, keterbukaan, tanggung jawab, dan saling membutuhkan. Dengan demikian dalam pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung pada hulu SWP DAS Arau ada kejelasan wewenang dan tanggung jawab setiap pihak (siapa, mengerjakan apa, bilamana, dimana, dan bagaimana). Batas satuan wilayah unit pengelolaan hutan tidak selalu bertepatan dengan batas unit administrasi pemerintahan, sehingga koordinasi dan integrasi antar tingkat pemerintahan, instansi sektoral dan pihak terkait lainnya menjadi sangat penting.

Untuk meningkatkan efektivitas koordinasi dan partisipasi para pihak, harus dibangun komunikasi yang baik dan tata kerja yang jelas yang didasarkan atas kebersamaan dan diagendakan dalam suatu program kerja. Lembaga komunikasi para pihak diarahkan sebagai organisasi yang bersifat independen dan berfungsi untuk membantu memecahkan permasalahan yang timbul dan merumuskannya secara bersama-sama dalam wilayah kawasan lindung seperti konflik kepentingan antar pengguna serta dalam mengintegrasikan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama sehingga konflik kepentingan bisa diminimalkan.

Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan

Masyarakat pemilik lahan kawasan lindung pada SWP DAS Arau, sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Petani pemilik lahan di daerah hulu SWP DAS Arau menggunakan lahannya untuk perladangan atau parak, dengan rata-rata pemilikan lahan 1 - 2 hektar per orang (n=120) dan tingkat penghasilan dari hasil usaha tani lahan kering yang rendah, rata-rata kurang dari Rp 500.000,- perbulan. Hal ini terjadi karena banyak ladang atau parak yang tidak ditanami dengan baik karena kendala modal (biaya pembersihan lahan, pembelian bibit, pemupukan dan pemeliharaan) ataupun karena pemilikan lahan yang sempit.

Sebagian pemilik lahan di daerah hulu tersebut, umumnya adalah juga peta-ni sawah atau buruh tapeta-ni sawah. Namun, rata-rata pendapatan dari hasil sawah juga rendah, rata-rata kurang dari 1 juta per bulan. Hal ini terjadi karena kecilnya kepemilikan lahan sawah setiap petani karena makin terbatasnya lahan sawah.

Pemilikan lahan yang sempit terjadi karena adanya lahan sawah yang telah dialihfungsikan menjadi pemukiman dan peruntukan lainnya atau semakin bertambahnya anggota keluarga sehingga harus dibagi-bagi, akibatnya bagian setiap orang semakin kecil. Dari data yang dihimpun (n = 120 orang), rata-rata satu orang petani sawah hanya memiliki lahan 0,3 hektar sampai dengan 0,5 hek-tar, sehingga dari analisa ekonomi usaha tani, luasan sawah yang digarap menjadi tidak ideal dan tidak menguntungkan karena tingginya biaya tetap dalam proses produksi. Idealnya seorang petani sawah, harus memiliki lahan minimal satu hektar sehingga layak dan menguntungkan untuk diusahakan secara ekonomi.

Pada saat sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, masyarakat yang berpendapatan rendah karena kekurangan lahan dapat memperluas lahan pertaniannya atau menggarap lahan ulayat atau memungut hasil hutan pada hutan cadangan untuk menambah penghasilan rumah tangga. Namun setelah ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan lindung, hal tersebut tidak bisa dilakukan lagi karena adanya aturan negara yang melarang pemungutan hasil hutan tanpa ijin dan pembukaan lahan pada kawasan hutan lindung.

Berdasarkan wawancara dengan Distannakhutbun Padang, pada kawasan hutan lindung Kota Padang belum pernah diterbitkan ijin untuk pemanfaatan hasil hutan non kayu walaupun potensinya memungkinkan karena adanya kekhawatiran bila diberikan ijin pemungutan hasil hutan maka hutan akan semakin rusak karena penerima ijin akan cenderung menggunakan ijin yang diberikan untuk merambah hutan, sedangkan Distannakhutbun Kota Padang tidak punya kemampuan yang cukup untuk mengawasi pelaksanaan ijin yang diberikan karena terbatasnya SDM, sarana dan prasarana yang ada9.

Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sebagian petani pemilik lahan tersebut terpaksa mencari penghasilan tambahan dengan membuka warung kecil-kecilan yang dikelola oleh anggota keluarga yang lain, menjadi buruh, mengumpulkan batu dan pasir dari sungai, menjadi pemulung sampah pada tempat pembuangan akhir (TPA) sampah pada DAS Batang Air Dingin, mencari kayu bakar dan hasil hutan non kayu pada kawasan hutan tanpa ijin atau bahkan