• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asal-Usul Masyarakat Adat pada SWP DAS Arau. Daerah Minangkabau secara geografis dapat dibagi dalam dua lingkungan wilayah yaitu :

1. Wilayah Inti Minangkabau, yang oleh orang Minangkabau disebut daerah da-taran (darek), yang terdiri dari tiga (tigo) Luhak, yang disebut Luhak Nan Tigo yaitu Luhak Agam, Tanah Data dan Luhak Limo Puluah Koto. Dalam pengertian geografis administratif sekarang Luhak itu setara dengan Kabupaten. Luhak merupakan federasi longgar dari Nagari-nagari.

2. Wilayah Pengembangan atau Rantau. Pengertian rantau menurut asalnya berlaku bagi pertemuan sungai dengan laut. Kemudian berlaku untuk daerah di luar tempat asal. Dalam pengertian Minangkabau, Rantau berarti daerah Minangkabau yang berada diluar Luhak Nan Tigo. Pada hakikatnya Rantau adalah daerah perluasan ke tiga Luhak dalam usaha menampung perkembangan anggotanya, terdiri dari :

a) Rantau Luhak Agam meliputi dari pesisir barat sejak Pariaman sampai Air Bangis, Lubuk Sikaping dan Pasaman

b) Rantau Luhak Limo Puluah Koto meliputi Bangkinang, Lembah Kampar Kiri, Kampar Kanan dan Rokan Kiri dan Rokan Kanan.

c) Rantau Luhak Tanah Data meliputi Kubang Tigo Baleh, Pesisir Barat/Selatan dari Padang sampai Indrapura, Kerinci dan Muara Labuh. Berdasarkan uraian di atas maka daerah Kota Padang, sesungguhnya merupakan daerah Rantau Minangkabau yakni Rantau Luhak Tanah Data. Berdasarkan asal usulnya penduduk pada ketiga Nagari dalam wilayah penelitian datang melalui perbukitan, menurut informasi dari Narasumber, orang-orang tersebut berasal dari daerah Solok (Saning Baka untuk Nagari Koto Tangah dan Limau Manih; dan Muaro Labuah untuk Nagari Lubuak Kilangan).

Seperti komunitas lainnya di Minangkabau, garis keturunan masyarakat pada ke tiga Nagari menganut sistem matrilineal, yaitu masyarakat yang susunan pertalian darahnya ditarik menurut garis keturunan ibu. Di Minangkabau selama ini berlaku adagium: “Women reign but not rule”, artinya wanita memiliki singgasana dan harta pusaka, tetapi tidak berkuasa dalam mengatur masyarakat. Yang berkuasa tetap adalah laki-laki, yang diwakili oleh Ninik-mamak,

ulama dan Cerdik-Pandai itu. Sejauh ini tidak seorangpun wanita Minang yang jadi Kepala Kaum, Kepala Suku ataupun jadi Ninik-mamak.

Gambar 9 Wilayah inti Minangkabau dan wilayah pengembangannya

Struktur Adat. Adat Minangkabau bersendikan pada Hukum Adat

berda-sarkan syara‟/syariat, syara berdaberda-sarkan Kitabullah/Al-Qur‟an (Adat Basandi

Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK)). Hukum tersebut dikompilasikan dalam empat tingkatan adat10 atau tata peraturan perundangan, yaitu :

10

Wawancara dengan Dr. Yuzirwan Rasyid Datuak Gajah Nan Tongga, Ketua IV Lembaga Kera-patan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat.

Danau Maninjau Danau Singkarak Gunung Sago Gunung Singgalang Gunung Merapi Luhak 50 Kota Luhak Tanah Data Luhak Agam Wilayah Inti Minangkabau Wilayah Pengembangan = Rantau Patalian Padang

1. Adat Nan Sabana Adat

Adat nan sabana adat adalah Kaedah Alam, sifatnya sudah “given“ tidak

berubah sepanjang waktu disebut tidak akan lekang karena panas dan tidak akan lapuk karena hujan (indak lakang dek paneh indak lapuak dek hujan). Inilah yang disebut “Sunnatullah“ yaitu ketentuan Allah Pencipta Alam

Semesta, dalam filsafat ilmu disebut “fenomena alam“. Dipakai sebagai

timbangan yang asli (cupak usali) karena begitulah sifat alam (manusia, hewan, tumbuhan, air, tanah, api, angin) diciptakan Allah SWT. Sifat ini tidak akan berubah, dalam tubuh makhluk dibawa oleh “gen“ yang berupa struktur

RNA dan DNA (tidak sama di setiap individu). Cupak usali dalam bahasa hukum adalah yurisprudensi yaitu pedoman untuk “memepat“ (atau menara)

cupak buatan (hukum yang dibuat manusia). Inilah yang dikenal dengan

istilah “alam takambang jadi guru“ dalam bahasa filsafat ilmu disebut

“analogi“. Adat nan sabana adat itu dijadikan pedoman dalam penyusunan tata cara dan peraturan yang dipakai sebagai pengatur kehidupan manusia di dunia. Pengungkapannya dilafalkan dalam pahatan kato (kalimat pendek

yang luas maknanya), itulah “kato dahulu“, nilainya berada pada domain Adat Nan Terdadat.

2. Adat Nan Terdadat

Adat nan terdadat adalah dokrin terhadap cupak buatan yang telah dipepat (ditara) dengan cupak usali, dipakai sebagai hukum pokok untuk membuat hukum-hukum lebih lanjut, yang menyangkut interaksi manusia dengan manusia dan interaksi manusia dengan alam sekitarnya. Interaksi manusia dengan manusia adalah; bentuk dan susunan masyarakat, dalam aspek : ekonomi, sosial, budaya, dan politik, termasuk hak dan kewajiban, serta tata kelola pemerintahan. Interaksi manusia dengan alam sekitarnya adalah bagaimana manusia memperoleh manfaat dari sumberdaya alam tanpa merusak sumberdaya alam itu sendiri, atau bagaimana pembangunan dilakukan berkelanjutan. Adat nan terdadat merupakan kebiasaan setempat yang dapat bertambah pada suatu tempat dan dapat pula hilang menurut kepentingan. Kebiasaan yang menjadi peraturan ini mulanya dirumuskan oleh Ninik-mamak pemangku adat dalam suatu negeri untuk mewujudkan aturan

pokok yang disebut adat yang diadatkan, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Oleh karena itu Adat yang terdadat ini dapat berbeda antara satu Nagari dengan Nagari lain menurut keadaan, waktu dan kebutuhan anggotanya. Pengungkapannya dilafalkan dalam pahatan kato

(kalimat bersambung yang dalam maknanya), yaitu “kato kudian“, disebut juga dengan “petatah-petitih“ inilah yang disebut dengan “adat sa batang

panjang”.

3. Adat Istiadat

Adat istiadat adalah cara tentang bagaimana menerapkan cupak buatan yang telah dipepat atau bagaimana cara menerapkan adat nan terdadat secara konsekuen (bertanggung jawab dan bertanggung gugat). Adat istiadat ini tidak berlaku secara umum dan lebih terbatas lingkungannya. Di berbagai Nagari berbeda-beda coraknya, inilah yang disebut dengan “adat sa lingka

nagari“ (adat selingkaran/sebatas Nagari). Inilah yang berubah mengikuti

kemajuan yang disebut dengan “peradaban“, nilainya berada pada domain

syariat. Pengungkapannya dilafatkan dalam pahatan kato (yaitu ungkapan kalimat bersambung yang dalam maknanya), dalam petatah-petitih, disebut

“kato ba cari“ berlaku dimana Nagari yang memakainya, ada yang sama dan ada yang tidak, namun nilai hakekat dan nilai makrifatnya sama.

4. Adat Nan Diadatkan

Adat nan diadatkan adalah cara tentang bagaimana para penghulu mengundangkan adat istiadat itu dalam Nagari, sehingga ia menjadi keputusan yang mempunyai hukum tetap dan menjadi acuan dalam tata kemasyarakatan di Nagari, mungkin sekarang bisa disebut “peraturan nagari“.

Pengungkapannya dilafatkan dalam “pahatan kato “(yaitu ungkapan kalimat

bersambung yang dalam maknanya) berupa petatah-petitih yang disebut “kato

mufakat“, nilainya berada pada domain tarekat, berlaku dimana Nagari yang memakainya, ada yang sama dan ada yang tidak, namun nilai hakekat dan nilai makrifatnya tidak berubah.

Keempat tingkatan adat itu dalam penggunaan sehari-hari dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu: (1) adat, yang tersimpul di dalamnya Adat nan sabana adat

teradat dan Adat istiadat dalam arti sempit. Keseluruhannya menyimpulkan kata

“adat istiadat Minangkabau”.

Dalam hubungannya dengan pengertian adat dan hukum adat, walaupun keduanya sangat tipis perbedaannya, dua kelompok pertama yang disebut adat, mempunyai daya mengikat dan dijalankan oleh badan yang mempunyai kekuasaan dalam masyarakat, dapat disebut hukum adat. Sedangkan kelompok kedua yang banyak bersifat tuntunan tingkah laku yang baik, tidak dapat disebut hukum, disetarakan dengan tuntunan moral atau etika. Adat Minangkabau dapat menyesuaikan diri dengan suatu perubahan yang terjadi. Namun ada bagian-bagian adat yang mengalami perubahan dan ada pula yang tidak mengalami perubahan. Adat nan sabana adat, yaitu ketentuan yang berlaku dalam alam kodrat Illahi dan Adat nan diadatkan yang dirumuskan berdasarkan Adat nan sabana adat, termasuk kepada adat yang tidak mungkin mengalami perubahan, sebagaimana tidak berubahnya Kodrat dan Wahyu Allah. Adapun adat yang dapat mengalami perubahan ialah Adat nan terdadat dan Adat istiadat karena keduanya dirumuskan oleh Ninik mamak pemuka adat sesuai dengan tempat dan keadaan tertentu. Dalam pelaksanaannya, adat seperti ini dapat berbeda dalam Nagari yang satu dengan Nagari lainnya. Karena sifatnya yang tidak tertulis, adat ini dapat menyesuaikan dirinya dengan perkembangan masyarakat. Pemeliharaan terhadap adat itu adalah dengan selalu dipakai dan diamalkan. Dengan adanya bagian adat itu yang tidak mengalami perubahan dan ada pula yang terus mengalami perkembangan masyarakat, maka sifat adat Minangkabau disebut

tetap dan berubah.

Keseluruhan hukum adat Minangkabau tergambar dalam empat macam un-dang-undang (Undang-Undang Nan Ampek), yaitu :

1. Undang-undang Luhak dan Rantau

Mengatur tugas dan wewenang Raja dan Penghulu di tempat masing-masing. 2. Undang-undang Nagari

Yaitu ketentuan yang mengatur susunan masyarakat dalam Nagari, syarat terjadinya Nagari dan kelengkapan suatu Nagari.

3. Undang-undang dalam Nagari

Disebut juga Undang-undang Isi Nagari yaitu ketentuan yang mengatur hu-bungan anak Nagari dan sesamanya, tentang pandangan hidup atau falsafah, etika dan moral. Undang-undang ini mencakup bidang perdata, pidana dan bidang ekonomi.

4. Undang-undang nan duo puluah

Yaitu ketentuan menyangkut berbagai bentuk kejahatan yang harus dihindarkan oleh seseorang dengan sanksi tertentu, bukti terjadinya kejahatan-kejahatan serta cara pembuktian atau undang-undang tentang hukum pidana (Naim 1990). Undang-undang ini terbagi dua yaitu delapan mengenai hukum materil dan dua belas lainnya menyangkut cara pembuktian.

Saat ini pelaksanaan Undang-undang nan ampek pada lokasi kajian yang terkait dengan urusan adat masih dijalankan dalam komunitas masyarakat adat di bawah pengawasan Penghulu yang tergabung dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN), se-dangkan untuk urusan pemerintahan Negara, aturan Undang-undang nan ampek

tidak berlaku, yang berlaku adalah aturan formal perundang-undangan Negara RI karena adanya pemisahan pemerintah Negara dan urusan adat.

Susunan Masyarakat Adat11. Komunitas masyarakat terkecil dalam suatu Nagari adalah komunitas Kaum. Kaum adalah gabungan dari pada saudara seda-rah (paruik) yang berasal dari satu Nenek. Setiap Kaum dipimpin oleh Penghulu Kaum. Kumpulan beberapa Kaum yang mempunyai pertalian darah menurut garis ibu membentuk komunitas Suku yang mendiami sebuah kampung (Kampuang). Suku sama sekali tidak terikat pada suatu daerah tertentu. Dimana anggota Suku itu berada mereka akan tetap merasakan pertalian darah dengan segenap rasa persaudaraan se-Suku. Setiap Suku dipimpin oleh seorang Penghulu Suku. Mengingat begitu pentingnya tugas seorang penghulu sebagai pemimpin dalam suatu suku, seorang Penghulu Suku dipersyaratkan haruslah seorang laki-laki dewasa yang berilmu luas, baik dalam pengetahuan adat maupun pengetahuan umum, adil, arif dan bijaksana serta sabar. Pada mulanya suku di Minangkabau berjumlah empat suku yaitu Bodi, Caniago, Koto dan Piliang. Kemudian sesuai

11

perkembangan zaman dan bertambahnya penduduk maka suku di Minangkabau berjumlah lebih kurang 96 suku diantaranya suku Tanjung, Jambak, Koto, Sikumbang, Guci, Sako dan lain-lain. Setiap orang Minangkabau mempunyai suku. Dalam adat Minangkabau orang yang satu suku umumnya dilarang untuk menikah karena dianggap mempunyai satu keturunan genelogis yang sama.

Kumpulan beberapa Suku yang menempati suatu wilayah tertentu membentuk komunitas Nagari. Lingkungan itu baru sah disebut Nagari bila terdapat empat Suku yang berbeda, sehingga di dalam suatu Nagari dijumpai sedikitnya empat Suku. Nagari dipimpin oleh seorang Kepala Nagari (Wali Naga-ri). Setiap Nagari mempunyai pemerintahan sendiri, mempunyai rakyat sebagai anggota masyarakat dan kekayaan sendiri dalam bentuk tanah ulayat Nagari serta mempunyai pimpinan sendiri. Demikianlah, pada setiap tingkatan komunitas terdapat pimpinan dengan gelar adat dan peran masing-masing, mulai dari penyelesaian masalah, penyelarasan dan keharmonisan rumah tangga hingga keurusan penyelesaian permasalahan Nagari baik untuk ke luar maupun ke dalam.

Dahulunya penyebutan Suku berarti juga sebutan untuk sebuah Kampuang, karena satu Kampuang didiami oleh satu Suku, baik dalam pengertian administrasi maupun sosial, budaya dan politik. Namun seiring dengan perjalanan waktu, terjadi pergeseran, dimana satu Kampuang tidak lagi hanya didiami oleh

Unit Geneologis Unit Kewilayahan

Paruik Kaum Suku Taratak Dusun Kampuang Nagari Konfederasi Suku

satu Suku tetapi oleh banyak Suku. Menurut Narasumber, perubahan ini terjadi sejak kejadian bergolaknya peristiwa PRRI dan G 30 September 1965. Pada dua kejadian tersebut masyarakat banyak kehilangan harta benda baik dalam bentuk terbakarnya rumah maupun habisnya harta materi (uang), sehingga bermula dari situlah masyarakat mulai menggadaikan dan menjual tanah ulayat Kaum kepada Suku lain atau kepada orang di luar Nagari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Perkembangan suatu komunitas pemukiman menjadi Nagari melalui empat tahapan yang dikenal juga dengan empat jenis nagari (nagari nan ampek), yaitu : 1. Taratak adalah tempat perladangan dan permukiman sederhana terpencil

dari kampung, muncul akibat pembukaan lahan di bukit-bukit atau hutan. Taratak dipimpin oleh seorang Ketua (Tuo), belum mempunyai Penghulu dan rumahnya belum boleh bergonjong. Warga Taratak masih mempunyai hubungan dengan keluarga dari kampung asal, dan masih memakai Penghulu dari kampung asal, pertalian dengan kampung asal masih utuh. Setelah “taratak” makin berkembang maka taratak membentuk “dusun”.

2. Dusun merupakan pemukiman yang telah banyak penduduknya dan telah mempunyai tempat peribadatan seperti mushalla (Surau). Biasanya Dusun

mempunyai sekurang-kurangnya tiga Suku dan dapat mendirikan rumah ga-dang dengan dua gonjong, tetapi belum memiliki Penghulu. Dusun dipimpin oleh Tuo Dusun. Dusun boleh mengadakan kenduri perkawinan, tetapi belum memiliki hak untuk melaksanakan acara pemotongan ternak (besar) sendiri (hak bantai). Perkembangan selanjutnya dari “dusun” adalah “koto”.

3. Koto yaitu pemukiman yang mempunyai hak dan kewajiban seperti Nagari, dipimpin oleh Penghulu, tetapi balairungnya tidak mempunyai dinding. Koto kemudian berkembang menjadi Nagari.

4. Nagari merupakan pemukiman yang telah mempunyai kelengkapan pemerin-tahan yang sempurna, didiami sekurang-kurangnya oleh empat suku dengan Penghulu Pucuk atau Penghulu Tua sebagai pemimpin pemerintahan nagari. Begitulah proses terbentuknya Nagari. Nagari merupakan kesatuan sosial utama yang menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau. Nagari merupakan suatu kesatuan hukum adat yang otonom (adat salingka nagari), republik mini

dengan teritorial yang jelas bagi anggotanya, mempunyai pemerintahan sendi-ri dan mempunyai adat sendisendi-ri yang mengatur tata kehidupan anggotanya.

Gambar 11 Pembagian wilayah sebuah Koto

Struktur Pemerintahan Adat. Struktur pemerintahan Nagari berbentuk Kelarasan, yaitu stelsel tata pemerintahan Nagari tradisional yang dibagi atas tiga bentuk yaitu ; (1) Bodi-Chaniago dengan karakteristik demokratis; (2) Koto-Piliang dengan karakteristik aristokrat, dan; (3) Lareh Nan Panjang dengan karakteristik campuran antara Bodi-Chaniago dan Koto-Piliang. Struktur adat pada masing-masing kelarasan dapat diuraikan sebagai berikut :

KOTO Hutan Larangan Lahan kebun (Parak) Hutan Cadangan Kapalo Koto Inti Nagari Uma Koto Daerah Perkampungan (Hunian) Lahan usahatani sawah Sungai

(1) Kelarasan Adat Bodi Caniago

Kelarasan Bodi Chaniago mengikuti susunan Datuk Parpatih Nan Sabatang, aturannya lebih bersifat demokratis. Segala sesuatu yang dilaksanakan datang dari anak kemenakan (anggota komunitas) dan dimusyawarahkan secara bersama. Setiap anggota masyarakat mempunyai hak yang sama dalam musyawarah ini. Dikenal dengan sistem kesetaraan, duduk sama rendah dan tegak sama tinggi (duduak baiyo, bajalan bamolah).

(2) Kelarasan Adat Koto Piliang

Kelarasan Koto Piliang mengikuti susunan Datuk Katumanggungan. Segala sesuatu yang dilaksanakan datang dari atas Penghulu Pucuk. Penghulu Pucuk sebelumnya bermusyawarah dengan Penghulu Suku, kalau sudah sepakat baru dilaksanakan oleh anak kemenakan (anggota komunitas). Dikenal dengan mo-del pengambilan keputusan secara bertingkat, naik dan turun secara berjenjang (bajanjang naik, batanggo turun), artinya pengambilan dan pelaksanaan keputusan dalam adat mempunyai jenjang dan tingkatan, sehingga memiliki karakter aristokrat.

Struktur kepemimpinan adat dari tingkatan terendah hingga tertinggi dalam suatu Nagari pada Kelarasan Koto Piliang adalah sebagai berikut:

a) Panghulu Kaum.

Panghulu Kaum adalah pemimpin suatu Kaum, dan disebut juga dengan

Ninik-mamak suatu Kaum. Panghulu Kaum dipilih melalui musyawarah anggota kaumnya, dan berperan dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga anak, cucu dan kemenakan dalam kaumnya.

b) Panghulu Andiko.

Panghulu Andiko merupakan Panghulu Kaum yang ditunjuk sebagai perpanjangan tangan Tuo Kampung untuk urusan ke dalam (Suku/Kaum) seperti untuk pelaksanaan setiap keputusan atau sistem adat yang berlaku serta pelaksanaan teknis dalam berbagai acara adat.

c) Tuo Kampuang

Tuo Kampuang adalah para Ninik-mamak (kumpulan Panghulu Kaum) yang berjumlah dua belas orang dalam setiap Suku. Dalam menjalankan tugas para

Datuak (gelar untuk penghulu) yang duduk di dalam Tuo Kampung lebih menekankan musyawarah di tingkatan kaum/sukunya masing-masing

d) Bungo Satangkai

Jabatan ini hanya dijabat oleh seorang Datuak dalam Tuo Kampung dengan fungsi sebagai penyambung lidah (hasil musyawarah) para Tuo Kampung

dalam lembaga permusyawaratan adat (Kerapatan Adat) kepada pemimpin yang lebih tinggi (Panghulu Pucuak).

e) Kapalo Suku

Kapalo Suku atau Penghulu Suku merupakan pimpinan adat tertinggi dalam satu Suku. Untuk satu gelar Kapalo Suku harus mempunyai dua belas Tuo Kampung. Kapalo Suku bertanggungjawab dalam pengambilan keputusan berbagai permasalahan maupun dalam mengawal keberadaan anggota kaumnya. Pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah internal Suku dapat diputuskan sendiri oleh Kapalo Suku. Sedangkan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan urusan eksternal Suku dilakukan melalui musyawarah dengan anggota kaumnya. Penghulu Suku mempunyai wewe-nang untuk membagi ulayat kepada seluruh anggota yang termasuk satu suku, dan pada tingkatan Nagari para Penghulu Suku berkumpul dalam Kera-patan Nagari (pemerintahan Nagari) yang kemudian melembaga menjadi Kerapatan Adat Nagari. Dalam melaksanakan tugasnya, Para Penghulu Suku dibantu oleh empat jenis lembaga (Ampek Jiniah), terdiri atas Manti, Alim-ulama, Dubalang dan Pandito, yang merupakan unsur yang membantu pelak-sanaan roda pemerintahan dalam adat, seperti Manti untuk administrasi pemerintahan adat, Dubalang untuk menjaga keamanan dan Alim-ulama (Ma-lin) yang mengurusi masalah keagamaan. Dalam struktur kelembagaan adat ada yang memiliki Tungganai yaitu orang yang dituakan pada suatu kaum sebagai Mamak Kepala Waris dan secara langsung berkaitan atau be-rurusan dengan anak kemanakannya.

f) Panghulu Pucuak

Panghulu Pucuak adalah orang yang pertama memancang hutan (mem-buka hutan), sehingga garis keturunannya berhak sebagai Panghulu Pu-cuak. Kelembagaan Panghulu Pucuak lebih berfungsi sebagai tempat bertanya

bagi permasalahan-permasalahan Nagari, dan pendapatnya dianggap sebagai rujukan di Nagari. Panghulu Pucuak berfungsi sebagai media musyawarah para Ninik-Mamak dalam sebuah Nagari yang sebelumnya mendapat masukan dari Bungo Satangkai yang diutus oleh hasil musyawarah para Tuo Kampung.

g) Pucuak Adat

Merupakan jenjang kepenghuluan (kepemimpinan) yang paling tinggi.

Pucuak Adat merupakan orang atau pemangku gelar adat yang menguasai tanah ulayat dalam sebuah Nagari.

Demikianlah, aturan adat telah mengatur tata pemerintahan Nagari, termasuk aturan perwakilan dan batas yurisdiksi setiap kelompok komunitas dalam Nagari.

Sarana Komunikasi. Beberapa sarana komunikasi dalam keseharian masyarakat sebagai sarana masyarakat berinteraksi dalam berbagai urusan dalam suatu Nagari dan harus dimiliki oleh setiap Kaum atau Suku antara lain :

a) Struktur Adat. Struktur adat bukan hanya dilihat sebagai jenjang kekuasaan, tetapi juga merupakan media penyebaran informasi berbagai kesepakatan Ninik-mamak maupun kebijakan-kebijakan adat dan berbagai urusan kehidupan yang nantinya berlaku untuk anak, cucu dan kemanakan.

b) Rumah Adat. Disebut juga Rumah Gadang merupakan tempat berkumpul untuk membicarakan berbagai permasalahan Kaum atau Suku. Hasil pembicaraan di tingkat Kaum ini, nantinya dilanjutkan pada pembicaraan di tingkat Ninik-mamak (pemangku adat) yang dilaksanakan di Balai Adat. Pengaturan penggunaan lahan pada sekeliling Rumah Gadang sebagai tempat tinggal masyarakat ditata sedemikian apik. Tanah yang ada di sekeliling Rumah Gadang luasnya minimal seperempat hektar. Di halaman muka ada halaman tempat bermain, ada tambatan kuda, tempat cuci kaki, dan tanaman bunga. Juga terdapat lumbung padi 2 sampai 3 lumbung yang mempunyai fungsi berbeda, untuk penyimpanan kebutuhan keluarga penghuni rumah gadang, untuk „dagang lalu‟ (keperluan sosial), untuk fakir miskin atau lainnya. Di samping rumah ada tanaman obat-obatan, buah-buahan, kolam ikan. Di belakang rumah ada tanaman sayuran sebagai sumber pangan se-isi Rumah Gadang dan masyarakat sekelilingnya. Pembangunan fasilitas umum

dan Rumah Gadang dilakukan secara gotong royong yang membuktikan kehidupan sosial yang tinggi.

c) Tabuah Larangan. Merupakan sebuah alat komunikasi yang terpusat pada satu Kaum, Suku dan atau Nagari. Untuk tingkatan suku kerap juga dipakai

aguang, cagak, badia dan tabuah. Tabuah larangan tidak bisa di bunyikan sembarangan saja, tapi sesuai dengan aturan yang disepakati dalam adat. d) Surau. Surau merupakan tempat penempaan ilmu dan beladiri bagi

masyarakat yang mempunyai peranan dan posisi penting. Metode pendidikan Surau terbukti mampu menghasilkan manusia-manusia kritis dan berwawasan tinggi sekaligus memiliki pemahaman agama yang mumpuni. Hal ini dimungkinkan karena berbagai bidang ilmu diajarkan di Surau. Di Surau diajarkan ilmu pemerintahan dan politik dengan mengajarkan tatanan adat dan sistem ber-Nagari. Ilmu pertanian diajarkan dengan membawa anak-anak Surau langsung turun ke sawah dan ladang. Ilmu perdagangan diperoleh dengan banyak berdiskusi langsung dengan para pedagang yang sering pergi-pulang dengan pedati zaman itu. Pendidikan agama diajarkan secara lengkap, antara lain mengaji, tulis baca Al-quran, kitab kuning, pendidikan moral, akhlak, sopan santun dengan empat jenis perkataan (kato nan ampek). Di samping itu Surau juga menjadi tempat penggemblengan fisik dan mental